Tulisan berikut mungkin dapat dikatakan telah kehilangan momennya atau terlambat, namun dari sisi content in sya’a'Llāh tetap tidak expired. Selamat menyimak dan semoga ada manfaatnya.
“Permisalan
perbuatan seorang yang mendekatkan diri kepada Rabbnya,” kata Pak
Izhar, guru kimia saya sewaktu SMU, “adalah seumpama gerakan elektron
yang mendekati inti atom. Kita tahu elektron-elektron berada pada
lintasan-lintasan energi yang mengelilingi inti atom. Elektron dapat
berpindah dari satu lintasan ke yang lain dengan melepas atau menyerap
energi. Jika elektron berpindah ke lintasan yang menjauhi inti, maka ia
menyerap energi. Dan jika ia berpindah ke lintasan yang medekati inti
maka ia melepas energi. Semakin dekat elektron dengan inti maka ia
semakin stabil.” Demikianlah kira-kira yang disampaikan Pak Izhar.
Sebagaimana
halnya elektron yang semakin stabil apabila semakin dekat dengan inti,
maka seorang hamba yang semakin dekat dengan Rabbnya maka akan semakin
stabil kehidupannya. Penuh ketentraman, ketenangan, serta tidak goyah
atau terombang-ambing oleh ujian dan cobaan yang menderanya.
Elektron
menyerap energi untuk berpindah ke lintasan yang menjauhi inti. Begitu
pula dengan seorang hamba yang menjauhi Rabbnya, maka ia mengumpulkan
“energi”. Pada umumnya, ia harus mengumpulkan harta terlebih dahulu
untuk kemudian digunakan pada jalan-jalan kemaksiatan, baik itu berupa
narkoba, pelacuran, minuman keras dan lain-lain.
Elektron
melepas energi untuk berpindah ke lintasan yang mendekati inti. Begitu
pula dengan hamba yang mendekati Rabbnya, maka ia melepas “energi”, baik
dengan jalan melakukan shalat malam, puasa sunnah, bersedekah, berjihad
dan sebagainya. Hamba tersebut melepaskan tenaga, harta, bahkan nyawa,
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah `Azza wa Jalla.
Ibadah kurban dengan menyembelih binatang ternak yang diadakan oleh kaum muslimin setiap 10 Dzulhijjah atau `Īdul Adhhā
merupakan salah satu bentuk dan simbolisasi dari pelepasan “energi”
dimaksud, dalam rangka menunjukkan seberapa besar ketaqwaan seorang
hamba kepada Rabbnya. Allah `Azza wa Jalla berfirman,
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj [22]: 37)
Dengan
demikian, darah yang mengalir dan daging yang dipotong bukanlah sesuatu
yang dimaksudkan atau dijadikan tujuan dari segi dzatnya. Ibadah kurban
hanyalah merupakan sarana untuk meraih derajat taqwa. Sedangkan taqwa
adalah sebaik-baik bekal dalam mengarungi kehidupan dan merupakan sumber
segala kebaikan serta kebahagiaan, di dunia dan akhirat. Inilah yang
menjadi tujuan. Allah `Azza wa Jalla berfirman,
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Dan berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)
Parameter
taqwa berkaitan dengan seberapa besar ketaatan kita pada-Nya dan
seberapa mampu kita melepaskan “energi” yang ada pada kita untuk-Nya.
Bicara
tentang ibadah kurban tentu tidak akan terlepas dari kisah masyhur
penyembelihan Ibrāhīm terhadap puteranya, Ismā`īl. Ismā`īl, seorang anak
yang setelah sekian lama dinanti lalu setelah hadirnya maka
diperintahkan kepada sang ayah agar meninggalkannya di padang tandus
yang tak berpenduduk, dan kemudian akhirnya diperintahkan untuk
disembelih. Sang ayah melakukan hal tersebut dengan penuh ketaatan untuk
ridha-Nya, tanpa bertanya mengapa atau menakwil perintah tersebut.
Sekiranya perintah yang sama diberikan kepada para “intelektual” pemuja
akal, tentulah mereka akan menakwilkan dan menolaknya dengan berbagai
dalih serta alasan, karena tidak masuk akal. Ismā`īl merupakan
perlambang hal yang paling berharga sekaligus energi “terbesar” yang ada
pada Ibrāhīm.
Akhirnya,
terdapat pertanyaan yang rasanya patut kita renungkan, dapatkah kita
mengorbankan “ismā`īl” yang ada pada kita untuk-Nya? “Ismā`īl” yang
dimaksud dapat berupa harta, anak, jabatan, wanita, bahkan jiwa, dan
sebagainya. Sudahkah semangat mengorbankan “ismā`īl” tersebut mewarnai
kehidupan kita sehari-hari?
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan
di antara manusia ada orang yang menjual (mengorbankan) dirinya karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 207)
Semoga ada manfaatnya.
Salam,
Adni Abū Fāris an-Nūri
NB: Sebagian content tulisan ini terinspirasi dari ceramah Dirut sebuah LKS
Post a Comment