Syariah diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya untuk membawa kebaikan bagi seluruh alam. Allah berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS al-Anbiyā’ (para nabi)/21: 107). 
Al-Syāthibi (wafat 790 H), dalam magnum opus-nya, al-Muwāfaqāt, menyatakan bahwa tujuan dari eksistensi syariah (maqāshid al-syarī`ah)
 dapat disimpulkan dalam dua hal: mendatangkan maslahat dan menolak 
mudarat. Kedua hal ini selanjutnya diderivasikan dalam lima aspek 
mendasar (al-dharūriyyāt al-khams) yang dipelihara oleh syariah, yaitu: (1) hifzh al-dīn (pemeliharaan agama); (2) hifzh al-nafs (pemeliharaan jiwa/nyawa); (3) hifzh al-māl (pemeliharaan harta); (4) hifzh al-`aql (pemeliharaan akal/intelektual); dan (5) hifzh al-nasab (pemeliharaan nasab). 
Ada sebagian ulama yang menambahkan aspek keenam, yaitu hifzh al-`irdh
 (pemeliharaan kehormatan). Seiring dengan perkembangan dan perubahan 
peradaban, ada pula dari kalangan ulama kontemporer yang menambahkan 
aspek pemeliharaan lingkungan hidup (hifzh al-bī-ah). Inilah gambaran umum (big picture) kemaslahatan sekaligus kebenaran transendental-universal yang diusung oleh syariah. 
Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berkata, 
“Sesungguhnya bangunan dan pondasi syariah dibangun di atas hikmah dan 
kemaslahatan para hamba, baik di dunia maupun akhirat. Seluruh syariah 
adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah. Dengan demikian, setiap 
perkara yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari maslahat kepada
 kerusakan, dari hikmah kepada kesia-siaan, dan dari rahmat kepada 
antipodenya, maka ia bukan termasuk syariah, meskipun ia dimasukkan 
(oleh sebagian orang) ke dalam syariah dengan metode takwil (yang 
keliru).” (Lihat: I`lām al-Muwaqqi`īn `an Rabb al-`Ālamīn, vol. III, hlm. 3, Dār al-Jīl, Beirut, 1973.) 
Salah satu maslahat terpenting yang 
menjadi tujuan syariah adalah kesejahteraan sosial. Banyak sekali ayat 
Quran yang menyebutkan tema ini. Tidak kurang dari 69 (enam puluh 
sembilan) ayat Quran yang secara literal mengandung kata ‘miskin’ 
berikut derivasinya seperti faqīr, ba’s, sāil, qāni`, mu`tarr, dha`īf,
 dan lain-lain. Jumlah ayat akan jauh lebih besar apabila ayat-ayat yang
 secara kontekstual membahas tentang kemisikinan namun tidak mengandung 
kata-kata miskin dan turunannya diperhitungkan. Selain itu, terdapat 
tidak kurang dari 42 (empat puluh dua) ayat Quran yang secara eksplisit 
membahas tentang zakat. Jumlah ayat tersebut di atas jauh lebih banyak 
dibandingkan ayat yang berbicara tentang larangan riba (7 ayat) dan 
maisir atau perjudian (3 ayat). (Lihat: al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Fuād `Abd al-Bāqi dan Fiqh al-Zakāh, karya Prof. Dr. Yūsuf al-Qaradhāwi.) 
Tujuan syariah untuk menciptakan 
kesejahteraan sosial ini seharusnya menjadi ruh dan spirit bagi industri
 perbankan syariah selaku institusi yang menisbatkan dirinya kepada 
syariah. Dengan demikian, bank syariah bukanlah bank yang hanya sekedar concern dengan aspek legal-formal yang dirumuskan dengan larangan “maghrib”—yang merupakan akronim dari maisīr (judi), gharar (spekulasi) dan ribā (usury). Namun lebih daripada itu, bank syariah adalah industri keuangan yang ter-shibghah dengan semangat peningkatan kesejahteraan sosial sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan universal (habl minannās) dalam rangka peribadahan dan pengabdian kepada-Nya (habl minallāh). 
Semangat menciptakan kesejahteraan sosial direpresentasikan oleh industri perbankan setidaknya dalam dua hal: tingkat FDR/LDR (Financing/Loan to Deposit Ratio)
 yang tinggi dan keberpihakan kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan 
Menengah (UMKM). FDR/LDR adalah rasio yang menjelaskan tentang seberapa 
tinggi bank syariah/konvensional mampu menyalurkan dana yang telah 
dihimpunnya dari masyarakat ke sektor riil (financial intermediary function).
 FDR/LDR yang semakin tinggi menyebabkan sektor perekonomian berjalan 
semakin baik dan pada akhirnya kesejahteraan menjadi semakin meningkat. 
FDR/LDR bank syariah dari tahun ke tahun
 senantiasa lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Pada tahun 
2008, FDR/LDR bank syariah adalah sebesar 103,34% dibandingkan bank 
konvensional sebesar 74,58%. Per Agustus 2009, FDR/LDR bank syariah 
mengalami penurunan, yaitu menjadi 99,71%, namun masih tetap lebih 
tinggi dibandingkan bank konvensional yang FDR/LDR-nya sebesar 73,95%, 
yang juga mengalami penurunan dibandingan sebelumnya. (Source: situs resmi Bank Indonesia: http://www.bi.go.id.) 
Dengan demikian, bank syariah menghindari hal-hal spekulatif (gharar) yang menyebabkan bubble economy,
 sehingga memiliki kecenderungan yang lebih untuk menyalurkan pembiayaan
 ke sektor riil. Hal ini berkontribusi positif pada peningkatan Gross Domestic Product (GDP) dan kesejahteraan sosial. 
Hal lain yang diusung oleh bank syariah dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial adalah concern terhadap sektor UMKM yang merupakan bottom of the pyramid (meminjam istilah C.K. Prahalad dalam bukunya, The Fortune At The Bottom of The Pyramid)
 dalam sektor perekonomian di Indonesia. Ketangguhan sektor UMKM dalam 
menghadapi perubahan kondisi ekonomi sudah terbukti. Sektor ini tetap 
tumbuh selama masa krisis. Dari tahun ke tahun, jumlah pengusaha yang 
terjun dalam sektor ini terus meningkat sehingga UMKM dan menjadi 
penggerak utama perekonomian Indonesia. 
UMKM memiliki kontribusi yang sangat 
signifikan terhadap GDP nasional. Pada tahun 2007, dari total GDP 
nasional yang mencapai angka Rp 3.957,4 triliun, UMKM menyumbangkan 
sebesar Rp 2.121,3 triliun. Angka ini naik dari total GDP yang 
disumbangkan UMKM pada tahun 2006 sebesar Rp 1.786,2 triliun. 
Peran sektor UMKM dalam menyerap tenaga 
kerja juga sangat signifikan. Selama 2004, sektor ini mampu menyerap 
hampir 97% tenaga kerja yang tersedia. Dan, pada tahun 2009 pertumbuhan 
UMKM mencapai 10%. Ini disebabkan oleh tingginya pemutusan hubungan 
kerja (PHK) akibat krisis keuangan global yang membuat para pekerja 
beralih profesi menjadi wirausahawan. 
Peran UMKM dalam perkembangan 
perekomomian nasional sangat penting, namun sektor ini masih memiliki 
kendala dalam hal legalitas, sumber daya manusia (SDM), rendahnya 
produktivitas, dan khususnya permodalan. (Source: situs resmi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia: http://www.depkop.go.id.) 
Bank syariah memiliki perhatian besar 
dalam hal pemberian modal kepada sektor UMKM. Hal ini dikarenakan bank 
syariah berupaya melakukan flipping up the pyramid (pembalikan 
piramida ekonomi; meminjam istilah Direktur Utama PT Bank Syariah 
Mandiri (BSM), Bp. Yuslam Fauzi, dalam sebagian ceramahnya). Per Agustus
 2009, porsi pembiayaan UMKM perbankan nasional adalah sebesar 50,7%, 
sedangkan porsi pembiayaan UMKM bank syariah sebesar 72,8%. (Source: Situs resmi Bank Indonesia: http://www.bi.go.id.) 
Pembalikan piramida ekonomi bukanlah 
suatu utopia. Hal ini sudah pernah terjadi dalam catatan sejarah, 
misalnya pada zaman kekhalifahan `Umar ibn `Abd al-`Azīz. Pada saat itu,
 hampir-hampir tidak ada dan tidak ditemukan orang yang mau menerima 
zakat (mustahiqq). 
Akhir kata, semoga bank syariah tetap 
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, sebagaimana tujuan 
dari eksistensi syariah itu sendiri, yaitu dengan cara menjalan 
fungsinya sebagai financial intermediary dengan baik dan fokus kepada sektor UMKM. 
Salam,
adni kurniawan
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google

Post a Comment