Jika kita mencermati teks-teks keagamaan, kita akan dapati bahwa banyak hal yang diatur dari dua perspektif yang berbeda. Hal ini untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan, yang ini merupakan salah satu keindahan ajaran Islam. 

Teks-teks keagamaan itu seharusnya diletakkan pada posnya yang sesuai. Namun, sering kali yang terjadi justru kebalikannya. 

Teks yang menganjurkan sedekah yang ditujukan untuk orang kaya, misalnya, malah digunakan oleh orang miskin, untuk ‘memaksa’ agar diberi. Sebaliknya, teks yang mengecam perbuatan minta-minta yang ditujukan bagi orang yang memiliki kekurangan finansial, malah digunakan oleh orang kaya untuk menjustifikasi sikap pelitnya. 

Teks yang ditujukan kepada rakyat untuk bersabar dan tetap taat meskipun penguasa bersikap zalim, malah digunakan oleh penguasa zalim untuk terus melakukan penindasan. Sementara, teks kecaman terhadap penguasa zalim malah digunakan oleh rakyat untuk bersikap tidak taat, dan bahkan anarkis. 

Teks bagi para isteri untuk taat kepada suaminya malah digunakan oleh suami untuk melegalkan kesemena-menaannya. Padahal para suami terkena teks yang mengecam sikap ketidakadilannya. 

Demikianlah seterusnya. 

Kekacauan dan kerancuan terjadi apabila teks-teks tersebut tidak diposisikan sesuai kondisi serta peruntukannya. Sayangnya, kesadaran terhadap ini masih kurang. Akibatnya, terjadilah disharmoni dalam kehidupan, yang berseberangan spirit ajaran Islam. Peran para dai dan ustadz untuk memberikan pemahaman yang tepat bagi masyarakat dalam implementasi teks keagamaan sesuai konteks dan peruntukannya masih sangat diperlukan. 

Selanjutnya kita akan melihat sejumlah teks keagamaan yang terkait dengan pernyataan di atas. 

Untuk urusan sedekah harta, misalnya, teks keagamaan menganjurkan kepada orang yang memiliki kelebihan harta untuk mudah memberi, kepada siapapun yang membutuhkan dan/atau meminta pertolongan. Sebaliknya, orang yang miskin dilarang untuk mudah meminta-minta. 

Quran menyebutkan bahwa salah satu ciri penghuni surga dari orang yang bertakwa lagi berbuat kebaikan (muhsin) adalah: 

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian harta.” (QS adz-Dzāriyāt/51: 19.) 

Nabi bersabda, 

 قَالَ رَجُلٌ: لأَتَصَدَّقَنَّ اللَّيْلَةَ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ. فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ. فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ زَانِيَةٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ. فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، لأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ. فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ. فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Ada seseorang (dari kalangan Bani Israil) berkata: ‘(Demi Allah), aku benar-benar akan memberikan sedekah pada malam ini.’ Lantas ia keluar dengan membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang pencuri (tanpa sengaja). Esok harinya, orang ramai membicarakan tentang pencuri yang diberi sedekah semalam. Maka Lelaki itu berkata: ‘Ya Allah, hanya untuk-Mu segala puji. (Demi Allah), aku benar-benar akan bersedekah lagi.’ Lantas dia keluar dengan membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang wanita pezina. Esoknya, orang ramai membicarakan tentang wanita pezina yang diberi sedekah semalam. Maka lelaki itupun berkata: ‘Ya Allah, hanya untuk-Mu segala puji atas sedekah yang kuberikan kepada wanita pezina. (Demi Allah), aku benar-benar akan bersedekah lagi.’ Lantas ia keluar dengan membawa sedekah dan memberikannya kepada orang kaya. Esoknya, orang ramai membicarakan  tentang orang kaya yang diberi sedekah semalam. Maka lelaki itupun berkata lagi: ‘Ya Allah, hanya untuk-Mu segala puji atas sedekah yang kuberikan kepada seorang perempuan zina, pencuri, dan orang kaya.’ Lalu ia (bermimpi) didatangi seseorang, yang kemudian berkata kepadanya: ‘Adapun sedekah yang diberikan kepada seorang pencuri, maka semoga pencuri itu berhenti mencuri karena sedekahmu. Adapun wanita pezina, maka semoga ia juga berhenti dari zina karena sedekahmu. Dan adapun orang kaya, maka semoga ia dapat mengambil pelajaran, sehingga membelanjakan sebagian harta yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadanya.”[1] 

Ketika meriwayatkan hadits di atas, Imam Muslim memasukkannya ke dalam bab yang diberi judul Tsubūt Ajr al-Mutashaddiq, wa in Waqa’at al-Sedekah fi Yad Ghayr Ahlihā (orang yang bersedekah tetap mendapat pahala, meskipun sedekah itu jatuh ke tangan orang yang tidak layak menerimanya). 

Hadits lain menyebutkan: 

 لِلسَِّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ

Orang yang meminta itu memiliki hak. Meskipun ia datang dengan berkuda.”[2] Hadits ini di-dha`īf-kan oleh Syu`ayb al-Arnā-uth dalam tahqīq-nya terhadap Musnad Ahmad, dan al-Albaniy.[3] 

Intinya, Islam mengajarkan agar seseorang itu mudah memberi. Hal ini dicontohkan oleh Nabi SAW dalam banyak kesempatan. 

Namun sebaliknya, Islam juga mengajarkan agar seseorang yang kesulitan itu tidak mudah meminta-minta. Bahkan, terdapat kecaman keras terhadap perbuatan meminta-minta. 

Nabi bersabda, 

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مزْعَة لَحْمٍ

Seseorang itu senantiasa meminta-minta kepada manusia, sehingga ia datang pada hari kiamat dengan tanpa memiliki secuil daging pun di wajahnya.”[4]   

Untuk urusan pemerintahan, misalnya, teks keagamaan mengecam keras pemimpin yang zalim, namun juga memerintahkan rakyat untuk mengedepankan kesabaran dalam menghadapi kezaliman penguasa. 

Kecaman keras terhadap pemimpin zalim dapat dilihat pada sabda Nabi: 

أَيُّمَا رَاعٍ اسْتَرْعَى رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ

Siapapun pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu menipu mereka, maka ia di neraka.”[5]
Hadits lain menyebutkan, 

 مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah ada seorang hamba yang Allah jadikan untuk memimpin rakyat, lalu dia meninggal pada saat ajalnya, sementara ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.”[6] 

Di sisi lain, Nabi SAW juga memerintahkan untuk bersabar dan taat apabila rakyat mendapati pemimpin yang zalim. 

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ؛ قال حذيفة: كَيْفَ أَصْنَعُ إِنْ أَدْرَكْتُ ذلك؟ قال: تَسْمَع وَتُطِيْع لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ.

Nanti akan ada pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Dan, akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati setan dalam jasad manusia.” Hudzayfah bertanya, “Apa yang harus aku lakukan jika mendapati yang demikian?” Nabi SAW menjawab, “Engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin. Meskipun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Dengar dan taatlah (kepadanya).”[7] 

Di dalam hadits yang lain: 

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُم الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُم الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزَعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sebaliknya, seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi mereka dengan pedang?” Nabi SAW menjawab, “Tidak. Selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian. Jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka bencilah terhadap perbuatannya. Namun, jangan kalian menarik diri dari ketaatan kepadanya.”[8] 


Terkait kewajiban isteri untuk mematuhi suami, Nabi SAW bersabda: 

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Sekiranya aku dapat memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan isteri untuk sujud kepada suaminya.”[9] 

Namun seorang suami juga dituntut untuk berbuat sebaik mungkin kepada isterinya, dan dilarang untuk bersikap tidak adil. Nabi SAW bersabda, 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik (sikapnya) kepada isterinya (keluarganya). Dan, aku adalah orang yang terbaik (sikapnya) terhadap isteriku (keluargaku).”[10] 

Nabi juga bersabda, 

مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيْلُ لِإِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ

Siapa yang memiliki dua isteri dan ia condong kepada salah satunya, maka ia akan datang di hari Kiamat dalam keadaan timpang.”[11] 

Demikianlah, setiap teks keagamaan perlu ditempatkan sesuai posisi dan peruntukannya. Jika tidak, terjadilah disharmoni dalam kehidupan. 

Sekiranya teks-teks tersebut dijalankan sesuai porsi dan posisinya yang sesuai, hidup ini akan menjadi indah. Bayangkan suatu masyarakat yang: orang kayanya mudah memberi, orang miskinnya berpuas diri dengan apa yang dimiliki, penguasanya adil dan bijaksana, rakyatnya menaati pemerintahnya, para suami menyayangi isterinya, dan para isteri patuh kepada suaminya, dan seterusnya. Inilah yang diinginkan oleh ajaran Islam. 

Jika terjadi ketimpangan, hendaklah masing-masing bertindak sesuai dengan kondisinya dan kemampuannya. Jangan terlalu mengurusi bagian orang lain. Jika ia sebagai orang kaya, hendaklah ia mudah memberi dan jangan mengurusi kondisi banyak orang yang menjadikan perbuatan minta-minta sebagai profesi, misalnya. Jika ia sebagai rakyat, hendaklah ia bersabar dengan tetap memberikan masukan yang konstruktif terhadap penguasa zalim yang masih berstatus Muslim. Demikianlah seterusnya. 

Selanjutnya, kesadaran tersebut perlu ditularkan kepada orang lain. Sehingga, jika masing-masing orang memiliki kesadaran dan tindakan yang sama, semoga kondisi masyarakat yang ideal akan terealisasi, bi idznillāh

Karena itu, salah satu tugas penting para dai dan ustadz adalah untuk menyampaikan teks keagamaan sesuai konteks dan peruntukannya kepada masyarakat untuk membangun kesadaran dimaksud. Wallāhu a`lam bish-shawāb

*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

==================================
End Note:

[1]  Hadits riwayat al-Bukhariy dalam Shahih-nya II/516/1355 dan Muslim dalam Shahih-nya II/709/1022.
[2]  Hadits riwayat Abū Dāwud dalam Sunan-nya I/522/1665, Ahmad dalam Musnad-nya I/201/1730, dan lain-lain.
[3]  Lihat al-Dha`īfah III/558/1378.
[4]  Hadits riwayat al-Bukhariy dalam Shahih-nya II/536/1405 dan Muslim dalam Shahih-nya II/720/1040.
[5]  Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya V/25/20304, dan dinyatakan valid oleh al-Albaniy dalam ash-Shahihāh IV/347/1754.
[6]  Hadits riwayat al-Bukhariy dalam Shahih-nya VI/2614/6372 dan Muslim dalam Shahih-nya I/125/142.
[7]  Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya III/1475/1847, dan lain-lain. Lihat pula al-Shahihah vI/242/2739.
[8]  Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya III/1481/1855, dan lain-lain. Lihat pula al-Shahihah II/576/907.
[9]  Hadits riwayat al-Tirmidziy Jāmi`-nya III/465/1159, Abū Dāwud dalam Sunan-nya I/650/2140, dan lain-lain, dengan sanad yang valid. Lihat pula al-Shahihah IX/146/3366.
[10]  Hadits riwayat al-Tirmidziy Jāmi`-nya V/709/3895, Ibn Mājah dalam Sunan-nya I/636/1977, dan lain-lain, dengan sanad yang valid. Lihat pula Shahīh al-Jāmi` no. 3314.
[11]  Hadits riwayat al-Nasā-iy dalam Sunan-nya VII/63/3942, Ibn Mājah dalam Sunan-nya I/633/1969, Ahmad dalam Musnad-nya II/347/8549, dan lain-lain, dengan sanad yang valid.

Post a Comment

 
Top