وَأَنَّهُ
هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى {43} وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا {44}
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى {45} مِن نُّطْفَةٍ
إِذَا تُمْنَى {46} وَأَنَّ عَلَيْهِ النَّشْأَةَ الْأُخْرَى {47}
وَأَنَّهُ هُوَ أَغْنَى وَأَقْنَى {48}
“Dan bahwa Dia yang menjadikan
tertawa dan menangis, dan bahwa Dia yang mematikan dan menghidupkan, dan
bahwa Dia yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. dari air
mani, apabila dipancarkan; dan bahwa Dia yang menetapkan kejadian yang
lain (kebangkitan sesudah mati), dan bahwa Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.” (QS al-Najm/53: 43 -48.)
Allah Ta`ālā memberikan KEKAYAAN dan KECUKUPAN. Ya, bukan KEMISKINAN.
Jika kita perhatikan, ayat di atas berbicara tentang hal yang
berlawanan: tertawa-menangis, kematian-kehidupan, pria-wanita. Namun,
ketika menyebut tentang kekayaan, ternyata lawannya adalah kecukupan,
dan bukan kemiskinan.
Benarkah penerjemahan ayat di atas? Benar, insya Allah. Meski tidak dipungkiri adanya perbedaan tafsir dalam hal ini.
Secara harfiah, kata “aqnā” dalam ayat tersebut memiliki akar kata yang sama dengan qin-yah, yang bermakna apa yang dikumpulkan (lihat Lisān al-`Arab, vol. ke-42, hlm. 3760), atau dari kata qaniy[a], yang berarti ridha (lihat al-Mu`jam al-Wasīth, hlm. 763).
Terkait ayat dimaksud, penulis kitab Mufradāt al-Qur-ān berkata,
قوله تعالى: {أغنى وأقنى} [النجم / 48] أي: أعطى ما فيه الغنى وما فيه القنية أي: المال المدخر؛ وقيل: (أقنى): أرضى.
“Maknanya, Dia memberikan apa-apa yang mengandung kekayaan dan memberikan qin-yah, yakni harta yang disimpan. Ada juga yang berpendapat bahwa makna kata aqnā adalah membuat ridha.”
Ibn Katsīr berkata ketika menafsirkan ayat tersebut,
{أنه
هو أغنى وأقنى} أي ملك عباده المال وجعله لهم قِنْيَة مقيما عندهم لا
يحتاجون إلى بيعه فهذا تمام النعمة عليهم وعلى هذا يدور كلام كثير من
المفسرين منهم أبو صالح وابن جرير وغيرهما
“Maknanya adalah Dia memberikan kepemilikan harta kepada para hamba-Nya dan menjadikan harta itu sebagai qin-yah
(sesuatu yang dikumpulkan) yang tetap di sisi mereka, sehingga mereka
tidak perlu menjualnya. Ini adalah kesempurnaan nikmat kepada para
hamba-Nya. Seputar inilah berkisar pendapat banyak ahli tafsir, antara
lain Abū Shālih, Ibn Jarīr (al-Thabariy) dan selain keduanya.” (Lihat Tafsīr Ibn Katsīr, vol. IV, hlm. 330.)
Ibn al-Jauziy berkata ketika menjelaskan makna kata aqnā,
وفي
قوله أقنى ثلاثة أقوال: أحدها: أرضى بما أعطى، قاله ابن عباس. والثاني:
أخدم، قاله الحسن وقتادة وعن مجاهد كالقولين. والثالث: جعل للإنسان قنية،
وهو أصل مال، قاله أبو عبيدة.
“Dalam memaknai kata aqnā, terdapat tiga pendapat (di kalangan ahli tafsir). Pendapat Pertama: (Makna aqnā adalah) menjadikan ridha (ardhā) terhadap apa yang Dia berikan, ini adalah pendapat Ibn `Abbās. Pendapat Kedua: Maknanya adalah menjadikan (kekayaan itu) sebagai pelayan (akhdam[a]). Ini adalah pendapat al-Hasan dan Qatādah. Adapun dari Mujāhid, maka pendapatnya adalah seperti dua pendapat tersebut. Pendapat Ketiga: Dia menjadikan qin-yah bagi manusia, yakni pokok harta. Ini adalah pendapat Abū `Ubaydah.” (Lihat Zād al-Masīr fī `Ilm al-Tafsīr, vol. VIII, hlm. 83.)
Memang ada juga pendapat yang memaknai aqnā dengan afqar[a] (menjadikan kefakiran), sebagaimana pendapat Ibn Zayd, al-Akhfasy, dan demikian pula al-Hadlramiy, yang disebutkan oleh al-Alūsiy (Lihat Rūh al-Ma`ānī, vol. XXVII, hlm. 69).
Alasan mereka adalah ayat-ayat
sebelumnya menyebutkan kata-kata yang berlawanan: tertawa-menangis,
kematian-kehidupan, pria-wanita. Mereka kemudian berpendapat bahwa
padanan dari kekayaan adalah kefakiran. Namun, secara kebahasaan,
pendapat ini tampaknya sulit diterima, karena asal kata aqnā berbeda dengan fakir. Mungkin karena lemahnya pendapat ini, Ibn al-Jawziy, tidak menyebutkannya ketika membahas ayat dimaksud, sebagaimana kutipan di atas.
Demikianlah, Allah `Azza wa Jalla tidak menjanjikan kefakiran bagi para hamba-Nya. Adalah setan yang menjanjikan demikian. Allah berfirman,
الشَّيْطَانُ
يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم
مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti)
kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keburukan; sementara
Allah menjadikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” (QS al-Baqarah/2: 268.)
Karena itu, tidak ada yang patut
disalahkan dari kefakiran selain diri kita sendiri, atau sistem yang
rusak karena menyimpang dari jalan Ilahi dan sejalan dengan propaganda
setan. Wallāh[u] a`lam.
Salam,
~adni kurniawan
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment