Kita sama-sama mengetahui bahwa Islam 
menempatkan orang yang berilmu, khususnya ilmu agama, pada posisi yang 
tinggi. Banyak sekali teks keagamaan yang mewartakan hal tersebut. Di 
antaranya adalah sabda Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam—yang masyhur, 
إِنَّ
 الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ 
يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ 
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sungguh, ulama adalah pewaris para 
Nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Namun mereka 
mewariskan ilmu. Siapa yang mengambil warisan tersebut, maka ia telah 
mengambil bagian yang banyak.” [HR Abū Dāwūd II/341/3641, Ibn Mājah I/81/223, Ahmad V/196/21763, dan lain-lain, dengan sanad yang valid.] 
Ilmu yang diwariskan oleh para Nabi tentu bukan Matematika, Fisika, Kimia, Geografi, atau yang semisalnya, melainkan ilmu agama. 
Quran juga menyebutkan: 
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan 
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu 
pengetahuan beberapa derajat.” [QS al-Mujādilah/58: 11.] 
Kesadaran dan semangat untuk menuntut ilmu agama saat ini telah menjadi trend yang berkembang di kalangan sebagian masyarakat. Hal tersebut tentu merupakan fakta yang patut disyukuri. Alhamdulillāh. 
Salah satu dampak dari trend 
tersebut adalah adanya fenomena sebagian orang tua yang terkesan 
‘memaksa’ anak ke pesantren. Harapannya adalah sang anak menjadi ustadz 
atau ulama. Tidak ada yang salah dengan harapan tersebut, bahkan itu 
sangat mulia. 
Kalau saja keinginan orang tua tersebut 
sejalan dengan keinginan anak maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.
 Namun, bagaimana jika tidak selaras? 
Saya ingin sedikit bercerita terkait dengan hal ini. Kebetulan saya dulu sempat ‘mampir’ di salah satu pondok pesantren. 
Pernah suatu ketika sejumlah santri 
merasa resah. Koleksi bukunya terus menyusut. Bukan hanya buku yang 
raib, beberapa benda berharga juga ikut-ikutan lenyap. Akhirnya, tim 
kecil pun dibentuk untuk mengusut kasus pencurian ini. Saya jadi bagian 
dari tim tersebut.
Akhirnya, dengan sejumlah trik dan teknik investigasi (ala Sherlock Holmes, hehe), pencuri pun tertangkap. Kami lalu menginterogasi si pelaku, dan juga sempat melakukan wawancara dengan orang tuanya. 
Terkuak fakta bahwa pelaku sebenarnya 
sejak awal tidak berniat masuk pesantren. Ia ingin bersekolah umum 
(STM). Namun, bapaknya memaksa agar ia masuk pesantren untuk mendalami 
ilmu agama. Karena sejak awalnya kurang niat belajar di pesantren, 
pelaku pun melakukan perbuatan yang seharusnya tidak terjadi. Singkat 
kata, ia pun dikeluarkan dari pesantren. 
Ada kisah lain yang berseberangan secara
 diametral dengan cerita di atas, yang terjadi di pesantren yang sama, 
pada waktu yang hampir bersamaan. Ini adalah cerita tentang seorang 
sahabat saya yang luar biasa. 
Ia adalah seorang mahasiswa yang sedang 
kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ternama, namun memutuskan 
untuk keluar kuliah dan masuk pesantren. Ia ingin ‘banting setir’,
 beralih dari belajar ilmu umum (yang telah dijalaninya sekian lama), ke
 ilmu agama. Keinginan tersebut awalnya tidak disetujui oleh 
keluarganya, yang mengharapkan ia segera menyelesaikan kuliahnya, 
mendapat pekerjaan yang bagus, dan kemudian membantu penghidupan 
keluarga. 
Kakaknya yang sebenarnya juga telah 
diterima di salah satu PTN bahkan sampai rela tidak kuliah, dan kemudian
 bekerja demi memberikan kesempatan kuliah kepadanya. Namun, sahabat ini
 tetap bergeming pada keputusannya, dengan tetap meminta restu dan 
memberi pengertian yang baik kepada keluarganya. 
Rupanya ia tak butuh waktu lama di 
pesantren, karena tak lama kemudian ia diterima di universitas keagamaan
 terkemuka di luar negeri. Saat ini (ketika artikel ini ditulis), ia 
tengah menempuh jenjang doktoral di universitas tersebut. 
Di saat-saat liburan, ia sering pulang 
ke tanah air untuk memberikan pengajian ke berbagai daerah. Namanya 
dikenal baik oleh banyak kalangan. Ia juga mengisi di radio dan televisi
 dakwah. Penghidupannya baik, dan ia mampu membantu keluarganya, mungkin
 lebih baik daripada yang dulu diharapkan. 
Kisahnya in syā Allāh merupakan pembenaran dari sabda Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam [nahsabuhu kadzālik wa lā nuzakki `alallāh ahada], 
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاء الله جَلَّ وَعَزَّ إِلاَّ أَعْطَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهَ
“Tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah, melainkan Allah memberimu yang lebih baik darinya.” [HR Ahmad V/78/20758 dan al-Bayhaqiy dalam al-Syu`ab V/53/5748. Syekh al-Arnā-uth menyatakan sanadnya valid.]
Jadi, kisah pertama adalah tentang orang
 tua yang memaksa anaknya belajar agama di pesantren namun sang anak 
sebenarnya lebih suka belajar umum (teknik). Sedangkan kisah kedua 
adalah tentang orang tua yang (awalnya) berharap anaknya menyelesaikan 
kuliah umum, namun ternyata sang anak lebih suka belajar agama. 
Ada juga beberapa kawan lain saya yang 
ingin pindah dari kuliah umum ke pesantren, tapi orang tuanya tidak 
mengijinkan. Sebagai gantinya, orang tua memberikan fasilitas yang cukup
 agar ia dapat belajar ilmu agama dengan baik, di samping ia tetap 
belajar ilmu umum. Hasilnya, lahir individu profesional dengan 
pengetahuan agama yang mumpuni. Sebagian kawan lain bahkan ada yang 
kuliah agama setelah ia menyelesaikan kuliah umumnya dengan prestasi 
yang baik. Tapi, memang dibutuhkan kemampuan yang memadai untuk bisa 
demikian. 
Yang ingin saya tegaskan dari cerita di 
atas adalah, pemaksaan seringkali tidak membuahkan hasil yang 
diharapkan. Menjadi ustadz atau ulama, atau masuk pesantren tentu 
merupakan hal yang baik. Tidak ada yang meragukan hal tersebut. Tetapi 
memaksakan keinginan tersebut pada anak bisa jadi berakibat buruk. 
Mungkin banyak orang tua menganggap 
bahwa anaknya belum cukup dewasa untuk dapat memproduksi keputusan yang 
tepat bagi kehidupannya, sehingga mereka pun mengambil alih tugas 
pengambilan keputusan tersebut (baca: memaksakan keinginannya). 
Namun, patut diingat bahwa keterpaksaan 
seringkali menghasilkan kekecewaan. Selain itu, tekanan dari luar (baca:
 paksaan) umumnya lebih lemah dan lebih temprorer dibandingkan dorongan 
dari dalam. 
Karena itu, sebagai ganti dari pemaksaan
 keinginan terhadap anak, lebih baik anak diberikan penjelasan, 
pengertian, dorongan, motivasi, serta penjelasan tentang manfaat dan 
risiko dari keinginan orang tua. Dengan melakukan hal-hal tersebut, 
diharapkan keinginan orang tua akan selaras dengan keinginan anak. Ini 
memang lebih sukar, tetapi dampaknya lebih baik. Dan, di situlah letak 
tantangannya. 
Sekiranya ada yang bilang: “Bukankah 
sesuatu yang awalnya dipaksakan itu bisa berubah menjadi kegemaran dan 
kesadaran pribadi?” Jawabnya, saya juga tidak menafikan adanya 
probabilitas itu, seberapa pun kecilnya peluang tersebut. Tetapi, jika 
dimungkinkan untuk membangun kesadaran dan inisiatif pribadi, maka 
bukankah itu lebih baik ketimbang pemaksaan? 
Efek destruktif yang mungkin timbul dari
 pemaksaan tersebut juga tidaklah ringan. Fakta bahwa tidak sedikit anak
 pesantren yang ‘rusak’ saat di luar pesantren atau segera setelah lulus
 pesantren bisa jadi karena pemaksaan dimaksud. Mereka menjadi generasi 
yang rentan terhadap godaan dunia. Hasil imunitas yang diharapkan orang 
tua melalui program sterilisasi (baca: pemaksaan masuk pesantren) jauh 
panggang dari api. Dunia publik menjadi sarang pelarian dimana 
‘belenggu’ dipatahkan dan ‘tirani’ dirobohkan. Na`udzu billah min dzalik.
Belum lagi jika anak yang dipaksa masuk 
pesantren itu masih berusia sangat dini. Kondisi yang demikian ini dapat
 dikaitkan dengan hadits Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam: 
مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 “Siapa  yang memisahkan antara ibu 
dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dirinya dan orang-orang 
yang dicintainya pada hari Kiamat.”
[HR al-Tirmidziy  IV/134/1566, Ahmad V/412/23546, dan lain-lain, dari Abū Ayyūb al-Anshāriy. Abū `Isā al-Tirmidziy berkata, “Dalam bab ini terdapat riwayat dari `Aliy. Ini adalah hadits hasan gharīb. Hadits tersebut diamalkan oleh ulama dari Sahabat Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam—dan
 selainnya. Mereka membenci pemisahan antara tawanan, [yaitu] antara ibu
 dan anak, bapak dan anak, dan antara sesama saudara.” Hadits dimaksud 
dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albaniy.] 
Dalam hadits lain disebutkan: 
عَنْ
 عُبَادَة بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُوْلُ: نَهَى رَسُوْلُ 
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفرقَ بَيْنَ الْأُمِّ 
وَوَلَدِهَا . فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ الله إِلَى مَتَى؟ قال: حَتَّى 
يَبْلُغَ الْغُلاَمُ، وَتَحِيْضُ الْجَارِيَة.
Dari `Ubādah ibn al-Shāmit, radliyallāhu `anhu, ia mengisahkan bahwa Rasulullāh—shallāllāhu `alaihi wa sallam—melarang pemisahan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” Beliau menjawab, “Sampai anak laki-laki mencapai baligh dan anak perempuan mencapai haid.” 
[HR al-Hakim dalam al-Mustadrak II/64/2335 dan al-Dāruquthniy dalam Sunan-nya III/68/258. Imam Ibn Hajar berkata dalam al-Talkhīsh, vol. III, hlm. 16, “Di dalam sanad hadits yang dibawakan keduanya tersebut terdapat `Abdullāh ibn `Amr al-Wāqifiy. Ia adalah perawi yang lemah, (bahkan) `Aliy ibn al-Madīniy menganggapnya pendusta.”] 
Hadits di atas termasuk salah satu 
keindahan ajaran Islam yang melindungi hubungan kasih sayang antar ibu 
dan anak. Para ahli fiqh memasukkan hadits tersebut dalam pembahasan 
tentang hadlānah (pemeliharaan anak), jual beli (buyū`),
 dan sejumlah permasalahan lainnya. Salah satu yang mereka simpulkan 
dari hadit tersebut misalnya larangan untuk memisahkan budak wanita dan 
anaknya yang belum baligh dalam hal penjualan. [Periksa misalnya: al-Mughniy, Ibn Qudāmah, vol. IV, hlm. 260.] 
Terdapat rincian dan perbedaan pendapat 
di kalangan ulama, khususnya ahli fiqh, dalam memahami hadits tersebut, 
seperti tentang apakah larangan pemisahan tersebut juga berlaku untuk 
bapak-anak serta kakak-adik, sampai kapan batas usia anak yang dimaksud,
 dan lain sebagainya. Namun, bukan di sini tempat yang tepat untuk 
memaparkannya. Yang jelas, keumuman redaksi hadits di atas menunjukkan 
larangan untuk memisahkan ibu dari anaknya. 
Pada kenyataannya, banyak orang tua 
(khususnya ibu) yang sangat bersedih ketika berpisah dengan anaknya yang
 masuk pesantren. Demikian pula halnya dengan sang anak. Akibatnya orang
 tua tidak dapat beraktivitas dengan tenang, sementara sang anak tidak 
dapat belajar dengan baik. 
Di sisi lain, perlu diingat bahwa seseorang hanya akan mencapai potensi terbaiknya apabila ia melakukan hal yang sesuai dengan passion
 dan keinginannya. Saya tidak mengetahui ada orang yang bisa mencapai 
derajat ulama yang mumpuni, sementara ia dalam kondisi terpaksa 
mendalami ilmu agama, atau bahwa ia sebenarnya tidak tertarik untuk itu.
 Sependek yang saya ketahui kejadian semacam itu tidak ada, dan saya 
yakin tidak akan pernah ada. 
Kenapa orang tua bersikeras memasukkan 
anak ke pesantren? Banyak sekali ragam alasannya. Yang jelas, hampir 
tidak ada orang tua yang menginginkan keburukan bagi anaknya. Semuanya 
menginginkan kebaikan. 
Banyak orang tua yang mungkin ‘merasa 
terlambat’ belajar agama sehingga ingin anaknya jauh lebih baik daripada
 dirinya. Mereka juga berharap bahwa dengan menjadikan anaknya sebagai 
ustadz, maka terwujudlah anak saleh yang memberi manfaat kepada orang 
tua, baik pada saat mereka masih hidup dan khususnya setelah wafat. Ada 
pula yang merasa inferior (baca: minder) dengan kondisi dirinya, 
sehingga dianggap lebih baik pendidikan anak diserahkan kepada yang 
lebih kompeten. Tidak ada yang salah dengan alasan maupun upaya 
tersebut. 
Sekali lagi masalahnya adalah, bagaimana
 jika anak memiliki keinginan yang berbeda dari orang tua? Jika anak 
punya cita-cita yang jelek, seperti jadi koruptor misalnya, tentu orang 
tua wajib menghalangi, memberi pengertian dan bahkan memaksa anak untuk 
mengganti cita-citanya tersebut. Namun, bagaimana jika anak ingin 
menjadi ilmuwan, astronom, pengusaha, dan lain sebagainya? Why not? 
Seringkali, pilihan di sini bukanlah 
tentang baik dan buruk, tetapi tentang mana yang dianggap lebih baik 
dari sekian banyak hal yang baik. 
Menjadi ulama dan ustadz tentu merupakan
 kebaikan. Namun demikian, tidaklah tertutup kemungkinan seseorang 
meraih kebaikan yang lebih tinggi meskipun ia bukan pada posisi 
tersebut. 
Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam—bersabda, 
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” [HR al-Thabraniy dalam al-Awsath, vol. VI, hlm. 58, dan dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albaniy dalam Shahīh al-Jāmi` no. 6662.] 
Bukankah tidak tertutup kemungkinan 
bahwa ada seorang pemimpin yang saleh, pengusaha yang saleh, atau 
profesi lainnya, yang lebih memberikan manfaat, dampak dan influence bagi umat dibandingkan seorang ulama?
