MALAM LEBIH SERIBU BULAN
Diakah itu yang tiba?
setelah surya jatuh di balik cakrawala
Diakah yang mengetuk lembut pintu jiwa?
dengan penampilan syahdu dan serba rahasia
Aku mendambanya
sambil menyeret megahnya durjana
Aku merindunya
dengan membawa amal demikian sedikitnya
Aku mencari-carinya
dalam malam damai yang menua
Harapku, sebagai pendosa
Bilakah dengan hadirnya, dia
Tuhan menyeka gersangnya air mata
dalam liputan rahmat-Nya yang tak terkira
Bekasi, dini hari, 27 Ramadan 1442 H
9 Mei 2021
AdniKu
—————————
MALAM SEPERTI TAHUNAN SILAM
Pandemi sayangnya tak mencegah
malam ini dari ramai petasan pecah
seperti saat kita masih berseragam sekolah
Dahulu kita memilih duduk di atap rumah
setelah senja tak lagi sisakan merah
Kita lantas lama bicara tentang cita-cita megah
kendati rintik buyarkan malam cerah
Kita bertukar ungkapan
harapan-harapan
keinginan-keinginan
sekaligus penyesalan-penyesalan
Kita sahabat dekat
yang diikat dingin malam memekat
serta pada panas siang yang memenat
juga gemuruh hujan yang melebat
Kita jalinan simpul-simpul lama
yang kini mulai kadaluarsa
meski dulu kita rangkai sekuat tenaga
ia akan tetap terurai seiring masa
perlahan atau bisa seketika
Kita sebagaimana banyak manusia
melontarkan cita-cita ke angkasa
agar mencapai bulan atau himalaya
tapi seringkali itu jatuh ke pusara
membumi bersama pemiliknya
Bekasi, jelang tengah malam pergantian tahun
31/12/2020
AdniKu
—————————
TERUNTUK IBU
Ibuku alam dunia pertama
sebelum aku bisa membaui udara
Dekapnya sudah terakrabi sejak mula
sebelum aku mampu pandangi angkasa
Sebutannya telah terpanggil dengan kata perdana
sebelum aku cakap mengeja aksara
Ibu mengenalkan manusia beserta jenis karakternya
juga mengajarkan bintang, bulan dan surya
dengan semesta yang ada dalam hatinya
Ketika gelap menyergap malam yang tua
ibu adalah sang purnama
ksatria cahaya melawan gulita
Jika ombak hidup jadi badai bergemuruh
ibu adalah bahtera yang kukuh
agar pelayaran terus melaju sampai jauh
Apabila sesat menghantui perjalanan
Ibu adalah kompas dalam ransel perbekalan
teman yang setia menunjuk arah utara-selatan
Bagi anak-anak yang merantau
ibu adalah kampung halaman nan hijau
Sebab air matanya telaga dan mata air
untuk cinta yang mengalir tanpa akhir
Bu, bulan ini aku tak pulang
ada perkara ini-itu mengadang
lewat telepon kita bisa tetap bicara
tentang kembang-kembang dekat jendela
atau apa saja yang melintas di kepala
Bu, durhakaku mungkin bertambah
tapi semoga doa baikmu terus membuncah
Bekasi, jelang tengah malam
22/12/2020
AdniKu
—————————
MEMBINCANG HUJAN
Kita bercengkerama
berdua
tentang hujan yang bertamu tiba-tiba
mengetuk genteng dan jendela
Kataku, hujan itu irama kenangan
Balasmu, ia banjir dan genangan di jalan
Ucapku, hujan mengandung bulir kerinduan
Sergahmu, ia memuat masa lalu menyedihkan
Ujarku, hujan menyepadani senja yang cemerlang
Sanggahmu, ia menutupi malam bergemintang
Timpalku, pada hujan bocah berlarian riang
Pungkasmu, di dalamnya ada gigil meradang
Setidaknya
bagi kita
hujan adalah diskusi serta cerita
bersama kursi dan meja
juga sekotak biskuit kelapa
Bekasi, 20 Desember 2020
AdniKu
(Ide puisi ini muncul kemarin di alam pikiran ketika sedang berkendara dan disergap hujan deras yang turun tiba-tiba)
—————————
PANDEMI, DAN ANTRIAN KEMATIAN
Belakangan ini
banyak sekali kabar orang mati
di tengah pandemi
silih berganti
tiap hari
Kemarin kawan beda propinsi
sekarang tetangga sekitar sini
esok entah siapa lagi
Sebagian masih terbaring dalam isolasi
selainnya telah terkubur bumi
Pun kita sejatinya terus mengantri
mungkin lusa atau nanti musim semi
atau setelah tahun-tahun berganti
Kematian
tentu saja menakutkan
tapi sesudahnya lebih mengerikan
Jauhnya perjalanan
sedikitnya perbekalan
menumpuknya kedurhakaan
minimnya amal saleh dan ketakwaan
namun semoga terkabul sebentuk harapan
terhadap welas asih serta pengampunan
dari Yang Maha Menyayangi dan Memaafkan
Bekasi, menjelang tengah malam
18/12/2020
AdniKu
—————————
KISAH TANAH BEDEBAH
Kemarin Tuan bicara dusta
keesokannya pura-pura lupa
Hari ini Tuan ngomong sekenanya
besok direvisi secara tiba-tiba
Tuan bilang memutuskan sebaik-baiknya
namun meneken tanpa membaca
Tuan mengaku peduli rakyat kecil
ternyata jatah bantuannya tega diambil
Tuan meneriakkan patuhi regulasi
sambil menginjak-injaknya tanpa alas kaki
Tuan menjanjikan tegaknya keadilan
dengan menembakkan senapan di jalanan
Tuan ini, Puan itu, wajahnya berbeda-beda
tetapi perut mereka sama
padu dalam rakus menggila
O, negeri yang entah
katanya antah-berantah
tanah yang terjarah oleh bedebah
Bekasi, 16 Desember 2020
AdniKu
—————————
AKAN TIBA SAATNYA
Akan tiba saatnya
aku akan menutup gerbang usia
namun dalam baris-baris aksara
kau tetap aku sapa
Akan tiba saatnya
suaraku hilang tak menggetarkan udara
tapi melalui sajak kata-kata
kau masih terus aku damba
Akan tiba saatnya
tanganku tak mampu menggoreskan pena
namun di antara bekas-bekas tinta
sanjungan untukmu masih terpelihara
Akan tiba saatnya
langkahku terpisah dari semua manusia
tinggallah amal yang mendampingi senantiasa
semoga ia layaknya kawan baik nan setia
Akan tiba saatnya
ragaku satu per satu perlahan sirna
maka sudilah kiranya Tuan kirimkan seuntai doa
sebagai pemberian berharga tak terkira
(Bekasi, jelang tengah malam, 5 Desember 2020)
—————————
SENJA DAN BINTANG
Senja hadir lebih bermakna
dalam tatap mereka yang gulana
para persona yang tercabik luka
Serta, bagi yang sedang bimbang
malam bertabur gemintang
jadi hiburan untuk dipandang
(18 Oktober 2020)
—————————
SAPARDI
Kepada Tuan Sapardi
kita pernah belajar menulis puisi
bersama "Hujan Bulan Juni"
atau "Tentang Matahari"
yang "Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari"
Pesannya masih terekam di kepala
jaga jarak dengan aksara!
