Di
 tahun 2007, saya pernah berdiskusi dengan Direktur Utama (Dirut) salah 
satu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terbesar di Indonesia. Pada 
kesempatan itu, Dirut berkata, “Menurut saya, kaum Mukmin itu seyogyanya
 tidak perlu merindukan Surga sebab Surgalah yang merindukan mereka. 
Manusia merupakan sebaik-baik penciptaan, sebagaimana disebutkan dalam 
firman Allāh (QS. At-Tīn: 80), lebih baik dari Surga sekalipun. Karena 
itu, tidak selayaknya sebaik-baik penciptaan merindukan sesuatu yang 
derajat penciptaannya lebih rendah. Yang derajat penciptaannya lebih 
rendah itulah yang seharusnya merindukan yang derajat penciptaannya 
lebih tinggi. Walhasil, kaum Mukmin sepantasnya hanyalah merindukan 
perjumpaan dengan Allāh.” Demikianlah kira-kira yang disampaikan Dirut 
tersebut. Saya kemudian menimpali, “Taruhlah yang demikian itu benar 
(padahal kurang tepat), namun bukankah perjumpaan dengan Allāh hanya 
terjadi apabila kaum Mukmin berada di Surga?” End of that story. 
Banyak
 kaum Muslim menjadikan Surga—secara dzatnya—sebagai tujuan utama dalam 
ibadah. Mereka menjadikan Surga dengan kenikmatan makanan, minuman, 
tempat tinggal dan pernikahan dengan bidadari sebagai keinginan terbesar
 mereka. Ini adalah kekurangan yang perlu dibenahi. Sebab, seindah 
apapun Surga, ia hanyalah makhluk. Keindahan makhluk hanyalah merupakan 
representasi dari sebagian kecil keindahan Sang Pencipta, dan sama 
sekali tiada artinya apabila disandingkan keindahan-Nya. Dengan demikian, tujuan utama seorang Muslim seharusnya tertuju kepada-Nya, dan bukan kepada selain-Nya. 
Allāh—`Azza wa Jalla—berfirman, 
وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنتَهَى
“Dan sesungguhnya kepada Rabbmu kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An-Najm [53]: 42) 
Allāh
 adalah kesudahan segala tujuan, cinta dan harapan. Tiada selain-Nya 
tujuan agung yang dicari secara dzatnya. Segala tujuan selain-Nya 
hanyalah merupakan sarana menuju kepada-Nya. Inilah kesejatian dan 
kesempurnaan tauhid. Dalam kitab Fath al-Majīd disebutkan bahwa hakikat tauhid adalah tarikan (injidzāb) ruh kepada Allāh secara keseluruhan. [Fath al-Majīd, hal. 69.] 
Ibn
 al-Qayyim berkata, “Kerinduan terhadap makanan, minuman dan bidadari di
 Surga merupakan kekurangan yang sangat apabila dibandingkan dengan 
kerinduan orang-orang yang mencinta kepada Allāh Ta`ālā. Bahkan, keduanya sama sekali tidak dapat dibandingkan.” [Madārij as-Sālikīn, vol. III, hal. 57.] 
Paparan
 di atas sama sekali bukan bertujuan untuk mengecilkan kedudukan Surga, 
atau bahwa agar seorang Muslim tidak mengharapkannya,
 sebagaimana pernyataan sebagian penganut sufisme. Bukan itu yang 
dimaksud. Sangat banyak ayat dan hadits yang menyebutkan sifat-sifat 
kenikmatan Surga secara detil. Tentunya hal tersebut bukanlah sia-sia, 
dan jelas memotivasi kaum Mukmin untuk berjuang meraih Surga. Bahkan, 
Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—sendiri, sebagai hamba 
Allāh yang paling bertaqwa, pun meminta Surga dan berlindung dari 
Neraka, sebagaimana tertera dalam banyak hadits. 
Namun,
 tulisan singkat ini hanyalah untuk menegaskan bahwa Allāh jauh lebih 
berhak untuk diharap dan dituju oleh para hamba-Nya dibandingkan Surga 
itu sendiri; serta bahwa keindahan dan kelezatan tertinggi di Surga 
adalah pertemuan dengan-Nya, dan bukan yang lain. Allāh adalah tujuan 
utama, dan Surga hanyalah sarana. Bahkan, sekiranya Surga dan Neraka itu
 tidak ada, maka Allāh tetap diibadahi dengan segenap cinta (mahabbah), harap (rajā’) dan cemas (khauf). 
Dalam sebagian ātsār Isrāīliyyāt, disebutkan bahwa Allah Ta`ālā berkata, 
لَوْ لَمْ أَخْلُقْ جَنَّةً وَلاَ نَارًا أَمَا كُنْتُ أَهْلاً أَنْ أُعْبَد؟
“Sekiranya pun Aku tidak menciptakan Surga dan Neraka, bukankah Aku layak untuk disembah?!” [Atsar ini disebutkan oleh Ibn Taimiyyah dalam Dar' at-Ta`ārudh, vol. III, hal. 132; serta disebutkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam Syifā' al-`Alīl, hal. 119, Madārij as-Sālikīn, vol. II, hal. 75, dan Miftāh Dār as-Sa`ādah, vol. II, hal. 87.] 
Dengan
 demikian, apabila seorang hamba beribadah kepada-Nya semata-mata karena
 mengharapkan pahala atau karena takut Neraka, maka ini merupakan 
kekurangan dalam hal totalitas penghambaan (`ubūdiyyah) kepada-Nya. 
Ketika
 berbicara tentang pemurnian tujuan dan cinta hanya kepada Allāh, Ibn 
al-Qayyim berkata, “Hendaklah tujuan dan penghambaan seorang hamba 
adalah kecintaan kepada Allāh dengan tanpa sebab (`illah). 
Hendaklah ia mencintai Allāh bukan karena pemberian dan pemeliharaan 
Allāh, sehingga kecintaannya kepada Allah merupakan kecintaan terhadap 
sarana (wasā’il). Kecintaannya terhadap tujuan awalnya adalah 
karena apa yang ia (ingin) dapatkan, berupa pahala yang sifatnya 
makhluk. Dengan demikian, pahala itu menjadi objek yang ia cintai secara
 dzatnya, sehingga apabila ia mendapatkan objek tersebut maka ia jadi 
terlalaikan dari mencintai Dzat yang memberinya. Sebab, barangsiapa yang
 mencintaimu karena suatu perkara, maka ia akan berpaling dan bosan 
kepadamu seusai mendapat perkara itu.” 
“Pecinta
 Allāh yang sejati khawatir apabila kecintaan kepada-Nya adalah 
dikarenakan suatu tujuan tertentu, sehingga kecintaan itu berakhir 
setelah tercapainya tujuan tersebut. Hanyalah yang menjadi concern-nya
 adalah agar kecintaan kepada-Nya tidak pernah putus selamanya. Dia 
tidak menjadikan Allāh sebagai sarana kepada selain-Nya. Bahkan, ia 
jadikan selain-Nya sebagai sarana kepada-Nya.” [Madārij as-Sālikīn vol. II, hal. 103.] 
Abū Hāzim berkata, 
إِنِّى
 لَأَسْتَحْيِي أَنْ أَعْبُدَهُ لِلثَّوَابِ وَالْعِقَابِ، فَأَكُوْن 
كَالْعَبْدِ السّوْءِ إِنْ لَمْ يَخَفْ لَمْ يَعْمَلْ وَكَالْأَجِيْرِ 
السّوْءِ إِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَعْمَلْ
“Sungguh,
 aku malu untuk menyembah-Nya karena pahala dan siksa. Sehingga aku 
seperti seorang budak yang buruk, yang jika bukan karena rasa takut maka
 ia tidak bekerja, dan seperti pekerja yang buruk, yang jika tidak 
diberi upah maka ia tidak bekerja.” [Ihyā' `Ulūm ad-Dīn, vol. IV, hal. 306.] 
Ibn
 al-Qayyim berkata, “Jika engkau mendapatkan-Nya maka engkau mendapatkan
 segala macam ganti dan keseluruhan bagian, sebagaimana disebutkan dalam
 atsar Ilāhi: “Wahai
 anak Adam, carilah Aku niscaya engkau mendapatkan-Ku. Jika engkau 
mendapatkan-Ku maka engkau mendapatkan segala sesuatu. Dan jika engkau 
kehilangan-Ku niscaya engkau kehilangan segala sesuatu. Dan Aku lebih 
engkau cintai dibandingkan segala sesuatu.” 
Beliau
 melanjutkan, “Sekiranya engkau memiliki empat orang budak. Yang pertama
 menginginkanmu (mencintaimu) dan tidak menginginkan sesuatu pun darimu.
 Seluruh keinginannya terbatas hanya kepadamu dan keridhaanmu. Yang 
kedua menginginkan sesuatu darimu dan tidak menginginkanmu. Seluruh 
keinginannya terbatas pada bagian yang akan ia terima darimu. Yang 
ketiga menginginkanmu dan juga menginginkan sesuatu darimu. Yang keempat
 tidak menginginkanmu dan juga tidak menginginkan sesuatu darimu. 
Hatinya terikat pada sebagian budakmu yang lain, di mana ia 
menginginkannya dan menginginkan sesuatu darinya. Alhasil, tentu 
seutama-utama budak di sisimu, yang paling engkau cintai, yang paling 
dekat kedudukannya denganmu, yang engkau khususkan dengan pemberian dan 
pemuliaan, di mana ketiga budak selainnya tidak mendapatkan hal itu, 
adalah budak yang pertama. Demikian pulalah kondisi kita di sisi Allah.”
 [Madārij as-Sālikīn vol. II, hal. 349-350.] 
Ada
 permisalan menarik lainnya. Dikisahkan bahwa suatu ketika Hārūn 
ar-Rasyīd memberi hadiah kepada budak-budak wanitanya, sebagaimana telah
 menjadi kebiasaan beliau. Hadiah tersebut berupa perhiasan dari batu 
mulia dan semisalnya. Hārūn ar-Rasyīd membuat majelis dan meletakkan 
perhiasan-perhiasan tersebut di tengah majelis. Kemudian ia berkata, 
“Hendaklah masing-masing kalian meletakkan tangan di atas benda yang 
paling ia inginkan untuk memilikinya.” Seluruh budak tersebut lalu 
meletakkan tangan di atas hadiah yang paling mereka inginkan. Kecuali 
satu orang. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Hārūn ar-Rasyīd. 
Budak itu berkata, “Baginda meminta masing-masing dari kami untuk 
meletakkan tangannya di atas benda yang paling ia inginkan. Sedangkan 
aku, maka tiada sesuatu pun dari hadiah-hadiah tersebut yang mampu 
menyamai kecintaanku kepada Baginda.” Hal ini membuat Hārūn ar-Rasyīd 
tercengang, dan budak wanita itu pun menjadi kesayangannya, dan yang 
paling banyak menerima hadiah. Semisal itu pula kondisi kita di 
sisi-Nya. 
Dari Shuhaib ar-Rūmi, Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengisahkan peristiwa penduduk Surga memandang Allāh—`Azza wa Jalla: 
إِذَا
 دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، يَقُولُ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى:
 تُرِيدُونَ شَيْئاً أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبِيِّضْ 
وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ 
قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ. فَمَا أُعْطُوا شَيْئاً أَحَبَّ إِلَيْهِمْ 
مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Jika ahli Surga telah memasuki Surga, Allāh—Tabāraka wa Ta`ālā—berkata,
 ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu untuk kutambahkan bagi kalian?’ 
Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami 
putih berseri-seri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke Surga dan 
menyelamatkan kami dari Neraka?’ Kemudian disingkaplah hijab, maka 
tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai dibanding 
memandang Rabb mereka.” [Shahīh Muslim I/163/181.] 
Hadits di atas dengan gamblang menyebutkan bahwa puncak kelezatan dan kenikmatan (the ultimate satisfaction) di Surga bukanlah pada makanan, minuman atau bidadari, melainkan dengan memandang-Nya. 
`Utsmān Ibn Sa`īd ad-Dārimi
 berkata, “Adapun di Akhirat, maka tiadalah puncak kenikmatan penduduk 
Surga melainkan memandang Wajah-Nya. Dan, sungguh merugi bagi yang 
terhalang dari hal tersebut!” [Ar-Radd `alā al-Jahmiyyah, hal. 124.] 
Ibn al-Qayyim berkata, “Ketentraman (uns) dengan Allāh Subhānahu lebih tinggi dibandingkan ketentraman (uns) dengan apa yang diharapkan seorang hamba dari kenikmatan Surga.” [Madārij as-Sālikīn, vol. III, hal. 95.] 
Imam Muslim melaporkan dari Abū Mūsā al-Asy`ari bahwa Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—pernah bersabda, 
حِجَابُهُ النُّوْرُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Hijab-Nya
 adalah cahaya, sekiranya Dia menyingkapnya maka kemilau keagungan 
cahaya Wajah-Nya akan membakar membakar seluruh makhluk sejauh 
pandangan-Nya.” [Shahīh Muslim I/161/179.] 
Kata subuhāt adalah bentuk plural dari subhah. Imam an-Nawawi
 menyebutkan bahwa seluruh ulama yang menjelaskan hadits di atas, baik 
dari kalangan ahli bahasa maupun ahli hadits, mengartikan kata subuhāt dengan cahaya, kemuliaan dan keagungan. [Syarh Shahīh Muslim, vol. III, hal. 13.] 
Ibn
 al-Qayyim berkata, “Jika kemilau keagungan cahaya Wajah-Nya yang Maha 
Tinggi tidak dapat tertanggungkan oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya, di 
mana sekiranya Dia menyingkap hijab-Nya yang dari cahaya, niscaya akan 
membakar alam atas dan bawah, maka bagaimana lagi dengan keagungan, 
kebesaran, kesempurnaan dan keindahan Wajah-Nya nan Maha Mulia 
tersebut?!” [Ash-Shawā`iq al-Mursalah, vol. III, hal. 1082-1083.] 
Allah—`Azza wa Jalla—berhijab
 dari makhluk-Nya agar mereka tidak musnah. Namun, kelak ketika di 
Surga, kaum Mukmin diberi kekuatan pada pandangan mereka, sehingga mampu
 memandang-Nya. Inilah puncak kenikmatan, sebagaimana disinyalir dalam 
Firman-Nya: 
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Rabbnya mereka memandang.” (QS. Al-Qiyāmah [75]: 22-23.) 
Dalam hadits disebutkan: 
بَيْنَا
 أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي نِعِيمِهِمْ إِذْ سَطَعَ لَهُمْ نُورٌ. فَرَفَعُوا 
رُؤُوسَهُمْ، فَإِذَا الرَّبُّ قَدْ أَشْرَفَ عَلَيْهِمْ مِنْ فَوْقِهِمْ. 
فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ. وَذٰلِكَ
 قَوْلُ اللَّهِ: {سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبَ رَحِيمٍ} فَيَنْظُرُ 
إِلَيْهِمْ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ. فَلاَ يَلْتَفِتُونَ إِلَى شَيْءٍ مِنَ
 النَّعِيمِ مَا دَامُوا يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ حَتَّى يَحْتَجِبَ عَنْهُمْ 
وَيَبْقَى نُورُهُ وَبَرَكَتُهُ عَلَيْهِمْ فِي دِيَارِهِمْ
“Ketika
 penduduk Surga berada dalam kenikmatan-kenikmatan Surga, tiba-tiba 
terpancarlah cahaya. Mereka menengadahkan kepala, dan tiba-tiba Allāh 
tampak di atas mereka, lalu berkata, “Salam sejahtera kepada kalian, 
wahai penduduk Surga.” Itulah (penjelasan) firman Allāh (yang artinya): “(Kepada mereka dikatakan) ‘Salam’ sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.”
 (QS. Yāsīn [36]: 58.) Allāh melihat mereka dan mereka pun 
memandang-Nya. Tidaklah mereka berpaling kepada sesuatu pun dari 
kenikmatan-kenikmatan Surga selama mereka memandang-Nya, sampai Dia 
menghijab dari mereka, dan tersisa cahaya dan berkah-Nya atas mereka di 
tempat kediaman mereka.” [Riwayat Ibn Mājah I/65/184 dan dinyatakan 
tidak valid oleh Syaikh al-Albāni dalam Dha`īf al-Jāmi` no. 2363.] 
Dalam hadits lain disebutkan, 
أَهْلُ الْجَنَّةِ يُلْهَمُوْنَ التَّسْبِيْحَ وَالْحَمْدَ كَمَا يُلْهَمُوْنَ النَّفَس
“Penduduk
 Surga dilhami untuk bertasbih dan bertahmid sebagaimana mereka diilhami
 untuk bernafas.” [Riwayat Muslim IV/2180/2835.] 
Ketika
 menyebutkan hadits di atas, Ibn Taimiyyah berkata, “Kesibukan penduduk 
Surga terhadap hal tersebut lebih agung dari segalanya.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. X, hal. 64.] 
Beliau juga berkata, “Ini bukanlah amal taklīf
 (pembebanan secara syara`), yang dicari padanya ganjaran secara 
terpisah. Namun, amalan tersebut secara dzatnya merupakan bagian nikmat 
yang jiwa-jiwa itu merasakan kelezatan dan kenikmatan dengannya…. 
Sesungguhnya penduduk Surga berlezat-lezat dengan memandang Allah, 
berdzikir, bertasbih, dan membaca al-Qur’ān…. Mereka juga berlezat-lezat
 dengan berbicara dan bermunajat kepada-Nya. Hal-hal tersebut di dunia 
merupakan amal-amal yang menimbulkan ganjaran, dan di akhirat ia 
merupakan amal-amal yang pelakunya berlezat-lezat dengannya, lebih dari 
kelezatannya terhadap makanan, minuman dan pernikahan (di Surga).” [Majmū` al-Fatāwā, vol. IV, hal. 330.] 
Sebagai penutup dan kesimpulan pembahasan kali ini, saya kutip ucapan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Beliau berkata, “Kerinduan
 kepada Allāh tidaklah menafikan kerinduan kepada Surga. Sebab 
sesungguhnya hal terbaik di Surga adalah kedekatan dengan-Nya, 
memandang-Nya, mendengar ucapan-Nya dan keridhaan-Nya. Na`am, 
kerinduan terhadap makanan, minuman dan bidadari di Surga merupakan 
kekurangan yang sangat apabila dibandingkan dengan kerinduan para 
pecinta Allāh Ta`ālā. Bahkan, keduanya sama sekali tidak dapat dibandingkan.” [Madārij as-Sālikīn, vol. III, hal. 57.] 
Semoga ada manfaatnya.
Salam,
Abu Faris an-Nuri
Referensi:
Manāzil al-Hūr al-`Īn fī Qulūb al-`Ārifīn bi Rabb al-`Ālamīn, `Abdu’l Karim Ibn Shālih al-Humaid, http://saaid.net/book/open.php?cat=81&book=2111 akses 18 Maret 2008.
Fath al-Majīd, `Abdu’rrahmān Ibn Hasan Ālu asy-Syaikh, tahqīq Asyraf Ibn `Abdu’l Maqshūd, Mu’assasah Qurthubah, Kairo.
Ihyā’ `Ulūm ad-Dīn, Imam al-Ghazāli, Dār al-Ma`rifah, Beirut.
Dar’ at-Ta`ārudh al-`Aql wa an-Naql, Ibn Taimiyyah al-Harrāni, tahqīq Muhammad Rasyād Sālim, Dar al-Kunūz al-Adabiyyah, Riyādh, 1391 H.
Syifā’ al-`Alīl fī Masāil al-Qadhā’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta`līl, Ibn Qayyim al- Jauziyyah, tahqīq Muhammad Badr ad-Dīn al-Halabi, Dār al-Fikr, Beirut, 1398 H/1978 M.
Miftāh Dār as-Sa`ādah wa Mansyūr Wilāyah al-`Ilm wa al-Irādah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut.
Madārij as-Sālikīn Baina Manāzil Iyyāka Na`budu wa Iyyāka Nasta`īn, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, tahqīq Muhammad Hāmid al-Faqi, Dār al-Kitāb al-`Arabi, Beirut, 1393 H/1973 M.
Ash-Shawā`iq al-Mursalah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, tahqīq Dr. `Ali Muhammad ad-Dakhilu’Llāh, Dār al-`Āshimah, Riyādh, cet. ketiga, 1418 H/1998 M.
Ar-Radd `alā al-Jahmiyyah, `Utsmān Ibn Sa`īd ad-Dārimi, tahqīq Badr Ibn `Abdi’Llāh al-Badr, Dār Ibn al-Atsīr, Kuwait, cet. kedua, 1995 M.
Shahīh Muslim, Imam Abū al-Husain Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairi an-Naisābūri (w 261 H); tahqīq Muhammad Fu-ād ‘Abdul Bāqi; Dār Ihyā` at-Turāts al-’Arabi, Beirut.
Sunan Ibn Mājah, al-Hafizh Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Yāzid al-Qazwīni (w 275 H); tahqīq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Bāqī; Dār al-Fikr, Beirut.
Dha`īf al-Jāmi` ash-Shaghīr wa Ziyādatuhu, Muhammad Nāshir ad-Dīn al-Albāni, al-Maktab al-Islāmi, Beirut.

Post a Comment