Perenungan menjadi hal mewah di zaman serba instan ini. Cyberspace,
 jarak yang dilipat dan dunia yang berkejaran kencang, tampaknya 
menyudutkan perenungan pada kotak waktu yang besarnya hampir 
ternihilkan. 
Renungan patur dibedakan dengan lamunan. Merenung adalah hal produktif, yaitu menginvestasikan waktu dengan berpikir mendalam (deep thinking) untuk tercapainya perbaikan berkesinambungan (continous improvement) di masa mendatang. Dari renungan, lahirlah breakthrough
 dan solusi dari berbagai permasalahan. Adapun melamun maka bersifat 
konsumtif, yaitu membelanjakan dan memboroskan waktu untuk hal-hal yang 
tidak bermanfaat. Dalam hadits nabawi, melamun diistilahkan dengan thūlu’l amal (panjang angan-angan). 
Islam menganjurkan perenungan. Dalam teks-teks keagamaan didapati anjuran untuk merenungkan dan memikirkan ayat-ayat-Nya, baik qauliyyah, yang tertuang Kitab Suci dan hadits nabawi, maupun kauniyyah,
 yang terhampar dalam bentangan semesta raya. Bahkan, mungkin dapat 
dikatakan bahwa salah satu hikmah dianjurkannya bangun malam untuk 
beribadah (di antaranya shalat Tahajjud) adalah karena waktu tersebut 
juga merupakan momen yang paling tepat untuk merenung dan berpikir. Hal 
sebaliknya, terdapat kecaman bagi mereka yang tidak mau merenung dan 
berpikir. 
Dalam dimensi yang lebih sempit, renungan kadang diistilahkan dengan muhāsabah. Secara etimologis, muhāsabah berasal dari huruf h s b yang berasosiasi dengan perhitungan atau memperhitungkan. Jadi, makna muhāsabah
 kurang lebih adalah membuat perhitungan terhadap diri sendiri atas 
kondisi dan kekurangan di masa lampau untuk koreksi, peningkatan dan 
perbaikan di masa mendatang, sebelum datangnya perhitungan hakiki dari 
Allah pada hari Kiamat. Dalam bahasa Indonesia, muhāsabah sering diterjemahkan dengan introspeksi. 
Diriwayatkan bahwa `Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata, 
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
“Buatlah perhitungan atas diri-diri kalian, sebelum kalian diperhitungkan (oleh Allah).” [Riwayat Ibn Abī Syaibah dalam al-Mushannaf VII/96/34459. Secara sanad, sebagian ahli hadits mencacat validitas riwayat tersebut. Namun tidak diragukan bahwa maknanya benar.] 
Memperhitungkan
 kesalahan dan kekurangan diri sendiri secara jujur dan benar umumnya 
merupakan hal yang sulit, karena manusia sering dikalahkan oleh hawa 
nafsu, subyektifitas dan vested interest. Kecuali mereka yang merendahkan dirinya dengan sebenarnya di hadapan keagungan dan kemahasempurnaan Rabbnya. 
Setidaknya ada lima hal yang harus diperhitungkan, yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w. berikut: 
لاَ
 تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنُ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ 
حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاه، وَعَنْ 
شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلاَه، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ 
وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidaklah
 kedua kaki seorang hamba itu bergerak dari sisi Rabbnya pada hari 
Kiamat, hingga ia ditanya tentang lima hal: (1) tentang umurnya, untuk 
apa ia gunakan; (2) tentang masa mudanya, untuk apa ia habiskan; (3) 
tentang hartanya, dari mana ia dapatkan, dan (4) kemana ia belanjakan 
harta tersebut; serta (5) apa yang ia amalkan atas hal-hal yang sudah 
diketahuinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/612/2416 dan lain-lain.]
Tentunya kita pun tidak dilarang untuk merenung dan memperhitungkan hal-hal yang bersifat duniawi, sebagaimana firman Allah: 
وَابْتَغِ
 فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ 
الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan
 carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) 
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia, serta 
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” [QS. 
Al-Qashash (28): 77.] 
Zaman
 berlari, bulan berganti, tahun berlalu. Masa lalu adalah 
partikel-partikel anggota tubuh manusia yang tertanggalkan di belakang. 
Imam al-Hasan al-Bashri berkata, 
ابْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمُ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Hai anak Adam, hanyasanya engkau adalah hari-hari berbilang. Jika satu hari pergi, maka hilang pula sebagian dirimu.” [Hilyah al-Auliyā' II/148.] 
 
Akhirnya, semoga 
kita dapat memperhitungkan dan merenungkan jejak waktu yang telah kita 
lewatkan guna memperbaiki kondisi diri ke depan. 
 *Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Yup, benar sekali!
ReplyDeletemuhasabah
Abdul JAbbar
PEnulis Buku: PAspor KEmatian