mungkin lima sampai sepuluh hasta
tidak jauh hingga alpa
bukan pula lekat yang mencedera rasa
contohlah "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana"
yang ia talkinkan bagi penderita asmara
Kini
ia telah pergi
"Pada Suatu Pagi Hari"
menyisakan bertumpuk puisi
pada lemari tak berkunci
Bekasi,
Tahun 2020, 19 Juli
(Bertepatan dengan hari wafatnya Sapardi)
Adni
—————————
PESAN SINGKAT UNTUK ANAKKU
Anakku,
aku ingin mengajarimu sekira mampu
untuk menjajah dunia dengan kata-kata
Sebab coretan pena
tak lebih lemah dari kokang senjata
Bilakah kelak kuasamu dengan narasi
juga puisi
bukan dengan arogansi tirani
yang makin sesakkan bumi
Ingat, perjuangan nalar sehat dan nurani
kadang jadi perjalanan nan sunyi
04/05/2016
—————————
TENTANGMU DAN PUISI CINTA
Kepadamu, aku tak menulis puisi cinta
karena kata bukan rumah
yang kita tempati bersama
Untukmu, aku juga tak merangkai puisi cinta
karena kata pun bukan senyum bocah
yang melipur letih dan lara
Bagimu, aku pun tak menggubah puisi cinta
karena kata tak akan pernah
menahan kita menua bersama oleh masa
(2 April 2014)
—————————
HUJAN JUMAT MALAM
Kau datang dengan berani
gelap pantang membuatmu terhalang
Kau menerjang sepenuh hati
tak peduli akhir pekan yang panjang
Kami mencarimu
dalam kepung kabut asap yang risau
Kami merindumu
dalam sekarat kering pohon kemarau
Kau hebat
tubuhmu halus memikat
meski suaramu keras membabat
Nah, sekarang aku ingin segera lewat
(menunggu hujan reda di stasiun kereta, 2014, 28 Maret)
—————————
KAU MAMPU SELAIN WAKTU
Kau mampu
menjelma angin mendesau
semburkan gigil rindu
merasuk sum-sum tulangku
Kau bisa
berubah api menyala
menebar hangat sepenuh dada
Tapi tak mungkin bagimu
meniru jajari waktu
menempel di tiap jejak sepatu
(Bis kota Jakarta – Bekasi, 3 Okt 2011)
—————————
SENIN LENGANG
Malam jalan lengang
bis menerjang garang
harapan aneh tertanya
bagaimana bisa?
Hei, ini hari kerja pertama!
Pagi orang-orang ngebut
berebut, saling sikut
rampas jengkal tanah sisa
digilas roda-roda menggila
Sore mereka coba kalahkan senja
pulang pukul lima, empat atau bahkan tiga
libur itu masih nangkring manis di kepala
atau, mungkin karena tadi gerimis tak rata
juga boleh jadi ada adu bola
di entah seberang samudera mana
Ah, aku tak perlu terlalu peduli
jalan hanya sedang enggan ditemani ramai
(Bekasi, Senin, 3 Okt 2011)
—————————
HILANG KATA
Malam menua
aku hilang kata
cinta tak beralamat
aku tersesat
Tuturmu memesona
metafora menari di ujung senja
aku ingin mendahuluimu ke samudera aksara
(17 Sep 2011, bis kota Jakarta – Bekasi)
—————————
PUISIKU
Puisiku hanyalah beku yang kucairkan,
bisu yang kubunyikan
diam yang kuledakkan
sunyi yang kudentingkan.
Untuk menyita pandangmu,
pada satu kerjap detak waktu.
(17 Sep 2011, bus kota Jakarta – Bekasi)
—————————
PUISI YANG KAU TANYA
Mungkin kau lupa pernah bertanya
dalam suatu waktu yang tiada
Puisi, apakah ia dan mengapa?
Jawabku, puisi adalah rasa
yang kau titip pada baris aksara
untuk diecap oleh jiwa
setelah meloncati kubangan logika
Ia adalah syahdu
luruh seperti tarian butir salju
di penghujung tahun itu
Ia adalah duka
deras seperti hujan yang luka
menyisakan genangan di mana-mana
Ia adalah suka
anak-anak kecil berlari gembira
menyusuri pantai senja kala
Ia adalah romansa
penuh warna
meski tak berupa
Kadang, puisi hanyalah teka-teki perasaan
bersembuyi dalam labirin dan hutan
huruf-huruf yang membingungkan
(Jakarta, 2 Desember 2010)
—————————
SOBAT
Sobat,
kau pergi begitu cepat
dengan sejumput murka yang kau lekat
hidup memang sering undang perih
merayu duka dengan sedih
Lebih lagi, tiada hadirmu
itu sayatan pilu pada sendu
sebab pedih mencair bila berbagi
luka mengering saat dicumbui angin semi
Sobat,
beban kadang sangat berat
gerbang mengunci rapat
kita tak dapat rehat
Tapi, ini hanya tentang waktu
tunggu, tunggu
pintu kesempatan terbaik nanti buka
hanya, mampukah kita percaya?
Karena, selepas ulat, kupu-kupu mengangkasa,
semoga…
(27 Okt 2010)
—————————
MACET
Macet,
adalah serih-serpih ketika
aku dipaksa mengingatmu, kita
membuka lembar-lembar berserakan
dalam lipatan labirin yang membingungkan
Kita kenang melukis durja pada wajah senja
hingga kau tanya,
Kenapa sedih hadir di negeri bahagia?
Hei, bukankah hanya tersebut gembira,
dari pengorbanan derita?
Macet,
adalah saat bermain petak umpet
kau mencari-cari diri
diri sendiri yang entah, bersembunyi, atau tersembunyi
sembunyi di gelap lorong masa yang pekat
Macet,
adalah momen kau menihil, menggigil
dalam peluk semesta yang terlupa
(Jakarta, 26 Okt 2010, memaknai macet kemarin)
—————————
KENAPA PEDULI?
Kenapa kau peduli?
Jika hujan enggan berhenti
merintik siang ke malam hingga pagi
pada bulan yang bermandi mentari
Kenapa kau peduli?
Jika air mata bukan kau punyai
menumbuhi benih rahim bumi
pada lahan usang tak terurusi
Kenapa kau peduli?
Jika sebuah cinta layu kemudian mati
menyampahi kisi-ruang hati
pada jiwa letih yang tak terkenali
Sekali lagi,
Kenapa kau harus peduli?
Ah, pertanyaanmu itu sulit sekali
Bagaimana bila begini,
Mungkinkah kau penyembuh sakti,
atau justru sejenis bakteri?
Bilakah saatnya bagimu untuk pergi?
Entah, aku ingin menyobek sepi
(Jakarta, 14 Oktober 2010)
—————————
CANDU
Cinta itu candu
memanahmu dengan jitu
lalu tercacah seperti bambu
Cinta itu candu
mengaliri pembuluh nadimu
lalu meracunimu hingga ke ulu
Cinta itu candu
membuatmu terus merindu
coba membincanginya meski ia membisu
Cinta itu candu
menjadikanmu risau selalu
untuk menatapinya dalam sendu
Cinta itu candu
merasaimu getar semanis madu
untuk melumurimu sepenuh empedu
Cinta itu candu
mengangkuhkanmu seolah kuasai waktu
tapi tiba-tiba membuatmu terbujur kaku
(Jakarta, 14 Okt 2010)
—————————
HUJAN
Inilah hujan
pimpinan dari arakan mendung kehitaman
rasul kepada kampung kesedihan
penerbit bagi lembar romantisme murahan
Dia bingkisan rahmat-Nya
ia sirami bunga-bunga
ia undang pelangi berwarna
Dia kiriman teguran-Nya
ia seret badai yang meronta
Air mata langit untuk duka di bumi
pasukan yang berempati atas segala tragedi
penyegar sayatan sembilu
pelubang batu-batu
namun pasti, itulah penanda jejakmu…
(Untuk seseorang yang mungkin suatu hari namanya terlupakan, 17 Desember 2008)
—————————
DULU ADA CINTA
Dulu, di sini ada cinta
ternyata ia air sejuknya menguap udara
atau api hangatnya tak senantiasa menyala
atau musim semi mengantar datangnya masa kebekuan
atau jalan berliku terhenti kebuntuan
Dulu, pernah ada cinta
ketika bunga hendak mekarkan kuncupnya
saat mentari mulai mendaki edarnya
Dulu, memang ada cinta
tapi lalu sirna entah ke mana
mungkin ruang waktu menyembunyikannya
(18 Okt 2008, dalam bis kota)
—————————
AKSARA DAN KATA
Akulah cinta dipanahkan busur jiwa
Akulah utusan cahaya
Akulah raja yang bertitah di tahta
Akulah ular yang liar berbisa
Akulah jembatan senantiasa di antara
Akulah harapan yang terlahir dan tersirna
Akulah pedang tajam tak berkira
Akulah permohonan tak berhingga
Akulah wajah-wajah berupa-rupa
Kugetar udara
Kucoret lembaran rasa
Kupekerjakan dunia
Kugandeng gulita
Kukobar api membakar suasana
Kugurat suka
Kusepuh luka
Aku terlelap dalam gempita
Aku terbunuh diam bisu memurka
Aku adalah aksara terbelenggu dalam kata…
(Okt 2008, dalam bis, pulang kerja)
—————————
LELAKI DAN HUJAN
Kelam
tapi belum hitam
padahal malam belum jua mendatang
hanya mendung mengerang
melepas bagian tubuhnya
bergerombol jatuh satu satu
memalu batu
membungakan kelopak seribu
Lelaki itu
menantang angkasa
melontar bara bara
matanya menikam darah
marah yang merah
ke udara ia ledakkan amarah
memendar delapan arah
tapi raungnya tertelan
riuh sinar bentakan
Ia terlambat menyadari
murka yang tak berarti
karena hujan tengah menumbuhkan pelangi…
(Juni 2008)
—————————
BUKAN ROMAN PICISAN BELAKA
(RELATIVITAS CINTA)
Sebagian kita menyangka
cinta itu konstan semata
adalah sama selamanya
padahal roman picisan belaka
Kita lalai menyadari
semua di hati berfluktuasi
datang, dan pergi
menurun, serta mendaki
baik iman, cinta, pun benci
Seiring derap laju masa
kawan bisa jadi musuh durjana
setelah musim bertukar warna
sayang dapat berubah murka
Cinta dan benci
dua sisi dari koin diri
penampakannya kadang silih berganti
relativitas yang tak terhindari
(2008, ditulis sambil menunggu antrian gado-gado pesanan, di sebuah warung kaki lima pinggir jalan; dan diperbaiki tanggal 6 Maret 2021)
—————————
LONG ROAD TO HEAVEN
Waktu berjalan
terasa begitu lambat, pelan
seolah panjang kekekalan
tapi sebenarnya selekas arakan awan
ada, lalu berpendar dalam ketiadaan
Jalan ini penuh payah
berhias darah
hanya saja bisa lebih manis dari madu
namun bagi penikmat rindu
Sedikit sekali yang mencapai
banyak yang terhenti, terkapar, terkulai
Bilakah kita sampai…?
(Di kantor, Jakarta, 28 November 2007)
—————————
Pasti, selalu ‘kan hadir hampa
bila terjelma jauh dari-Nya
Antara kau dan dirimu ada jarak tak berhingga
rentang yang tiada
kehilangan tak berupa
kesepian bernyawa dan bersenyawa
Tak dapat ditolak pun dihindari
meski pergi sejauh bumi
Terdapat luka tak terobati
lubang menganga tak tertutupi
Walau reguk seluruh manis dunia
pada ramai bergempita
Tak pernah ada pilihan bagi kebahagiaan
selain di sanding Sumber Keindahan
(Jumat, 23 November 2007, dalam bis yang meluncur menuju kota Bekasi)
—————————
Ada rasa belum terungkap
gundah tak tersingkap
Raut itu…
Apakah cermin waktu lalu?
Kau?
Tidak, sebab tersisa darimu hanya nama
bukan gambar, bayang atau penanda
(Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)
—————————
Kabut merambati puncak ini
mencoba menyelimuti
Seperti hati
dari tanya yang memerlukan tanya
mengapa?
(Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)
—————————
LORONG WAKTU
Terseretku oleh lorong waktu,
menemuimu
Kupaksamu susuri masa lalu
masuki ruang rindu
tak terawat, berdebu
Ada bekas jejakmu jelas di sana
kau tak melihatnya?
Ada gambarmu terlipat rapi di bilik jiwa
kau tak menyadarinya?
Ada ketika merenda kala dengan tawa
atau duka
Ah, ternyata hari terlalu cepat bergegas pergi
melaju, berlari
untuk merajut sekaligus mengurai benang memori
Tapi, lorong waktu tak pernah terkunci
penghubung aku, kau dan sunyi
(Menuju Jakarta, berangkat kerja, 30 April 2007)
—————————
BILA BEDA ADALAH MURKA
Teruntuk saudara yang saling merobek dunia dengan sengketa
Mereka yang dirambah murka saat beda-beda kata terjelma
mengklaim berjalan pada satu-satunya lentera
tanpa siapapun jua
Saat rindang kehormatan jadi semak usang terinjak percuma
Ketika sejuk senyum jelma geram api membuncah angkasa
Bila saja kau sadari bahwa antara kita tak perlu ada bara
Sekiranya kau mengerti indah persahabatan dalam cahaya
Andai saja persaudaraan adalah bak surya sapu gelap dunia
tanpa minta balas jasa
Tentu tak perlu kau rentang jauh luka nan cerca antara kita
Cuma karena beda yang biasa
Sebab kita sama…
(revisi dari luap hati dalam bus kota yang merangkak menembus malam yang mulai mengeja sunyi)
—————————
Bila dunia menusukmu seribu sembilu
Jika ramai pijar menyudutmu sunyi jelaga lorong batu
Masih ada Surga patut dirindu tuk lipur laramu
Bila kilau permata tak sirna hampa kalbu
Jika nanyian rayu tak lagi luluhkan galau
Masih ada taman langit ‘tuk pilihan abadimu
(cuap malam hari di bis kota nan berdebu, 9 Okt 2007)
—————————
Apa arti pujangga?
Bila kata dianggap sastra
karena ketidakmampuan bicara sewajarnya
Jika ungkapan dianggap istimewa
justru karena keganjilan dari yang biasa
(Jakarta menuju Bekasi, 15 Agustus 2006)
—————————
Bila mungkin, jadilah lentera,
tak mengapa sirna demi cahaya
jelmakan suka cita
atau samudra,
menanggung lara sungai-sungai bermuara
‘tuk tenteram dunia
(Jakarta, 20 Juli 2006)
—————————
CINTA…
Cinta tak pernah membuat kecewa
sebab sejatinya cinta adalah ketulusan tiada terkira
Kau sampaikan pengharapanmu untuk berada di sisinya
tapi kau biarkan ia terbang arungi dunia
dan kau hanya bisa menunggu kedatangannya
Cinta adalah kau rela menanggung derita, menahan perihnya air mata,
untuk bahagianya
Cinta adalah harapan mulia,
yang membuatmu tidak pernah berhenti berusaha meraihnya
meski cinta sendiri tak pernah memaksa…
Sejatinya cinta adalah lentera, yang mengorbankan dirinya,
untuk menghapus gulita…
adalah angin bertiup manja,
untuk memekarkan kuncup menjadi bunga…
adalah pedang baja,
untuk menebas segala angkara…
Berapa banyak yang mengklaim cinta
Tapi sebenarnya keinginan memiliki semata…
Janganlah kau cintainya hanya karena Sang Kuasa
tapi juga jangan mencintai karena dirinya
Cintailah ia karena-Nya dan karena ia pantas dicinta…
(Jakarta, dalam bus kota di jalanan yang macet, nasehat kepada seorang kawan yang sedang patah hati, 1 Maret 2006)
—————————
PUISI-PUISI PILIHAN DARI SEJUMLAH TOKOH:
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono)
—————————
PADA SUATU HARI NANTI
pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
(Sapardi Djoko Damono)
——————————————————
AKULAH SI TELAGA
akulah Si Telaga
berlayarlah di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menyerakkan bunga-bunga pantai
berlayarlah sambil memandang harunya cahaya
sesampai di seberang sana tinggalkan begitu saja perahu
biar aku yang menjaganya
(Sapardi Djoko Damono)
—————————
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono)
—————————
DOA
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Cahayamu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
aku mengembara dinegeri asing
Tuhanku dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
November 1943
(Chairil Anwar)
—————————
AKU
Kalau sampai waktuku ku
mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerajang
Luka dan bisa kubawa berlari berlari
hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mahu hidup seribu tahun lagi
March 1943
(Chairil Anwar)
—————————
SEEKOR MERPATI TERLUKA
seekor merpati terluka
hinggap di ujung tombak
tombak pun jadi bunga yang mengerami doa-doa
di langit merah membias diam yang tak bisa kuterka
(D. Zawawi Imron)
—————————
PUISI CINTA
Kekasihku
kalau mendung hitam di atas kepala
jangan larang hujan turun ke bumi
kalau angin bertiup dengan kencangnya
jangan larang daun-daun kering berguguran
kalau senyummu selalu mekar di hatiku
jangan larang jika aku selalu rindu dan mencintaimu
Kekasihku
izinkan aku
mencium sebutir debu yang melekat di ujung sepatumu
(D. Zawawi Imron)
—————————
KAU INI BAGAIMANA ATAU AKU HARUS BAGAIMANA
Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka
kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berfkir
Aku berfikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah
Aku bergerak kau waspadai
Kau bilang jangan banyak tingkah
Aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip
Aku memegang prinsip
kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran
Aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju
Aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja
Aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku taqwa
Khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu
Langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum
Kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin
Kau mencontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat
Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai
Kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun
Aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung
Aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah
Sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah
Aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi
permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggungjawab
kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bis Showab
Kau ini bagaimana?
Aku kau suruh jujur
Aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar
Aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku
Sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku
Aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah
Aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara
Aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah
Aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya
Aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau
Kau tidak mau
Aku bilang terserah kita
Kau tak suka
Aku bilang terserah aku
Kau memakiku
Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?
(Gus Mus, 1987)
—————————
NEGERI HAHA HIHI
Bukan karena banyaknya grup lawak,
maka negriku selalu kocak
Justru grup-grup lawak hanya mengganggu
dan banyak yang bikin muak
Negeriku lucu, dan para pemimpinnya suka mengocok perut
Banyak yang terus pamer kebodohan
dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terur pamer keberanian
dengan kebodohan yang mengharukan
Banyak yang terus pamer kekerdilan
dengan teriakan yang memilukan
Banyak yang terus pamer kepengecutan
dengan lagak yang memuakkan. Ha ha ...
Penegak keadilan jalannya miring
Penuntut keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil rakyat baunya pesing. Hi hi ...
Kalian jual janji-janji
untuk menebus kepentingan sendiri
Kalian hafal pepatah-petitih
untuk mengelabui mereka yang tertindih
Pepatah petitih, ha ha ...
Anjing menggonggong kafilah berlalu,
Sambil menggonggong kalian terus berlalu
Ha ha, hi hi ...
Ada udang dibalik batu,
Otaknya udang kepalanya batu
Ha ha, hi hi
Sekali dayung dua pulau terlampaui
Sekali untung dua pulau terbeli
Ha ha, hi hi
Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
kalian mati meninggalkan hutang
Ha ha, hi hi
Hujan emas dinegeri orang, hujan batu dinegri sendiri
Lebih baik yuk hujan-hujanan caci maki
Ha ha, hi hi
(Gus Mus/KH A Mustofa Bisri)
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google di sini
Post a Comment