SEPUTAR ZUHUD DAN KEFAKIRAN 

Sahabat Mulia Abu Hurairah


Abu Hurairah dahulu tidur di masjid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu bisa hadir di majelis beliau. Beliau mengalami kefakiran yang justru dengannya beliau bisa tetap menghadiri majelis Nabi, yang menjadikan beliau menjadi salah satu sahabat pengumpul hadis terbanyak. Betapa besar pahala beliau yang terus mengalir seiring dengan kaum muslim di seluruh penjuru dunia membaca dan mengajarkan hadis yang beliau kumpulkan dengan jerih payah. 

Pernah suatu saat, ketika hadir di majelis, Abu Hurairah tiba-tiba jatuh tersungkur. Jamaah di sekitarnya pun bergegas menolongnya. Setelah sadar, Rasulullah bertanya kepadanya, "Wahai Abu Hurairah, kenapa engkau tersungkur?" Beliau menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah tiga hari tidak mendapatkan sesuatu pun untuk dimakan. Saya menahan lapar dengan menyelipkan kerikil di perutku."

Imam Ahmad bin Hanbal 

Imam al-Dzahabi mengisahkan dalam Siyar A`lamin Nubala' (vol. XI, hlm. 192): 

Suatu ketika Imam `Abdurrazzaq al-Shan`ani menyebut Imam Ahmad bin Hanbal, lalu kedua matanya meneteskan air mata. Beliau bertutur: Ada sebuah kabar sampai kepadaku, bahwa perbekalan Imam Ahmad habis (dalam perjalanan menuntut ilmu). Maka aku pegang tangannya, lalu aku minta beliau berdiri di belakang pintu. Tidak ada seorang pun bersama kami waktu itu. 

Aku katakan kepadanya, “Sesungguhnya kami tidak punya uang dinar (saat ini). Jika kami menjual hasil bumi yang kami miliki, tidak ada sesuatu yang akan kami makan. Tapi aku telah mendapatkan sepuluh dinar dari beberapa wanita, maka ambillah.” 

Imam Ahmad menjawab :

يَا أَبَا بَكْرٍ، لَوْ قَبِلْتُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئاً، قَبِلتُ مِنْكَ

“Wahai Abu Bakr, sekiranya saja aku terima suatu pemberian dari seseorang, niscaya akan aku terima pemberianmu.” 

Disebutkan pula dalam referensi yang sama bahwa Abu Ishaq Al-Jauzajani mengisahkan Imam Ahmad pernah shalat mengimami `Abdurrazzaq al-Shan`ani dan beliau sempat lupa dalam shalatnya tersebut. Seusai shalat, `Abdurrazzaq bertanya kepada beliau tentang hal itu. Ternyata Imam Ahmad tiga hari belum makan sesuatu pun. 

Dikisahkan bahwa untuk menjaga wara`-nya, beliau menggadaikan sandalnya kepada tukang roti, sebagai jaminan atas roti yang ia butuhkan.  

Dalam Thabaqat al-Hanabilah (vol. II, hlm. 14) disebutkan, bahwa pada kesempatan lain Imam Ahmad ditanya tentang mungkinkah seorang itu terkategori zuhud sementara ia memiliki satu dinar? Beliau menjawab, "Ya, dengan syarat. Jika hartanya itu bertambah, ia tidak bergembira dan jika berkurang, ia tidak sedih." 

وَقَالَ الخلال: بلغني أن أَحْمَد سئل عن الزاهد: يكون زاهدا ومعه دينار؟ قَالَ: نعم عَلَى شريطة إِذَا زادت لم يفرح وَإِذَا نقصت لم يحزن

Zaid bin al-Hubab al-Khurasani 

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan tentang beliau, “Beliau seorang yang sangat bersabar dalam menjalani kefakiran. Aku mengambil hadis darinya di Kufah." Bahkan muridnya sering datang berguru dengannya, namun ia tidak mau menemui mereka di hadapannya karena ia tidak mempunyai baju yang mampu menutupi auratnya. Ia kemudian hanya menyampaikan ilmu dari balik pintu dan dengan suatu penghalang. Biografinya tercantum dalam Siyar A`lamin Nubala', vol. 394-395, cet. al-Risalah. 


Imam Malik bin Anas 

Karena kefakirannya, Imam Malik menjual kayu yang menopang atap rumahnya untuk menyambung hidup. Padahal beliau adalah seorang imam dalam ilmu agama. Karena itu beliau pernah berpesan, "Tidak akan mampu meraih hal ini (ilmu), kecuali mereka yang pernah merasakan kefakiran."

Imam al-Bukhari 

Kefakiran juga pernah dialami oleh Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari ilmu. Umar  bin Hafsh al-Asyqar mengisahkan: Suatu saat semua orang di Basrah kehilangan Imam al-Bukhari dari majelis ilmu mereka. Lalu mereka mencarinya dan mendapatkannya ada di sebuah rumah dalam keadaan tidak berpakaian. Ia telah kehabisan bekalnya dan tidak ada satupun yang tersisa darinya. Kemudian mereka mengumpulkan sejumlah dirham guna membeli pakaian untuknya. Hingga ia kembali mengajarkan ilmu kepada mereka. [Tarikh Baghdad, vol II, hlm. 13.]

Pada kesempatan lain beliau juga pernah memakan rumput-rumputan selama tiga hari karena kiriman uang dari keluarganya terlambat datang. Ia tidak menceritakan kepada seorangpun apa yang dialaminya. Hingga hari ketiga datanglah seseorang yang memberikan satu bungkus kain yang berisi beberapa dinar. [Hadyus Sari: 2/195

Sufyan al-Tsauri

Diriwayatkan dari `Abdurrahim bin Sulaiman al-Razi: 
 
كُنَّا عِنْدَ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، فَكَانَ إِذَا أَتَاهُ الرَّجُلُ يَطْلُبُ الْعِلْمَ سَأَلَهُ: هَلْ لَكَ وَجْهُ مَعِيشَةٍ؟ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ فِي كِفَايَةٍ، أَمَرَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِفَايَةٍ، أَمَرَهُ بِطَلَبِ الْمَعَاشِ

Kami membersamai Sufyan al-Tsauri, apabila seseorang mendatangi beliau untuk menuntut ilmu, beliau bertanya, "Apakah engkau memiliki penghasilan? Jika dikabarkan bahwa ia berkecukupan, beliau pun menyuruhnya untuk menuntut ilmu. Namun jika tidak berkecukupan, beliau menyuruhnya untuk mencari penghasilan." [al-Jami` li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami`, vol. I, hlm. 98.]

Sufyan al-Tsauri menceritakan tentang dirinya, 

قَالَ الثَّوْرِيُّ: لَمَّا أَرَدْتُ أَنْ أَطْلُبَ الْعِلْمَ قُلْتُ: يَا رَبِّ إِنَّهُ لَابُدَّ لِي مِنْ مَعِيشَةٍ، وَرَأَيْتُ الْعِلْمَ يُدْرَسُ فَقُلْتُ: أُفرِّغُ نَفْسِي لِطَلَبِهِ، وَقَالَ: وَسَأَلْتُ رَبِّي الْكِفَايَةَ وَالتَّشَاغُلَ لِطَلَبِ الْعِلْمِ فَمَا رَأَيْتُ إِلَّا مَا أُحِبُّ إِلَى يَوْمِي هَذَا

"Ketika aku hendak menuntut ilmu, aku berkata, 'Duhai Rabbku, aku membutuhkan penghasilan.' Sementara aku melihat ilmu mulai hilang. Lalu aku berkata lagi, 'Aku akan fokus menuntut ilmu. Aku meminta kepada Rabbku untuk diberikan kecukupan dan agar tersibukkan dengan menuntut ilmu. Lalu aku mendapati hal-hal yang aku cintai sampai saat sekarang ini.'" [Hilyah al-Auliya`, vol. VI, hlm. 370-371.]

Al-Nasafi al-Hanafi

Ketika Ibn Katsir menyebutkan biografi Muhammad bin Ahmad bin Ja`far al-Nasafi al-Hanafi dalam al-Bidayah wan-Nihayah, vol. XV, hlm. 601, beliau bertutur: 

مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، أَبُو جَعْفَرٍ النَّسَفِيُّ، عَالِمُ الْحَنَفِيَّةِ فِي زَمَانِهِ، وَلَهُ طَرِيقَةٌ فِي الْخِلَافِ، وَكَانَ فَقِيرًا مُتَزَهِّدًا، بَاتَ لَيْلَةً قَلِقًا لِمَا عِنْدَهُ مِنَ الْفَقْرِ وَالْحَاجَةِ، فَعَرَضَ لَهُ فِكْرٌ فِي فَرْعٍ مِنَ الْفُرُوعِ كَانَ أَشْكَلَ عَلَيْهِ، فَانْفَتَحَ لَهُ، فَقَامَ يَرْقُصُ وَيَقُولُ: أَيْنَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ؟ فَسَأَلَتْهُ امْرَأَتُهُ عَنْ خَبَرِهِ، فَأَعْلَمَهَا بِمَا حَصَلَ لَهُ، فَتَعَجَّبَتْ مِنْ شَأْنِهِ، رَحِمَهُ اللَّهُ



"Seorang alim dari kalangan mazhab Hanafi pada zamannya, punya metode tersendiri dalam masalah khilaf, termasuk orang yang fakir dan Zuhud. Suatu malam, beliau merasa gundah karena kemiskinan dan kebutuhannya, beliaupun mengalihkan perhatiannya ke suatu masalah fikih yang rumit. Ketika masalah tersebut terpecahkan, beliau bangkit kegirangan seraya berkata: "Di mana para raja dan putra mahkota?"  

* * * * *

Sesungguhnya, Salaf dahulu menilai bahwa fitnah kesukaran hidup (dharra'), termasuk kefakiran, lebih mudah dihadapi dibandingkan fitnah kesenangan dan kemewahan (sarra'). 
 
Diriwayatkan bahwa 'Abdurrahman bin 'Auf berkata, 

بُلِينَا بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا، وَبُلِينَا بِالسَّرَّاءِ فَلَمْ نَصْبِرْ

"Kami diuji dengan kesusahan dan kami mampu bersabar. Tapi ketika kami diuji dengan kesenangan kami tidak mampu bersabar." [Hilyah al-Auliya`, vol. I, hlm. 100.] 

Rawa-i`ut Tafsir al-Jami` li Tafsir al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali, Tafsir Ibn Rajab al-Hanbali, penyunting Thariq bin `Iwadhillah bin Muhammad, tafsir surat Shad, vol. II, hlm. 210, Cet. I, Dar al-'Ashimah, Riyadh, KSA


 

*Kisah-kisah di atas disalin dan dikumpulkan dari berbagai sumber

Post a Comment

 
Top