Tersebutlah seorang pengusaha muda dan 
kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah: Jaguar. Suatu ketika, pengusaha 
muda itu sedang menikmati perjalanannya dengan mobil barunya. Ia memacu 
mobilnya dengan kencang, sebagaimana yang menjadi kebiasaannya. 
Di pinggir jalan, tampak sejumlah anak sedang bermain, tapi ia terus melaju tak peduli. 
Tak berapa lama kemudian tiba-tiba ada yang melempar pintu mobilnya. “Brak!” Sebuah batu mengoyak mobil Jaguar itu. 
Suara berdecit merobek udara. Pengusaha 
itu menekan rem kuat-kuat. Dengan geram, diundurkannya mobil itu menuju 
tempat batu dilemparkan. Jaguar yang tergores bukanlah hal sepele. 
Apalagi itu dilakukan secara sengaja oleh orang lain, begitu pikir 
pengusaha. Amarahnya memuncak. Wajahnya merah padam. 
Dilihatnya seorang anak kecil yang kumal, lusuh dan tampak ketakutan. 
“Kenapa kau lakukan itu?!” bentaknya. Ia ingin memukul anak itu. 
“Maaf, Pak. Maaf…,” ujar anak itu 
ketakutan. Ia mulai terisak. “Saya terpaksa melempar batu itu karena tak
 seorang pun di jalan ini yang mau peduli dan berhenti….” 
Ia lalu menunjuk ke suatu arah. “Kakak 
saya terjatuh dari kursi rodanya. Ia cacat. Saya tak kuat mengangkatnya.
 Ia terlalu berat untuk saya. Saat ini ia sedang terluka dan kesakitan. 
Saya bingung mencari pertolongan. Maukah Bapak menolong saya? Tolong 
saya, Pak….” 
Tampak seorang remaja belia jatuh tergeletak tak jauh dari kursi roda yang terbalik. Mimik wajahnya menahan kesakitan. 
Pengusaha itu terdiam, tak mampu berkata
 apa-apa. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera 
ia mengangkat remaja cacat yang jatuh itu ke kursi rodanya. Kemudian, 
diambilnya sapu tangan mahal miliknya untuk mengusap lukanya. Memar dan 
tergores, sama seperti pintu Jaguar kesayangannya. 
Kedua anak itu lalu berterima kasih, 
mendoakan kebaikan untuk sang pengusaha dan mengatakan bahwa mereka akan
 baik-baik saja. Keduanya beriringan meninggalkan pengusaha yang masih 
nanar menatap kepergian mereka. 
Berbalik arah, pengusaha itu berjalan 
perlahan menuju Jaguar miliknya. Disusurinya jalan dengan lambat, sambil
 merenungkan kejadian yang baru saja dialaminya. Mobilnya berasuransi. 
Ia bisa dengan mudah menghapus goresan itu. Tapi ia memilih 
membiarkannya, agar tetap ingat peristiwa tersebut. Ia menginginkan agar
 pesan itu tetap nyata terlihat: 
“Janganlah melaju dalam hidupmu terlalu cepat. Sebab, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu.” 
[Catatan: Kisah di atas kemungkinan hanya fiktif dan permisalan.] 
*******
Seperti halnya kendaraan, hidup kita 
terus melaju. Di setiap sisinya, kita bisa menyaksikan berbagai macam 
realita dan fenomena. Namun, adakah kita memacu hidup dengan begitu 
cepat, sehingga tak pernah ada waktu untuk melihat sekitar?
Kadang, ada yang akhirnya melemparkan 
“batu” agar kita berhenti sejenak. Ada dari kita yang mungkin lalu 
menyebut itu sebagai musibah. Padahal, itu mungkin adalah teguran-Nya, 
agar kita lebih peduli dengan sekeliling kita. Itu adalah panggilan-Nya,
 pertanda bahwa Dia didekati dengan uluran tangan kepada sesama. Hidup 
menjadi berarti dengan berbagi.
Nabi bersabda, 
إِنَّ
 اللَّهَ -عَزَّ وَجَلَّ-  يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ 
مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ 
رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلاَنًا مَرِضَ 
فَلَمْ تَعُدْهُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي 
عِنْدَهُ. يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي. قَالَ: يَا
 رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟  قَالَ: أَمَا 
عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ، أَمَا 
عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي. يَا ابْنَ 
آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي، قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ 
أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي 
فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ
 عِنْدِي.
“Sesungguhnya pada hari Kiamat Allah
 `Azza wa Jalla berkata, ‘Wahai anak Adam, Aku sakit  tetapi engkau 
tidak menjenguk-Ku.’ Berkatalah si hamba, ‘Ya Rabbku, bagaimana mungkin 
aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Rabb semesta alam.’ Allah 
menjawab, ‘Bukankah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, tetapi 
engkau tidak menjenguknya. Tidakkah engkau tahu bahwa seandainya engkau 
menjenguknya, niscaya engkau akan mendapati-Ku di sisinya. Wahai anak 
Adam, Aku minta makanan kepadamu tetapi engkau tidak memberikan makanan 
kepadaku.’ Berkatalah si hamba: ‘Ya Rabbku, bagaimana mungkin aku 
memberikan makanan kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Rabb semesta alam.’
 Allah menjawab: ‘Bukankah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta 
makanan kepadamu, tetapi engkau tidak memberikannya. Tidakkah engkau 
tahu seandainya engkau memberinya makan,  niscaya engkau akan mendapati 
hal itu di sisi-Ku. Wahai anak Adam,  Aku meminta minum kepadamu, tetapi
 engkau tidak memberikannya.’ Berkatalah si hamba: ‘Ya Rabbku, bagaimana
 mungkin aku memberikan minum kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Rabb 
semesta alam.’ Allah berfirman: Bukankah engkau tahu bahwa hamba-Ku si 
Fulan meminta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberikannya. 
Tidakkah engkau tahu seandainya engkau memberikannya minum, niscaya 
engkau akan mendapati hal itu di sisi-Ku.” [HR Muslim dalam Shahīh-nyaIV/ 1990/2569, dan lain-lain.]
Salam,
~adni kurniawan
*Sumber tulisan: http://www.resensi.net/batu-dan-bisikan/2007/07/, dengan perubahan dan penambahan.
**Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment