Seperti yang telah saya singgung pada
artikel sebelumnya, berikut ini adalah alih bahasa yang saya lakukan
terhadap risalah ilmiah Syekh Ahmad Muhammad Syākir yang berjudul: Awā-il al-Syuhūr al-`Arabiyyah Hal Yajūzu Syar`an Itsbātuhā bi al-Hisāb al-Falakiy.
Versi hasil scan dari risalah
yang berbicara tentang penggunaan metode hisab untuk penentuan awal
Hijriah ini dapat diunduh antara lain melalui alamat: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=91477 (versi cetakan ke-2 Maktabah Ibn Taymiyyah, tahun 1407 H).
Versi teks Arab dari risalah tersebut juga saya cantumkan di bawah, setelah edisi bahasa Indonesia. (Asalnya dari situs: http://ahmadmuhammadshakir.blogspot.com/)
Semoga Allah menjadikan usaha saya untuk
mengalihbahasakan risalah ini sebagai amal saleh yang memberi manfaat
kepada umat pada umumnya, dan juga khususnya bagi diri saya sendiri
kelak pada hari Kiamat. Āmīn.
~adni kurniawan,
http://adniku.blogspot.com
————————————————————
PENGGUNAAN METODE HISAB UNTUK PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
*******
Judul Asli: Awā-il al-Syuhūr al-`Arabiyyah Hal Yajūzu Syar`an Itsbātuhā bi al-Hisāb al-Falakiy
Karya: Syekh Ahmad Muhammad Syākir rahimahullāh
Alih Bahasa: Adni Kurniawan [http://adniku.blogspot.com, adni.kurniawan@gmail.com]
Keterangan Lainnya: Cetak tebal (bold) adalah dari penerjemah
*******
Bismillāhirrahmānirrahīm.
Mahkamah Tinggi Syariah di Mesir menetapkan bahwa permulaan bulan Dzul Hijjah tahun ini (1357 H) jatuh pada hari Sabtu, sehingga `Īdul Adlha jatuh pada hari Senin (30 Januari 1939).
Beberapa hari kemudian, dipublikasikan
di al-Muqattam bahwa pemerintah Arab Saudi belum menetapkan bahwa hari
Sabtu sebagai permulaan bulan Dzul Hijjah
[karena hilal belum terlihat di sana], sehingga awal bulan jatuh pada
hari Ahad. Dengan demikian, wuquf di `Arafah jatuh pada hari Senin,
sedangkan `Īdul Adlha jatuh pada hari Selasa (31 Januari 1939).
Pada hari Jumat, 21 Dzul Hijjah
(10 Februari 1939) surat kabar al-Balāgh mempublikasikan kabar dari
korespondennya di Bombay, India, bahwa pada awal Februari 1939 kaum
Muslim di Bombay berbeda pendapat tentang hari `Īdul Adlha. Kemudian ditetapkanlah `Īdul Adlha
itu jatuh pada hari Rabu, berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam
lainnya. Maknanya adalah, kaum Muslim di sana belum dapat menetapkan
bahwa awal bulan jatuh pada hari Sabtu maupun Ahad [karena hilal belum
terlihat], sehingga ditetapkanlah bahwa awal bulan jatuh pada hari
Senin.
Demikianlah yang terjadi pada kebanyakan
bulan-bulan yang terkait dengan musim-musim ibadah, di mana kaum Muslim
merukyat hilal di berbagai negeri-negeri Islam. Kadang, hilal tersebut
terlihat di salah satu negeri, namun negeri yang lain belum dapat
merukyatnya. Akibatnya, terjadi perbedaan penentuan waktu pelaksanaan
musim ibadah di negeri-negeri kaum Muslim. Sebagian negeri berpuasa
ketika sebagian lain sedang berbuka. Sebagian negeri melaksanakan `Īdul
Adlha ketika sebagian lain sedang berpuasa hari `Arafah.
Ulama telah menuliskan
pembahasan yang sangat berharga tentang mekanisme penetapan hilal, baik
melalui literatur tafsir, hadits, fiqh maupun selainnya. Kalimat mereka
sepakat, atau hampir sepakat, bahwa yang menjadi patokan dalam penetapan
bulan hanyalah rukyat semata; dan bahwa metode hisab posisi bulan maupun perhitungan munajjim (ahli nujum, ahli perbintangan) tidak dapat dianggap. Hanya saja, dihikayatkan adanya suatu pendapat dalam madzhab Syāfi`iy bahwa boleh bagi ahli hisab atau munajjim
untuk mengamalkan hasil hisabnya itu bagi dirinya sendiri. Ada pula
pendapat lain di kalangan mereka bahwa diperbolehkan bagi selain ahli
hisab dan munajjim untuk bertaklid kepada keduanya; serta ada pula yang menyatakan bahwa yang boleh diikuti adalah ahli hisab, sementara munajjim tidak boleh diikuti. [Lihat: al-Majmū`, karya al-Nawawiy, vol. VI, hlm. 279 – 280.]
Yang menjadi pegangan dalam bab ini adalah hadits-hadits shahih yang tidak diragukan lagi validitasnya:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنَّ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ.
“Berpuasalah kalian ketika melihat
hilal dan berbukalah ketika kalian melihatnya. Jika kondisi mendung
menghalangi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya`bān menjadi
tiga puluh hari.”
لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ.
“Janganlah kalian berpuasa hingga
kalian melihat hilal, dan jangan kalian berbuka hingga kalian
melihatnya. Jika kondisi mendung, maka perhitungkanlah.”
Terdapat redaksi hadits-hadits shahih lainnya yang semakna dengan hadits di atas. [Lihat: Shahīh al-Bukhāriy, vol. III, hlm. 27 – 28, cet. al-Sulthāniyyah; Nayl al-Awthār, vol. IV, hlm. 258 – 267, karya al-Syawkāniy; Nashb al-Rāyah vol. II, hlm. 437 – 440; dan Tharh al-Tatsrīb, vol. IV, hlm. 111 - 114.]
Kemudian terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait hal ini: apakah perbedaan mathla`
itu diperhitungkan atau tidak? Artinya, apabila hilal terlihat di suatu
negeri, apakah hukum rukyat tersebut juga berlaku bagi negeri lainnya
atau tidak, meskipun jarak kedua negeri tersebut jauh, dan mathla`
keduanya berbeda? Ataukah, masing-masing negeri memiliki rukyat
sendiri-sendiri, sehingga hasil rukyat yang ada di Mesir dapat berbeda
dengan Hijaz, Irak dan selainnya?
Kalangan madzhab Syāfi`iy
berpendapat bahwa setiap negeri memiliki rukyat masing-masing. Namun
mereka berselisih tentang perhitungan dekat dan jauhnya jarak antar
negeri yang berimplikasi pada perbedaan rukyat: apakah yang menjadi
patokan adalah perbedaan mathla`, atau perbedaan musim, atau jarak yang menyebabkan seorang dapat meng-qashr shalat?
Al-Nawawiy berkata dalam al-Majmū`,
setelah merinci perbedaan pendapat dimaksud, “Cabang: Tentang Madzhab
Ulama Jika Penduduk Suatu Negeri Melihat Hilal sementara Negeri yang
Lain Tidak Melihatnya. Kami telah menyebutkan rincian pendapat dalam
madzhab kami mengenai hal tersebut. Ibn al-Mundzir menukil dari
`Ikrimah, al-Qāsim, Sālim dan Ishaq
ibn Rāhawayh bahwa rukyat hilal tersebut tidak melazimkan penduduk
negeri lainnya; sedangkan dinukil dari al-Layts, al-Syāfi`iy, dan Ahmad
bahwa mereka berpendapat sebaliknya. Ia berkata, ‘Saya tidak mengetahui
hal itu kecuali merupakan pendapat ahli Madinah dan ahli Kūfah.’ Maksud
beliau adalah Imam Mālik dan Abū Hanīfah.” [Lihat: al-Majmū`, vol. VI, hlm. 273 – 274. Lihat pula: Ma`ālim al-Sunan, vol. II, hlm. 98, karya al-Khaththābiy; dan Tafsīr al-Qurthūbiy, vol. II, hlm. 274 – 276.]
Terdapat banyak sekali diskusi berulang
mengenai permasalahan tersebut pada tahun-tahun belakangan ini,
dikarenakan kecepatan komunikasi antar berbagai belahan bumi, dengan
adanya sarana telepon dan telegraph pada awalnya, yang kemudian
dilanjutkan dengan adanya radio. Ini menyebabkan negeri-negeri Islam
seolah-olah menjadi satu negeri dalam hal kecepatan sampainya kabar
tentang penetapan bulan baru maupun penafiannya. Orang-orang pun menjadi
tidak sabar atas kegaduhan bertahun-tahun sehubungan dengan masalah
syariah yang krusial ini. Mereka ingin keluar dari problema tersebut,
selama masih ada jalan untuk penyatuan kalimat.
Saya ingat, setahun atau dua tahun lalu,
ada pertanyaan rinci dari India kepada ulama al-Az-har yang mulia
tentang hal ini. Salinan surat itu lantas dikirimkan juga kepada para
ulama senior, agar masing-masing mereka dapat memberikan pendapatnya.
Ayah saya juga menerima salinannya. Namun saya tidak tahu bagaimana
kelanjutan nasib surat tersebut. Yang jelas, ayah saya terhalang oleh
penyakitnya sehingga beliau tidak dapat menulis atau memberikan
pendapatnya. Semoga Allah menyembuhkan beliau.
Pembahasan ini telah menyita pikiran
saya dalam jangka waktu yang lama setelah saya menguatkan suatu
pendapat, yang saya harap pendapat itu benar. Kemudian, terjadilah
perbedaan penetapan hari `Arafah pada tahun ini, hari haji akbar dan
musim ibadah Islam yang paling agung. Bulan Dzul Hijjah adalah bulan yang paling riskan, karena hari `Arafah, hari kesembilan dalam bulan Dzul Hijjah,
adalah waktu yang sangat terbatas untuk melaksanakan rukun ibadah Haji,
yaitu wuquf di `Arafah. Ini tidak terjadi melainkan hanya sekali dalam
setahun. Di sisi lain, mayoritas pelaku ibadah Haji tidak melaksanakan
ibadah ini melainkan hanya sekali seumur hidup. Karena itu, tampaknya
mereka khawatir bahwa jika mereka meleset dalam pelaksanaan wuquf dari
hari yang sebenarnya, maka kewajiban ibadah Haji mereka menjadi tidak
tertunaikan.
Hal itulah yang memotivasi saya untuk
menuliskan pendapat saya tentang penetapan hilal, untuk saya tampilkan
kepada para pakar dan ahli ilmu, baik dari kalangan ahli fiqh, ahli
hadits dan lain-lain, di berbagai penjuru dunia Islam.
Termasuk hal yang tidak
diragukan lagi, bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dan juga pada masa
awal kedatangan Islam tidaklah mengetahui ilmu-ilmu falak secara ilmiah
dan mumpuni. Mereka adalah kaum yang buta huruf, tidak dapat menulis dan
berhitung. Kalaupun ada di antara mereka yang mengetahui ilmu falak,
maka itu hanya dasarnya atau kulitnya saja, yang pengetahuannya itu
didapatkan dari pengamatan dan observasi, atau dari mendengar dan
pengabaran, dan bukan pengetahuan yang dibangun di atas kaidah matematis
atau bukti-bukti empiris yang berasal dari premis yang pasti.
Karena itulah, Rasulullah r
menjadikan rujukan penetapan bulan dengan perkara yang pasti dan
terindera, yang hal ini mampu dilakukan oleh setiap orang dari mereka,
atau mayoritas mereka, yaitu rukyat hilal dengan mata telanjang. Hal ini
lebih bijaksana dan lebih tepat untuk penetapan waktu syiar dan ibadah
mereka. Hal itulah yang sampai pada derajat yakin dan percaya yang mampu
mereka lakukan. Dan Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai
kesanggupannya.
Tidaklah sejalan dengan hikmah
pembuat syariat apabila menjadikan pijakan penetapan hilal dengan hisab
dan ilmu falak, sementara mereka tidak mengetahui sedikit pun tentang
hal itu di kota-kota tempat tinggal mereka. Terlebih lagi, banyak dari
mereka yang merupakan orang-orang Badui, yang tidak sampai kepadanya
kabar dari kota, kecuali selang beberapa masa kemudian, bahkan terkadang
membutuhkan waktu yang cukup lama. Sekiranya dijadikan penetapan hilal
itu dengan ilmu hisab dan falak maka tentulah hal tersebut akan
memberatkan mereka. Tidaklah mengetahui tentang ilmu hisab dan falak
melainkan segelintir orang yang langka di daerah pedalaman, itu pun
berasal dari kabar yang datang. Penduduk kota pun tidak mengetahui ilmu
hisab dan falak kecuali dengan bertaklid kepada sebagian ahli hisab,
yang mayoritasnya, atau bahkan seluruhnya, berasal dari kalangan Ahli
Kitab.
Setelah itu, kaum Muslim menaklukkan
dunia, memegang kendali pengetahuan dan mengembangkan setiap jenis ilmu.
Mereka menerjemahkan literatur generasi terdahulu, mendalaminya,
mengungkapkan rahasia terpendamnya, serta mewariskannya untuk generasi
setelahnya, termasuk ilmu falak, astronomi dan hisab. [Lihat kitab `Ilm al-Falak wa Tārīkhuhu `Inda al-`Arab, cet. Roma, tahun 1911.]
Dahulu, mayoritas ahli fiqh dan
ahli hadits tidak mengetahui tentang ilmu falak, atau mereka hanya
mengetahui beberapa dasarnya. Sebagian, atau bahkan banyak dari mereka,
yang tidak percaya kepada orang yang mengetahui ilmu tersebut. Bahkan,
sebagian mereka menuduh orang yang belajar ilmu ini dengan penyimpangan
dan kebid`ahan. Hal ini karena persangkaan mereka bahwa ilmu itu
menyebabkan pemiliknya mengklaim pengetahuan ilmu ghaib (tanjīm/astrologi).
Dan, memang benar bahwa sebagian orang yang mempelajari ilmu falak
melakukan hal yang dituduhkan tersebut. Hal itu membuat dirinya dan ilmu
yang dipelajarinya menjadi tercemar. Para ahli fiqh tersebut memiliki
udzur dalam hal ini.
Sebagian ahli fiqh dan ulama yang
mengetahui ilmu ini tidak mampu menegaskan penempatan posisinya secara
tepat terhadap agama dan fiqh. Namun, ia hanya memberi isyarat untuk itu
dengan sikap khawatir (hati-hati).
Perhatikan misalnya Taqiyuddīn al-Subkiy. Ia menyebutkan dalam Fatāwā-nya [vol. I, hlm. 219 – 220]
bahwa apabila hisab yang memiliki premis yang pasti menunjukkan
ketiadaan kemungkinan rukyat hilal maka persaksian orang-orang yang
melihatnya menjadi tertolak. Persaksian itu dinilai sebagai kedustaan
atau kekeliruan. Kemudian ia berkata,
لأن
الحساب قطعي، والشهادة والخبر ظنيان، والظن لا يعارض القطع، فضلاً عن أن
يقدم عليه، والبينة شرطها أن يكون ما شهدت به ممكناً حساً وعقلاً وشرعاً،
فإذا فرض دلالة الحساب قطعاً على عدم الامكان استحال القبول شرعاً،
لاستحالة المشهود به، والشرع لا يأتي بالمستحيلات
“Sebab, hisab itu pasti (qath`iy), sedangkan persaksian dan pengabaran itu bersifat zhanniy
(dugaan yang memungkinkan adanya kesalahan). Dugaan tidak mungkin
melawan kepastian, apalagi untuk lebih diunggulkan. Syarat bukti adalah
hal yang dipersaksikan itu memungkinkan baik secara indera, akal maupun
syariah. Jika terdapat penunjukan hisab yang sifatnya pasti terhadap
ketidakmungkinan rukyat, maka secara syariah rukyat tersebut tidak dapat
diterima, karena kemustahilan persaksian tersebut. Karena syariah tidak
datang dengan hal-hal yang mustahil.”
Setelah itu, beliau berkata,
واعلم
انه ليس من مرادنا بالقطع ههنا الذي يحصل بالبرهان الذي مقدماته كلها
عقلية، فإن الحال هنا ليس كذلك، وانما هو مبني على ارصاد وتجارب طويلة،
وتسيير منازل الشمس والقمر، ومعرفة حصول الضوء الذي فيه. بحيث يتمكن الناس
من رؤيته، والناس يختلفون في حدة البصر. الى آخر كلامه.
“Ketahuilah, bukan maksud kami bahwa
yang dimaksud dengan ‘kepastian’ di sini adalah dalil yang seluruh
premisnya bersumber dari akal. Kondisinya dalam hal ini tidaklah seperti
itu. Ia dibangun atas dasar observasi dan percobaan yang panjang,
pergerakan posisi matahari dan bulan, dan pengetahuan terhadap cahaya
bulan, sehingga dengan hal itu orang-orang dapat merukyat hilal dengan
tepat, sekalipun mereka berbeda-beda dalam hal ketajaman penglihatan.” Demikian seterusnya ucapan beliau.
Perhatikan ucapan Imam Besar Taqiyuddīn Ibn Daqīq al-`Īd. Beliau berkata dalam Syarh `Umdah al-Ahkām, vol. II, hlm. 206,
والذي
أقول به ان الحساب لا يجوز ان يعتمد عليه في الصوم بمفارقة القمر للشمس،
على ما يراه المنجمون من تقدم الشهر بالحساب على الشهر بالرؤية بيوم او
يومين، فإن ذلك احداث لسبب لم يشرعه الله تعالى، وأما اذا دل الحساب على ان
الهلال قد طلع من الافق على وجه يرى لولا وجود المانع، كالغيم مثلاً -:
فهذا يقتضي الوجوب، لوجود السبب الشرعي، وليس حقيقة الرؤية بمشروطةٍ في
اللزوم، لأن الاتفاق على ان المحبوس في المطمورة اذا علم بالحساب باكمال
العدة، أو بالاجتهاد بالأمارات، ان اليوم من رمضان: وجب عليه الصوم، وإن لم
ير الهلال ولا أخبره من رآه.
“Yang menjadi pendapatku, hisab
tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam hal penetapan puasa dengan
berpisahnya bulan terhadap matahari (setelah konjugasi matahari dan
bulan), sebagaimana pandangan ahli nujum (perbintangan), bahwa penetapan
awal bulan dengan hisab lebih cepat sehari atau dua hari dibandingkan
rukyat. Ini adalah hal mengada-ada (ihdāts)
karena tidak disyariatkan oleh Allah Ta`ālā. Adapun jika hisab
menunjukkan bahwa hilal telah terbit di ufuk dengan kondisi yang
memungkinkan untuk dilihat sekiranya tidak terdapat penghalang seperti
mendung misalnya, maka ini berimplikasi pada kewajiban puasa,
dikarenakan adanya sebab syar`i. Dan tidaklah rukyat hakiki
dipersyaratkan dalam kelaziman tersebut. Karena, orang yang tertahan
dalam penjara, jika ia mengetahui dengan hisab untuk menyempurnakan
bulan Sya`bān, atau berijtihad dengan (mengamati) berbagai indikasi,
bahwa hari itu telah masuk Ramadhān maka ia wajib berpuasa, meskipun ia
sendiri tidak melihat hilal ataupun mendapat kabar dari orang yang
melihat hilal.”
[Ibn Daqīq al-`Īd termasuk Imam madzhab Mālikiy dan madzhab Syāfi`iy,
bahkan merupakan sandaran bagi kedua madzhab tersebut. Beliau lahir
tahun 625, dan wafat di Kairo tahun 702. Biografi beliau termuat secara
apik dalam al-Thāli` al-Sa`īd hlm. 317, Tadzkirah al-Huffāzh, vol IV, hlm. 262, Fawāt al-Wafayāt, vol. II, hlm. 305, dan Thabaqāt al-Syāfi`iyyah, vol. VI, hlm. 2.]
Demikianlah kondisi ulama. Hal
ini mengingat ilmu alam dahulu tidaklah tersebar sebagaimana ilmu-ilmu
agama, sementara kaidah-kaidah ilmu alam tersebut belum mencapai derajat
kepastian menurut ulama.
Akan tetapi, ini adalah syariah
yang cemerlang, lapang dan kekal, sampai dengan Allah mengizinkan
kemusnahan kehidupan dunia. Ini adalah syariah untuk setiap umat dan
setiap masa. Karena itu, kita melihat pada teks-teks Quran dan Sunnah
terdapat berbagai isyarat yang halus atas perkara-perkara yang akan
terjadi. Jika datang saat kebenarannya, hal-hal itu akan mampu
ditafsirkan dan diketahui, meskipun generasi pendahulu menafsirkannya
secara tidak sesuai dengan hakikatnya.
Sungguh, Sunnah yang valid telah mengisyaratkan apa yang sedang kita bahas. Al-Bukhāriy telah meriwayatkan dari hadits Ibn `Umar, dari Nabi r, bahwa beliau bersabda,
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسبُ، الشَّهْرُ هكَذَا
وَهكَذَا. يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَة وَعِشْرِيْن، وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang
buta huruf. Kami tidak menulis dan tidak pula berhitung. Bulan itu
demikian dan demikian. Maksud beliau, kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang tiga puluh hari.” [Shahīh al-Bukhāriy, vol. III, hlm. 27 – 28, cet. al-Sulthāniyyah, Shahīh Muslim, vol. I, hlm. 299, cet. Būlāq, Sunan Abū Dāwūd, vol. II, hlm. 266 – 267 (dari Syarh `Awn al-Ma`būd), dan Sunan al-Nasā-iy, vol. I, hlm. 302 – 303.]
Juga diriwayatkan oleh Mālik dalam al-Muwaththa’ [vol. I, hlm. 269], juga al-Bukhāriy, Muslim, dan lain-lain, dengan redaksi:
الشَّهْرُ
تِسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ، فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ،
وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا
لَهُ
“Bulan itu dua puluh sembilan hari.
Karena itu, janganlah kalian berpuasa hingga kalian hilal, dan jangan
kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Jika kondisi mendung, maka
perhitungkanlah.”
Sungguh, telah benar ulama kita terdahulu, rahimahumullāh,
dalam menafsirkan makna hadits, namun mereka keliru dalam takwilnya.
Pernyataan yang paling komprehensif mengenai pendapat ulama terdahulu
dapat ditemukan antara lain pada ucapan al-Hāfizh Ibn Hajar [dalam Fat-h al-Bārī, vol. IV, hlm. 108 - 109],
المراد
بالحساب هنا حساب النجوم وتسييرها، ولم يكونوا يعرفون من ذلك الا النزر
اليسير. فعلق الحكم بالصوم وغيره بالرؤية، لرفع الحرج عنهم في معاناة
التسيير، واستمر الحكم في الصوم ولو حدث بعدهم من يعرف ذلك. بل ظاهر السياق
ينفي تعليق الحكم بالحساب أصلاً. ويوضحه قوله في الحديث الماضي: فإن غم
عليكم فأكملوا العدة ثلاثين. ولم يقل فسلوا أهل الحساب. والحكمة فيه كون
العدد عند الاغماء يستوي فيه المكلفون، فيرتفع الاختلاف والنزاع عنهم. وقد
ذهب قوم الى الرجوع الى اهل التسيير في ذلك، وهم الروافض، ونقل عن بعض
الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: واجماع السلف الصالح حجة عليهم. وقال ابن
بزيزة: وهو مذهب باطل، فقد نهت الشرعية عن الخوض في علم النجوم، لأنها حدث
وتخمين، ليس فيها قطع ولا ظن غالب، مع انه لو ارتبط الامر بها لضاق، اذ لا
يعرفها إلا القليل
“Yang dimaksud dengan hisab pada permasalahan ini adalah hisab perbintangan dan garis edarnya. Mereka dahulu tidak mengetahuinya kecuali hanya sedikit saja. Karena itu, hukum
penentuan waktu puasa dan selainnya dikaitkan dengan rukyat, untuk
menghilangkan kesulitan mereka terhadap (perhitungan) garis edar,
dan hukum ini terus berlaku meskipun pada generasi setelah mereka
terdapat orang-orang yang memiliki pengetahuan terhadap hisab tersebut.
Bahkan, zahir redaksi hadits menafikan keterkaitan hukum tersebut dengan
hisab secara prinsip. Hal ini ditegaskan oleh perkataan Nabi r, ‘Jika kondisi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi tiga puluh hari.’ Nabi r
tidak berkata, ‘Tanyakanlah hal itu kepada ahli hisab.’ Hikmahnya
adalah, terdapat kesetaraan antara para mukallaf pada penentuan bilangan
dalam kondisi mendung tersebut, sehingga tidak terjadi perbedaan dan
perselisihan pendapat. Ada suatu kaum yang berpendapat agar merujuk
kepada ahli astronomi dalam hal tersebut, yaitu kaum Rāfidhah[1],
dan terdapat nukilan dari sebagian ahli fiqh bahwa mereka menyetujui
hal itu. Al-Bāji berkata, ‘Ijma` kaum Salaf yang shalih menjadi hujjah
yang menentang pendapat mereka.’ Ibn Bazīzah berkata, ‘Ini
adalah pendapat yang batil, karena syariat telah melarang untuk
mendalami ilmu nujum (perbintangan), karena itu tidak lain adalah dugaan
dan spekulasi. Ilmu itu tidak memberikan kepastian, maupun prediksi
yang kuat (zhann ghālib). Di sini lain, apabila perkara ini dikaitkan
dengan ilmu tersebut, maka tentu akan menyulitkan, karena tidak yang
menguasai ilmu itu kecuali segelintir orang.’”
[1. Catatan: Kami tidak mengetahui siapakah yang dimaksud oleh al-Hāfizh Ibn Hajar
tentang kaum Rāfidhah tersebut. Jika yang beliau maksud adalah Syi`ah
Imāmiyyah, maka yang kami ketahui adalah mereka berpendapat bahwa ilmu
hisab tidak diperkenankan. Namun jika yang beliau maksud adalah sekte
yang lain, maka kami tidak tahu tentang mereka.]
Tafsir di atas benar, bahwa yang menjadi
patokan adalah rukyat dan bukan hisab. Namun, takwilnya keliru, yaitu
bahwa sekiranya pun ada orang yang mengetahui ilmu hisab, hukum
penentuan puasa dengan rukyat tetap berlaku. Sebab, perintah untuk
bersandar hanya kepada rukyat memilki `illat yang tercantum secara tekstual, bahwa umat di masa Nabi r adalah umat yang ummiy (buta huruf), tidak menulis dan tidak pula berhitung. Sementara, eksistensi ‘illat itu menyertai eksistensi hukum, baik dalam hal penetapan maupun penafian.
Oleh karena itu, jika umat ini telah keluar dari kondisi ke-ummiy-annya,
dan menjadi melek huruf serta mampu berhitung; maksud saya, umat ini
secara komunal telah menguasai ilmu-ilmu tersebut; dan di sisi lain
masyarakat, baik orang awam maupun para pakarnya, mampu mencapai derajat
keyakinan dan kepastian dalam penentuan awal bulan secara hisab,
sehingga mereka percaya dengan hasil hisab tersebut sebagaimana mereka
percaya dengan hasil rukyat, atau bahkan kepercayaan dengan hasil hisab
itu lebih kuat; apabila demikian halnya kondisi umat ini secara komunal
dan `illat ke-ummiy-an
itu telah hilang, maka merupakan keharusan untuk merujuk kepada hal
yang yakin dan tetap, serta mengambil hisab semata dalam penentuan
hilal, dan tidak merujuk kepada rukyat kecuali dalam kondisi ilmu hisab
itu sulit diterapkan. Misalnya untuk kondisi masyarakat yang hidup di
desa atau pedalaman yang tidak terjangkau oleh informasi dari ahli
hisab.
Dengan demikian, menjadi keniscayaan untuk merujuk kepada hisab semata dikarenakan hilangnya `illat yang melarangnya. Merupakan
keharusan pula untuk merujuk pada penerapan hisab hakiki terhadap
hilal, dengan membuang kriteria kemungkinan atau ketidakmungkinan rukyat
(imkān al-ru’yah, visibilitas rukyat). Oleh karena itu, permulaan bulan yang hakiki adalah malam yang hilal tenggelam setelah tenggelamnya matahari, meskipun jedanya hanya sesaaat.
Negeri kami ini, Mesir, merupakan sentra
penelitian yang menakjubkan. Di dalamnya terdapat ulama falak dan ahli
astronomi, baik dari kalangan universitas al-Az-har maupun selainnya,
yang mampu memperhitungkan posisi bulan setelah tenggelamnya matahari
secara akurat pada setiap waktu dan setiap bulan. Mereka memproduksi
keputusan yang pasti dan valid yang memberikan konsekuensi wajib untuk
diyakini, menurut istilah ulama. Kenapa kita harus khawatir untuk
percaya pada hasil hisab mereka untuk masalah penentuan awal bulan,
padahal di sisi lain kita percaya dengan hasil hisab mereka untuk
penentuan waktu-waktu shalat dan ibadah lainnya? Kenapa pula kita harus
khawatir, sementara kita bisa percaya dengan informasi dari telegraph,
telepon atau radio mengenai bahwa suatu negeri, seperti Mesir, Sudan
atau yang lain, telah menetapkan hilal dengan rukyat?
Dahulu, sejak lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung Syariah, Grand Master Syekh al-Maraghiy
berpendapat bahwa persaksian saksi yang melihat hilal tertolak apabila
hasil hisab memastikan ketidakmungkinan rukyat tersebut, sebagaimana
pendapat Taqiyuddīn al-Subkiy
yang saya nukil di sini. Pendapat beliau ini kemudian menimbulkan
kontroversi dan perdebatan yang sengit. Dahulu, saya, ayah saya dan
sebagian saudara saya termasuk kalangan yang menentang pendapat beliau.
Namun sekarang, saya tegaskan bahwa beliau benar. Dan, saya (bahkan)
menambahkan tentang keharusan penetapan hilal dengan hisab untuk setiap
kondisi, kecuali bagi orang-orang yang tidak terjangkau oleh ilmu ini.
Pendapat saya ini bukanlah pendapat yang baru dan mengada-ada (bid`ah), karena perbedaan kondisi mukallaf
dapat menyebabkan perbedaan hukum. Hal semacam ini banyak terdapat di
dalam syariat, sebagaimana yang umum diketahui oleh ulama dan selainnya.
Salah satu contohnya adalah permasalahan kita.
Hadits: “Jika kondisi mendung, maka perhitungkanlah,” diriwayatkan dengan beberapa redaksi lain, yang sebagiannya berbunyi: “Jika kondisi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi tiga puluh hari.” Ulama menafsirkan kata yang bersifat global: “perhitungkanlah” dengan periwayatan yang lebih spesifik: “sempurnakanlah bilangan bulan itu.”
Namun demikian, terdapat seorang imam yang agung dari kalangan madzhab Syāfi`iy, yaitu Abū al-`Abbās Ahmad ibn `Umar ibn Surayj[2]
yang menggabungkan kedua riwayat tersebut. Beliau jadikan masing-masing
dari keduanya untuk dua kondisi yang berbeda. Redaksi: “perhitungkanlah” bermakna: “perhitungkanlah sesuai posisi bulan,” dan ini berlaku bagi orang-orang yang diberikan oleh Allah kekhususan dengan ilmu tersebut, sedangkan redaksi: “sempurnakanlah bilangan bulan itu” berlaku untuk orang-orang awam [3].
[2. Abū
al-`Abbās Ibn Surayj wafat tahun 306 H. Terdapat banyak kesalahan
penulisan dalam berbagai buku cetakan sehingga tertulis “Syurayh”. Ibn Surayj adalah murid Imam Abū Dāwūd, penyusun kitab Sunan. Abū Is-haq al-Syirāziy berkata tentang beliau, dalam Thabaqāt al-Fuqahā’, “Beliau termasuk pembesar madzhab Syāfi`iy dan imam kaum Muslim. Beliau lebih diunggulkan atas seluruh sahabat Imam al-Syāfi`iy, bahkan atas al-Muzaniy sekalipun.” Biografi beliau cukup banyak, antara lain Tārikh al-Baghdād, karya al-Khathīb al-Baghdādiy, vol IV, hlm. 278 – 290; Ibn Khallikān vol I, hlm. 21; dan Thabaqāt al-Syāfi`iyyah, karya Ibn al-Subkiy, vol II, hlm. 67 – 96.]
[3. Lihat misalnya penjelasan al-Qādhiy Abū Bakr ibn al-`Arabiy terhadap Sunan al-Tirmidziy, vol. III, hlm. 207 – 208; Tharh al-Tatsrīb, vol. IV, hlm. 111 – 113; dan Fat-h al-Bārī, vol IV, hlm. 104.]
Pendapat saya hampir mirip dengan
pendapat Ibn Surayj. Hanya saja, pendapat beliau khusus untuk kondisi
mendung yang menyebabkan hilal tidak dapat dirukyat. Beliau jadikan
hisab berlaku untuk golongan minoritas orang-orang yang mengetahui hisab
pada masa beliau, dimana kondisi ucapan dan hasil perhitungan ahli
hisab saat itu sulit untuk dipercayai, sementara informasi penetapan
hilal dari negeri lain tidak dapat diterima dengan segera. Adapun
pendapat saya (justru terbalik), metode hisab yang teliti dan
terpercaya berlaku umum untuk setiap orang, karena kecepatan penyebaran
informasi saat ini. Menjadikan rukyat sebagai sandaran (pada masa
sekarang justru) berlaku bagi kalangan minoritas yang tidak terjangkau
oleh informasi dan tidak terdapat orang yang kompeten terhadap ilmu
falak dan astronomi di kalangan mereka.
Saya memandang pendapat saya merupakan
pendapat yang paling adil (pertengahan), paling dekat terhadap fiqh yang
selamat, dan merupakan pemahaman yang benar terhadap hadits-hadits yang
terkait dengan bab ini.
*****
Selanjutnya tersisa satu permasalahan
detail yang merupakan derivasi dari pendapat kami. Ini sebenarnya telah
kami isyaratkan di awal pembahasan, yaitu masalah perbedaan mathla’.
Termasuk hal yang umum diketahui bahwa (secara realitas) terdapat perbedaan mathla` sesuai posisi (daerah tertentu) terhadap garis lintang dan garis bujur. Kondisi perbedaan mathla`
tersebut berlaku baik untuk penetapan bulan berdasarkan rukyat maupun
hisab. Kami juga telah menjelaskan perbedaaan pendapat ulama terdahulu
sehubungan dengan perbedaan mathla` ini. Bahkan, yang tampak bagi kami dari penukilan sejumlah ulama, mayoritas ahli fiqh tidak menjadikan perbedaan mathla` sebagai sandaran (ia tidak memiliki implikasi hukum). Ini sebagaimana nukilan al-Nawawiy
dari Ibn al-Mundzir. Dari nukilan tersebut dapat dipahami bahwa itulah
yang menjadi pendapat Empat Imam dan al-Layts ibn Sa`d, meskipun para
pengikut mereka berbeda pendapat pada era berikutnya.
Demikian pula halnya yang dinyatakan oleh al-Qarāfiy di dalam al-Furūq [vol. II, hlm. 203 – 204, cet. Tunisia, dan lembar 132 dari manuskrip yang kami miliki]: “Sesungguhnya madzhab Mālikiy
menjadikan rukyat hilal di suatu negeri menjadi sebab bagi kewajiban
puasa bagi setiap penjuru bumi dan ini disepakati oleh madzhab Hanbaliy.”
Namun selanjutnya al-Qarāfiy menguatkan pendapat yang menyelisihi madzhabnya sendiri, padahal beliau bermadzhab Mālikiy. Ia berkata, “Jika
telah terdapat kesepakatan bahwa terdapat perbedaan waktu shalat sesuai
dengan perbedaan ufuk, dan bahwa tiap kaum memiliki waktu fajar, zawāl
dan waktu lainnya masing-masing, maka konsekuensinya adalah hal yang
sama juga berlaku untuk masalah hilal. Sebab, bisa jadi hilal dapat
dirukyat oleh negeri-negeri sebelah Barat, sedangkan ia tidak dapat
dirukyat oleh negeri-negeri sebelah Timur. Ini adalah salah satu sebab
perbedaan rukyat hilal di antara sebab-sebab lain yang disebutkan dalam
ilmu alam yang bukan tempatnya untuk disebutkan di sini. Namun yang saya
sebutkan hanyalah untuk mempermudah pemahaman. Jika kondisi hilal itu
berbeda sesuai dengan perbedaan ufuk, maka wajib bagi tiap kaum untuk
melaksanakan rukyat hilal masing-masing, sebagaimana halnya tiap kaum
memiliki waktu fajar sendiri-sendiri, demikian pula waktu-waktu shalat
lainnya. Ini adalah kebenaran yang nyata dan pasti. Adapun kewajiban
puasa atas seluruh penjuru bumi dengan rukyat hilal di salah satu
daerah, maka hal ini jauh dari kaidah, dan dalil-dalil yang ada pun
tidak menuntut konsekuensi tersebut.”
Pendapat al-Qarāfiy ini telah didahului oleh al-Hāfizh Abū `Amr ibn Abd al-Barr, bahkan ia mengklaim adanya ijmā` atas hal tersebut untuk kondisi negeri-negeri yang sangat berjauhan. Sedangkan, al-`Allāmah al-Syawkāniy menukilkan perbedaan pendapat ulama masalah ini [Lihat: Nayl al-Awthār, vol. IV , hlm. 267 - 269]. Kemudian beliau berkata, “Yang
seharusnya menjadi sandaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa
apabila penduduk suatu negeri merukyat hilal, maka hukumnya berlaku
untuk seluruh negeri. Ini adalah pendapat madzhab Mālikiy, jamaah dari Zaydiyyah dan pilihan al-Mahdiy, serta nukilan al-Qurthubiy
dari guru-guru beliau. Tidak perlu dihiraukan pernyataan Ibn `Abd
al-Barr bahwa pendapat di atas menyelisihi ijmā`, dimana ia berkata,
‘Karena mereka telah sepakat bahwa rukyat tidak berlaku untuk negeri
yang jauh, seperi Khurasān dan Spanyol.’ Pernyataan ini tidak dianggap
karena ijmā` yang beliau klaim tidak sempurna (terealisasi), sementara
terdapat penyelisihan dari jamaah ulama.”
Merupakan aksioma, yang tidak memerlukan dalil, bahwa penentuan
awal bulan tidak menjadi berbeda hanya karena perbedaan tempat atau
jauhnya tempat yang satu dengan yang lain. Meskipun tempat terbitnya
bulan antara satu tempat dan yang lain (pastilah) berbeda. Jika hilal tenggelam setelah terbenamnya matahari, maka bulan baru telah
dimulai. Adapun korelasi kewajiban ibadah dengan rukyat, maka telah kami jelaskan sebelumnya bahwa hal tersebut dikarenakan `illat tertentu yang tercantum secara tekstual di dalam Sunnah yang valid, sedangkan eksistensi hukum tergantung dari eksistensi `illat-nya.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa perbedaan mathla`
memiliki implikasi hukum, dan bahwa setiap negeri memiliki rukyat
masing-masing, maka mereka membangun pendapatnya itu atas pemberlakuan
metode rukyat. Sebab, itulah kadar kesanggupan pada saat itu (menurut
mereka). Perbedaan mathla’ bukan merupakan patokan untuk
penentuan awal bulan, yang menyebabkan setiap negeri memiliki bulan
sendiri, sebagaimana halnya setiap negeri memiliki rukyat masing-masing.
Perbedaan mathla` tersebut, menurut pemahaman kami, hanyalah merupakan keterkaitan perintah taklīf kepada para mukallaf.
Artinya, siapa yang sampai kepadanya ilmu tentang kewajibannya, dengan
melalui jalan yang dijadikan oleh pembuat syariat sebagai sebab untuk
mendapatkan ilmu tersebut, misalnya rukyat bagi kaum yang ummiy, maka ia terkena dan dituntut untuk melaksanakan beban taklīf tersebut sesuai waktu yang telah ditentukan.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa perbedaan mathla`
tidak dianggap dan bahwa hasil rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh negeri di penjuru bumi, maka mereka hanya semata-mata
mempertimbangkan realitas, yaitu awal bulan untuk satu bumi haruslah
merupakan satu hari (yang sama). Ini adalah kebenaran yang tidak
diragukan lagi.
Selanjutnya, perincian sebelumnya (tentang apakah perbedaan mathla`
berimplikasi terhadap penentuan hukum awal bulan) menjadi tidak logis
(relevan) jika disandingkan dengan penggunaan metode hisab, sebagaimana
pendapat yang kami pilih dan kuatkan. Dengan metode hisab, hari pertama
dari tiap bulan Hijriah adalah satu hari (yang sama) bagi seluruh
penjuru bumi. Tidak ada perbedaan antara satu tempat dengan yang lain,
meskipun satu sama lain saling berjauhan.
Namun, ada perkara detail yang menjadi concern saya: apakah
penentuan awal bulan dengan metode hisab dapat didasarkan pada setiap
tempat di penjuru bumi atau harus merujuk pada satu titik tertentu?
Pendapat yang salah pillih adalah hal tersebut harus merujuk kepada satu titik tertentu, yaitu Mekah, sebagaimana diisyaratkan oleh dua pegangan pokok dalam syariat: Quran dan Sunnah.
Perhatikan Firman Allah Ta`ālā:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: ‘Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.’” (QS al-Baqarah/2: 189.)
Allah memberikan petunjuk kepada manusia
tentang faidah dari posisi-posisi bulan dan perubahan bentuk hilal,
baik membesar atau mengecil, bahwa semua itu untuk menunjukkan waktu
bagi manusia terhadap setiap urusan mereka, serta untuk penentuan waktu
hari-hari pelaksanaan ibadah haji.
Saya memandang penyebutan masa
pelaksanaan ibadah haji secara khusus setelah penyebutan waktu secara
umum memberikan isyarat halus bahwa penetapan waktu berkaitan dengan satu tempat, yaitu tempat pelaksanaan haji: Mekah.
Adapun dalil Sunnah, al-Tirmidziy meriwayatkan dalam Sunan-nya [Sunan al-Tirmidziy dengan Syarh Tuhfah al-Ahwadziy, vol. II, hlm. 37; dan dengan Syarh Ibn al-`Arabiy, vol. III, hlm. 216], dari jalur Is-hāq ibn Ja`far ibn Muhammad ibn al-Husayn, yakni suami dari Sayyidah Nafīsah bint al-Hasan ibn Zayn al-`Ābidīn, dari `Abdullāh ibn Ja`far al-Makhramiy al-Zuhriy, dari `Utsmān ibn Muhammad al-Akhnasiy, dari al-Maqbariy, dari Abū Hurayrah, bahwa Nabi r bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
“Puasa adalah hari kalian berpuasa; `Īdul Fithri adalah hari kalian berbuka; dan `Īdul Adlha adalah hari kalian berkurban.”
Al-Tirmidziy berkata, “Ini adalah hadits gharīb hasan.”
Kami katakan: Bahkan, ini adalah hadits shahih. Sesungguhnya al-Tirmidziy (sendiri) telah menshahihkan hadits dari riwayat al-Mu`allā ibn Manshūr, dari `Abdullāh ibn Ja`far, dengan isnād tersebut. [Lihat: Tuhfah al-Ahwadziy, vol. I, hlm. 279; dan Syarh Ibn al-`Arabiy, vol. II, hlm. 141 – 142.]
Selain itu, Is-hāq ibn Ja`far tidak bersendirian dalam riwayat di atas. Hadits itu juga diriwayatkan oleh Abū Sa`id Maulā Banī Hāsyim dan Muhammad ibn `Umar al-Wāqidiy, keduanya dari `Abdullāh ibn Ja`far al-Makhramiy dengan isnad tersebut. [Riwayat Abū Sa`īd tersebut terdapat dalam al-Sunan al-Kubrā, karya al-Bayhaqiy, vol. IV, hlm. 252. Sementara riwayat al-Wāqidiy terdapat dalam Sunan al-Dāruquthniy, hlm. 231. Menurut kami, al-Wāqidiy adalah perawi yang tsiqah (terpercaya), berbeda dengan pendapat ulama yang melemahkannya.]
Kemudian, `Abdullāh ibn Ja`far al-Makhramiy juga tidak bersendirian. Al-Wāqidiy juga meriwayatkannya, dari Dāwūd ibn Khālid, Tsābit ibn Qays dan Muhammad ibn Muslim, ketiganya dari al-Maqbariy, dari Abū Hurayrah [Riwayat dimaksud juga tercantum dalam Sunan al-Dāruquthniy]. Karena itu, dalam Syarh-nya terhadap Sunan al-Tirmidziy, al-Qādhiy Abū Bakr ibn al-`Arabiy merajihkan bahwa hadits ini shahih.
Abū Dāwūd juga meriwayatkan dalam Sunan-nya [Lihat: Syarh `Awn al-Ma`būd, vol. II, hlm. 269], dari jalur Hammād ibn Zayd, dari Ayyūb, dari Muhammad ibn al-Munkadir, dari Abū Hurayrah secara marfū` (sampai kepada Nabi r):
فِطْرُكُمْ
يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَكُلُّ عَرَفَة
مَوْقِف، وَكُلُّ مِنى مِنْحَرٌ، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مِنْحَرٌ،
وَكُلُّ جمعٍ مَوْقِفٌ
“`Īdul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka dan `Īdul Adlha
adalah hari kalian berkurban. Seluruh `Arafah adalah tempat wuquf.
Seluruh mina adalah tempat menyembelih. Segenap penjuru Mekah adalah
tempat menyembelih. Seluruh Muzdalifah adalah tempat wuquf.”
Demikian pula al-Dāruquthniy meriwayatkan dari jalur di atas, dan dari jalur Rawh ibn al-Qāsim, dari Ibn al-Munkadir. Al-Bayhaqiy juga meriwayatkan dalam al-Sunan al-Kubrā, vol. IV, hlm. 251 – 252, dari jalur `Abd al-Wārits dan Rūh ibn al-Qāsim, dari Ibn al-Munkadir. Beliau juga meriwayatkan [dalam al-Sunan al-Kubrā, vol. V, hlm. 175] dari jalur Hammad ibn Zayd, seperti halnya riwayat Abū Dāwūd.
Al-Dāruquthniy dan al-Bayhaqiy juga meriwayatkan dari jalur Ismā`īl ibn `Ulayyah dan `Abdul Wahhāb al-Tsaqafiy, dari Ayyūb, dari Muhammad ibn al-Munkadir, dari Abū Hurayrah secara mawqūf [yakni merupakan ucapan Abū Hurayrah. Lihat: al-Sunan al-Kubrā, vol. IV, hlm. 251 - 252], bahwa beliau berkata:
إنما
الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم
فأكملوا العدة ثلاثين. فطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم تضحون، وكل عرفة
موقف، وكل منى منحر، وكل فجاج مكة منحر.
“Sesungguhnya bulan itu adalah dua
puluh sembilan hari. Karena itu, janganlah kalian berpuasa sampai kalian
melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat
hilal. Jika kondisi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi
tiga puluh hari. `Īdul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka dan
`Īdul Adlha adalah hari
kalian berkurban. Seluruh `Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh mina
adalah tempat menyembelih. Segenap penjuru Mekah adalah tempat
menyembelih.”
Ibn Mājah juga meriwayatkan dalam Sunan-nya, vol. I, hlm. 262, dari jalur Hammad ibn Zayd, dari Ayyūb, dari Muhammad ibn Sīrīn, dari Abū Hurayrah, beliau mengatakan bahwa Rasulullāh r bersabda,
الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
“`Īdul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka dan `Īdul Adlha adalah hari kalian berkurban.”
Seluruh isnād di atas shahih. Satu sama lain saling menguatkan. Hal ini membantah pernyataan al-Tirmidziy bahwa hadits tersebut gharīb, karena ia datang dari berbagai jalur yang shahih.
Namun, apa makna hadits di atas?
Ulama klasik menafsirkan hadits tersebut
dengan berbagai makna. Kadang ditafsirkan dengan makna yang merupakan
zahir redaksi hadits. Al-Tirmidziy berkata dalam Sunan-nya, “Sebagian
ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwa makna hadits ini
adalah puasa dan `Īdul Fithri dilaksanakan bersama jamaah dan mayoritas
manusia.”
Al-Khaththābiy berkata [dalam Ma`ālim al-Sunan, vol. II, hlm. 95 - 96],
معنى
الحديث: أن الخطأ موضوع الناس فيما كان سبيله الاجتهاد، فلو أن قوماً
اجتهدوا فلم يروا الهلال إلا بعد الثلاثين فلم يفطروا حتى استوفوا العدد،
ثم ثبت عندهم ان الشهر كان تسعاً وعشرين، فإن صومهم وفطرهم ماض، فلا شيء
عليهم من وزر أو عتب.
“Makna hadits ini adalah, kesalahan
manusia yang disebabkan oleh ijtihād itu dihapuskan. Misalkan saja ada
suatu kaum yang telah ber-itjtihād (bersungguh-sungguh) untuk merukyat
hilal. Namun mereka tidak dapat melihat hilal kecuali setelah tiga puluh
hari. Akibatnya, mereka tidak melaksanakan `Īdul Fithri kecuali setelah
tiga puluh hari tersebut. Ternyata, selanjutnya diketahui bahwa
sebenarnya jumlah hari puasa tersebut hanyalah dua puluh sembilan hari.
Pada kondisi tersebut, puasa dan `Īdul Fithri mereka tetap berlaku, dan
tidak ada dosa atau celaan bagi mereka.”
Taqiyuddīn al-Subkiy berkata dalam Fatāwā-nya [vol. I, hlm. 225], “Maksud
dari hadits di atas adalah apabila kaum Muslim sepakat untuk hal
tersebut (puasa dan hari raya). Sebab, kaum Muslim tidak mungkin sepakat
di atas kesesatan. Di sisi lain, ijmā` adalah hujjah.”
Ada juga ulama yang menafsirkan hadits di atas dengan riwayat al-Tirmidziy, dari hadits Ma`mar, dari Muhammad ibn al-Munkadir, dari `Āisyah, dari Nabi r, bahwa beliau berkata,
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّى النَّاسُ.
“Īdul Fithri adalah hari dimana manusia berbuka dan `Īdul Adlha adalah hari dimana manusia berkurban.”
Al-Tirmidziy berkata, “Ini adalah hadits hasan gharīb shahīh, dari perwajahan ini.”
[Lihat: Tuhfah al-Ahwadziy, vol. II, hlm. 71 dan Syarh Ibn al-`Arabiy, vol. IV, hlm. 14. Al-Bayhaqiy juga meriwayatkannya secara makna dari ucapan `Āisyah dengan sanad yang lain, vol. IV, hlm. 353.]
Selanjutnya, namun kita mengetahui bahwa
banyak dari kalangan perawi yang meringkas hadits, dan sebagian hadits
tersebut diriwayatkan secara makna (bukan dengan mengutip redaksi hadits
yang sebenarnya). Karena itulah para penghapal dan kritikus hadits
mengumpulkan berbagai riwayat yang berbeda-beda, mengingat sering kali
makna hadits yang ringkas dijelaskan dan ditafsirkan oleh hadits yang
panjang.
Kita dapati bahwa hadits `Āisyah di atas diriwayatkan juga oleh al-Bayhaqiy [dalam al-Sunan al-Kubrā, vol. V, hlm. 175], dari jalur Sufyān al-Tsawriy, dari Muhammad ibn al-Munkadir, dari `Āisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullāh r bersabda,
عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ الْإِمَامُ، وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي الإِمَامُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الْإِمَامُ
“`Arafah adalah hari dimana Imam melakukan wukuf `Arafah. `Īdul Adlha adalah hari dimana Imam melaksanakan kurban. `Īdul Fithri adalah hari dimana Imam berbuka.”
Sanad-nya shahih. Riwayat ini
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “manusia” adalah “Imam”, dimana
Imam adalah orang yang diikuti oleh mayoritas manusia.
Kemudian, pada kumpulan riwayat yang
kami nukil, dari hadits Abū Hurayrah dan `Āisyah, kita dapati suatu
irisan pada banyak redaksi hadits yang perlu diteliti dan direnungkan,
yaitu penyebutan “`Arafah” sebagai hari dan juga sekaligus tempat, serta
penyebutan Mekah, Mina dan Muzdalifah: “Seluruh `Arafah adalah
tempat wukuf; `Arafah adalah hari dimana Imam melaksanakan wukuf
`Arafah; Setiap Mina adalah tempat menyembelih; Segenap penjuru Mekah
adalah tempat menyembelih; dan Seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf.” Dalam riwayat al-Bayhaqiy secara mursal, dari jalur al-Syāfi`iy, disebutkan: “`Arafah adalah hari dimana kalian melakukan wukuf di `Arafah.”
Menurut saya, penyebutan tempat-tempat
dan waktu haji dalam banyak riwayat hadits tersebut, bahkan pada
mayoritasnya, menguatkan bahwa hadits itu terjadi pada perisitiwa haji wadā`,
yaitu ketika Nabi r mengajarkan syiar-syiar haji kepada manusia, dan
beliau berkhutbah di `Arafah, Mina dan selainnya. Selain saat haji wadā`, tidak terdapat rekaman bahwa beliau mengajarkan syiar-syiar haji.
Hal ini dikuatkan bahwa Jabir ibn `Abdillāh menyifatkan haji wadā`
dalam hadits panjang yang terkenal di kalangan ahli hadits. Dalam
hadits itu terdapat redaksi yang mirip dengan redaksi hadits Abū
Hurayrah. Jābir menyebutkan: Nabi r menyembelih sembelihan dan memakan
sebagiannya, kemudian beliau berkata, “Aku menyembelih di sini, dan seluruh Mina adalah tempat penyembelihan.” Nabi r wukuf di `Arafah lalu beliau berkata, “Aku wukuf di sini, dan seluruh `Arafah adalah tempat wukuf.” Beliau juga wukuf di Muzdalifah, lalu beliau berkata, “Aku wukuf di sini, dan seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf.” [Lihat: Musnad al-Imām Ahmad, vol. III, hlm. 320 – 321; Shahīh Muslim, vol. I, hlm. 346 – 348; `Awn al-Ma`būd, vol. II, hlm. 122 – 131; serta al-Bidāyah wa al-Nihāyah, karya Ibn Katsīr, vol. V, hlm 147 – 149.]
Dengan demikian, hadits Abū Hurayrah yang marfū`: “`Īdul Fithri adalah hari kalian berbuka … dst.,”ditujukan
kepada mitra bicara orang-orang yang mengerjakan ibadah haji di tempat
pelaksanaan haji. Demikian pula halnya dengan riwayat-riwayat lain yang
telah disebutkan sebelumnya, termasuk hadits `Āisyah dan selainnya. Seluruhnya merupakan riwayat yang terkait dengan haji wadā`. Adapun redaksi hadits: “`Īdul Fithri adalah hari dimana manusia berbuka,” atau “`Īdul Fithri adalah hari dimana Imam berbuka,” maka itu merupakan periwayatan secara makna, dan hadits asalnya ditujukan bagi orang-orang yang berada di tempat ibadah haji.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami makna hadits-hadits di atas, bahwa puasa, `Īdul Fithri dan `Īdul Adlha adalah hari dimana penduduk Mekah dan kawasan sekitarnya melakukan puasa, `Īdul Fithri dan `Īdul Adlha. Tempat itulah yang menjadi sandaran untuk penetapan hilal, sehingga kaum Muslim dari seluruh penjuru bumi mengikuti mathla` hilal Mekah.
Ini adalah isyarat yang halus terhadap
hikmah dan makna pengkhususan penyebutan haji setelah penyebutan waktu
secara umum pada Firman Allah Ta`ālā:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS al-Baqarah/2: 189.)
Sekiranya kita (semua)
sependapat dengan pandangan dan pemahaman saya, niscaya kalimat kaum
Muslim bersatu padu dalam penetapan bulan-bulan Islam. Mekah
adalah mata air Islam, tempat turunnya wahyu, dan tempat pertemuan kaum
Muslim setiap tahun, seolah-olah mereka saling berjanji untuk bertemu di
sana. Mekah adalah tempat kaum Muslim saling mengenal dan mencintai. Di
Mekah, terdapat Baytullāh yang kaum Muslim menghadap kepadanya di dalam
shalat, sebagai simbol persatuan mereka. Dengan demikian, Mekah
merupakan sentral untuk penentuan waktu bagi kaum Muslim.
*******
Wa ba` d:
Pembahasan ini tidaklah saya
tulis melainkan setelah melalui proses perenungan, pemikiran dan
penelitian, berdasarkan metodologi Salaf yang saleh dari kalangan ulama,
(yaitu) untuk mengambil dari Quran dan Sunnah, serta membuang taklid
dan fanatisme. Semoga saya menepati kebenaran, dengan pertolongan dan taufik dari Allah.
Saya kemukakan pembahasan ini untuk
dicermati oleh ulama dan para peneliti. Saya ucapan terima kasih atas
kritik maupun dukungan, yang dengannya kebenaran dan hakikat menjadi
terungkap dan teruji. Saya tidak menutut kecuali agar asas pembahasan
itu adalah Quran dan Sunnah, serta istinbāth dan fiqh (pemahaman) dari keduanya.
Adapun hanya melontarkan pendapat dengan
pernyataan-pernyataan kosong yang dibangun atas dasar pikiran semata
dan hawa nafsu, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang menamakan
dirinya sebagai “para pembaharu” (mujaddidūn), maka yang
demikian itu tidak akan menghasilkan pembahasan ilmiah terperinci untuk
menegakkan kebenaran dan menghilangkan kebatilan.
Adapun berpegang dengan pendapat para
ahli fiqh, yang oleh sebagian mereka disebut sebagai nash, dimana mereka
menyangka bahwa itu menjadi hujjah atas kami dan manusia, maka
pendapat-pendapat tersebut, atau mayoritasnya, berada dalam genggaman
dan penglihatan kami, dan kami tidak mendebat orang-orang yang berhujjah
dengan pendapat itu.
Na`am, saya tidak dapat
menghalangi siapapun untuk berpendapat sesuai kehendaknya. Namun, saya
dapat mencegah pena saya dari sikap ikut-ikutan.
Kepada Allah saya memohon perlindungan dan taufik.
Ditulis oleh,
Ahmad Muhammad Syākir – Hakim Syariah
24 Dzul Hijjah 1357 H atau 13 Februari 1939
====================================
Berikut versi teks Arab dari risalah ilmiah tersebut (didapat dari internet, dengan sedikit editing dari versi scan-nya):
أوائل الشهور العربية هل يجوز شرعاً إثباتها بالحساب الفلكي
كتبه الشيخ أحمد محمد شاكر رحمه الله تعالى
__________________________
بسم الله الرحمن الرحيم
ثبت في مصر لدى المحكمة العليا
الشرعية أن أول شهر ذي الحجة من هذا العام (سنة 1357هـ) يوم السبت، فكان
عيد الأضحى يوم الاثنين (30 يناير سنة 1939م).
بعد بضعة أيام، نشر في المقطم
أن حكومة المملكة العربية السعودية لم يثبت عندها ان السبت أول ذي الحجة،
فصار أوله الأحد، فكان وقوف الحجيج بعرفة يوم الاثنين، والعيد يوم الثلاثاء
(31 يناير سنة 1939م).
وفي يوم الجمعة 21 ذي الحجة (10
فبراير سنة 1939م) نشرت جريدة البلاغ عن مراسلها في بومباي احتفلوا بعيد
الأضحى في هذا العام “يوم الأربعاء، خلافاً لما أعلن في الممالك الإسلامية
الأخرى”. ومعنى هذا أنه لم يثبت لدى مسلمي الهند ان أول الشهر السبت ولا
الأحد، فاعتبروا أوله يوم الاثنين.
وهكذا في أكثر اشهر المواسم،
يتراءى الناس الهلال في البلاد الإسلامية، فيرى في بلد ولا يرى في بلد آخر،
ثم تختلف مواسم العبادات في بلاد المسلمين، فبلد صائم وبلد مفطر، وبلد مضح
وبلد يصوم أهله عرفة.
قد كتب العلماء والفقهاء في
اثبات الاهلة ابحاثاً قيمة نفيسة، في كتب التفسير والحديث والفقه وغيرها،
واتفقت كلمتهم – أو كادت – على ان العبرة في ثبوت الشهر بالرؤية وحدها،
وأنه لا يعتبر حساب منازل القمر ولا حساب المنجم، إلا شيئاً يحكى في مذهب
الشافعي: أنه يجوز للحاسب أو المنجم ان يعمل في نفسه بحسابه، والا شيئاً
آخر عندهم: أنه يجوز لغيرهما تقليدهما، أو يجوز تقليد الحاسب دون المنجم.
[انظر: المجموع للنووي (ج 1 ص 279 – 280).]
والعمدة في الباب الأحاديث
الصحيحة التي لا شك في صحتها: “صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته، فإن غم عليكم
فأكملوا شعبان ثلاثين”. “لاتصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن
غم عليكم فاقدروا له”. وما جاء في هذا المعنى من الفاظ الأحاديث الصحيحة.
[انظر صحيح البخاري (ج 3 ص 27 – 28 من الطبعة السلطانية)، ونيل الأوطار (ج 4
ص 258 – 267)، ونصب الراية (ج 2 ص 437 – 440) وطرح التثريب (ج 6 ص 111 –
114).]
ثم اختلف العلماء: هل يعتبر
اختلاف المطالع أو لا يعتبر؟ أي انه اذا رؤى الهلال في بلد، هل يسري حكم
الرؤية وثبوت الشهر على غيره من البلاد، وان بعد ما بينها، وان اختلف
المطلع في كل منهما؟ او يكون لكل بلد رؤيته، فيكون في مصر على غير ما في
الحجاز أو العراق أو نحو ذلك؟
اما الشافعية فإنهم ذهبوا الى
ان لكل بلد رؤيتهم، على خلاف عندهم فيما يعتبر به البعد والقرب: أهو اختلاف
المطالع، أم اتحاد الاقاليم واختلافها، أم مسافة القصر؟!
قال النووي في المجموع بعد ان
فصّل ذلك[1]: “فرع في مذاهب العلماء فيما إذا رأى الهلال أهل بلد دون
غيرهم: قد ذكرنا تفصيل مذهبنا. ونقل ابن المنذر عن عكرمة والقاسم وسالم
واسحاق بن راهويه: انه لا يلزم غير اهل بلد الرؤية، وعن الليث والشافعي
وأحمد: يلزم، قال: ولا أعلمه إلا قول المدني والكوفي. يعني مالكاً وأبا
حنيفة[2]“.
[1. المجموع (ج 6 ص 273 – 274).]
[2. انظر أيضا معالم السنن للخطابي (ج 2 ص 98) وتفسير القرطبي (ج 2 ص 274 – 276).]
وقد كثر الكلام في هذه السنين
في هذا المعنى وتكرر، من أجل سرعة الاتصال بين اقطار الأرض، بما استحدث من
التلغراف والتليفون أولاً، ثم بالراديو أخيراً. وصارت بلاد الاسلام كأنها
بلد واحد في وصول الاخبار بإثبات الشهر ونفيه، ويرى الناس ان هذا الاضطراب
في مسائل شرعية هامة مؤقتة بوقوت سنوية أو شهرية، مما لا يصبرون على بقائه.
ويحاولون ان يخرجوا منه، ما وجدوا لتوحيد الكلمة فيها سبيلاً.
واذكر انه جاء في العام الماضي
أو قبله سؤال مفصل في هذا المعنى من الهند الى مشيخة الازهر الشريف، وارسلت
المشيخة نسخاً منه الى جماعة كبار العلماء، ليجيب كل من حضراتهم بما يراه
او يعلمه، وجاءت نسخته الى والد، ولا ادري ماذا كان من شأن السؤال بعد ذلك.
أما والدي فقد حبسه المرض عن التصرف بالقول او بالكتابة، شفاه الله.
وقد ادرت هذا البحث في فكري
طويلاً، بعد ان بدا لي فيه رأي، أرجو ان يكون صواباً، ثم جاء الخلاف في هذا
العام في يوم عرفة، وهو يوم الحج الأكبر، وهو اعظم المواسم الاسلامية،
وشهر ذي الحجة أخطر الشهور اثراً، اذ ان يوم عرفة، وهو اليوم التاسع منه:
ظرف محدود لأداء ركن الحج، وهو الوقوف بعرفة، وهو لا يدور إلا مرة واحدة في
السنة،وأكثر الحجاج لا يحجون الا مرة واحدة في العمر، فلعلهم ان اخطأهم
الوقوف في يومه الحقيقي يخشون أن لا يكونوا قد أدوا الفريضة عن انفسهم.
فكان هذا حافزاً لي على كتابة
ما رأيته في اثبات الاهلة، لاعرضه على اهل العلم والنظر، من الفقهاء
والمحدثين وغيرهم، في انحاء العالم الاسلامي.
فمما لا شك فيه ان العرب قبل
الاسلام وفي صدر الاسلام لم يكونوا يعرفوان العلوم الفلكية معرفة علمية
جازمة، كانوا أمة اميين، لا يكتبون ولا يحسبون، ومن شدا منهم شيئاً من ذلك
فإنما يعرف مبادئ أو قشوراً، عرفها بالملاحظة والتتبع، او بالسماع والخبر،
لم تبن على قواعد رياضية، ولا على براهين قطعية ترجع الى مقدمات أولية
يقينية، ولذلك جعل رسول الله صلى الله عليه وسلم مرجع اثبات الشهر في
عبادتهم الى الامر القطعي المشاهد، الذي هو في مقدور كل واحد منهم، أو في
مقدور أكثرهم، وهو رؤية الهلال بالعين المجردة، فإن هذا احكم واضبط لمواقيت
شعائرهم وعباداتهم، وهو الذي يصل اليه اليقين والثقة مما في استطاعتهم.
ولا يكلف الله نفساً الا وسعها.
ولم يكن مما يوافق حكمة الشارع
ان يجعل مناط الاثبات في الأهلة الحساب والفلك، وهم لا يعرفون شيئاً من ذلك
في حواضرهم، وكثير منهم بادون لا تصل اليهم انباء الحواضر، إلا في فترات
متقاربة حيناً ومتباعدة أحياناً. فلو جعله لهم بالحساب والفلك لاعنتهم، ولم
يعرفه منهم الا الشاذ والنادر في البوادي، عن سماع ان وصل اليهم، ولم
يعرفه أهل الحواضر الا تقليداً لبعض أهل الحساب، وأكثرهم أو كلهم من أهل
الكتاب.
ثم فتح المسلمون الدنيا. وملكوا
زمام العلوم، وتوسعوا في كل أفنانها، وترجموا علوم الأوائل، ونبغوا فيها،
وكشفوا كثيراً من خباياها، وحفظوا لمن بعدهم، ومنها علوم الفلك والهيئة
وحساب النجوم[1.].
[1. انظر كتاب (علم الفلك وتاريخه عند العرب للأستاذ نلينو) طبعة رومة سنة 1911.]
وكان أكثر الفقهاء والمحدثين لا
يعرفون علوم الفلك، أوهم يعرفون بعض مبادئها، وكان بعضهم، أو كثير منهم لا
يثق بمن يعرفها ولا يطمئن اليه، بل كان بعضهم يرمي المشتغل بها بالزيغ
والابتداع، ظناً منه أن هذه العلوم يتوصل بها أهلها الى ادعاء العلم بالغيب
( التنجيم)، وكان بعضهم يدعي ذلك فعلاً، فأساء الى نفسه وإلى علمه،
والفقهاء معذورون. ومن كان من الفقهاء والعلماء يعرف هذه العلوم لم يكن
بمستطيع ان يحدد موقفها الصحيح بالنسبة الى الدين والفقه، بل كان يشير
اليها على تخوّفٍ.
فانظر – مثلاً – الى تقي الدين
السبكي، يذكر في فتاويه [ج 1 ص 219 - 220] ان الحساب إذا دل بمقدمات قطعية
على عدم امكان رؤية الهلال لم يقبل فيه شهادة الشهود، وتحمل على الكذب او
الغلط، ثم يقول: “لأن الحساب قطعي، والشهادة والخبر ظنيان، والظن لا يعارض
القطع، فضلاً عن أن يقدم عليه، والبينة شرطها أن يكون ما شهدت به ممكناً
حساً وعقلاً وشرعاً، فإذا فرض دلالة الحساب قطعاً على عدم الامكان استحال
القبول شرعاً، لاستحالة المشهود به، والشرع لا يأتي بالمستحيلات”. ثم يقول
بعد ذلك: “واعلم انه ليس من مرادنا بالقطع ههنا الذي يحصل بالبرهان الذي
مقدماته كلها عقلية، فإن الحال هنا ليس كذلك، وانما هو مبني على ارصاد
وتجارب طويلة، وتسيير منازل الشمس والقمر، ومعرفة حصول الضوء الذي فيه.
بحيث يتمكن الناس من رؤيته، والناس يختلفون في حدة البصر”. الى آخر كلامه.
وانظر الى الإمام الكبير تقي
الدين بن دقيق العيد[1] يقول في شرح عمدة الاحكام (ج 2 ص 206): “والذي أقول
به ان الحساب لا يجوز ان يعتمد عليه في الصوم بمفارقة القمر للشمس، على ما
يراه المنجمون من تقدم الشهر بالحساب على الشهر بالرؤية بيوم او يومين،
فإن ذلك احداث لسبب لم يشرعه الله تعالى، وأما اذا دل الحساب على ان الهلال
قد طلع من الافق على وجه يرى لولا وجود المانع، كالغيم مثلاً -: فهذا
يقتضي الوجوب، لوجود السبب الشرعي، وليس حقيقة الرؤية بمشروطةٍ في اللزوم،
لأن الاتفاق على ان المحبوس في المطمورة اذا علم بالحساب باكمال العدة، أو
بالاجتهاد بالأمارات، ان اليوم من رمضان: وجب عليه الصوم، وإن لم ير الهلال
ولا أخبره من رآه”.
[1. كان من أئمة المالكية
والشافعية، وهو عمدة في المذهبين، ولد سنة 625 ومات بالقاهرة سنة 702، وله
تراجم جيدة وافية، في الطالع السعيد (ص 317) وتذكرة الحفاظ (ج 4 ص 262)
وفوات الوفيات (ج 2 ص 305) وطبقات الشافعية (ج 2 ص2).]
هكذا كان شأنهم، اذ كانت العلوم الكونية غير ذائعة ذيعان العلوم الدينية وما إليها، ولم تكن قواعدها قطعية الثبوت عند العلماء.
وهذه الشريعة الغراء السمحة،
باقية على الدهر، الى ان يأذن الله بانتهاء هذه الحياة الدنيا. فهي تشريع
لكل أمة، ولكل عصر، ولذلك نرى في نصوص الكتاب والسنة إشارات دقيقة لما
يستحدث من الشؤون، فإذا جاء مصداقها فُسّرتْ وعلمت، وان فَسَرَهَا
المتقدمون على غير حقيقتها.
وقد أشير في السنة الصحيحة الى
ما نحن بصدده، فروى البخاري من حديث ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم
انه قال: ” إنا أمة أُميّة، لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا. يعني مرة
تسعة وعشرين، ومرة ثلاثين”.[1] ورواه مالك في الموطأ [ج 1 ص 269] والبخاري
ومسلم وغيرهما بلفظ: ” الشهر تسعة وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا
تفطروا حتى تروه، فإن غمّ عليكم فاقدروا له”.
[1. صحيح البخاري (ج 3 ص27 – 28
من الطبعة السلطانية) وصحيح مسلم (ج 1 ص 299 طبعة بولاق) وسنن أبي داود (ج
2 ص 266 – 267من شرح عون المعبود) وسنن الترمذي (ج 1 ص 302 – 303).]
وقد أصاب علماؤنا المتقدمون
رحمهم الله في تفسير معنى الحديث، واخطأوا في تأويله، ومن اجمع قول لهم في
ذلك قول الحافظ ابن حجر[1]: “المراد بالحساب هنا حساب النجوم وتسييرها، ولم
يكونوا يعرفون من ذلك الا النزر اليسير. فعلق الحكم بالصوم وغيره بالرؤية،
لرفع الحرج عنهم في معاناة التسيير، واستمر الحكم في الصوم ولو حدث بعدهم
من يعرف ذلك. بل ظاهر السياق ينفي تعليق الحكم بالحساب أصلاً. ويوضحه قوله
في الحديث الماضي: فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين. ولم يقل فسلوا أهل
الحساب. والحكمة فيه كون العدد عند الاغماء يستوي فيه المكلفون، فيرتفع
الاختلاف والنزاع عنهم. وقد ذهب قوم الى الرجوع الى اهل التسيير في ذلك،
وهم الروافض[2]، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: واجماع السلف
الصالح حجة عليهم. وقال ابن بزيزة: وهو مذهب باطل، فقد نهت الشرعية عن
الخوض في علم النجوم، لأنها حدث وتخمين،ليس فيها قطع ولا ظن غالب، مع انه
لو ارتبط الامر بها لضاق، اذ لا يعرفها إلا القليل”.
[1. فتح الباري (ج 4 ص 107 – 109).]
[2. لا ندري من ذا يريد الحافظ
بالروافض؟ إن كان يريد الشيعة الإمامية فالذي نعرفه من مذهبهم أنه لا يجوز
الأخذ بالحساب عندهم. وإن كان يريد ناسا آخرين فلا ندري من هم!]
فهذا التفسير صواب، في أن
العبرة بالرؤية لا بالحساب، والتأويل خطأ، في انه (لو حدث من يعرف ذلك
استمر الحكم في الصوم)، لأن الأمر باعتماد الرؤية وحدها جاء معللاً بعلة
منصوصة، وهو ان الأمة ” أمية لا تكتب ولا تحسب”، والعلة تدور مع المعلول
وجوداً وعدماً، فإذا خرجت الأمة عن اميتها، وصارت تكتب وتحسب، أني صارت في
مجموعها ممن يعرف هذه العلوم، وأمكن الناس – عامتهم وخاصتهم – ان يصلوا الى
اليقين والقطع في حساب أول الشهر، وامكن ان يثقوا بهذا الحساب ثقتهم
بالرؤية أو أقوى، إذا صار هذا شأنهم في جماعتهم وزالت علة الأمية: وجب ان
يرجعوا الى اليقين الثابت، وأن يأخذوا في اثبات الاهلة بالحساب وحده، وأن
لا يرجعوا الى الرؤية إلا حين يستعصي عليهم العلم به، كما اذا كان ناس في
بداية أو قرية، لا تصل اليهم الاخبار الصحيحة الثابتة عن أهل الحساب.
واذا وجب الرجوع الى الحساب
وحده بزوال علة منعه، وجب ايضاً الرجوع الى الحساب الحقيقي للأهلة، واطّراح
امكان الرؤية وعدم امكانها، فيكون أول الشهر الحقيقي الليلة التي يغيب
فيها الهلال بعد غروب الشمس، ولو بلحظة واحدة.
فهذه بلدنا – مصر – فيها مرصد
من اعظم المراصد، وفيها علماء بالفلك والهيئة، من الازهريين وغيرهم، ممن
يستطيعون ان يحسبوا حساب القمر حين يغيب بعد الشمس ولو بلحظة، في كل وقت
وكل شهر، ويحكموا في ذلك الحكم القاطع الجازم، الموجب لليقين عند اهل
العلم. فماذا علينا من بأس اذا رجعنا لقولهم وعلمهم، ووثقنا بحسابهم في
ذلك، ثقتنا بحسابهم في مواقيت الصلاة وغيرها من العبادات؟ وثقتنا بأخبار
التلغراف والتلفون والراديو في اثبات الهلال بالرؤية من أي بلد من بلدان
مصر أو السودان أو غيرهما؟
لقد كان للاستاذ الأكبر الشيخ
المراغي، منذ اكثر من عشر سنين، حين كان رئيس المحكمة العليا الشرعية – :
رأي في رد شهادة الشهود، إذا كان الحساب يقطع بعدم امكان الرؤية، كالرأي
الذي نقلته هنا عن تقي الدين السبكي، وأثار رأيه هذا جدالاً شديداً، وكان
والدي وكنت انا وبعض اخواني ممن خالف الاستاذ الأكبر في رأيه. ولكني اصرح
الآن بأنه كان على صواب، وازيد عليه وجوب اثبات الأهلة بالحساب، في كل
الأحوال، الا لمن استعصى عليه العلم به.
وما كان قولي هذا بدعاً من
الأقوال: ان يختلف الحكم باختلاف احوال المكلفين، فإن هذا في الشريعة كثير،
يعرفه أهل العلم وغيرهم. ومن امثلة ذلك في مسألتنا هذه: ان الحديث ” فإن
غم عليكم فاقدروا له” ورد بالفاظ أخر، في بعضها ” فإن غم عليكم فأكملوا
العدة ثلاثين”. ففسر العلماء الرواية المجملة “فاقدروا له” بالرواية
المفسرة “فاكلموا العدة”، ولكن امام عظيماً من أئمة الشافعية، بل هو امامهم
في وقته، وهو ابو العباس احمد بن عمر سريج[1]، جمع بين الروايتين في حالين
مختلفين: أن قوله ” فاقدروا له” معناه: قدروه بحسب المنازل، وانه خطاب لمن
خصه الله بهذا العلم. وأن قوله ” فأكملوا العدة”: خطاب للعامة[2].
[1. (سريج) بالسين المهملة
المضمومة وآخره جيم، ويكتب خطأ في كثير من الكتب المطبوعة (شريح) بالشين
والحاء، وهو تصحيف. وأبو العباس هذا توفي سنة 306 وهو من تلاميذ أبي داود
صاحب السنن. وقال في شأنه أبو إسحاق الشيرازي في طبقات الفقهاء(ص 89): "كان
من عظماء الشافعيين وأئمة المسلمين، وكان يفضل على جميع أصحاب الشافعي،
حتى على المزني." وله تراجم جيدة في تاريخ بغداد للخطيب (ج 4 ص 278 – 290)
وابن خلكان (ج 1 ص 21) وطبقات الشافعية لابن السبكي (ج 2 ص 67 – 96).]
[2. انظر شرح القاضي أبي بكر ابن العربي على الترمذي (ج 3 ص 207 – 208)، وطرح التثريب (ج 4 ص 111 – 113)، وفتح الباري (ج 4 ص104).]
فقولي هذا يكاد ينظر الى قول
ابن سريج، الا انه جعله خاصاً بما اذا غم الشهر فلم يره الراؤون، وجعل حكم
الاخذ بالحساب للاقلين، على ما كان في وقته من قلة عدد العارفين به، وعدم
الثقة بقولهم وحسابهم، وبطء وصول الاخبار الى البلاد الأخرى، اذا ثبت الشهر
في بعضها. واما قولي فإنه يقضي بعموم الاخذ بالحساب الدقيق الموثوق به،
وعموم ذلك على الناس، بما يسر في هذه الأيام من سرعة وصول الاخبار وذيوعها.
ويبقى الاعتماد على الرؤية للاقل النادر، ممن لا يصل اليه الاخبار، ولا
يجد ما يثق به من معرفة الفلك ومنازل الشمس والقمر.
ولقد أرى ان قولي هذا اعدل الأقوال، واقربها الى الفقه السليم، والى الفهم الصحيح للأحاديث الواردة في هذا الباب.
بقيت بعد ذلك مسألة دقيقة، تتفرع ايضاً على ما ذهبنا اليه، وقد اشرنا اليه في اول كلامنا، وهي مسألة اختلاف المطالع:
فمن المعلوم ان المطالع تختلف
باختلاف خطوط الطول وخطوط العرض، وكما يكون هذا في اعتبار الشهر بالرؤية
يكون في اعتباره بالحساب. اما الفقهاء المتقدمون فقد اختلفوا في ذلك كما
اوضحنا، بل الظاهر لنا من نقول بعض الناقلين ان اكثر الفقهاء لا يعتبرون
اختلاف المطالع، كما نقل النووي عن ابن المنذر، مما يفهم منه انه قول
الائمة الأربعة والليث بن سعد، وان اختلف اتباعهم فيه بعد ذلك. وكذلك قال
القرافي في الفروق[1]: ” ان المالكية جعلوا رؤية الهلال في بلد من البلاد
سبباً لوجوب الصوم على جميع اقطار الارض، ووافقتهم الحنابلة”. ثم رجح
القرافي ما يخالف مذهبه، وهو مالكي، فقال: ” اذا تقرر الاتفاق على ان اوقات
الصلوات تختلف باختلاف الآفاق، وان لكل قوم فجرهم وزوالهم وغير ذلك من
الأوقات: فيلزم ذلك في الاهلة، بسبب ان البلاد المشرقية إذا كان الهلال
فيها في الشعاع وبقيت الشمس تتحرك مع القمر إلى الجهة الغربية، فما تصل
الشمس إلى افق المغرب الا وقد خرج الهلال من الشعاع، فيراه اهل المغرب، ولا
يراه اهل المشرق. هذه احد أسباب اختلاف رؤية الهلال، وله أسباب اخرى
مذكورة في علم الهيئة، لا يليق ذكرها هاهنا، انما ذكرت ما يقرب فهمه. وإذا
كان الهلال يختلف باختلاف الافاق وجب ان يكون لكل قوم رؤيتهم في الاهلة،
كما ان لكل قوم فجرهم وغير ذلك من أوقات الصلوات، وهذا حق ظاهر، وصواب
متعين. اما وجوب الصوم على جميع الأقاليم برؤية الهلال في قطر منها فبعيد
عن القواعد، والأدلة لم تقتض ذلك.
[1. (ج 2 ص 203 – 204 من طبعة تونس) و (ورقة 132 من نسختنا المخطوطة).]
وقد سبقه إلى ذلك الحافظ أبو
عمر بن عبدالبر، بل ادعى الاجماع على ذلك فيما إذا تباعدت البلاد جداً.
والعلامة الشوكاني نقل اختلاف العلماء واقاويلهم في المسألة[1]، ثم قال:
(والذي ينبغي اعتماده هو ما ذهب إليه المالكية وجماعة من الزيدية، واختاره
المهدي منهم، وحكاه القرطبي عن شيوخه: انه اذا رآه اهل بلد لزم اهل البلاد
كلها، ولا يلتفت إلى ما قاله ابن عبدالبر من ان هذا القول خلاف الاجماع،
قال: لأنهم قد اجمعوا على انه لا تراعى الرؤية فيما بعد من البلدان،
كخراسان والاندلس[2]، وذلك لان الاجماع لا يتم والمخالف مثل هؤلاء الجماعة.
[1. نيل الأوطار (ج 4 ص 267 – 269).]
[2. انظر تفسير القرطبي (ج 2 ص 275) وفتح الباري (ج 4 ص 105).]
والبدهي الذي لا يحتاج إلى
دليل: ان اوائل الشهور لا تختلف باختلاف الأقطار أو تباعدها، وان اختلفت
مطالع القمر، فإذا غاب القمر بعد مغيب الشمس فقد دخل الشهر وبدأ، واما
تعليق وجوب العبادات على الرؤية فقد اظهرنا وجه تعليله بعلة منصوصة في
السنة الصحيحة، فهو يدور معها وجودا وعدماً.
فالذين ذهبوا من العلماء إلى ان
اختلاف المطالع معتبر، وان لكل بلد رؤيتهم فانما كانوا منطقيين جداً مع
الحكم بالرؤية، لان هذا هو المستطاع إذ ذاك، ولان اعتبار اختلاف المطالع
ليس مرجعه إلى اعتبارها في اوائل الشهور، حتى يكون لكل بلد شهرهم، كما لكل
بلد رؤيتهم، وإنما هو -فيما نفهم- باعتبار تعلق خطاب التكليف بالمكلفين،
فمن وصل إليه العلم بما كلف به، بالطريق الذي جعله الشارع سبباً للعلم، وهو
الرؤية في امة امية تعلق به الخطاب، وصار مطلوباً منه العمل المؤقت بوقته.
والذين اهدروا اختلاف المطالع،
وحكموا بسريان الرؤية في بلد على جميع أقطار الأرض كانوا ناظرين إلى
الحقيقة المجردة، ان أول الشهر يجب ان يكون في هذه الكرة الأرضية يوماً
واحداً، وهو الحق الذي لا مرية فيه.
ثم ان هذا التفصيل لا يعقل مع
الاخذ بالحساب، كما اخترنا ورجحنا، لان اليوم الأول من كل شهر هلالي يوم
واحد في جميع أقطار الأرض، لا يختلف باختلاف المناطق، ولا يبعد الأقاليم
بعضها عن بعض.
ولكن الامر الدقيق عندي: هل يجب
اعتبار أول الشهر باية نقطة في الأرض غاب فيها القمر بعد الشمس؟ أو يجب ان
يكون لذلك نقطة معينة يرجع اليها العالم كله في هذا النظر والاعتبار؟
الذي أراه وارجحه انه يجب الرجوع إلى نقطة واحدة معينة في ذلك، أشير اليها في أصلي الشريعة: الكتاب والسنة، وهي مكة.
انظر إلى قوله تعالى:
(يَسْأَلونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ)، فالذي أراه ان تخصيص الحج بالذكر في هذا المقام بعد العموم،
انما هو اشارة دقيقة إلى اعتبار أصل التوقيت الزماني متصلا بمكان واحد،
مكان الحج، وهو مكة.
واما السنة: فقد روى الترمذي في
سننه[1] من طريق اسحق بن جعفر بن محمد بن الحسين -وهو زوج السيدة نفيسة
بنت الحسن بن زيد بن الحسن- عن عبدالله بن جعفر المخرمي الزهري عن عثمان بن
محمد الاخنسي عن المقبري عن ابي هريرة ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:
(الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والاضحى يوم تضحون). قال الترمذي:
(هذا حديث غريب حسن). ونقول: بل هو حديث صحيح، فقد صحح الترمذي حديثاً من
رواية المعلي بن منصور عن عبدالله بن جعفر، بهذا الاسناد[2]. ثم ان اسحق بن
جعفر لم ينفرد به، فقد رواه أيضاً أبو سعيد مولى بني هاشم، ومحمد بن عمر
الواقدي، كلاهما عن عبدالله بن جعفر المخرمي بهذا الاسناد[3]. ثم ان
عبدالله بن جعفر المخرمي لم ينفرد به أيضاً، فقد رواه الواقدي عن داود بن
خالد وثابت بن قيس ومحمد بن مسلم، ثلاثتهم عن المقبري عن ابي هريرة[4].
ولذلك رجح القاضي أبو بكر بن العربي في شرحه على الترمذي انه حديث صحيح.
[1. سنن الترمذي بشرح تحفة الأحوذي (ج2 ص 37) وبشرح ابن العربي (ج 3 ص 216).]
[2. تحفة الأحوذي (ج 1 ص 279) وشرح ابن العربي (ج 2 ص 141 - 142).]
[3. روابة أبي سعيد في السنن
الكبرى للبيهقي (ج 4 ص 252) ورواية الواقدي في سنن الدارقطني (ص 231)،
والواقدي عندنا ثقة خلافا لمن ضعفه.]
[4. هذه الرواية أيضا في سنن الدارقطني]
ورواه أبو داود في سننه[1] من
طريق حماد بن زيد عن أيوب عن محمد بن المنكدر عن ابي هريرة مرفوعاً: (فطركم
يوم تفطرون، واضحاكم يوم تضحون، وكل عرفة موقف، وكل منى منحر، وكل فجاج
مكة منحر، وكل جمع موقف).
[1. سنن أبي داود بشرح عون المعبود (ج 2 ص 169).]
وكذلك رواه الدارقطني من هذا
الطريق ومن طريق روح بن القاسم عن ابن المنكر، ورواه البيهقي في السنن
الكبرى [ج 4 ص 251 - 252] من طريق عبدالوارث وروح بن القاسم عن ابن
المنكدر، ورواه أيضاً من طريق حماد بن زيد كرواية ابي داود[1].
[1. السنن الكبرى (ج 1 ص 175).]
ورواه الدارقطني والبيهقي من
طريق إسماعيل بن علية وعبدالوهاب الثقفي عن أيوب عن محمد بن المنكر عن ابي
هريرة موقوفاً[1] قال: (انما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه، ولا
تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين. فطركم يوم تفطرون،
وأضحاكم يوم تضحون، وكل عرفة موقف، وكل منى منحر، وكل فجاج مكة منحر).
[1. يعني من كلام أبي هريرة. وانظر السنن الكبرى (ج 4 ص251 – 252).]
ورواه ابن ماجه في سننه [ج 1 ص
262] من طريق حماد بن زيد عن أيوب عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: (الفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون).
فهذه أسانيد كلهما صحاح، يشد بعضها بعضاً، ويؤيد بعضها بعضاً، وهي ترد على الترمذي استغرابه للحديث، فقد ورد من طرق صحيحة متعددة.
ولكن ما معنى هذا الحديث؟
أما المتقدمون من العلماء فقد
ذهبوا في تفسيره إلى معنى قد يكون هو المعنى الظاهر من اللفظ، فقال الترمذي
في السنن: (وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال: إنما معنى هذا: الصوم
والفطر مع الجماعة وعظم الناس[1]) وقال الخطابي[2]: (معنى الحديث: أن الخطأ
موضوع الناس فيما كان سبيله الاجتهاد، فلو أن قوماً اجتهدوا فلم يروا
الهلال إلا بعد الثلاثين فلم يفطروا حتى استوفوا العدد، ثم ثبت عندهم ان
الشهر كان تسعاً وعشرين، فإن صومهم وفطرهم ماض، فلا شيء عليهم من وزر أو
عتب).
[1. (عظْم الناس) بضم العين أو فتحها مع سكون الظاء، أي معظهم.]
[2. معالم السنن (ج 2 ص 95 – 96).]
وقال تقي الدين السبكي في فتاويه [ج 1 ص 225]: (المراد منه: إذا اتفقوا على ذلك، فالمسلمون لا يتفقون على ضلالة، والإجماع حجة).
وقد يكون لتفسيرهم هذا تأييد
بما رواه الترمذي من حديث معمر بن محمد بن المنكدر عن عائشة[1] عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: (الفطر يوم يفطر الناس، والأضحى يوم يضحى الناس)
قال الترمذي: (هذا حديث حسن غريب صحيح من هذا الوجه).
[1. تحفة الأحوذي (ج 1 ص 71) وشرح ابن العربي (ج 4 ص 41) وروى البيهقي معناه من كلام عائشة بإسناد آجر (ج 4 ص353).]
ولكنا نعرف أن كثيرا من الرواة
يختصرون الأحاديث، ويروون بعضها بالمعنى، ولذلك كان حفاظ الحديث ونقاده
يجمعون الروايات الممتدة، وكثيراً ما يكون الحديث المفسر المطول مبيناً
لمعنى الحديث المختصر، فنجد حديث عائشة هذا رواه البيهقي [سنن الكبرى (ج 5
ص 175] من طريق سفيان الثورى عن محمد بن المنكدر عن عائشة قالت: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: (عرفة يوم يُعَرِّف الإمام[1]، والأضحى يوم يضحي
الإمام، والفطر يوم يفطر الإمام) وإسناده صحيح. فهذه الرواية المفسرة تعني
أن المراد بـ (الناس) الإمام، وهو الذي يكون معه عظم الناس.
[1. التعريف: الوقوف بعرفات، عرف القوم: وقفوا بعرفة.]
ثم إننا نجد في مجموع الروايات
التي نقلنا، من حديث أبي هريرة وعائشة: شيئاً مشتركاً بين كثير من ألفاظها،
يحتاج إلى نظر وتأمل، وهو ذكر (عرفة) يوماً أو مكاناً، وذكر مكة ومنى
ومزدلفة: (كل عرفة موقف) (عرفة يوم يعرف الإمام) وفي رواية مرسلة من طريق
الشافعي عند البيهقي (وعرفة يوم تعرفون) (وكل منى منحر، وكل فجاج مكة منحر،
وكل جمع موقف).
فذكر أماكن الحج وزمانه في كثير
من روايات الحديث، بل في أكثرها، يرجح عندي أن هذا الحديث إنما كان في حجة
الوداع، حين كان النبي صلى الله عليه وسلم يعلم الناس شعائر الحج، ويخطبهم
في عرفة وفي منى وفي غيرهما، فلم يحفظ عنه أنه علم الناس شعائر الحج في
غير حجة الوداع، ويؤيد ذلك أن جابر بن عبدالله وصف حجة الوداع في حديث طويل
معروف عند المحدثين، وفيه ما يشبه بعض حديث أبي هريرة، فيذكر جابر أن
النبي صلى الله عليه وسلم نحر الهدى وأكل منه ثم قال: قد نحرت هاهنا، ومنى
كلها منحر، ووقف بعرفة فقال: وقفت هاهنا وعرفة كلها موقف، ووقف بالمزدلفة
فقال: قد وقفت هاهنا، والمزدلفة كلها موقف. [انظر مسند الإمام أحمد (ج 3 ص
320 – 321) وصحيح مسلم (ج 1 ص 346 – 347) وعون المعبود (ج 2 ص 122 – 131)
والبداية والنهاية لابن كثير (ج 5 ص 147 و 149).]
فيكون حديث أبي هريرة المرفوع
(فطركم يوم تفطرون) الخ خطاباً لأهل الحج في مكان الحج، لما ذكر معه من شأن
عرفة ومكة والمزدلفة، ويكون حديث الآخر المرفوع أيضاً (الصوم يوم تصومون)
الخ من هذا الحديث نفسه، ويكون أيضاً خطاباً لأهل الحج في مكان الحج، وكذلك
سائر الروايات، من حديث عائشة وغيرها، إنما تحمل على هذا المعنى: أنها
كلها روايات عن حجة الوداع، وأن من روى بلفظ (يوم يفطر الناس) أو (يوم يفطر
الإمام) إنما روى بالمعنى، وأن أصل الحديث خطاب لمن كان في أماكن الحج.
وبذلك نفهم من معنى هذه
الأحاديث أن الصوم يوم يصوم أهل مكة وما حولها، وأن الفطر يوم يفطرون، وأن
الأضحى يوم يضحون، وأن عرفة يوم يعرفون، فهذه الأماكن هي المعتمدة في إثبات
الأهلة، وهي التي يكون على المسلمين في أقطار الأرض أن يتبعوا مطالع
الأهلة فيها، ويكون في هذا إشارة دقيقة إلى وجه الحكمة والمعنى في تخصيص
ذكر الحج بعد عموم المواقيت، في قوله تعالى: (هي مواقيت للناس والحج).
فلو ذهبنا إلى ما رأيته وفهمته،
توحدت كلمة المسلمين في إثبات الشهور القمرية، وكانت مكة، وهي منبع
الإسلام ومهبط الوحي، وهي ملتقى المسلمين في كل عام كأنهم على ميعاد،
يتعارفون فيها ويتوادون، وفيها بيت الله الذي نحوه يتوجهون في صلاتهم، كانت
مكة هذه مركز الدائرة لهم في تحديد مواقيتهم.
وبعد: فهذا بحث لم أكتبه إلا
بعد روية وفكر، وتدبر ونظر، على طريقة سلفنا الصالح من العلماء، في الأخذ
بالكتاب والسنة، ونبذ التقليد والعصبية، لعلي أصبت فيه وجه الصواب، بعون
الله وتوفيقه، أعرضه لأنظار العلماء والباحثين، متقبلاً النقد والتأييد
بالشكر والثناء، لتتمحص الحقيقة ويكشف عن وجه الصواب، ولا أطلب إلا أن يكون
أساس البحث الكتاب والسنة، والاستنباط منهما، والفقه فيهما.أما إلقاء
القول على عواهنه بأقوال جوفاء، مبنية على الرأي والهوى، كما يفعل من يسمون
أنفسهم (المجددين)، فإنه يخرج بالبحث عن حده العلمي الدقيق، ولا يحق حقاً،
ولا يبطل باطلاً.
وأما الاستمساك بأقوال الفقهاء
التي يسميها بعضهم (نصوصاً) ويزعمونها حجة علينا وعلى الناس، فإنها أو
أكثرها في متناول أيدينا وتحت أنظارنا، فلا نجادل من يحتج بها.
نعم، لا أستطيع ان امنع من شاء أن يقول ما شاء، ولكن أستطيع أن أمنع قلمي أن يخوض مع الخائضين.
واسأل الله العصمة والتوفيق.
وكتب
أحمد محمد شاكر
القاضي الشرعي
24 ذو الحجة سنة 1357
13 فبراير سنة 1939
https://firanda.com/1768-penentuan-awal-ramadhan-dan-idul-fitri-fatwa-dpp-perhimpunan-al-irsyad.html
ReplyDeleteustadz brgkali bs jadi pertimbangan juga