يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ
إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Māidah)
Termasuk
keadilan yang sangat utama adalah mengatakan kebenaran sebagai
kebenaran dan menerimanya. Dari manapun datangnya. Sekalipun dari musuh
dan orang yang dibenci. Serta mengatakan kesalahan sebagai kesalahan dan
menolaknya. Dari manapun datangnya. Sekalipun dari sahabat dan orang
yang dicintai. Demikianlah manhaj dan sunnah Nabi `
beserta para Sahabat. Inilah keadilan yang mungkin sangat sulit
direalisasikan pada zaman ini, dimana semangat fanatisme kelompok (hizbiyyah) tengah melanda banyak kaum muslimin.
Disebutkan bahwa Yahudi mendatangi Nabi ` dan berkata, “Kalian melakukan kesyirikan dan menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah!” Nabi `
bertanya, “Mengapa bisa demikian?” Yahudi menjawab, “Kalian berkata,
‘Demi Ka’bah!’ Dan kalian juga berkata, ‘Atas kehendak Allah dan
kehendak Fulan!’” Maka Nabi `
memerintahkan kepada para Sahabat apabila bersumpah agar mengucapkan:
‘Demi Rabb Ka’bah!’ Serta agar mereka mengatakan: ‘Atas kehendak Allah
kemudian atas kehendakmu.”” [Riwayat an-Nasā’i VII/6/3773 dan lain-lain. Dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]
Disebutkan pula bahwa seorang rahib Yahudi pernah mendatangi Nabi ` dan berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan (dalam riwayat lain:
menahan) seluruh langit atas satu jari, seluruh bumi atas satu jari,
pepohonan atas satu jari, air dan tanah atas satu jari, dan seluruh
makhluk atas satu jari, lalu Dia berkata, ‘Akulah Sang Raja!’” Maka
tertawalah Nabi ` sampai tampak geraham beliau karena membenarkan ucapan rahib tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَمَا
قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya,
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Dia lagi maha tinggi dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS.Az-Zumar: 67) [Riwayat al-Bukhāri IV/1812/4553, dari Ibn Mas’ūd]
Demikian
pula terdapat kisah masyhur dari Abū Hurairah yang diajari oleh setan
untuk membaca Ayat Kursi sebelum tidur agar mendapat penjagaan dari
Allah sampai pagi hari. Ketika ia menyampaikan hal tersebut kepada Nabi `,
beliau berkata, “Dia jujur mengabarkan kebenaran kepadamu, padahal ia
(setan itu) adalah pendusta.” [Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq II/812/2187, dan disambungkan oleh an-Nasā’i, al-Ismā’ili dan Abū Nu’aim, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathu’l Bārī. Lihat: Mafātīhu’l Fiqh fi’d Dīn hal. 99]
Perhatikan bagaimana Nabi ` mengakui dan menerima kebenaran sekalipun dari Yahudi dan setan—la’anahumuLlah.
Dari ‘Ali Ibn Abī Thālib, bahwa beliau berkata,
لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالَ اعْرِف الْحَقّ تَعْرِفْ أَهْلَه
“Janganlah
mengenal kebenaran itu berdasarkan individu-individu tertentu.
Kenalilah kebenaran itu niscaya engkau akan mengenal pemiliknya.” [Ihyā' 'Ulūmi'd Dīn, vol. I, hal. 53]
Dari Ibn Mas’ūd, beliau berkata,
مَنْ
جَاءَكَ بِالْحَقِّ فَاقْبَلْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا بَغِيْضًا
وَمَنْ جَاءَكَ بِالْبَاطِلِ فَارْدُدْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ حَبِيْبًا
قَرِيْبًا
“Siapa
yang datang kepadamu dengan kebenaran maka terimalah kebenaran itu
darinya, meskipun ia adalah orang yang jauh dan dibenci. Dan barangsiapa
yang datang kepadamu dengan kebatilan maka tolaklah, meskipun ia adalah
orang yang dicintai dan dekat.” [Lihat: Shifah ash-Shafwah, vol. I, hal. 419; dan al-Fawā’id, hal. 148]
Beliau juga berkata,
الْحَقّ ثَقِيْلٌ مَرِيْءٌ وَالْبَاطِلُ خَفِيْفٌ وَبِيْءٌ
“Kebenaran itu berat namun baik, sedangkan kebatilan itu ringan dan menular.” [Shifah ash-Shafwah, vol. I, hal. 419-420]
Imam asy-Syāfi`i
berkata, “Tidaklah seseorang bersikeras menentangku dan menolak
kebenaran melainkan ia jatuh dalam pandanganku, sedangkan tidaklah
seseorang menerima kebenaran tersebut melainkan aku menghormatinya dan
yakin untuk mencintainya.” [Siyar A’lām an-Nubalā’, vol. X, hal. 33]
Ibn al-Qayyim berkata,
فمن
هداه الله سبحانه إلى الأخذ بالحق حيث كان ومع من كان ولو كان مع من يبغضه
ويعاديه ورد الباطل مع من كان ولو كان مع من يحبه ويواليه فهو ممن هدى لما
اختلف فيه من الحق
“Siapa
yang Allah berikan petunjuk untuk mengambil kebenaran, apapun itu, dan
bersama siapapun kebenaran tersebut, meskipun kebenaran itu bersama
orang yang membenci dan memusuhinya, sementara ia juga menolak
kebatilan, apapun itu, dan bersama siapapun kebatilan tersebut, meskipun
kebatilan itu bersama orang mencintai dan loyal kepadanya, maka ia
termasuk orang-orang yang Allah berikan petunjuk terhadap hal-hal yang
diperselisihkan dari kebenaran.” [Lihat: al-Shawā`iq al-Mursalah, vol. II, hlm. 516.]
Syaikh
Ibn `Utsaimin berkata, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikhu’l
Islām, yakni bahwa kita (harus) menerima kebenaran dari kelompok
manapun, baik dari Mutashawwifah (kaum Sufi), pelajar fiqh maupun ulama
syariah. Adapun kita tidak menerima apapun dari mereka dan mengatakan
bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan adalah kesalahan, maka hal ini
tidak benar. Dahulu, Imam Ahmad
(terkadang) duduk kepada sebagian kaum Sufi untuk melembutkan hati
beliau. Artinya, pada kaum Sufi terdapat hal-hal berupa pelembutan hati
dan keberpalingan dari dunia yang tidak terdapat pada selain mereka….
Ambillah kebenaran dari insan manapun itu, baik dari kaum Sufi, pelajar fiqh atau selain mereka!
خذ الحق من أي إنسان كان، سواء من المتصوف أو المتفقه أو غير ذلك
Ambillah kebenaran dari insan manapun itu, baik dari kaum Sufi, pelajar fiqh atau selain mereka!
Kemiripan
sebagian umat ini terhadap Yahudi dan Nasrani adalah, bahwa ulama
syariah memandang kaum Sufi tidak ada apa-apanya, sementara kaum Sufi
juga memandang bahwa ulama syariah tidak ada apa-apanya.
Mengenai perkara belajar dan berguru (ta`līm)
kepada kaum Sufi, maka bisa jadi hal itu membuat mereka (semakin)
terperosok dan menjadikan mereka terus bertahan di atas hal-hal
(kesalahan) yang mereka lakukan, dan sekaligus juga dapat membuat orang
lain terperdaya dan berkata, “Fulan (saja) belajar dan mengambil ilmu
dari Sufi….”
أما قبول الحق فاقبل الحق من أي إنسان، حتي من اليهودي والنصراني، حتى من الشيطان، حتى من المشركين
Adapun
menerima kebenaran, maka terimalah kebenaran dari insan manapun, bahkan
dari Yahudi, Nasrani, setan atau orang-orang musyrik sekalipun.”
Sekian kutipan dari Syaikh. [Lihat Fathu’l Mu`īn fi’t Ta`līq `alā Iqtidhā’ish Shirāthi’l Mustaqīm, hal. 32.]
Dari kutipan penjelasan di atas, Syaikh Ibn `Utsaimin membedakan antara belajar dan
menerima kebenaran. Selektif memilih guru dalam proses belajar,
namun untuk menerima kebenaran maka dari siapa pun.
Menolak kebenaran termasuk kesombongan (kibr). Padahal, sekecil dzarrah dari kesombongan menyebabkan pelakunya tidak masuk surga. Nabi ` bersabda,
لاَ
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ. قالَ رَجلٌ: إنَّ الرّجلَ يُحبُّ أنْ يَكوْنَ ثوْبُه حسنًا
ونَعْلَه حَسَنَةُ. قال: إنّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبّ الجَمالَ، الْكِبْر
بَطَرُ الْحَقّ وَغَمْطُ النّاس
“Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya memiliki semisal dzarrah dari kesombongan.” Ada yang bertanya, “Sesungguhnya ada orang yang suka mengenakan baju dan pakaian yang bagus.” Nabi `
menjawab, “Sesungguhnya Allah itu maha indah dan menyukai keindahan.
(Yang dimaksud dengan) kesombongan adalah menolak kebenaran dan
melecehkan manusia.” [Riwayat Muslim I/93/91, Abū Dāwūd II/457/4092, dan
lain-lain]
Kesombongan
inilah yang menyebabkan Iblis dikeluarkan dari surga karena menolak
perintah sujud kepada Adam. Iblis menolak kebenaran bahwa Adam
diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan (QS. At-Tīn: 4) dan justru
melecehkan Adam melalui ucapannya:
أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah!” (QS. Al-A’rāf: 12 dan Shād: 76)
Pada umumnya, tidaklah
seseorang itu menolak kebenaran melainkan karena ia melecehkan atau
berburuk sangka. Ia menganggap bahwa dirinya lebih dari orang lain, baik
dari sisi kecerdasan, kedudukan, harta dan sebagainya, atau ia merasa
bahwa orang lain hanyalah penebar kesesatan dan syubhat sementara
dirinya lebih mendapat hidayah. WaLlāhu’l musta’ān.
Bahan bacaan:
1. Mafātīhu’l Fiqh fi’d Dīn, Syaikh Mushthafa al-‘Adawi
2. Fathu’l Mu`īn, karya Syaikh Ibn `Utsaimin
3. Al-Fawā’id, al-`Allamah Ibnul Qayyim
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment