Apalah
 artinya usia. Ia tidak lebih dari sekedar bilangan, dan bukan 
representasi dari suatu keistimewaan. Ia hanyalah penunjuk jumlah hari 
yang dilewati seorang manusia dalam menemani bumi mengitari matahari. 
Islam
 tidak mengajarkan pengkultusan usia. Kecuali perintah bagi yang muda 
untuk menghormati yang lebih tua, selaras dengan tradisi etika yang pada
 umumnya berlaku. Usia yang dihargai dalam Islam hanyalah yang 
diproduktifkan serta menjadi wadah bagi kinerja dan karya. Sebab Islam 
menghargai prestasi dan bukan prestise. Singkatnya, ajaran Islam 
memposisikan parameter profesionalitas jauh di atas senioritas semata. 
Inilah yang Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—contohkan dalam membina generasi awal kaum Muslim. 
Pada tahun ke-11 Hijriah, setelah haji wadā` (perpisahan), Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengangkat
 Usāmah ibn Zaid, yang ketika itu usianya belum genap 20 tahun untuk 
memimpin pasukan kaum Muslim melakukan ekspansi ke wilayah Syām yang 
berada di bawah cengkraman imperium Romawi. Padahal di kalangan kaum 
Muslim terdapat banyak sahabat utama Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—yang jauh lebih senior ketimbang Usāmah. 
Namun, ketika pasukan melakukan persiapan keberangkatan, Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengalami sakit keras yang berujung kepada kematian beliau. Keberangkatan pasukan pun tertunda. 
Tak lama setelah wafatnya Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—Abu Bakr ash-Shiddīq didaulat menjadi Khalīfah, dan beliau pun meneruskan apa yang telah dimulai oleh Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—yaitu memberangkatkan Usamāh dan pasukannya menghadapi Romawi. 
Masih dalam suasana duka dan penurunan stabilitas karena wafatnya Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—sebagian
 kalangan Anshār menilai bahwa saat itu bukanlah momen yang tepat untuk 
keberangkatan pasukan. Mereka lalu meminta `Umar untuk membicarakan hal 
tersebut kepada Abū Bakr. Mereka mengajukan dua usulan, yaitu penundaan 
keberangkatan pasukan, atau jika tidak, maka mereka meminta agar 
pimpinan pasukan digantikan oleh sahabat yang lebih senior daripada 
Usāmah, dengan alasan bahwa usianya terlalu muda dan pengalamannya belum
 banyak. 
`Umar
 lalu menyampaikan usulan dimaksud kepada Abū Bakr. Mendengar hal itu, 
Abū Bakr marah dan berkata, “Celaka engkau wahai Ibn al-Khaththāb! 
Adalah Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—yang mengangkatnya 
sebagai pimpinan pasukan, lantas engkau meminta kepadaku agar 
mencopotnya?! Demi Allah, aku tidak akan menyelisihi pesan dan perintah 
Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam.” `Umar pun menyesali usulan tersebut. 
Tentu Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—tidak menunjuk Usāmah ibn Zaid dengan tanpa alasan. Disebabkan potensi Usāmah, berupa integritas dan kompetensi, maka Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—memilihnya sebagai komandan pasukan di usianya yang masih sangat muda. Pilihan Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—ternyata
 sangatlah tepat. Terbukti bahwa Usāmah dan pasukannya memperoleh 
kemenangan yang gemilang dalam peperangan melawan imperium adidaya 
Romawi. Sampai-sampai dikatakan bahwa tidak ada pasukan yang lebih 
selamat dan lebih banyak mendapatkan ghanīmah (harta perang) dibandingkan pasukan Usāmah. [Lihat Shuwar min Hayah ash-Shahābah, hlm. 226-228.] 
Penggalan
 sejarah di atas menunjukkan bahwa Islam mengeleminir sistem senioritas 
yang berbasiskan usia semata, dan menggantinya dengan profesionalitas 
yang berbasiskan integritas dan kompetensi untuk berkarya serta 
menyelesaikan amanah dengan baik. Masih banyak contoh serupa yang 
menghiasai lembaran sejarah peradaban Islam, namun kiranya bukan di sini
 tempat untuk memaparkan hal tersebut. 
Namun
 demikian, bukan berarti usia dan senioritas sama sekali dinihilkan 
dalam ajaran Islam, hanya saja parameter tersebut jauh dibelakangkan 
dibandingkan profesionalitas. Untuk menjadi imam shalat, misalnya, 
apabila terdapat beberapa kandidat imam memiliki kompetensi dan 
integritas yang setara maka yang berhak diangkat menjadi imam adalah 
yang paling senior, yaitu dari sisi hijrah dan selanjutnya dari sisi 
usia, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang valid. 
Jika
 ada orang yang panjang usianya, sehingga banyak karya dan kebaikannya, 
maka inilah kebaikan di atas kebaikan. Dan apabila ada orang yang 
panjang usianya tetapi panjang juga daftar keburukannya, maka itulah 
kejelekan yang berlipat ganda. 
Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda, 
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
”Sebaik-baik
 manusia adalah yang panjang umurnya serta baik amalnya. Dan 
seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya namun buruk amalnya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/556/2330 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.] 

Post a Comment