Tentu saja tiap muslim berkewajiban untuk belajar tentang agamanya, yaitu untuk mengetahui hal-hal yang Allah Ta`ālā wajibkan atau haramkan terhadap dirinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits: 
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban tiap muslim.” [HR Ibn Mājah I/81/224 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.]
Namun demikian, tidak semua muslim wajib
 memiliki ilmu agama yang sangat mendalam, menghafal dalil, menguasai 
pendapat ahli fiqh, dan sebagainya, sebagaimana halnya yang dilakukan 
ulama dan ustadz. 
Jika kita melihat kondisi pada para Sahabat Nabi—shallāllāhu `alayhi wa sallam,
 niscaya kita dapati keberagaman kondisi mereka. Tingkatan ilmu agama 
mereka pun bermacam-macam. Ada yang menjadi ulama, pengajar atau mufti; 
dan ada pula yang tidak. Meskipun demikian, mereka semua berserikat 
dalam kebaikan dan keutamaan. 
Saya ingin menutup artikel ini dengan kisah Imam Mālik—rahimahullāh: 
Suatu ketika, `Abdullāh ibn `Abd al-`Azīz al-`Umariy,
 seorang ahli ibadah pada masa itu, menulis surat untuk Imam Mālik. Ia 
mengajak untuk menggiatkan ibadah, menyepi dan menghindari berkumpul 
dengan orang-orang di majelis ilmu. 
Imam Mālik kemudian menulis jawaban atas surat tersebut, yang bunyinya: 
إن
 الله تعالى قسم بين عباده الأعمال كما قسم الأرزاق. فرب رجل فتح له في 
الصلاة، ولم يفتح له في الصوم، وآخر فتح الله له في الجهاد، ولم يفتح له في
 الصلاة، وآخر فتح له في الصدقة، ولم يفتح له في الصيام. وقد علمت أن نشر 
العلم وتعليمه من أفضل أعمال، وقد رضيت بما فتح الله لي فيه، وقسم لي منه، 
وما أظن ما أنا فيه بدون ما أنت فيه من العبادة، وكلانا على خير إن شاء 
الله
“Sesungguhnya Allah Ta`ālā 
telah membagi-bagikan amal di antara para hamba-Nya, sebagaimana Dia 
membagikan rizki. Ada yang dibukakan pintu shalat (sunnah), namun tidak 
dibukakan baginya pintu puasa (sunnah); ada juga yang dibukakan pintu 
jihad, tetapi tidak dengan pintu shalat (sunnah); dan ada pula yang 
dibukakan pintu sedekah, namun tidak dengan pintu puasa (sunnah). Engkau
 telah mengetahui bahwa menyebarkan ilmu dan mengajarkannya termasuk 
amal yang paling utama. Saya ridha dengan pintu yang Allah bukakan bagi 
saya, dan bagian yang diberikan untuk saya. Saya kira kondisi saya yang 
demikian ini tidak lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ibadah yang 
engkau lakukan. Kita berdua sama-sama di atas kebaikan, in syā-allāh.” [Lihat: al-Istidzkār, Ibn `Abd al-Barr, vol. V, hlm. 146.]
Intinya, menjadi orang yang berilmu 
agama secara mumpuni merupakan pilihan yang baik, bahkan sangat baik. 
Namun itu tidaklah menafikan keutamaan dan keunggulan dari 
pilihan-pilihan baik lainnya. Selanjutnya, keterpaksaan dalam penentuan 
pilihan-pilihan tersebut perlu dihindari sedapat mungkin. Sebagai 
gantinya, yang perlu ditumbuhkan adalah dorongan, kesadaran, kegemaran 
serta inisiatif pribadi. Ini memang tidak mudah.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga ada manfaatnya. Wallahu a`lam bish-shawab.
Salam,
adni kurniawan (http://adniku.blogspot.com) 
—————————————————— *Sumber gambar dari hasil pencarian Google

Post a Comment