Seorang ibu di Cina yang sudah tua memiliki dua tempayan untuk membawa air. Keduanya dipikul di kedua pundak dengan sebatang bambu.

Salah satu tempayan itu retak, sementara satunya lagi utuh tanpa cela. Setelah menempuh perjalanan dari sungai ke rumah, air di tempayan yang retak hanya tinggal setengah, sedangkan air di tempayan yang lain tetap penuh.


Selama dua tahun, air yang dibawa pulang oleh ibu itu hanya satu setengah tempayan. Tentu, tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Sedangkan tempayan yang retak merasa malu dan sedih atas kekurangannya. Ia hanya bisa memenuhi setengah dari tugasnya.


Akhirnya, tempayan yang retak itu berbicara kepada ibu tua, “Aku malu. Air selalu mengalir keluar melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu.”


Ibu itu tersenyum. “Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, tapi tidak ada di jalur yang satunya? Aku tahu dan memahami kekuranganmu. Jadi, aku menabur benih bunga di jalurmu. Setiap hari, kau menyirami benih-benih itu dalam perjalanan pulang. Selama dua tahun aku bisa memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah tidak menjadi seindah ini, karena tidak ada bunga.” 


[Catatan: Kisah di atas kemungkinan besar hanyalah fiktif dan sekadar perumpamaan.]

*******


Masing-masing kita memiliki kekurangan. Namun, itu yang menjadikan kebersamaan kita menjadi bermakna. Kita saling melengkapi. Homo homini socius. Setiap orang selayaknya diterima sebagaimana adanya, dan dicari cara untuk mengeluarkan potensi terbaik dalam diri mereka. Tidak ada manusia yang sempurna. Dengan mencari kelebihan di balik ketidaksempurnaan itulah hidup kita menjadi indah. 


Quran berpesan: 


فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً


Maka boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal Allah jadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS al-Nisā’/4: 19.]


Salam, 
adni kurniawan


*Sumber tulisan dari kiriman seorang kawan; dan sumber gambar dari Google.

Post a Comment

 
Top