Pertanyaan:

Bolehkah seseorang berpuasa sunnah, sementara ia belum meng-qadhā puasa Ramadhan?

Jawaban:

Hukumnya BOLEH, insya Allah. Seseorang dapat berpuasa sunnah, meskipun ia belum meng-qadhā puasa Ramadhan. 

Ini adalah pendapat dari madzhab Hanafiy, Syāfi`iy, dan juga satu riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat: al-`Ināyah `alā al-Hidāyah I/355, al-Muhadzdzab I/252, al-Mantsūr fī al-Qawā`id III/278, dan al-Mughniy III/145-146.] 


Allah Ta`ālā berfirman: 

مَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Maka, siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS al-Baqarah/2: 185.] 

Ayat di atas, khususnya frasa: “pada hari-hari yang lain”, menunjukkan bahwa kewajiban untuk meng-qadhā puasa Ramadhan itu tidak harus disegerakan, atau yang dalam disiplin ushūl fiqh disebut wājib muwassa`

Namun, pelaksanaan puasa sunnah sebelum meng-qadhā puasa Ramadhan agar memperhatikan catatan sebagai berikut: 

Pertama: Pada prinsipnya seorang Muslim berusaha untuk menyegerakan penyelesaian hal-hal yang diwajibkan kepadanya. Sebuah hadits qudsiy menyebutkan bahwa Allah Ta`ālā berkata, 

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya.” [HR al-Bukhariy dalam Shahīh-nya no. 6502.] 

Kedua: Jika dikhawatirkan suatu ibadah terlewatkan batas waktunya dan/atau dikhawatirkan kondisi seseorang akan memburuk sehingga ia tidak mampu melaksanakan ibadah tersebut, pelaksanaan qadhā menjadi wajib disegerakan. 

Ketiga: Puasa sunnah enam hari Syawwāl dilaksanakan setelah puasa Ramadhan, dikarenakan hadits: 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa yang berpuasa Ramadhan lalu mengikutkannya (melanjutkannya) dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka itu senilai puasa setahun penuh.” [HR Muslim dalam Shahīh-nya no. 1164.] 

[Pembahasan lain tentang puasa Syawwāl dapat dilihat di sini.]

Alasan pendapat bahwa orang yang masih berkewajiban meng-qadhā Ramadhan diperkenankan untuk berpuasa sunnah, dengan memperhatikan hal-hal di atas, adalah sebagai berikut: 

Pertama: Tidak ada dalil/teks dari Pembuat Syariat (Syāri`) yang melarang hal tersebut; 

Kedua: Untuk hal yang bersifat wajib muwassa` (kewajiban yang tidak harus disegerakan), seorang hamba diperkenankan melaksanakan ibadah sunnah dengan jenis yang sama, sebelum pelaksanaan kewajiban itu. Contohnya, seseorang yang melaksanakan shalat Zhuhur satu jam sebelum waktu Zhuhur berakhir, misalnya, tetap dapat melaksanakan shalat sunnah Qabliyyah Zhuhur. 

Namun demikian, Sa`īd ibn al-Musayyib berkata tentang puasa sunnah pada sepuluh hari Dzul Hijjah, 

لا يصلح حتى يبدأ برمضان

“Tidaklah baik (untuk dilakukan), kecuali setelah ia menunaikan kewajiban puasa Ramadhan.” [Ucapan ini diriwayatkan oleh al-Bukhariy dalam Shahīh-nya II/688, secara mu`allaq.] 

Ibn Hajar berkata, 

وظاهر قوله جواز التطوع بالصوم لمن عليه دين من رمضان الا أن الأولى له أن يصوم الدين أولا لقوله لا يصلح فإنه ظاهر في الإرشاد إلى البداءة بالاهم والآكد

“Zahir dari ucapan beliau adalah bolehnya berpuasa sunnah bagi orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan. Namun, yang lebih utama adalah menyelesaikan hutang puasanya terlebih dulu. Ucapan beliau: ‘tidaklah baik (untuk dilakukan)’, zahirnya adalah untuk memberikan arahan agar seseorang mulai dengan hal yang lebih urgen dan prioritas.” [Fat-h al-Bāriy IV/189.] 

Secara zahir, apa yang dikatakan oleh Ibn al-Musayyib juga merupakan pilihan fiqh Imam al-Bukhariy. Sebab, di dalam kitab Shahīh-nya, beliau memasukkan kutipan itu ke dalam bab yang diberi judul: Matā yuqdhā qadhā-[u] Ramadhān? (Kapan puasa qadhā Ramadhan dilakukan?). Demikian yang dapat disampaikan. Wallāh[u] a`lam

~adni kurniawan, semoga Allah merahmatinya.  
 
Referensi: Al-Tarjīh fī Masā-il al-Shawm wa al-Zakāh, karya Muhammad ibn `Umar Bāzmūl, hlm. 85 – 87, dengan perubahan.

 *Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment

 
Top