(Bagian I) 

Belakangan ini cukup banyak status dan komentar di FB terkait Manthiq yang mampir ke saya. 

Sekadar menginfokan, belum lama ini saya membaca (cepat, speed reading) buku yang relevan dengan itu. Judulnya: "Ibn Taimiyah Versus Para Filosof", yang disusun oleh: Dr. Zainun Kamal, M.A. Buku itu awalnya merupakan disertasi penulisnya, berjudul "Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles".

Berikut saya akan kutipkan beberapa hal yang saya anggap menarik dari bagian Pendahuluan buku tersebut, yang kiranya perlu diketahui, khususnya bagi yang memuja ilmu ini secara berlebihan, apalagi kalau sampai menganggap bahwa itulah satu-satunya cara berlogika yang ada untuk meraih kebenaran, serta mengecilkan sosok Ibn Taimiyyah dalam hal ini.

Baiklah, saya mulai kutipannya. Tambahan [ ] dari saya: 


Logika Aristoteles dikenal dengan logika formal (Arab: al-manthiq al-shury). Disebut demikian karena yang terpenting adalah form atau bentuk [gambaran] dari sesuatu. ... Logika Aristoteles juga disebut logika tradisional [klasik], karena dijadikan pembeda dengan logika modern.

...

Adapun orang pertama dalam Islam yang melakukan kritik terhadap logika Aristoteles secara khusus adalah Ibn Taimiyah. Kritikannya tidak hanya terbatas pada prinsip-prinsip logika dan hukum kausalitas, sebagaimana yang dilakukan al-Ghazali, tetapi ia berusaha mengkritik prinsip-prinsip dasar logika deduktif dan silogisme.
Kalau di Dunia Barat pada abad XVII Francis Bacon (1561 - 1626 M) dianggap sebagai orang pertama pelopor keluar dari logika Aristoteles, maka sebelumnya, pada abad XIV [berarti selisih sekitar 3 abad sebelumnya] di dunia Islam, Ibn Taimiyah telah lebih dahulu memeloporinya. Bahkan, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama dari filsafat empirisme. Karena itu, menurut Nurcholis Madjid, Ibn Taimiyah dalam tinjauan modern semakin banyak mendapat perlakuan yang lebih simpatik. 

Selesai kutipan dari buku tersebut. Saya kira sebagai pelengkap, alangkah baiknya saya tambahkan pula kutipan opini dari seorang pemikir dan penulis sohor Mesir, `Abbas Mahmud al-`Aqqad dalam "al-Tafkir Faridhah Islamiyyah", terkait kritik Ibn Taimiyyah terhadap Manthiq (yang saya baca beberapa hari lalu, melalui buku "al-Intishar li Ahlil Atsar", lihat redaksi Arabic-nya pada lampiran gambar):


Siapa saja yang menelaah buku-buku Ibn Taimiyyah yang menyanggah para pengklaim Manthiq dan penggemar ilmu debat, nisaya ia mengetahui bahwa beliau berupaya membangun manthiq (penalaran) yang benar, serta menunjukkan realisasi prinsip-prinsip logika yang lurus ... Termasuk penguasaan Imam Ibn Taimiyyah terhadap rangkaian disiplin ilmu terkait pembahasan ini adalah, beliau merinci, baik secara penetapan maupun penafian, terhadap seluruh babnya, juga terhadap seluruh metodenya, baik terhadap permasalahan yang tersebar pada zamannya, maupun yang masih langka pada zamannya dan tersebar pada zaman setelahnya ... Dan, tidaklah Ibn Taimiyyah, sebagaimana disangka (sebagian orang), memusuhi Manthiq disebabkan ketidaktahuannya dan menyepelekannya karena ketidakmampuannya. Bahkan, pengetahuan beliau tampak jelas dalam pemaparan-pemaparannya, seakan-akan beliau termasuk kalangan yang hanya fokus melakukan studi di bidang ini dan menjadi expert di dalamnya. 


adni abu faris
29/10/2019 




(Bagian II) 

Nurcholish Madjid, dalam Warisan Intelektual Islam, yang dimuat dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid, hlm. 39-40, menulis:


Tetapi dari segi pencarian dan penemuan kebenaran itu sendiri, filsafat dan kalam memang mengandung problema. Pada zaman modern ini tidaklah terlalu sulit mengenali segi-segi Neoplatonisme dan Aristotelianisme yang merupakan titik-titik kelemahannya. Banyak dari Neoplatonisme itu, yang Islam maupun yang bukan Islam, yang lebih mirip dengan dongeng dan khayal seorang yang amat pandai, seperti, misalnya, emanasionismenya dalam kosmologi. Demikian pula dengan logika formal Aristoteles, yang mengingatkan kepada seseorang kepada seni permainan kata-kata kosong. Kosmologi Neoplatonis telah tuntas terbantah oleh ilmu pengetahuan modern, sedangkan logika Aristoteles telah lama tumbang oleh sistem-sistem logika yang dikembangkan oleh, misalnya, Mill, Leibniz, dan Russel.
Karena itu adalah suatu hal yang amat menarik dalam sejarah intelektual Islam bahwa pada abad ke-14, yakni sekitar masa satu generasi sesudah padamnya gelombang kedua Hellenisme, Ibn Taimiyah (Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah, w. 728 H/1328 M), seorang pemikir pembaru dari Damaskus, telah sangat secara dini menyadari kesalahan prinsipil keseluruhan bangunan filsafat dan kalam, dan dengan sangat kompeten membongkar kepalsuan logika Aristoteles (ilmu mantiq) yang banyak menguasai jalan pikiran para sarjana Islam, termasuk, misalnya, al-Ghazali yang menolak filsafat itu. Ibn Taimiyah sering digambarkan sebagai seorang pemikir fanatik dan reaksioner. Tetapi dalam tinjauan modern, Ibn Taimiyah semakin banyak mendapatkan perlakuan yang lebih simpatik, disebabkan antara lain oleh kesadaran baru para sarjana akan kompetensi Ibn Taimiyah dalam filsafat dan kalam yang dikritiknya. Dalam usahanya membongkar otoritas filsafat, misalnya, Ibn Taimiyah telah menulis berbagai karya khusus. Salah satunya yang besar adalah al-Radd `ala al-Manthiqiyyin (Bantahan kepada para Ahli Logika), yang dihargai sangat tinggi oleh para sarjana modern, dan yang membuatnya dapat dianggap sebagai peletak dasar pertama bagi sistem logika John Stuart Mill dan pendahulu filsafat David Hume. 

Selesai kutipan dari Cak Nur. 

Francis Bacon (1561-1626), filosof dan politikus Inggris, misalnya, berpandangan bahwa logika Aristoteles tidak memberi kemajuan, tidak memberi hasil yang bermanfaat, dan tidak menghasilkan hal-hal baru yang berfaedah bagi hidup. Ia dapat dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar bagi metode induksi modern, dan menjadi pelopor dalam usaha untuk mensistematisir secara logis prosedur ilmiah. Hal yang telah didahului sekitar tiga abad sebelumnya oleh Ibn Taimiyah. [Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) Jilid 2, hlm. 15; dan kutipan berikut komentarnya oleh Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof, bab Pendahuluan.]

Tentu saja hal kritik Ibn Taimiyah terhadap Manthiq tertuju pada hal-hal yang dinilainya keliru. Ibn Taimiyah sendiri mengakui bahwa di dalam Manthiq terdapat hal-hal yang benar. Ia berkata dalam mukadimah kitabnya, al-Radd `alal al-Manthiqiyyin:

أما بعد، فإني كنت دائما أعلم أن المنطق اليوناني لا يحتاج إليه الذكي ولا ينتفع به البليد، ولكن كنت أحسب أن قضاياه صادقة لما رأيت من صدق كثير منها، ثم تبين لي فيما بعد خطأ طائفة من قضاياه وكتبت في ذلك شيئا

Amma Ba`d, sesungguhnya saya sejak awal telah mengetahui bahwa Manthiq Yunani tidak dibutuhkan oleh orang yang pandai dan tidak bermanfaat untuk orang bodoh. Namun, saya dahulu mengira proposisi-proposisinya (qadhaya) benar, karena saya lihat banyak yang benar dari proposisi tersebut. Selanjutnya tampak bagi saya kesalahan sejumlah proposisinya, dan saya pun menuliskan sesuatu tentang hal tersebut. [Dikutip melalui al-Intishar li Ahlil Atsar, hlm. 16.]

adni abu faris
04/11/2019 










Post a Comment

 
Top