Bismillāh, wash-shalātu was-salāmu `alā rasūlillāh, wa `alā ālihi wa shahbihi wa man tabi`ahum bi ihsān ilā yawmil qiyāmah, amma ba`d:
Pada tahun ini, 1433 Hijriah atau 2012
Masehi, potensi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan `Idul Fithri
kembali terjadi. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan bahwa
awal Ramadhan jatuh hari Jumat, 20 Juli 2012, berdasarkan hisab hakiki
wujud hilal. Sedangkan pemerintah baru akan menetapkannya melalui sidang
itsbāt yang akan digelar pada Kamis malam, tanggal 19 Juli 2012.
Termasuk hal yang sangat disesalkan
sekiranya kaum Muslim di satu negeri tidak dapat melaksanakan awal puasa
dan hari raya secara bersama-sama. Idealnya, kebersamaan itu
terwujud bagi seluruh kaum Muslim di seluruh penjuru bumi dalam naungan
satu kekhilafahan Islam. Namun, sekiranya kondisi ideal ini belum
terwujudkan, minimal kebersamaan tersebut terealisasi untuk satu negeri
Muslim.
Kebersamaan dimaksud tidak dapat
terwujudkan kecuali apabila para individu dan organisasi masyarakat
Muslim mau merendahkan ego mereka dan berlapang dada untuk mengikuti
keputusan pemerintahan Muslim dalam hal ini. Selama masih dalam ranah ijtihād
yang diperkenankan, pendapat pribadi atau kelompok seharusnya
dikalahkan dengan keputusan pemerintah Muslim. Hal ini sebagaimana
kaidah fiqh yang menyatakan:
حُكْمُ الْحَاكِم إِلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلاَف
“Keputusan hakim (pemerintah Muslim) bersifat mengikat dan menyelesaikan perselisihan pendapat.” [Lihat misalnya al-Asybāh wa al-Nazhā-ir, karya al-Suyūthiy, hlm. 755, dan berbagai literatur lainnya.]
Kali ini saya tidak membahas tentang
keharusan mengikuti pemerintah Muslim dalam penentuan awal Ramadhan dan
hari raya. Artikel yang membahas hal tersebut secara detail sudah cukup
banyak jumlahnya dan dapat dengan mudah ditemukan di dunia maya, alhamdulillāh.
Di sini saya justru akan mengangkat pendapat individual tentang
bagaimana seharusnya penentuan awal bulan Hijriah dilaksanakan, termasuk
untuk bulan Ramadhān. Tentu saja pendapat individual ini sama sekali
bukan untuk menafikan atau keluar dari keputusan pemerintah Muslim. Saya
pribadi pun akan melaksanakan puasa dan hari raya dengan mengikuti
keputusan otoritas pemerintah Muslim, sekalipun mungkin keputusan
pemerintah itu tidak sejalan dengan fiqh yang saya anut.
Terkait penetapan awal bulan Hijriah
dengan metode hisab, beberapa waktu lalu terdapat diskusi cukup hangat
antara saya dan beberapa teman di Facebook mengenai masalah ini,
khususnya untuk penetapan awal Ramadhan. Sejumlah teman berpandangan
bahwa penetapan awal bulan Ramadhan harus menggunakan metode rukyat,
sebagaimana pendapat mainstream (kalau boleh disebut demikian),
sementara saya cenderung kepada pendapat yang menguatkan penggunaan
metode hisab pada zaman modern ini.
Dahulu, saya juga mengikuti mainstream.
Namun, seiring dengan penambahan pengetahuan dan referensi, pendapat
saya pun berubah. Salah satu referensi yang mengubah pendirian saya
adalah risalah ilmiah yang ditulis oleh Syaykh Ahmad Syākir rahimahullāh, seorang pakar hadits Mesir pada masanya, yang berjudul Awā-il al-Syuhūr al-`Arabiyyah, Hal Yajūzu Syar`an Itsbātuhā bi al-Hisāb al-Falakiy? [Permulaan Bulan-bulan Arab, Apakah dapat Ditetapkan dengan Hisab Falak?] Risalah ini ditulis pada bulan Dzul Hijjah tahun 1357 H atau bulan Februari 1939, atau lebih dari 70 tahun lalu!
Hasil scan risalah tersebut, dengan versi cetakan ke-2 Maktabah Ibn Taymiyyah, tahun 1407 H, dapat diunduh antara lain di alamat: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=91477.
Risalah tersebut telah saya alihbahasakan, dan in syā-allāh akan dimuat di blog saya setelah tulisan ini. Bahkan, maksud utama dari tulisan ini hanyalah sebagai pengantar dari risalah ilmiah tersebut.
Mirip kejadian yang saya alami, Syaykh Ahmad
Syākir pada mulanya menentang penggunaan metode hisab untuk penentuan
awal bulan Ramadhan dan semisalnya. Namun, beliau kemudian justru berada
di garda depan kalangan yang berpendapat tentang keharusan penggunaan
metode hisab di zaman modern ini. Beliau mempersenjatai pendapatnya
dengan berbagai argumentasi ilmiah dan logis, dengan tetap menjadikan
Quran dan Sunnah sebagai sandaran. Jika lebih dari 70 tahun lalu
beliau sudah menegaskan demikian, maka dapat dibayangkan jika beliau
hidup di era sekarang yang jauh modern. Demikianlah dinamika keilmuan, ia tidak mengenal kebekuan. Al-’ilm la yaqbal al-jumūd.
Sebelum pembaca menikmati tulisan Syaykh Ahmad Syākir tersebut, mari kita bernostalgia ke masa lampau dan merenungkan beberapa hal.
Bayangkan jika Anda hidup dalam
masyarakat Arab daerah gurun pasir pada abad ke-6 dan 7 Masehi. Kondisi
sains yang berkaitan dengan astronomi pada zaman itu yang tentu saja
masih sederhana dan terbatas. Adapun kondisi masyarakat, maka jangankan
mengetahui sains secara mumpuni, mayoritas bangsa Arab masa itu bahkan
buta huruf dan tidak dapat berhitung. Sains merupakan sesuatu yang asing
bagi mereka. Ucapan para ilmuan yang memang langka jumlahnya tentu
menjadi hal yang aneh dan sulit dipercaya oleh masyarakat, selain
kondisi sains yang memang sangat terbatas pada masa tersebut.
Jika demikian kondisinya, maka penentuan
awal bulan berdasarkan pengamatan langsung (baca: rukyat) merupakan
suatu yang niscaya, praktis dan maslahat pada masa itu. Penerapan metode
hisab dalam kondisi demikian tentu bukan merupakan pilihan yang tepat,
dan bahkan menyulitkan.
Nabi r bersabda,
إِنَّا أُمَّة أُمِّيَّة، لاَ نْكُتْب وَلاَ نَحْسبُ، الشَّهْرُ هكَذَا وَهكَذَا
“Kami adalah umat yang ummiy, tidak dapat membaca dan berhitung (melakukan hisab). Bulan itu begini dan begini.” Maksud beliau, terkadang satu bulan terdiri dari dua puluh sembilan hari atau tiga puluh hari. [HR al-Bukhāriy II/675/1184, Muslim II/759/1080, dan lain-lain.]
Zahir hadits tersebut jelas, bahwa Nabi r sangat memperhatikan kondisi masyarakat pada zamannya. Beliau adalah Nabi yang ummiy, yang berada di tengah kaum yang ummiy pula. Karena itulah diterapkanlah metode rukyat yang sejalan dengan kondisi masyarakat.
Redaksi hadits: “Kami adalah ummat yang ummiy…” merupakan `illat
bagi penetapan awal bulan dengan metode rukyat, atau dengan
penyempurnaan bilangan bulan ketika rukyat terhalang untuk dilakukan. Telah umum diketahui dalam kaidah Ushūl Fiqh bahwa penetapan hukum berlangsung seiring dengan eksistensi `illat-nya. Jika `illat-nya hilang, maka hukum tersebut menjadi tidak berlaku.
الْحُكْمُ إِذَا ثَبَتَ بِعِلَّةٍ زَالَ بِزَوَالِهَا
“Jika suatu hukum tertetapkan dengan `illat tertentu maka hukum itu menjadi tidak berlaku jika `illat-nya hilang. [Lihat al-Wajīz fī Īdlāh Qawā`id al-Fiqh al-Kulliyyah,
karya Dr. Muhammad Shidqī ibn Ahmad ibn Muhammad al-Būrnū, cet. V
Mu-assasah al-Risālah, Beirut, 1419 H/1998 M, hlm. 80 – 81. Lihat
pembahasan yang cukup detail tentang `illat dalam Ushūl al-Fiqh al-Islāmiy, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayliy, cet. I Dār al-Fikr, Beirut, 1406 H/1986 M, vol. I, hlm. 652 – 695, dan berbagai literatur ushūl fiqh lainnya.]
Hal ini sejalan pula dengan kaidah fiqh:
الْعِبرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Yang menjadi acuan adalah kondisi mayoritas yang tersebar, dan bukan kondisi yang langka.” [Lihat misalnya al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Dr. `Abdul `Azīz Muhammad `Azzām, cet. Dār al-Hadīts, Kairo, 1426 H/2005 M, hlm. 189 – 190, dan berbagai literatur lainnya.]
Apa korelasi kaidah fiqh di atas dalam permasalahan ini? Kita tahu mayoritas masyarakat di zaman Nabi r adalah kaum ummiy (buta tulis dan hitung). Karena itu, yang menjadi acuan dalam penetapan hukum adalah kaum ummiy
tersebut. Bagaimana dengan kondisi mayoritas masyarakat Muslim
sekarang, apakah sama dengan dahulu? Tentu jawabannya tidak. Mayoritas
kaum Muslim zaman ini merupakan bagian dari masyarakat sains dan
teknologi. Nah, jika dahulu metode rukyat dipilih karena mengacu pada kondisi kaum ummiy,maka hisab adalah keniscayaan bagi masyarakat sains dan teknologi pada era modern.
Hadits di atas juga seolah-olah
memberikan isyarat yang halus bagi generasi sekarang bahwa mereka tidak
harus mengikuti praktek generasi pendahulu. Hadits itu seolah
mengisyaratkan pernyataan berikut: “Metode rukyat dan penyempurnaan
bulan itu berlaku bagi kami, kaum yang didominasi oleh orang-orang yang ummiy.
Pada dasarnya, kebanyakan kami memang tidak dapat menulis dan berhitung
(melakukan hisab). Karena itu, jika di masa mendatang nanti muncul
generasi baru yang bukan ummiy, bahkan mereka mampu memperhitungkan posisi bulan secara pasti dan akurat (qath`iy), maka mereka dipersilakan meninggalkan metode rukyat dan beralih kepada hisab.”
Coba kita bayangkan seandainya Nabi r hidup di era sains dan teknologi sekarang. Saat manusia mampu memprediksi posisi bulan hanya dengan perhitungan semata secara akurat dan pasti (qath`iy).
Tidak meleset sedikit pun. Bayangkan sekiranya beliau berada di
tengah-tengah kondisi kita, apakah metode rukyat sebagaimana zaman
dahulu tetap diberlakukan? Saya pribadi tidak meyakini kemungkinan
tersebut.
Kenyataannya, saat ini kita
menggunakan hisab dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari. Kita menggunakan
hisab dalam penentuan waktu shalat, dan kita memercayainya seratus
persen. Dan, memang hal itu sama sekali tidak salah. Jika
dahulu, posisi matahari untuk penentuan waktu shalat diamati dengan mata
telanjang atau rukyat, maka sekarang kita cukup melihat jam sebagai
alat konversi dan memperhatikan jadwal shalat yang telah diperhitungkan
jauh-jauh hari sebelumnya secara tepat (baca: hisab). Jika kita
dapat menggunakan hisab untuk penentuan waktu shalat, maka demikian pula
seharusnya untuk penentuan awal bulan. Tidak ada bedanya.
Kalangan yang tidak sependapat mungkin
akan bersikeras mengatakan bahwa hisab tidak dapat digunakan karena
bertentangan dengan praktek Nabi r dan dalil-dalil tekstual yang
memerintahkan rukyat. Kami telah menjawabnya, bahwa kondisi yang
melatarbelakangi praktek rukyat di zaman Nabi r jauh berbeda dengan
kondisi zaman kita. Di sisi lain, dalil-dalil tekstual dalam hal ini
memiliki `illat, yaitu bahwa Nabi r berada pada kaum yang ummiy, dan `illat tersebut menjadi tidak berlaku untuk zaman ini.
Pada
kenyataannya, perbedaan pendapat yang terjadi dalam penentuan awal bulan
bukan disebabkan oleh perbedaan terhadap validitas hasil hisab atas
realitas posisi bulan. Perbedaan pendapat yang ada justru
tentang apakah hisab dapat menjadi sarana yang dibenarkan oleh syariah
untuk menghukumi realitas tersebut. Faktanya, perbedaan pendapat
bukan terjadi di kalangan para astronom atau ahli sains, atau atas
realitas ilmiah. Perbedaan justru terjadi di kalangan yang menisbatkan
dirinya kepada syariah!
Saya kira kita semua sepakat bahwa baik hisab maupun rukyat hanyalah merupakan sarana (wasā-il), dan bukan tujuan. Adapun
tujuannya, adalah untuk menentukan bahwa awal bulan baru telah
terealisasi secara meyakinkan dan pasti. Karena itulah, pada zaman
dahulu, dalam kondisi mendung yang meragukan, hadits-hadits
memerintahkan untuk menyempurnakan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Hal
ini sesuai dengan kaidah fiqh:
الْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
“Suatu yang yakin tidak dapat hilang/digantikan dengan suatu yang meragukan.” [Lihat misalnya al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Dr. `Abdul `Azīz Muhammad `Azzām, cet. Dār al-Hadīts, Kairo, 1426 H/2005 M, hlm. 95 – 100, dan berbagai literatur lainnya.]
Kaidah fiqh juga menyatakan:
إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَقَاصِدُ وَالْوَسَائِلُ تَعَيَّنَ تَقْدِيْمُ الْمَقَاصِدِ عَلَى الْوَسَائِلِ
“Jika terjadi kontradiksi antara sarana dan tujuan, maka dipastikan tujuan lebih dikedepankan dibandingkan sarana.” [Lihat misalnya al-Wajīz fī Īdlāh Qawā`id al-Fiqh al-Kulliyyah,
karya Dr. Muhammad Shidqī ibn Ahmad ibn Muhammad al-Būrnū, cet. V
Mu-assasah al-Risālah, Beirut, 1419 H/1998 M, hlm. 80 – 81 dan literatur
lainnya.]
Dengan demikian, jika metode hisab (sarana) pada saat ini telah memberikan derajat keyakinan dan kepastian (qath`iy)
terhadap penentuan awal bulan (tujuan), bahkan ia juga mendatangkan
kemudahan dan kemaslahatan, maka berdasarkan kaidah fiqh tersebut, ia
memiliki implikasi hukum yang valid.
Kalangan yang tidak sependapat sekali
lagi akan menyatakan keberatannya dengan menggunakan alasan sebelumnya,
bahwa meskipun hisab adalah sarana dan bukan tujuan, namun mereka
bersikeras bahwa hisab adalah sarana yang dinafikan oleh Nabi r. Jawaban
kami masih sama, bahwa penafian tersebut memiliki `illat dan latar belakang kondisi yang berbeda.
Sekiranya kita bisa
mengompromikan serta mengharmonisasikan antara dalil dan realitas (juga
sains), bukankah itu yang lebih utama untuk ditempuh? Toh semuanya berasal sumber yang satu: Dzat yang Maha Esa, Allah `Azza wa Jalla.
Jika kita bersikeras agar metode rukyat
diterapkan pada zaman ini, saya khawatir orang-orang yang tidak suka
dengan Islam akan mendapat amunisi untuk melakukan propaganda negatif
dan stigmatisasi terhadap Islam. Bisa jadi mereka akan menyatakan bahwa
Islam merupakan agama yang teralienasi dari sains, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah (sasaran) bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Rabb kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS al-Mumtahanah/60: 5.]
Baik, sebelum pembaca menikmati sendiri tulisan Syaykh Ahmad Syākir rahimahullāh, untuk mempermudah pembaca ada baiknya saya sampaikan enam poin kesimpulan dari risalah beliau, yang saya pada umumnya setuju dengan pendapat-pendapat beliau tersebut.
Pertama: Penggunaan metode hisab dalam penentuan awal bulan Hijriah pada masa sekarang merupakan suatu keniscayaan.
Kedua: Metode rukyat masih
berlaku bagi komunitas orang yang tidak sampai kepadanya informasi
tentang penetapan awal bulan berdasarkan hisab, sementara di kalangan
tersebut tidak terdapat individu yang kompeten untuk melakukan hisab.
Misalnya kaum Muslim yang hidup di pedalaman atau pegunungan.
Ketiga: Metode hisab yang
diberlakukan adalah hisab hakiki terhadap wujud hilal (sebagaimana
halnya yang digunakan oleh organisasi Muhammadiyah di Indonesia).
Keempat: Lokasi acuan untuk
penentuan awal bulan dengan metode hisab adalah kawasan Mekah,
sebagaimana halnya Ka`bah menjadi kiblat bagi kaum Muslim. (Beliau
memaparkan argumentasi yang sangat menarik untuk menjelaskan hal ini,
dengan merujuk pada teks Quran dan Sunnah.)
Kelima: Penetapan awal bulan dimaksud berlaku untuk seluruh negeri Muslim.
Keenam: Kriteria imkān al-ru`yah
(kriteria visibilitas rukyat; sebagaimana yang saat ini banyak
didengungkan) adalah kriteria yang tidak perlu dianggap dalam metode
hisab. Sebab, bulan baru terealisasi dengan semata wujud hilal, dengan
tanpa memperdulikan kemungkinan apakah hilal itu terlihat atau tidak.
(Menurut saya, penambahan kriteria imkān al-ru`yah, sebagai bentuk penggabungan metode rukyat dan hisab, justru merupakan paradoks. Kriteria imkān al-ru`yah
juga berkorelasi erat dengan pendapat yang menyatakan bahwa metode
hisab dapat digunakan hanya untuk penafian, dan bukan untuk penetapan,
sebagaimana dianut oleh sejumlah ulama kontemporer. Ini juga paradoks. Wallāhu a`lam.)
Argumentasi dan paparan beliau untuk poin-poin di atas dapat dilihat langsung pada risalah beliau.
Sekiranya saja pendapat Syaykh Ahmad Syākir rahimahullāh
dalam masalah ini dapat diterima oleh umat Islam, niscaya setiap Muslim
di seluruh penjuru bumi akan bersatu padu dalam penetapan waktu
Ramadhan, hari raya, dan lain sebagainya.
Demikian, saya juga berharap sekiranya
saja ada penerbit buku-buku Islam yang bersedia menerjemahkan dan
menerbitkan risalah ilmiah karya beliau untuk dapat dinikmati oleh
khalayak ramai dan menjadi kekayaan khazanah literatur Islam di
Indonesia.
إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan sesuai kesanggupanku. Dan tidak ada taufik
bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” [QS Hūd/11: 88.]
Bekasi, Kamis sore menjelang Maghrib, 29 Sya`bān 1433 H, bertepatan dengan 19 Juli 2012.
Salam,
~adni kurniawan
http://adniku.blogspot.com
****************************************
[Risalah ilmiah Syaykh Ahmad Syākir rahimahullāh: Awā-il al-Syuhūr al-`Arabiyyah... telah kami upload melalui artikel yang terpisah, beberapa saat setelah artikel ini terbit.
Rencana awalnya, risalah tersebut kami jadikan satu dengan pengantar di
atas. Namun dikarenakan panjangnya artikel, kami memilih untuk
menyendirikan risalah beliau pada artikel yang terpisah.]
Post a Comment