Allah `Azza wa Jalla berfirman:
مَّثَلُ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Permisalan
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat
seratus biji. Dan Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang
Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261.)
Demikianlah
Allah memotivasi para hamba-Nya untuk menafkahkan atau memberikan harta
di jalan-Nya, yakni dalam segala hal yang mendatangkan keridhaan-Nya.
Firman Allah tersebut mencakup pengeluaran harta yang sifatnya wajib,
seperti zakat, maupun yang sifatnya sunnah, seperti infaq dan sedekah
sunnah. Satu dibalas tujuh ratus kali lipat.
Dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidak mengurangi harta.” [Riwayat Muslim dalam Shahīh-nya IV/2001/2588, dan lain-lain.]
Nabi s.a.w. juga bersabda,
مَا
مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ
فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ
الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak
ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi
harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah,
berilah ganti bagi orang yang berinfaq.’ Sementara yang lainnya berkata:
“Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit.’” [Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.]
Dengan
demikian, dalam konsep Islam, pengeluaran harta untuk berbagai macam
bentuk kebaikan di jalan-Nya merupakan aset dan investasi yang pasti
menguntungkan baik secara materi maupun immateri, tangible maupun intangible, di dunia maupun di akhirat; dan bukan liability
atau biaya yang akan mengurangi harta. Justru tindakan menahan harta
itulah yang akan menimbulkan kerugian. Kaum Muslim wajib meyakini
kebenaran hal tersebut, sebagaimana mereka wajib meyakini kebenaran
seluruh janji Allah dan Rasul-Nya. Mungkin dapat dikatakan bahwa pada
umumnya kaum Muslim pun telah mengetahui konsep di atas. Hanya saja
penyakit krusial dalam hal ini terletak pada kelemahan aqidah, sehingga
pengetahuan tersebut hanya menjadi sebatas pengetahuan, tidak membuahkan
keyakinan yang akhirnya melahirkan tindakan nyata.
Konsep
Islam tersebut mungkin sulit diterima—apalagi diyakini dan terlebih
diamalkan—oleh mereka yang teracuni oleh materialisme, mendewakan
kebendaan dan berpikir matematis secara short time.
Permasalahannya, virus materialisme tersebut terus-menerus menginfeksi
dan menjangkiti kaum Muslim seiring derasnya arus budaya syahwat, baik
sadar maupun tidak.
Allah
tidak butuh harta dari hamba-Nya, karena Dialah yang maha kaya, bahkan
Dialah yang maha memberi. Manusialah yang membutuhkan harta dan bantuan
dari sesamanya, sesuai karakternya sebagai makhluk sosial (homo homini socious).
Orang-orang miskin membutuhkan uluran tangan dari orang-orang yang
memiliki harta berlebih. Di negara ini, golongan fakir dan miskin
bertebaran di mana-mana. Menteri Keuangan sekaligus Menko perekonomian,
Sri Mulyani, dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR, pada hari Selasa, 26
Agustus 2008 menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia yang
berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2008 adalah sebesar 34,96
juta atau 15,42%, dan dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada
Februari 2008 sebesar 8,46% atau 9,43 juta.
[http://www.detikfinance.com/read/2008/08/26/153537/994926/4/angka-kemiskinan-turun-221-juta]
Melihat kenyataan di lapangan yang tampaknya jauh lebih memprihatinkan, validitas data tersebut boleh dibilang cukup meragukan.
Masih
tingginya tingkat kemiskinan di negeri ini, merupakan peluang yang
sangat besar bagi mereka yang memiliki harta berlebih untuk berinfaq,
dalam rangka meraup benefit serta keuntungan darinya di dunia maupun
akhirat.
Dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ
الإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ وَرَجُلٌ
قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ
اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ
فَأَخْفَاهَا، حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ،
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ
طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إلى نَفْسِهَا فَقَالَ
إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Ada
tujuh golongan yang akan Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari
dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. (1) Pemimpin yang adil.
(2) Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah. (3) Pria yang
hatinya selalu terikat dengan masjid. (4) Dua orang yang saling
mencintai karena Allah; dia berkumpul karena-Nya dan berpisah
karena-Nya. (5) Seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi,
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh
tangan kanannya. (6) Seseorang yang berdzikir kepada Allah secara
menyendiri, lalu air matanya berlinang. (7) Lelaki yang diajak (berzina)
oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata:
‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah `Azza wa Jalla.’” [Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya I/234/629 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/715/1031.]
Post a Comment