Banyak tuduhan dan celaan yang dialamatkan kepada para reformis (mushlihūn) yang menyeru umat untuk kembali kepada otentisitas dan orisinalitas agama (ashālatu’d dīn) serta meninggalkan hal asing yang merasuki dan mencemari Islam, baik berupa bid`ah, khurafat maupun kerancuan aqidah. Mayoritas tuduhan tersebut hanyalah celaan kosong, meskipun sebagiannya patut dipertimbangkan dan dapat dibenarkan.
 Salah satu tuduhan yang sering disematkan adalah dengan menyebut para 
reformis tersebut sebagai ‘tukang vonis’ dan ‘pemecah belah umat’.
Pada
 umumnya para penuduh itu sendiri terjebak dalam sikap yang sangat 
kontradiktif dan bertolak belakang. Mereka juluki para reformis sebagai 
‘tukang vonis’ dan ‘tukang cela’ namun mereka sendiri menggunakan vonis 
dan celaan secara sangat berlebih-lebihan. Sebagian buktinya dapat 
dijumpai dalam tulisan-tulisan mereka yang beredar pada berbagai situs 
dunia maya.
Mereka
 menuduh para reformis sebagai ‘tukang vonis’ kaum muslimin sebagai 
penghuni neraka sekaligus ‘pemecah belah’ umat, karena menyatakan 
kebid`ahan sejumlah perkara yang mereka lakukan. Demikianlah kesalahan 
sangat fatal yang pada umumnya lahir dari dangkalnya pemahaman, 
sedikitnya wawasan, buruknya tujuan plus fanatisme buta. Padahal, tidak 
ada kelaziman antara menyatakan suatu perbuatan sebagai bid`ah dan 
menghukumi pelaku perbuatan sebagai ahli neraka, serta perpecahan umat. 
Masing-masing merupakan hal yang terpisah dan tidak bisa serta merta 
atau otomatis dikait-kaitkan begitu saja tanpa adanya penjelasan dan 
perincian. Jaka sembung makan kedondong, ga nyambung dong… cape de…. ^_^ (Maaf agak bercanda supaya jangan terlalu tegang.)
Memang benar dalam hadits disebutkan: “Setiap bid`ah adalah sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.”
 Namun, penting untuk dipahami bahwa pembicaraan mengenai pembid`ahan 
adalah sama persis dengan pembicaraan mengenai pengharaman. Perhatikan, 
jika kita menyetujui pernyataan “setiap bid`ah itu di neraka” maka 
seharusnya kita juga menyetujui pernyataan “setiap yang haram itu di 
neraka”. Tentunya tidak ada perkara haram yang mengantarkan pelakunya ke
 dalam surga bukan?
Pernyataan tersebut adalah benar untuk digunakan sebagai kaidah umum, namun implementasinya harus dilihat case by case. Pada kenyataannya perkara-perkara yang dinyatakan haram itu beragam dan bertingkat-tingkat kondisinya. Ada yang telah menjadi ijmā` (konsensus) dan ada pula yang masih debatable
 di kalangan ulama. Hal ini tidak samar bagi mereka yang memiliki 
sedikit pengetahuan tentang fiqh, dan contohnya pun sangat banyak.
Terhadap
 perkara keharaman yang diperselisihkan oleh ulama, misalnya, A 
mengharamkan dan B membolehkan. Dapatkah dikatakan bahwa A telah 
memvonis B beserta seluruh pengikutnya sebagai ahli neraka? Tentu tidak 
ada yang berpendapat demikian. Padahal, merupakan kepastian konsekuensi 
logis bahwa menurut A perbuatan yang haram tersebut tempatnya di neraka.
 Selanjutnya, dapatkah dibenarkan apabila A kemudian diharuskan untuk 
menarik pendapat pengharamannya dengan dalih persatuan dan tidak memecah
 belah kaum muslimin? Tentu tidak demikian, karena jika itu 
diberlakukan, niscaya seluruh pendapat yang berkaitan dengan pengharaman
 dalam masalah yang diperselisihkan ulama itu wajib dihapuskan dan 
ditiadakan. Dengan demikian, hancurlah warisan fiqh yang kaya dengan 
perbedaan pendapat.
Hal
 yang sama juga berlaku untuk bid`ah. Memang benar, berdasarkan hadits 
yang sampai kepada kita, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan
 itu tempatnya di neraka. Namun, hal ini sama sekali tidak menafikan 
adanya perbedaan pendapat dalam perkara-perkara yang dinyatakan sebagai 
bid`ah.
Dan,
 sebagaimana perkara yang haram itu ada yang disepakati keharamannya dan
 ada yang masih diperselisihkan atau memungkinkan perbedaan pendapat di 
dalamnya, maka demikian pula dengan bid`ah. Bid`ah itu 
bertingkat-tingkat, ada yang parah dan tidak dapat ditolerir, dan ada 
yang ulama masih berbeda pendapat tentangnya. Untuk perkara bid`ah yang 
masih diperselisihkan oleh ulama, maka seharusnya kita berlapang dada 
dalam menerima perbedaan tersebut.
Hanya
 saja, penentuan halal-haram itu pada umumnya terkait hukum fiqh, 
sementara penentuan bid`ah-non bid`ah itu pada umumnya terkait dengan 
aqidah dan pelaksanaan ibadah tertentu.
Karena
 itu, sebagaimana kita tidak perlu ‘tersinggung’ apabila ada yg 
berpendapat haram dalam suatu permasalahan hukum fiqh yang kita 
berseberangan dengan pendapat tersebut (pada khilāf mu`tabar), 
maka kita juga tidak perlu tersinggung apabila ada yg berpendapat bid`ah
 terhadap suatu perkara yang tidak kita nilai sebagai bid`ah—tentunya 
kita juga harus mempunyai argumen yang kuat dan jelas untuk itu.
Begitu
 pula sebaliknya. Apabila kita memandang haramnya suatu perkara yang 
ulama masih berbeda pendapat tentang perkara tersebut (dengan khilāf mu`tabar),
 kita berlapang dada dan toleran terhadap pendapat lain yang 
berseberangan, maka kita juga berlapang dada dan toleran pada perkara 
yang kita nilai sebagai bid`ah, namun masih terdapat perbedaan pendapat 
ulama di sana (dengan khilāf mu`tabar).
Contoh bid’ah yang tidak dapat ditolerir adalah bid’ah yang pada umumnya terkait dengan aqidah, seperti bid`ah mu`tazilah, qadariyyah, ittihādiyyah (manunggaling kawula gusti), dan lain-lain. 
Contoh bid`ah yang masih debatable
 dan kita harus menyikapinya dengan toleran misalnya sedekap setelah 
ruku`, shalat Tarawih dengan 23 raka`at, qunut subuh secara kontinu, dan
 lain-lain.
Yang
 saya maksud dengan toleran dalam hal ini adalah sikap tidak mencela dan
 memaksakan pendapat kepada pihak yang berseberangan, baik yang menilai 
bid`ah atau haram maupun sebaliknya. Adapun diskusi secara baik untuk 
mencari yang lebih benar maka tentu tidak terlarang bahkan dianjurkan.
Pada
 kenyataannya, memang di kalangan sebagian reformis terkadang dijumpai 
sikap intoleran dan terkesan memaksakan pendapat dalam perkara-perkara 
yang sebenarnya lapang dan masih diperselisihkan oleh ulama dengan khilāf mu`tabar, baik dalam pembid`ahan maupun pengharaman suatu perkara. Hal ini diperparah lagi dengan implementasi prinsip hajr mubtadi` (pengisoliran terhadap ahli bid`ah) yang dilakukan serampangan oleh sebagian reformis. Ini adalah kesalahan yang seharusnya diperbaiki.
Kembali
 ke topik permasalahan, kalaupun suatu perkara sudah disepakati 
kebid`ahan atau keharamannya, maka pun tetap dibedakan antara perbuatan 
dan pelakunya. Tidak semua pelaku bid`ah otomatis divonis ahli bid`ah, 
apalagi ahli neraka. Dan tidak semua pelaku perbuatan yang jelas-jelas 
haram dan menjerumuskan ke dalam neraka maka divonis sebagai ahli 
neraka. Hanyalah hukum perbuatan itu sama dengan hukum pelakunya adalah 
setelah terpenuhinya prinsip istīfā’usy syuruth wa intifā`u’l mawāni` (terpenuhinya segala persyaratan dan hilangnya segala penghalang). Bagaimana maksudnya?
Contohnya minum khamr. Tidak ada beda pendapat bahwa minum khamr merupakan perbuatan haram yang menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Namun, jika seseorang minum khamr
 dapatkah serta merta dinyatakan bahwa ia adalah ahli neraka? Tentu saja
 tidak. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan belum mengetahui bahwa minum khamr
 itu haram hukumnya, atau bisa jadi Allah mengampuni dosanya tersebut, 
atau bisa jadi ia memiliki banyak kebaikan yang mengalahkan dosa minum khamr tersebut. Tentu kita tidak ragu untuk menyatakan bahwa perbuatan minum khamr itu tempatnya di neraka. Namun kita tidak memastikan bahwa seluruh pelaku minum khamr itu masuk neraka, dan bisa jadi ada dari mereka yang masuk surga.
Demikian
 pula halnya dengan bid`ah. Setiap bid`ah itu tempatnya di neraka, namun
 tidak dipastikan bahwa setiap pelaku bid`ah itu di neraka. Sebab, bisa 
jadi mereka melakukan bid`ah karena ketidaktahuan sehingga Allah 
mengampuni kesalahannya, disamping bisa jadi mereka memiliki kebaikan 
yang menutup kesalahan mereka. Bahkan, sejumlah ulama—yang acap kali 
dijadikan bahan celaan oleh para penuduh tersebut—memandang bahwa bisa 
jadi orang yang melakukan bid`ah itu mendapatkan pahala. Bukan pahala 
atas amal bid`ah yang ia lakukan namun atas niat baiknya.
Syaikh Ibn `Utsaimīn berkata dalam al-Qaul al-Mufīd, vol. I, hal. 385,
إن البدعة شر ولو حسن قصد فاعلها، ويأثم إن كان عالما أنها بدعة ولوحسن
 قصده. لأنه أقدم على المعصية، كمن يجيز الكذب والغش ويدعي أنه مصلحة، أما 
لو كان جاهلا فإنه لا يأثم، لأن جميع المعاصي لا يأثم بها إلا معالعلم، وقد يثاب على حسن قصده، وقد نبه على ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية فيكتابه اقتضاء الصراط المستقيم. فيثاب على نيته دون عمله. فعمله هذا غيرصالح ولا مقبول عند الله ولا مرضي، لكن لحسن نيته مع الجهل يكون له أجر.
“Sesungguhnya
 bid`ah itu merupakan keburukan meskipun pelakunya bermaksud baik. Dan 
ia berdosa apabila mengetahui bahwa apa yang dikerjakannya adalah bid`ah
 meskipun niatnya baik. Karena berarti ia telah melakukan suatu 
kedurhakaan. Hal ini sebagaimana orang yang menghalalkan dusta dan 
penipuan dengan dalih kemaslahatan. 
“Adapun apabila ia tidak mengetahui (bahwa perbuatannya tersebut termasuk bid`ah) maka ia tidak berdosa. Sebab, seluruh tindak kedurhakaan tidaklah dikenai dosa kecuali apabila pelakunya mengetahui (bahwa hal tersebut adalah maksiat).
 Dan ia akan diberi pahala atas niat baiknya. Hal demikian ini telah 
diingatkan oleh Syaikhu’l Islām Ibn Taimiyyah dalam kitab beliau, Iqtidhā’ ash-Shirāthi’l Mustaqīm. Pelaku bid`ah tersebut diberi ganjaran atas niatnya (yang baik) dan bukan atas amalannya (yang bid`ah).
 Amalnya tersebut tidak benar dan tidak diterima di sisi Allah dan tidak
 pula diridhai, akan tetapi terhadap niat baiknya yang disertai 
ketidaktahuannya tersebut maka ia diberi ganjaran.”
Pada intinya, dalam pembid`ahan dibedakan antara hukum perbuatan (hukm an-nau`) dan hukum pelakunya (hukm al-`ain).
 Di samping, bahwa pembid`ahan itu sendiri terkadang bersifat relatif 
dan memungkinkan terjadinya beda pendapat, sehingga masing-masing pihak 
yang berseberangan seharusnya bersikap toleran, dalam arti tidak 
memaksakan pendapatnya kepada pihak lain. Dalam hal tersebut, bagi yang 
membid`ahkan maka silakan berpegang pada pendapatnya, dan bagi yang 
tidak membid`ahkan pun juga demikian. Hal ini sama persis dengan 
perbedaan dalam pengharaman suatu perkara. 
Mudah-mudahan, apa yang saya kemukakan di atas merupakan sikap pertengahan (wasath) antara sikap berlebihan (ifrāth/ghuluww) dan sikap menyepelekan (tafrīth).
 “Tidaklah saya bermaksud kecuali perbaikan sesuai kesanggupan saya. Dan
 tidak ada taufiq bagi saya melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya 
kepada Allah saya bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah saya kembali.” 
(QS. Hūd: 88 )
Wa’Llāhu a`lam bish shawāb….
Jakarta, 20 November 2007
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri
NB: Pembahasan mengenai ahli bid`ah bisa jadi mendapat pahala atas niat baiknya juga dapat dilihat di sini: 
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment