Termasuk nikmat yang saya syukuri sampai hari ini adalah adanya para tuan guru yang sejak dahulu mengajari saya untuk ekstra hati-hati dalam menuding person tertentu dengan kekafiran. Para guru itu menjelaskan bahwa demikianlah mazhab Ahli Sunnah yang benar. Jazāhumullāh khayran.
Realitanya, pada sekitar tahun 2000-an, saya sempat bertemu, berinteraksi dan juga berdialog dengan sebagian kalangan yang mudah mengafirkan sesama ahli syahadat (muslim). Saya juga menyaksikan kronologi mereka bermetamorfosis semakin ekstrem dari hari ke hari. Sampai pada titik di mana mereka mengafirkan seluruh aparatur negara. Bahkan ada yang sampai mengafirkan saudara kandungnya hanya karena perbedaan penyikapan terhadap sejumlah isu politik praktis. Ada pula yang terlibat dalam isu PENGEBOMAN yang terjadi di sebagian tempat. Di samping itu, termasuk hal yang memprihatinkan adalah, kalangan yang notabene baru saja ikut kajian mereka, MASIH AWAM, PUN IKUT-KUTAN GAMPANG MENGAFIR-KAFIRKAN, akibat terpapar doktrin mereka.
Alḥamdulillāh, sampai hari ini saya tidak terpengaruh doktrin mereka tersebut. Saya berusaha mengoptimalkan nalar kritis ketika dihadapkan dengannya. Saya lihat banyak orang yang terpapar doktrin ekstrem dimaksud karena terjerembab dalam PENGULTUSAN PENDAPAT tokoh-tokoh yang mereka jadikan acuan. Taken for granted. Lisānul ḥāl (kondisi) mereka seolah menegaskan, narasumber rujukan mereka adalah sumber kebenaran tunggal yang tiada bandingnya. Tiap pandangan yang menyelisihi narasumber itu tertolak dan dipastikan kesalahannya, bahkan kesesatannya, menurut perspektif mereka.
“Sebab, pada umumnya orang yang terburu-buru dalam menyifati sesama muslim dengan kekufuran adalah karena ia KAGUM DENGAN AMALNYA SENDIRI DAN MEREMEHKAN SELAINNYA. Ia mengombinasikan antara kekaguman terhadap amal sendiri, yang hal itu menyebabkan kehancurannya, dan KESOMBONGAN yang mengonsekuensikan azab Allāh.”
Realitanya, pada sekitar tahun 2000-an, saya sempat bertemu, berinteraksi dan juga berdialog dengan sebagian kalangan yang mudah mengafirkan sesama ahli syahadat (muslim). Saya juga menyaksikan kronologi mereka bermetamorfosis semakin ekstrem dari hari ke hari. Sampai pada titik di mana mereka mengafirkan seluruh aparatur negara. Bahkan ada yang sampai mengafirkan saudara kandungnya hanya karena perbedaan penyikapan terhadap sejumlah isu politik praktis. Ada pula yang terlibat dalam isu PENGEBOMAN yang terjadi di sebagian tempat. Di samping itu, termasuk hal yang memprihatinkan adalah, kalangan yang notabene baru saja ikut kajian mereka, MASIH AWAM, PUN IKUT-KUTAN GAMPANG MENGAFIR-KAFIRKAN, akibat terpapar doktrin mereka.
Alḥamdulillāh, sampai hari ini saya tidak terpengaruh doktrin mereka tersebut. Saya berusaha mengoptimalkan nalar kritis ketika dihadapkan dengannya. Saya lihat banyak orang yang terpapar doktrin ekstrem dimaksud karena terjerembab dalam PENGULTUSAN PENDAPAT tokoh-tokoh yang mereka jadikan acuan. Taken for granted. Lisānul ḥāl (kondisi) mereka seolah menegaskan, narasumber rujukan mereka adalah sumber kebenaran tunggal yang tiada bandingnya. Tiap pandangan yang menyelisihi narasumber itu tertolak dan dipastikan kesalahannya, bahkan kesesatannya, menurut perspektif mereka.
Tentunya saya menolak model pengultusan pendapat semacam itu. Juga oleh karenanya, saya
pun berusaha mencari alternatif narasumber lainnya yang saya nilai pendapatnya moderat dan berhati-hati dalam
isu pengafiran. Sebagian ucapan ulama tersebut nantinya saya kutipkan di sini.
Di antara buku pembanding yang sempat saya baca seputar isu pengafiran adalah Muzīl al-Ilbās fī al-Aḥkām ‘alā al-Nās. Sebagai contoh, pada
hlm. 124 (Cet. I, 1417 H, Dār al-Fadhīlah, Kairo, Mesir) setelah menjelaskan bahayanya sikap gampang mengafirkan, penulisnya, al-Sa’īd bin Ṣābir ‘Abduh, menyatakan,
لأن الغالب أن من تسرع بوصف المسلم بالكفر كان معجبا بعمله محتقرا لغيره،
فيكون جامعا بين الإعجاب بعمله الذي يؤدي إلى حبوطه، وبين الكبر الموجب لعذاب الله
“Sebab, pada umumnya orang yang terburu-buru dalam menyifati sesama muslim dengan kekufuran adalah karena ia KAGUM DENGAN AMALNYA SENDIRI DAN MEREMEHKAN SELAINNYA. Ia mengombinasikan antara kekaguman terhadap amal sendiri, yang hal itu menyebabkan kehancurannya, dan KESOMBONGAN yang mengonsekuensikan azab Allāh.”
Apa yang beliau sebutkan di atas itu sejalan dengan nas-nas hadis yang mendeskripsikan sekte Khawārij, yang gampang mengafirkan kaum muslim.
Dalam mengupas berbagai isu, penulis buku Muzīl al-Ilbās tersebut seringkali mencantumkan kutipan opini ulama seperti: Ibn Taymiyyah, al-Albānĩ, Ibn ‘Utsaymīn, ‘Abdullāh bin Jibrīn, dan lain-lain.
Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, berikut saya kutipkan sejumlah kutipan yang disebutkan dalam buku tersebut, disertai adanya tambahan dari referensi lainnya.
Dalam mengupas berbagai isu, penulis buku Muzīl al-Ilbās tersebut seringkali mencantumkan kutipan opini ulama seperti: Ibn Taymiyyah, al-Albānĩ, Ibn ‘Utsaymīn, ‘Abdullāh bin Jibrīn, dan lain-lain.
Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, berikut saya kutipkan sejumlah kutipan yang disebutkan dalam buku tersebut, disertai adanya tambahan dari referensi lainnya.
Ibn Taymiyyah berkata,
هذا
مع أنى دائما ومن جالسنى يعلم ذلك منى انى من أعظم الناس نهيا عن أن ينسب
معين الى تكفير وتفسيق ومعصية إلا اذا علم أنه قد قامت عليه الحجة الرسالية
التى من خالفها كان كافرا تارة وفاسقا أخرى وعاصيا أخرى وانى أقرر أن الله
قد غفر لهذه الأمة خطأها وذلك يعم الخطأ فى المسائل الخبرية القولية
والمسائل العملية، وما زال السلف يتنازعون فى كثير من هذه المسائل ولم يشهد
أحد منهم على أحد لا بكفر ولا بفسق ولا معصية
"Demikianlah,
sementara saya senantiasa—dan orang-orang yang bermajelis dengan saya
mengetahui hal tersebut—bahwa saya termasuk orang yang paling keras
melarang menisbatkan person tertentu kepada kekurufan, kefasikan dan
maksiat, kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan hujah risalah kepada yang bersangkutan, di mana yang menyelisihi hujah tersebut
terkadang menjadi kafir, atau fasik, atau pelaku maksiat. Saya tegaskan bahwa sesungguhnya Allāh telah mengampuni
kekeliruan umat ini. Hal itu mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah
(keyakinan) maupun masalah amalan. Dan Salaf senantiasa saling silang
pendapat pada banyak dari masalah-masalah tersebut. Namun, tidak seorang
pun dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan." [Majmū' al-Fatāwā, vol. III, hlm. 229.]
Az-Zarqānĩ berkata,
لمثل
هذا أربأ بنفسي وبك أن نتهم مسلما بالكفر أو البدعة والهوى لمجرد أنه
خالفنا في رأي إسلامي نظري فإن الترامي بالكفر والبدعة من أشنع الأمور ولقد
قرر علماؤنا أن الكلمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجها ثم احتملت
الإيمان من وجه واحد حملت على أحسن المحامل وهو الإيمان وهذا موضوع مفروغ
منه ومن التدليل عليه
“Untuk
semisal hal ini, saya mewanti-wanti diri saya dan Anda dari menuduh
seorang muslim dengan kekufuran atau bidah dan hawa nafsu, hanya karena
ia menyelisihi kita pada suatu pemikiran Islami teoritis. Sesungguhnya
saling lempar tuduhan dengan kekufuran dan bidah termasuk perkara yang paling buruk. Ulama kita telah menetapkan bahwa satu kata
apabila mengandung kemungkinan kekufuran dari sembilan puluh sembilan
sisi, akan tetapi mengandung kemungkinan keimanan dari satu sisi, maka
dibawa kepada sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah tema
yang telah selesai dibahas dan memiliki dalil yang kuat.” [Manāhil al-'Irfān fī `Ulūm al-Qurān, Muḥammad 'Abdul-'Azhīm al-Zarqānĩ, taḥqīq Fawwāz Aḥmad, Dār al-Kitāb al-'Arabĩ, Beirut, cet. pertama, 1415 H/1995 M, vol. II, hlm. 31.]
Ibn Taymiyyah berkata,
وليس
لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين
له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد
إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan
tidak seorang pun memiliki hak untuk mengafirkan orang lain dari kaum
Muslim, meskipun ia melakukan salah dan galat, sampai ditegakkan atasnya
hujah dan menjadi jelas baginya kebenaran. Dan siapa yang telah
tetap keislamannya dengan keyakinan maka tidak dapat dihapuskan darinya
keislaman tersebut dengan keraguan. Bahkan keislaman tersebut tidak
hilang kecuali setelah ditegakkan hujah dan dihilangkan syubhat.” [Majmū' al-Fatāwā, vol. XII, hlm. 466.]
Imam al-Ghazzālĩ berkata,
والذي
ينبغي أن يميل المحصِّل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً….
والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك مَحْجَمة من دم
مسلم
“Hal
yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh pembelajar adalah
menghindari pengafiran (orang lain yang menyatakan dirinya sebagai
Muslim) selama ia mendapatkan jalan untuk itu…. Dan kesalahan dalam
membiarkan seribu orang (yang ternyata) kafir dalam kehidupan lebih
ringan dibandingkan kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.” [Al-Iqtishād fī aI-I'tiqād, hlm. 250-251, terbitan Universitas Ankara, Turki, tahun 1962 M. Lihat pula kitab yang sama dengan tahqīq Dr. Inshāf Ramadhān, Dār Qutaybah, Beirut, cet. pertama, 1423 H/2003 M, hlm. 176.]
Al-Mullā ‘Alĩ al-Qārī al-Ḥanafĩ (w. 1014 H) berkata,
“Sungguh, ulama kita telah menyatakan bahwa apabila didapatkan 99 persen kemungkinan indikasi untuk mengafirkan muslim namun terdapat 1 persen saja indikasi keberlangsungannya di atas keislamannya, maka selayaknya bagi mufti dan kadi untuk merealisasikan 1 persen indikasi tersebut. Inilah faidah yang dipetik dari sabda Nabi ('alayhis salām): 'Hindarkan penerapan hudud terhadap kaum muslim semampu kalian. Jika kalian mendapati jalan keluar untuk seorang muslim, maka lepaskanlah ia. Sesungguhnya seorang penguasa yang salah dalam memberikan grasi masih lebih baik dibandingkan salah dalam menjatuhkan sanksi.' Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzĩ dan selainnya, juga al-Ḥākim dan beliau mengesahkannya.” [Ref.: Syarḥ al-Syifā, vol. II, hlm. 499, penyunting: al-Khalīlĩ, cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.]
Al-Mullā ‘Alĩ al-Qārī al-Ḥanafĩ (w. 1014 H) berkata,
وقد قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى إبقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه، وهو مستفاد من قوله عليه السلام: ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله. فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له أن يخطئ في العقوبة. رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه.
“Sungguh, ulama kita telah menyatakan bahwa apabila didapatkan 99 persen kemungkinan indikasi untuk mengafirkan muslim namun terdapat 1 persen saja indikasi keberlangsungannya di atas keislamannya, maka selayaknya bagi mufti dan kadi untuk merealisasikan 1 persen indikasi tersebut. Inilah faidah yang dipetik dari sabda Nabi ('alayhis salām): 'Hindarkan penerapan hudud terhadap kaum muslim semampu kalian. Jika kalian mendapati jalan keluar untuk seorang muslim, maka lepaskanlah ia. Sesungguhnya seorang penguasa yang salah dalam memberikan grasi masih lebih baik dibandingkan salah dalam menjatuhkan sanksi.' Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzĩ dan selainnya, juga al-Ḥākim dan beliau mengesahkannya.” [Ref.: Syarḥ al-Syifā, vol. II, hlm. 499, penyunting: al-Khalīlĩ, cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.]
Syaikh al-Albānĩ berkata,
“Tidak setiap yang jatuh ke dalam kekufuran, maka ia dihukumi sebagai kafir. Namun, jika kita hendak menyebutnya sebagai kafir dan murtad dari agama, maka harus ditegakkan hujah (terlebih dahulu) kepadanya, hingga jelas hakikatnya baginya dan hilang darinya syubhat, yang menyebabkannya melenceng dari kebenaran yang dibawa oleh syarak, di mana ia telah menyelisihnya dan terjatuh dalam kesesatan yang nyata.” [Silsilah al-Hudā wa al-Nūr no. 219. Rekaman suara dimaksud juga dapat dicari via Youtube, misalnya.]
ليس كل من وقع في الكفر وقع الكفر عليه، لكن إذا أردنا أن نقول إنه كفر وارتد عن الدين فلا بد من إقامة الحجة عليه حتى تتجلى له الحقيقة وتزول عنه الشبهة التي هي كانت السبب في انحرافه عن الحق الذي جاء به الشرع وخالفه فوقع في الضلال المبين.
Ibn Taymiyyah berkata,
فقد يكون الفعل أو المقالة كفرا ويطلق القول بتكفير من قال تلك المقالة، أو فعل ذلك الفعل، ويقال: من قال كذا، فهو كافر، أو من فعل ذلك فهو كافر، لكن الشخص المعين الذي قال ذلك القول أو فعل ذلك الفعل لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها.
Selanjutnya, terkait dengan isu pengafiran ini, saya ingin mengutip (dengan sedikit pengeditan) status FB Ust. Alee Massaid yang baru saja beliau bagikan semalam. Beliau mengutip dan menerjemahkan makalah Syaikh Sulthān al-'Umayrĩ "Ulama Islam dan Bencana Pengkafiran":
Ibn Taymiyyah tidak hanya memperingatkan dari bahaya pengkafiran serampangan pada tataran teoretis melainkan juga sangat berhati-hati dalam pengaplikasiannya pada tataran praktis di jalan kehidupan ilmiah yang beliau tapaki.
Beliau mengungkapkan di hadapan para alim ulama sekte Jahmiyyah ekstrem -bagi beliau mereka telah jatuh dalam kekufuran nyata-, "Seandainya saya berada di posisi kalian, niscaya saya kafir karena saya memahami bahwa pendapat kalian merupakan kekufuran. Namun kalian bagi saya tidak kafir karena kalian tidak memahaminya (juhhāl)."
Sebagaimana beliau juga tidak mengkafirkan Taqiyyuddīn al-Subkĩ yang berijtihad hingga menyimpulkan bahwa ber-istighātsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Muhammad (shallāllāhu 'alayhi wa sallam) diperbolehkan. Beliau (al-Subkĩ) menuliskan dalam bukunya "Syifā al-Saqām": Bab Kedelapan: tentang tawasul dan istighātsah dengan Nabi (shallāllāhu 'alayhi wa sallam) di mana beliau membolehkannya setelah wafat Nabi Muhammad (shallāllāhu 'alayhi wa sallam) dengan uraian argumen cukup panjang.
Bahkan lebih dari itu, al-Subkĩ berkata dalam kumpulan fatwanya (Fatāwā al-Subkĩ, I/264-265) tentang dirinya, "Sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui bahwa setiap kebaikan yang aku raih dan Allāh anugerahkan kepadaku seluruhnya karena sebab Nabi Muhammad (shallāllāhu 'alayhi wa sallam) dan karena perlindungannya kepadaku, juga karena aku selalu bertumpu kepada beliau dalam ber-tawassul kepada Allāh di setiap perkara. Beliau lah wasīlah-ku di dunia dan akhirat."
Kendati begitu, Ibn Taymiyyah tidak pernah mengkafirkannya, melainkan bermuamalah dengannya sebagaimana bermuamalah dengan muslim. Bahkan Ibn Taymiyyah menyanjung dan memujinya serta menilainya termasuk ulama besar dalam Islam. Ibn Taymiyah tidak pernah mengagungkan seorang pun dari ulama semasanya melebihi pengagungannya kepada al-Subkĩ, sebagaimana dalam "Thabaqāt al-Syāfi'iyyah" (VI/168).
Lantas, apakah Ibn Taymiyyah berbasa-basi dalam urusan agama, atau terpapar syubhat Murjiah, atau bahkan pemahamannya terdistorsi kredo Jahmiyyah?
Lebih menarik lagi, sikap Ibn Taymiyyah yang tidak mengkafirkan al-Bakrĩ yang sangat keras membela ritual istighātsah dengan Nabi Muhammad (shallāllāhu 'alayhi wa sallam) dan telah dibantah oleh Ibn Taymiyyah.
Ibn Taymiyyah berkata, "Kami tidak membalas kejahilan dan kebohongannya dengan pengkafiran dengan cara serupa, sebagaimana jika seorang berdusta dalam kesaksian terhadap seorang lainnya, atau menuduhnya melakukan perbuatan keji dengan dusta, maka tidak dibenarkan bagi pihak tertuduh untuk membalasnya dengan perbuatan serupa."
Ini semua menunjukkan kehati-hatian Ibn Taymiyyah dalam menjatuhkan vonis terkait isu pengafiran.
Seandainya di zaman ini terdapat tokoh semisal al-Bakrĩ dan al-Subkĩ, tampaknya banyak kalangan pemuda yang akan langsung mengafirkan mereka serta menuduh siapapun yang tidak mengkafirkan mereka sebagai penganut kredo sekte Murjiah atau Jahmiyyah atau sebagai penjilat.
Ibn Ḥajar al-Haytamĩ mengutip dari para ulama Syāfi'iyyah bahwa mereka sangat berhati-hati dalam bab takfīr (pengafiran).
"Selayaknya seorang mufti berhati-hati dalam isu pengafiran, selama memungkinkan. Lantaran akibat dari dampaknya yang amat berat dan adanya kemungkinan si pelaku tidak memaksudkannya. Terlebih dari kalangan masyarakat awam. Para imam dalam mazhab kami senantiasa memegang tradisi ini sejak zaman dulu hingga sekarang."
Terakhir, Syaikh Muḥammad bin 'Abdul Wahhāb berkata (al-Durar al-Saniyyah, VIII/217), "Maka wajib atas siapapun yang menjaga dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan hujah terang dari Allah. Hendaknya berhati-hati dalam perihal mengeluarkan seorang dari agama Islam hanya dengan pemahaman dan apa yang diyakini baik oleh akalnya karena mengeluarkan seseorang dari agama Islam atau memasukkannya ke dalamnya merupakan persoalan besar dalam agama." Selesai kutipan dari Ustaz Alee Massaid.
Demikianlah, saya pribadi melihat isu pengafiran ini dahulu sempat BOOMING NAMUN KEMUDIAN MEREDUP, dengan ditangkapnya sebagian tokoh penyerunya (dan keterlibatannya dengan aksi pengeboman). Namun, BELAKANGAN INI TAMPAKNYA ISU PENGAFIRAN INI DIHIDUPKAN KEMBALI oleh sejumlah kalangan. Karena itu, berhati-hatilah ketika mendapati adanya kalangan yang dengan mudahnya mengobral vonis "kafir" dan "murtad".
Lebih dari sepuluh tahun lalu sebenarnya saya juga pernah menulis topik yang mirip di blog ini (yang dapat diakses di sini). Namun, karena urgensinya, maka saya tuliskan kembali, tentunya dengan sejumlah penambahan dan perubahan.
Allāhu a'lam. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Adni Abu Faris
20/02/2020
Post a Comment