Ahad lalu (30/09/2012) saya mengikuti seminar tentang Brand Gardening (Building)
yang diselenggarakan oleh komunitas Tangan di Atas (TDA). Seminar
dengan pemateri Bp. Handoko itu cukup menarik bagi saya yang sedang
belajar entrepreneurship.
Faktanya, kesuksesan seorang enterpreneur berbanding lurus dengan keberhasilannya dalam membangun brand. Ia dituntut untuk dapat membangun brand yang baik, yaitu yang jujur apa adanya dan penuh nilai (values).
Kebohongan dari suatu produk atau brand dapat dengan mudah terdeteksi di era digital ini. Informasi melimpah ruah. Media sosial demikian menggurita. Customer yang merasa dibohongi akan dengan mudah memprovokasi orang lain untuk memboikot produk atau brand tertentu.
Selain jujur, brand tersebut harus sarat nilai. Mungkin kita sama-sama tahu bahwa dunia pemasaran terus bergerak dari product oriented, menjadi customer oriented, dan kemudian saat ini menjadi value oriented (atau yang diistilahkan Hermawan Kertajaya dengan Marketing 3.0). Value adalah pembeda dan penentu untuk memenangkan kompetisi.
Cara terbaik untuk memasarkan brand adalah dengan mengemasnya dalam bentuk cerita (story telling), bukan dengan gaya jualan. Cerita relatif lebih tidak menimbulkan resistensi ketimbang jualan.
Brand adalah aset tak berwujud (intangible asset)
yang sangat berharga. Berapa banyak pengusaha yang telah bangkrut,
seperti Donald Trump, namun kemudian dapat bangkit lagi dikarenakan personal brand yang bagus. Mereka tetap dipercaya. Sebaliknya, berapa banyak orang yang bisnisnya merugi karena personal brand-nya jatuh. Skandal artis contohnya.
Brand adalah warisan (legacy),
yang dengannya pemiliknya tetap dikenal meskipun ia telah tiada.
Pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading; harimau mati
meninggalkan belang; manusia mati meninggalkan nama.”
Itu adalah sekilas tentang apa yang saya
dapatkan dari seminar tersebut. Lantas apa hubungannya dengan doa Nabi
Ibrahim, seperti judul di atas? Hmm apa yaa…. Yang jelas, saat mengikuti seminar itu, saya teringat dengan doa Nabi Ibrahim `alayhis-salam yang diabadikan dalam Quran:
رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ، وَاجْعَل لِّي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
“(Ibrahim berdoa): ‘Ya Rabbku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.’” [QS al-Syu`arā’/26: 83 – 85.]
Inti dari brand gardening
adalah dengan apa Anda ingin dikenal, juga dikenang. Melalui ayat di
atas, Quran mengisahkan bahwa salah satu doa Nabi Ibrahim adalah agar
beliau memiliki ‘personal brand image’ yang dikenang oleh orang-orang setelahnya dengan kebaikan.
Nabi Ibrahim merupakan teladan kita. Dengan demikian personal brand
yang penuh dengan kebaikan seharusnya juga menjadi harapan kita.
Tentunya, tak satu pun dari kita yang ingin dikenal dan dikenang sebagai
koruptor, perampok, penipu, serta berbagai pelaku kriminal lainnya.
Hal tersebut jangan dikontradiksikan
dengan keikhlasan. Berbuat amal saleh dengan keikhlasan (bukan dalam
rangka pamer) adalah satu hal, dan memohon kepada-Nya agar dikenang
sebagai orang baik adalah hal lain lagi.
Ayat di atas justru mengingatkan kita
tentang keikhlasan, yang merupakan nilai yang tidak boleh dilupakan oleh
setiap Muslim, bahkan ketika brand gardening
sekalipun. Amal kebajikan (khususnya yang terkait dengan amal ukhrawi)
seharusnya bukan dalam rangka pamer atau pencitraan semata, namun lahir
dari keikhlasan dan mengharap ridha-Nya.
Kalau kita perhatikan redaksi ayat di atas, kita dapati bahwa Nabi Ibrahim tidak berusaha merealisasikan ‘personal brand’ dengan semata upayanya sendiri, yaitu melalui amal kebajikan yang beliau lakukan. Namun, ia meminta hal itu kepada Allah `Azza wa Jalla,
agar Allah menjadikannya teladan kebaikan bagi sepeninggalnya. Artinya,
beliau mengerjakan amal kebajikan dengan ikhlas, dan menyerahkan urusan
‘personal brand’-nya kepada Allah Ta`ālā.
Mungkin ada baiknya di sini saya kutipkan sebuah hadits yang menegaskan urgensi keikhlasan:
Dari Abū Hurayrah, Nabi ` bersabda,
إنَّ
أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَىٰ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ، رَجُلٌ
اسْتُشْهِدَ. فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ:
فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّىٰ اسْتُشْهِدْتُ.
قَالَ: كَذَبْتَ. وَلٰكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ. فَقَدْ
قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ حَتَّىٰ أُلْقِيَ فِي
النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ.
فَأُتِيَ بِهِ. فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ
فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ
الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَـٰكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ
لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ. فَقَدْ
قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ حَتَّىٰ أُلْقِيَ فِي
النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ
الْمَالِ كُلِّهِ. فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ:
فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ
يُنْفَقَ فِيهَا إلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ.
وَلَـٰكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ
أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ. ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili pada hari Kiamat (ada tiga); (1) Orang yang mati syahid.
Ia didatangkan lalu disebutkanlah nikmat-nikmatnya, maka ia pun
mengakuinya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga
terbunuh.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya disebut
pemberani, dan itu sudah terealisasi. Lalu diperintahkan agar ia
diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (2) Orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Quran.
Ia didatangkan lalu disebutkanlah nikmat-nikmatnya, maka ia pun
mengakuinya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu di jalan-Mu dan
akupun mengajarkannya, serta aku membaca Quran di jalan-Mu.’ Allah
berkata, ‘Engkau dusta! Engkau belajar supaya disebut `ālim, dan itu
sudah terealisasi. Engkau juga membaca al-Qur’ān supaya disebut dia
qāri’ dan hal itu sudah terealisasi.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret
atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (3) Orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan diberikan segala jenis harta.
Ia didatangkan lalu disebutkanlah nikmat-nikmatnya, maka ia pun
mengakuinya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Tidaklah ada suatu sarana yang
Engkau suka agar diinfakkan di dalamnya melainkan aku berinfak di
dalamnya untuk-Mu.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau melakukannya
supaya disebut dermawan, dan hal itu sudah terealisasi.’ Lalu
diperintahkan agar ia diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke
neraka.” [Riwayat Muslim III/1304/1678.]
Sungguh menyeramkan akibatnya kalau
perbuatan baik hanya dilandasi oleh niat pamer semata dan kosong dari
keikhlasan. Semoga kita semua dilindungi dari hal tersebut.
Jadi, selain jujur dan penuh nilai kebaikan, jangan lupakan keikhlasan dalam brand gardening.
Ketika berderma, misalnya, janganlah diniatkan untuk pamer dan
pencitraan, namun niatkanlah untuk mencari ridha-Nya dengan menolong
sesama. Kalaupun kegiatan berderma tersebut dilakukan secara
terang-terangan, dan ini hukumnya boleh-boleh saja [periksa misalnya: QS
al-Baqarah/2: 274, al-Ra`d/13: 22, Ibrāhim/14: 31, Fāthir/35: 29], maka
niatkanlah agar hal itu dapat dicontoh oleh orang lain, sehingga
pemberi contoh juga mendapat pahala dan lebih banyak orang yang
terbantu. Just do the best and let God do the rest.
Menjaga keikhlasan dalam brand gardening pastinya bukan merupakan hal mudah. Di situlah letak tantangan tambahannya!
Tabik,
adni kurniawan (http://adniku.blogspot.com)
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment