Saya sebenarnya sudah agak melupakan istilah “freethinker”, sampai kemudian diingatkan kembali oleh Bosbro Coach Arisdiansah, melalui komentarnya di salah satu status FB saya beberapa hari lalu. 


Dahulu saya pernah mengkritik penggunaan istilah tersebut, yang oleh sekalangan afiliasi tertentu ketika itu digunakan untuk menyindir pihak yang dianggap tidak sejalan dengan mereka. Padahal baik penyindir maupun yang disindir merupakan sesama saudara seakidah. Framework keagamaannya pun sama. Yaitu sama-sama berusaha mengikuti metode Ahli Sunnah dan meneladani generasi Salaf yang saleh. Perbedaannya hanyalah tentang interpretasi sejumlah wacana dan isu keagamaan. 

Pengaplikasian istilah “freethinker” untuk konteks sebagaimana di atas merupakan bentuk kezaliman dan sikap eksesif. Sebab istilah itu mengandung implikasi potensi pembatalan keislaman.

Pada kenyataannya diksi “freethinker” itu lebih dari sekadar pemaknaan etimologis. Ia bukan sekadar bermakna orang yang merdeka dan mandiri dalam berpikir. Bila demikian halnya, maka tiap manusia bisa disebut freethinker. (Selain tentu saja istilah itu juga bukan bermakna seorang pemikir yang gratisan. Kasihan amat sudah capek menjadi pemikir kok gratisan pula.)

Istilah “freethinker” memiliki makna yang lebih spesifik. Yaitu orang yang berpikir secara lepas dari ikatan apapun, termasuk dan terutama agama.

Menurut "Oxford Dictionary", freethinker adalah “a person who rejects accepted opinions, especially those concerning religious belief”; seorang yang menolak dogma, terutama yang menyangkut kepercayaan agama (lihat SS).

Dalam situs “Freedom from Religion Foundation”, Dan Barker menjelaskan definisi freethinker dengan “a person who forms opinions about religion on the basis of reason, independently of tradition, authority, or established belief. Freethinkers include atheists, agnostics and rationalists”; seorang yang membentuk opini tentang agama berbasis argumen, terlepas dari tradisi, otoritas, atau kepercayaan yang mapan. Freethinker mencakup ateis, agnostik dan rasionalis (lihat SS).

Intinya, freethinker adalah seorang yang pemikirannya bukan berbasis agama. Ini adalah tuduhan yang sangat serius dan berbahaya untuk diasosiasikan terhadap sesama muslim.

Adapun untuk istilah “free-thinking” dengan makna etimologisnya: merdeka dalam berpikir, maka terdapat kutipan ucapan Syaikh al-Albani dalam bagian akhir risalahnya “Khuthbah al-Hajah” (hlm. 33-34, al-Maktab al-Islami, cet. keempat, Beirut, 1400 H), bahwa beliau pun pernah memakai istilah itu.

Setelah pemaparan kritik tentang aplikasi khuthbah al-hajah dalam akad jual-beli, Syaikh al-Albani berkata, “Saya menyatakan demikian seiring dengan penghormatan saya kepada para Imam serta peneladanan saya terhadap petunjuk mereka. Bahkan, saya menilai kelugasan saya termasuk bentuk peneladanan terhadap mereka. Sebab, mereka lah yang mengajarkan kita KEMERDEKAAN BERPIKIR (hurriyyah al-ra`y, free-thinking) dan kelugasan dalam beropini. Sampai-sampai mereka melarang kita untuk taklid kepada mereka. Karena ihwal mereka adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik, rahimahullah: ‘Masing-masing kami dapat menyanggah atau disanggah, kecuali Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam).’ Semoga Allah memberi balasan kebaikan atas jasa mereka terhadap kita.” Selesai kutipan (lihat SS).

Tentunya para penuduh itu tidak akan menuding Syaikh al-Albani sebagai “freethinker”. Sebab beliau jelas merupakan tokoh yang mengajak untuk tunduk kepada Quran, Sunnah dan metode Salaf. Maka, seharusnya begitu pula penyikapan terhadap sesama muslim seakidah yang berbeda pandangan dalam sejumlah isu dan wacana keagamaan.

Senada dengan istilah “freethinker”, begitu pula halnya istilah-istilah baru yang diada-adakan seperti: “plularis/liberalis manhaj”, dan lain semisalnya, yang seringkali digunakan secara zalim ketika terjadi perbedaan pendapat antara sesama muslim seakidah.

Demikian, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.

14/06/2020
Adni Abu Faris 










Post a Comment

 
Top