Di kantor, kadang sebagian rekan berkelakar, “Pendapat saya sih
sedari dulu sudah sama dengan pimpinan perusahaan, hanya pendapatan
saja yang masih beda!” Saya kemudian jadi ingat sebuah rumor yang
berhembus di kalangan sejumlah pegiat dakwah, bahwa perselisihan—atau
katakanlah: perpecahan—di kalangan sesama pengaku Ahli Sunnah adalah
lebih dikarenakan “beda pendapatan” dibandingkan “beda pendapat”. Rumor
tersebut memang tidak dapat dibuktikan sebagai kebenaran, namun juga
tidak dapat seratus persen dipastikan salah.
Saya
juga lalu jadi ingat pidato kenegaraan perdana `Umar ibn `Abd al-`Azīz
ketika didapuk sebagai pucuk pimpinan tertinggi kaum Muslim (amīr al-mu’minīn) pada zamannya, sebagaimana direkam oleh Ibn al-Jauzi dalam salah satu kitabnya, Shifah ash-Shafwah.
`Umar ibn `Abd al-`Azīz berkata,
أوصيكم
بتقوى الله فإن تقوى الله خلف من كل شيء ليس من تقوى الله عز وجل خلف
فاعملوا لآخرتكم فإنه من عمل لآخرته كفاه الله تبارك وتعالى أمر دنياه
وأصلحوا سرائركم يصلح الله الكريم علانيتكم وأكثروا ذكر الموت وأحسنوا
الاستعداد قبل أن ينزل بكم فإنه هادم اللذات….
وإن هذه الأمة لم تختلف في ربها عز وجل ولا في نبيها ولا في كتابها إنما اختلفوا في الدينار والدرهم….
يا أيها الناس من أطاع الله فقد وجبت طاعته ومن عصى الله فلا طاعة له أطيعوني ما أطعت الله فإذا عصيت الله فلا طاعة لي عليكم.
“Aku
wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allāh. Karena sesungguhnya taqwa
kepad Allāh merupakan pengganti segala sesuatu, sedangkan tidak ada
pengganti dari taqwa kepada Allāh—`Azza wa Jalla. Beramallah untuk akhirat kalian. Karena sesungguhnya siapa saja yang beramal untuk akhiratnya niscaya Allāh—Tabaraka wa Ta`ālā—mencukupinya
dalam hal perkara dunianya. Perbaikilah apa-apa yang tersembunyi dari
kalian, niscaya Allāh yang Maha Mulia akan memperbaiki apa-apa yang
tampak dari kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan perbaguslah
persiapan sebelum kedatangannya, karena sesungguhnya kematian itu adalah
pemusnah segala kelezatan….
“Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Rabbnya—`Azza wa Jalla—dan tidak pula tentang Nabinya, serta tidak pula tentang kitab (suci)nya. Hanyalah mereka berselisih dalam hal dinar dan dirham….
“Hai
sekalian manusia, barangsiapa yang taat kepada Allāh maka wajiblah
mentaatinya, dan barangsiapa yang memaksiati Allāh maka tidak ada
ketaatan baginya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allāh, dan
jika aku memaksiati-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kalian kepadaku.” [Shifah ash-Shafwah, vol. II, hlm. 114-115.]
Tesis
`Umar ibn `Abd al-`Azīz jelas menyebutkan bahwa faktor utama
perselisihan umat adalah masalah kekayaan. Mungkin dapat dikatakan
itulah komponen krusial penyebab terjadinya insiden berdarah perebutan
kekuasan yang berulang kali mewarnai sejarah perjalanan umat Islam.
Sekiranya kekuasaan itu terpisah total dari kekayaan, mungkin tidak akan
ada orang yang berambisi merebut kekuasaan.
Secara
psikologis, merupakan karakter manusia pada umumnya untuk senang
melihat orang lain yang senasib atau sama-sama susah. Ketika seorang
pegawai, misalnya, murka karena melihat rekannya menerima suap (risywah),
maka bisa jadi kemurkaan tersebut karena keharaman perbuatan tersebut,
namun bisa jadi juga kemurkaan itu jadi membesar karena adanya keinginan
agar sang rekan tetap sama-sama “melarat” dengannya. Kemarahannya bukan
semata-mata karena tindak keharaman, di mana hal ini diakomodir oleh
syara’, namun juga karena income sang rekan jadi mengungguli dirinya, di mana kemarahan semacam ini bersumber dari hawa nafsu.
Terjadinya
kesenjangan di kalangan sebagian ulama, ustadz dan dai terkadang bukan
semata-mata dipicu oleh perbedaan pendapat, namun bisa jadi karena
kecemburuan atas bisikan-bisikan duniawi yang dihembuskan oleh setan dan
hawa nafsu, seperti popularitas, penghasilan, pengikut dan lain-lain.
Hal yang dapat dimaklumi—meskipun tentunya tidak dapat
dibenarkan—mengingat mereka adalah manusia yang tidak luput dari
kesalahan. Saya memiliki (fotokopi) kitab berjudul Tahāsudu’l `Ulamā’ (Sikap Saling Dengki di Kalangan Ulama), dengan tebal lebih dari 500 halaman. Buku itu mengisahkan sikap hasad (dengki) yang kadang terjadi antar sesama ulama dari zaman ke zaman. [Mungkin di lain waktu jika Allāh mengizinkan, in syā-a'Llāh, kita dapat membahas hal ini secara terpisah.]
Lha, apa kaitan contoh di atas dengan perpecahan internal di kalangan pengaku Salafi? Ah,
saya rasa pembaca budiman dapat menyimpulkan sendiri benang merah
antara kedua hal tersebut. Saya tegaskan bahwa saya tidak sedang menuduh
niat pihak tertentu. Bukan itu maksud saya. Niat adalah urusan yang
bersangkutan dengan Allāh, yang tidak diketahui oleh orang lain. Saya
hanya ingin mengajak introspeksi, agar implementasi hajr yang
dipicu oleh perbedaan pendapat jangan sampai dikotori oleh hawa nafsu.
Di samping itu, dalam masalah dimaksud pun seharusnya tidak diterapkan hajr, karena masih debatable di kalangan ulama.
Ibn Taimiyyah berkata,
فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجرا غير مأمور به كان خارجا عن هذا وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله
“Siapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa
seringnya jiwa-jiwa itu melakukan apa yang diinginkan hawa nafsu, namun
menyangka bahwa ia melakukannya karena ketaatan kepada Allah.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XXVIII, hlm. 207.]
Nabi—`alaihi’sh shalatu wa’s salam—bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya
setan telah berputus asa untuk diibadahi oleh orang-orang yang shalat,
namun ia merusak relasi di antara mereka.” [Shahīh al-Jāmi` no. 1651.]
Semoga ada manfaatnya.
Salam,
Adni Abu Faris an-Nuri
Juni 2008
Post a Comment