Umumnya pembelajar telah mengetahui tentang adanya diktum dari Salaf bahwa sekte Murjiah lebih bahaya dibandingkan sekte Khawarij.
Ibrahim al-Nakha’i (47 H - 96 H/666 - 714) berkata,
لفتنتهم يعنى المرجئة أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh, fitnah mereka (yaitu Murjiah) terhadap umat ini lebih saya khawatirkan ketimbang fitnah sekte Azariqah (Khawarij).” Azariqah adalah bagian dari sekte Khawarij, yang dinisbatkan kepada tokohnya, al-Nafi’ bin al-Azraq.
Al-Zuhri (58 H - 124 H/671 - 741) berkata, “Tidaklah dibuat bidah di dalam Islam yang lebih memudaratkan pemeluknya dibandingkan pemahaman sekte Murjiah.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa, vol. VII, hlm. 394-395]
Juga diriwayatkan dari Ibrahim al-Nakha’i, bahwa beliau berkata,
الخوارج أعذر عندي من المرجئة
“Sekte Khawarij itu menurut saya lebih diuzur dibandingkan sekte Murjiah.” [Lihat: al-Sunnah, yang disusun oleh ‘Abdullah bin Ahmad, vol. I, hlm. 337.]
Namun, sekte Murjiah itu sendiri beragam. Maka, sekte Murjiah mana yang dimaksud? Ini penting diketahui, karena kadang dijumpai semacam ADANYA UPAYA MENAKUT-NAKUTI dari kelompok yang mengafirkan persona tertentu kepada pihak lain yang berbeda pandangan dengan tidak mengafirkannya, sementara bisa jadi khilafnya memang masih muktabar, bahwa yang menyelisihi pihak pengafir itu kemudian mereka golongkan ke dalam sekte Murjiah, yang lebih buruk ketimbang sekte Khawarij.
Untuk mengetahui sekte Murjiah mana yang lebih buruk ketimbang sekte Khawarij tersebut, kita bisa membaca, misalnya, uraian Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir al-Barrak yang relevan dengan isu dimaksud, sebagaimana dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah milik beliau (hlm. 216-217, cet. I, Dar al-Tadmuriyyah, Riyadh, KSA, dengan SS terlampir):
“Ada pun menurut Murjiah, selama seseorang memiliki pokok keimanan yaitu tashdiq (pembenaran) atau makrifah terhadap Sang Pencipta, maka ia adalah seorang mukmin yang sempurna keimanannya. Tidak mudarat baginya perbuatan dosanya. Bidah Murjiah ini lebih buruk dibandingkan Khawarij. Sebab Khawarij membesarkan urusan dosa, serta berlebihan dalam menghindari dan memperingatkan dosa.
Ulama sendiri berbeda pendapat tentang pengafiran Khawarij. Dari (Imam) Ahmad terdapat dua riwayat tentang (pengafiran) sekte Khawarij tersebut. (Ada pun) Syaikhul-Islam (Ibn Taimiyyah) menukilkan bahwa para Sahabat ijmak Khawarij tidak kafir, melainkan ahli bidah yang sesat.
Ada pun BIDAH MURJIAH maka LEBIH BURUK DIBANDINGKAN BIDAH KHAWARIJ. SEBAB IMPLIKASINYA adalah BERANI MENERJANG hal-hal yang HARAM dan melakukan tindak keburukan, serta tidak peduli dengannya. Dalam hal tersebut terdapat unsur penolakan terhadap nas-nas Quran dan Sunnah yang menunjukkan pengharaman perkara-perkara yang haram serta hukuman atasnya, seperti (dalam): pembunuhan, kabur dari pertempuran dan makan harta anak yatim.”
Syaikh al-Barrak kemudian menjelaskan, “Dengan demikian, bagaimana mungkin dikatakan bahwa bersama keimanan maka dosa tidak memudaratkan?! Inilah mazhab Jahm (bin Shafwan, 696 - 745/128 H). Jahm adalah imam/pentolan Murjiah ekstrem.
Ibrahim al-Nakha’i (47 H - 96 H/666 - 714) berkata,
لفتنتهم يعنى المرجئة أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh, fitnah mereka (yaitu Murjiah) terhadap umat ini lebih saya khawatirkan ketimbang fitnah sekte Azariqah (Khawarij).” Azariqah adalah bagian dari sekte Khawarij, yang dinisbatkan kepada tokohnya, al-Nafi’ bin al-Azraq.
Al-Zuhri (58 H - 124 H/671 - 741) berkata, “Tidaklah dibuat bidah di dalam Islam yang lebih memudaratkan pemeluknya dibandingkan pemahaman sekte Murjiah.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa, vol. VII, hlm. 394-395]
Juga diriwayatkan dari Ibrahim al-Nakha’i, bahwa beliau berkata,
الخوارج أعذر عندي من المرجئة
“Sekte Khawarij itu menurut saya lebih diuzur dibandingkan sekte Murjiah.” [Lihat: al-Sunnah, yang disusun oleh ‘Abdullah bin Ahmad, vol. I, hlm. 337.]
Namun, sekte Murjiah itu sendiri beragam. Maka, sekte Murjiah mana yang dimaksud? Ini penting diketahui, karena kadang dijumpai semacam ADANYA UPAYA MENAKUT-NAKUTI dari kelompok yang mengafirkan persona tertentu kepada pihak lain yang berbeda pandangan dengan tidak mengafirkannya, sementara bisa jadi khilafnya memang masih muktabar, bahwa yang menyelisihi pihak pengafir itu kemudian mereka golongkan ke dalam sekte Murjiah, yang lebih buruk ketimbang sekte Khawarij.
Untuk mengetahui sekte Murjiah mana yang lebih buruk ketimbang sekte Khawarij tersebut, kita bisa membaca, misalnya, uraian Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir al-Barrak yang relevan dengan isu dimaksud, sebagaimana dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah milik beliau (hlm. 216-217, cet. I, Dar al-Tadmuriyyah, Riyadh, KSA, dengan SS terlampir):
“Ada pun menurut Murjiah, selama seseorang memiliki pokok keimanan yaitu tashdiq (pembenaran) atau makrifah terhadap Sang Pencipta, maka ia adalah seorang mukmin yang sempurna keimanannya. Tidak mudarat baginya perbuatan dosanya. Bidah Murjiah ini lebih buruk dibandingkan Khawarij. Sebab Khawarij membesarkan urusan dosa, serta berlebihan dalam menghindari dan memperingatkan dosa.
Ulama sendiri berbeda pendapat tentang pengafiran Khawarij. Dari (Imam) Ahmad terdapat dua riwayat tentang (pengafiran) sekte Khawarij tersebut. (Ada pun) Syaikhul-Islam (Ibn Taimiyyah) menukilkan bahwa para Sahabat ijmak Khawarij tidak kafir, melainkan ahli bidah yang sesat.
Ada pun BIDAH MURJIAH maka LEBIH BURUK DIBANDINGKAN BIDAH KHAWARIJ. SEBAB IMPLIKASINYA adalah BERANI MENERJANG hal-hal yang HARAM dan melakukan tindak keburukan, serta tidak peduli dengannya. Dalam hal tersebut terdapat unsur penolakan terhadap nas-nas Quran dan Sunnah yang menunjukkan pengharaman perkara-perkara yang haram serta hukuman atasnya, seperti (dalam): pembunuhan, kabur dari pertempuran dan makan harta anak yatim.”
Syaikh al-Barrak kemudian menjelaskan, “Dengan demikian, bagaimana mungkin dikatakan bahwa bersama keimanan maka dosa tidak memudaratkan?! Inilah mazhab Jahm (bin Shafwan, 696 - 745/128 H). Jahm adalah imam/pentolan Murjiah ekstrem.
Ada pun Murjiah al-Fuqaha` (kalangan ahli fikih) maka mazhab mereka tidaklah demikian. Mereka hanya mengeluarkan perbuatan dari penamaan iman, namun tetap memandang wajibnya perkara-perkara yang wajib dan haramnya hal-hal yang haram, juga bahwa terdapat hukuman bagi berbuat yang haram atau meninggalkan kewajiban. Juga, mereka memandang bahwa dosa memudaratkan pelakunya serta membuatnya berhak mendapatkan hukuman yang Allah ancam di dalam Quran, dan/atau sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah (shallallahu ‘alayhi wa sallam).” Demikian kutipan dari Syaikh al-Barrak.
Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah juga menjelaskan dan sekaligus menegaskan advokasinya terhadap yang terkategori dalam Murjiah al-Fuqaha`,
ولهذا دخل فى ارجاء الفقهاء جماعة هم عند الأمة اهل علم ودين ولهذا لم يكفر أحد من السلف أحدا من مرجئة الفقهاء بل جعلوا هذا من بدع الأقوال والأفعال لا من بدع العقائد فإن كثيرا من النزاع فيها لفظي
لكن اللفظ المطابق للكتاب والسنة هو الصواب فليس لأحد أن يقول بخلاف قول الله ورسوله لا سيما وقد صار ذلك ذريعة إلى بدع أهل الكلام من اهل الارجاء وغيرهم وإلى ظهور الفسق فصار ذلك الخطأ اليسير فى اللفظ سببا لخطأ عظيم فى العقائد والأعمال فلهذا عظم القول فى ذم الارجاء
“Oleh sebab itu, termasuk dalam paham Murjiah al-Fuqaha` adalah jamaah ahli. Ilmu dan agama yang di sisi umat Islam. Karena itu, TIDAK ADA SALAF yang MENGAFIRKAN SEORANG PUN MURJIAH AL-FUQAHA`. Bahkan hal tersebut dianggap sebagai bidah (dalam jenis) ucapan dan perbuatan, dan BUKAN BIDAH AKIDAH. Sebab, BANYAK dari PERSELISIHAN yang terkait dengannya adalah (sekadar) PERBEDAAN REDAKSIONAL [bukan esensial].
Namun demikian, redaksi yang sesuai dengan Quran dan Sunnah itulah yang benar. Dan tidak seorang pun berhak menyampaikan redaksi ucapan yang menyelisihi perkataan Allah dan Rasul-Nya. Terlebih apabila redaksi itu menjadi sarana pengantar bagi kebidahan kalangan Ahli Kalam, baik dari Murjiah maupun selainnya, dan juga menyebabkan timbulnya kefasikan. Sehingga, kesalahan kecil pada redaksi menjadi penyebab terjadinya kesalahan besar pada akidah dan amal. Karena itulah ulama membesarkan celaan kepada Murjiah."
Kemudian, Ibn Taimiyyah menukilkan celaan yang berat dari Ibrahim al-Nakha'i dan selainnya, yang sebagiannya telah dikutipkan di awal tulisan. [Lihat: Majmu’ al-Fatawa, vol. VII, hlm. 394.]
Jadi, dapat dipahami dari uraian di atas, bahwa di antara faktor utama mengapa sekte Murjiah dinilai lebih berbahaya ketimbang sekte Khawarij, adalah karena PENGABAIAN SYARIAH ISLAM merupakan implikasi pendapat sekte Murjiah, khususnya sekte Murjiah ekstrem yang beririsan dengan sekte Jahmiyyah. Karena itu, untuk Murjiah al-Fuqaha`, yang mereka pun MENGAGUNGKAN SYARIAH ISLAM, maka Ibn Taimiyyah menilai bahwa sejatinya penyelisihan mereka banyak yang sekadar bersifat redaksional, dan bukan esensial.
Di dalam buku al-Tanbihat al-Mutawaimah, ketika membahas ucapan Ibrahim al-Nakha’i di atas, Syaikh ‘Ali al-Halabi memberikan anotasi dengan mengutip dari Syaikh Safar al-Hawali untuk kemudian mengafirmasinya. Syaikh
Safar al-Hawali adalah penulis buku Zhahirah al-Irja` fi al-Fikr al-Islami
(Fenomena Paham Murjiah dalam Wacana Pemikiran Keislaman) yang sempat
memicu polemik dan reaksi antara lain dari Syaikh al-Albani dan
murid-muridnya, termasuk Syaikh al-Halabi. Namun untuk kutipan dimaksud,
yang nanti akan disebutkan, Syaikh al-Halabi justru memberikan
afirmasi.
Kutipan:
Dr. Safar al-Hawali pernah menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, “Apakah Anda memandang paham Murjiah lebih berbahaya terhadap Islam, atau ghuluw (ekstremisme)?”
Ia menjawab, “Keduanya sangat berbahaya. Namun yang lebih berbahaya bagi kalangan pemuda pegiat kebangkitkan Islam era kontemporer adalah ghuluw (ekstremisme).
Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dahulu memperingatkan umat dari bahaya sekte Khawarij dengan menyebutkan secara spesifik sifat-sifat mereka, serta menyebutkan kewajiban memerangi mereka dan keutamaan bagi yang melaksanakan hal tersebut, berdasarkan puluhan riwayat yang valid. Sementara untuk paham Murjiah, tidak ada satu pun hadits marfu’.
Sebabnya adalah, ghuluw (ekstremisme) merupakan pengubahan terhadap agama. Sedangkan paham Murjiah adalah inatensi (tafrith) terhadap agama, atau sebagai justifikasi terhadap kekurangan dalam beragama. Paham Murjiah berbahaya bagi kalangan umum. Namun, banyak kaum muslimin menolak untuk menjadikannya sebagai bagian dari agama...
Adapun ekstremis yang eksesif, maka ia mendapat posisi pengultusan (taqdis), sebagaimana yang terjadi pada kalangan ahli zuhud dan ibadah yang eksesif. Karena masyarakat menilai mereka lebih berpegang teguh dengan agama. Biasanya masyarakat tidak mampu membedakan antara kesungguhan berpegang teguh terhadap kebenaran dan ekstremisme. Akibatnya, terjadilah kesamaran, dan muncul perubahan paham keagamaan.
Selain itu, di antara yang menjadikan ekstremisme lebih berbahaya adalah ia mengakibatkan tindak kekerasan, penghalalan darah kaum muslim, menjadi batu sandungan umat dari jihad, dan bahkan menceraiberaikan saf mujahidin. Begitulah sejak keluarnya sekte Khawarij sampai dengan hari ini.”
Demikian yang tercantum dalam Majalah al-Bayan, no. 176, hlm. 46-47, pada rubrik Diskusi.
Setelah menukil pernyataan Syaikh Safar al-Hawali di atas, Syaikh ‘Ali al-Halabi memberikan komentar afirmatif, “Mayoritas ucapannya di sini merupakan kebenaran. Semoga Allah memperbaiki yang bersangkutan.” [Lihat: al-Tanbihat al-Mutawaimah fi Nushrah Haqq al-Ajwibah al-Mutalaimah, Maktabah Dar al-Hadits, Uni Emirat Arab, cet. I, hlm. 324.]
Demikian saja, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.
Kamis sore menjelang penentuan awal Ramadan, 23/04/2020, atau bertepatan dengan 29 Sya'ban 1441 H, dan kemudian dilengkapi pada 15/05/2020
Adni Abu Faris
Syarh al-Thahawiyyah |
Syarh al-Thahawiyyah |
al-Tanbihat al-Mutawaimah |
Post a Comment