“Hati-hati,
 jangan menghalalkan apa yang diharamkan Allah,” kata seorang ustadz 
kepada saya. Spontan saya jawab, “Begitu pula sebaliknya, Ustadz. 
Hati-hati, jangan sampai mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.” 
Demikianlah kira-kira cuplikan sebagian dialog yang sempat terjadi 
antara saya dengan seorang ustadz yang mulia ketika berdiskusi mengenai 
suatu masalah yang berujung pada ketidaksepakatan.
Terkadang
 kita jumpai sebagian orang yang terlalu bermudah-mudah dalam melarang 
dan mengharamkan sesuatu. Demikian pula sebaliknya, juga kita jumpai 
sebagian lain hidup dalam permisivisme (ibāhiyyah)
 yang membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu. Celakanya adalah 
apabila masing-masing dari kedua golongan tersebut memutuskan tanpa 
ilmu. 
Menghalalkan
 yang haram merupakan tindak kelancangan terhadap hukum Allah, 
sebagaimana halnya mengharamkan yang halal pun demikian. Allah 
berfirman: 
قُلْ
 أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ 
حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ 
تَفْتَرُونَ، وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ 
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ 
أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُونَ
“Katakanlah:
 ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, 
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ 
Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) 
atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan 
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari 
kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang 
dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yūnus [10]: 59-60) 
وَلاَ
 تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ 
وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ 
يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan
 janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu 
secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan
 terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
 terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116) 
Pada
 umumnya, perbuatan menghalalkan yang haram lahir dari mereka yang 
cenderung selalu mengikuti nafsu syahwatnya, sedangkan tindakan 
mengharamkan yang halal muncul dari orang-orang yang tampak keshalihan 
pada mereka namun mereka bersikap kaku karena kecemburuan (ghīrah) mereka yang sangat terhadap agama. 
Kedua
 sikap tersebut tentu bukan merupakan sikap yang benar. Bahkan keduanya 
termasuk dalam hal menuruti hawa nafsu. Hanya saja, yang pertama terkait
 dengan nafsu syahwat, sedangkan yang kedua terkait dengan nafsu 
berlebih-lebihan dalam agama. Yang benar adalah sikap pertengahan, yakni
 menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melapangkan 
apa yang telah Allah lapangkan bagi manusia. Namun sayangnya, sungguh 
sedikit orang yang bersikap demikian. 
Meskipun
 mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram adalah sama dari 
sisi kelancangan terhadap hukum Allah, namun mengharamkan yang halal 
lebih parah dan lebih berat hukumnya, karena hal itu menyempitkan dan 
memberatkan kehidupan manusia, serta bertentangan dengan prinsip umum 
syariah yang memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (haraj). Allah berfirman: 
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) 
“Allah
 tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia ingin membersihkan kamu dan 
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 6) 
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78) 
“Katakanlah:
 ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah 
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik?!’” (QS. 
Al-A`rāf [7]: 32) 
Dari Sa`d Ibn Abī Waqqāsh dengan sanad yang valid, Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—bersabda, 
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya
 yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang
 yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut 
menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat al-Bukhāri: VI/2658/6859.)
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
إِنَّ
 أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن فِي الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ 
أَمْرٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ عَلَى النَّاسِ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya
 kaum muslimin yang paling besar dosa dan kejahatannya terhadap (sesama)
 kaum muslimin adalah yang bertanya tentang perkara yang tidak 
diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan kepada manusia karena
 pertanyaannya tadi.” (Riwayat Muslim: IV/1831/2358; Ahmad: I/179/1545; Abū Dāwūd: II/612/4610; dan lain-lain.) 
Di
 samping itu, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, 
mengharamkan yang halal berseberangan dengan kaidah yang berbunyi: 
الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءُ الحِلّ
“Hukum asal segala sesuatu adalah halal (sampai ada dalil yang mengharamkannya).”
Syaikh Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—berkata, “Mengharamkan
 apa yang dihalalkan oleh Allah tidak kurang derajatnya dalam dosa 
dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Engkau dapati 
banyak dari orang-orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama (ghīrah)
 lebih cenderung kepada tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh 
Allah dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Hal 
sebaliknya dengan mereka menyepelekan ajaran agama (mutahāwinūn). Kedua golongan tersebut salah. 
Meski
 demikian, menghalalkan yang haram terhadap apa-apa yang hukum asalnya 
halal adalah lebih ringan statusnya dibandingkan mengharamkan yang 
halal. 
Sebab,
 menghalalkan yang haram, apabila belum tampak jelas sisi 
pengharamannya, dibangun di atas hukum asal, yaitu kehalalan, di samping 
bahwa rahmat Allah—subhānahu—mendahului murka-Nya. 
Karena itu, tidak memungkinkan bagi untuk kita mengharamkan kecuali apa yang telah jelas pengharamannya. Sebab,
 pengharaman itu lebih menyempitkan dan memberatkan (dibanding 
penghalalan). Dan, pada asalnya, seluruh perkara itu tetap berada di 
atas kehalalan dan kelapangan sampai jelas datangnya pengharaman. 
Adapun
 dalam urusan-urusan ibadah, maka diperkeras (berkebalikan dengan 
penjelasan sebelumnya). Sebab, hukum asal ibadah adalah terlarang dan 
diharamkan sampai dijelaskan oleh syariah. Hal ini sebagaimana 
disebutkan, 
وَالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ حِلٌّ وَامْنَعِ
عِبَــادَةً إِلاَّ بِإِذْنِ الشَّــــــارِعِ
Hukum asal dalam segala sesuatu adalah halal
          dan cegahlah suatu ibadah kecuali dengan izin Pembuat Syariah
Demikianlah perkataan al-‘Allāmah Ibn `Utsaimīn. (Lihat: al-Qaulu’l Mufīd ‘alā Kitābi’t Tauhīd, bab Man Athā`a’l `Ulamā’ wa’l Umarā’ fī Tahrīm Ma Ahalla’Llāhu au Tahlīl Ma Harramahu fa Qad Ittakhadzahum Arbāba, vol. II, hal. 311. Lihat pula: al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ibn `Utsaimīn) 
Sebenarnya
 terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah: ‘Hukum 
asal segala sesuatu adalah halal’, setidaknya terdapat empat pendapat: 
Pendapat pertama: Hukum asal segala sesuatu adalah terlarang atau haram. Ada yang menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama). Penulis al-Asybāh wa’n Nazhā’ir
 menisbatkan pendapat ini kepada Imam Abū Hanīfah. Ia berkata, “Menurut 
Abū Hanīfah, hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada 
dalil yang menunjukkan kehalalannya.” Namun, jika yang dimaksud dengan 
‘segala sesuatu’ itu bersifat umum dan universal maka pendapat ini 
sangat lemah (marjūh) dan berseberangan dengan dalil dan argumen yang telah kami sebutkan sebelumnya. 
Pendapat kedua: Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat asy-Syāfi’iyyah dan Muhammad Ibn ‘Abdi’Llāh Ibn al-Hakam. Sebagian ulama kontemporer menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama). 
Pendapat ketiga: Hukum asal segala sesuatu adalah tawaqquf (abstain), tidak dapat dikatakan halal maupun haram. Ini adalah pendapat al-Asy’ari, Abū Bakr ash-Shairafi dan sebagian asy-Syāfi’iyyah. 
Pendapat keempat:
 Dirinci antara mudharat dan manfa’at; yakni hukum asal dalam hal-hal 
yang bermanfaat adalah halal, sedangkan hukum asal dalam hal-hal yang 
menimbulkan mudharat adalah haram. Ini adalah pendapat al-Fakhr ar-Rāzi, sekaligus menjadi pendapat yang dipilih oleh banyak ulama, seperti al-Qādhī al-Baidhāwi. Inilah pendapat yang paling tepat—in syā-aLlāh. Ibn as-Subki dan al-Jalāl al-Mahalli telah menegaskan bahwa perincian ini adalah benar. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Qarāfi. WaLlāhu a’lam bish shawāb. 
(Lihat: Mazhāhir at-Taisīr fi at-Tasyrī` al-Islāmi, hal. 34-35)
Penting untuk dipahami, bahwa pendapat ulama yang merupakan hasil ijtihād
 tidak dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut mengharamkan apa yang 
Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. Bahkan, 
pemilik pendapat tersebut akan mendapatkan ganjaran berdasarkan benar 
atau salahnya pendapat itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih: “Jika seorang hakim ber-ijtihād
 lalu dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika dia salah, 
maka mendapatkan satu pahala.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh 
Syaikh Husain al-’Awāyisyah dalam Kaifa Tuhakkim Nafsaka…. 
Demikian, semoga ada manfaatnya. Semoga kita menjadi orang yang berhati-hati dalam menghukumi sesuatu. WaLlāhu a’lam bish shawāb. 
Bekasi, Oktober 2007
Salam,
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri 
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment