High gain, high risk.
 Keuntungan yang besar akan diiringi dengan risiko yang besar, atau 
keuntungan berbanding lurus dengan risiko. Prinsip ini umum dikenal 
dalam dunia bisnis dan usaha. Semakin besar keuntungan yang ingin 
dicapai oleh pengusaha atau pebisnis maka risiko kerugian yang ia hadapi
 untuk itu pun semakin besar. Sebenarnya prinsip tersebut pun berlaku 
dalam hal keberagamaan. Semakin tinggi kedudukan keberagamaan dan 
semakin besar pahala (baca: keuntungan) yang ingin dicapai oleh 
seseorang maka risiko yang ia hadapi pun semakin besar. Jika ia salah 
langkah, maka bisa jadi bukan pahala yang besar dan posisi tinggi yang 
akan ia dapatkan, melainkan dosa yang besar dan kedudukan yang rendah. 
Adalah
 tidak mengherankan apabila terdapat prinsip bisnis atau perniagaan yang
 berlaku dalam perkara agama. Sebab, dalam sejumlah ayat Al-Qur’ān, 
Allah telah menyebut perbuatan seorang hamba yang mencari ridha-Nya 
sebagai bentuk perniagaan atau jual beli. Allah `azza wa jalla berfirman: 
إِنَّ
 الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا 
مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن 
تَبُورَ
“Sesungguhnya
 orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, mendirikan shalat dan 
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka 
secara diam-diam maupun terang-terangan, mereka itu mengharapkan 
perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir [35]: 29)
“Hai
 orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan 
yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman
 kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta 
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Ash-Shaff [61]: 10-11) 
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ
“Dan di antara manusia ada orang yang menjual dirinya karena mencari keridhaan Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 207) 
Dari Abū Hurairah, Nabi ` bersabda, 
إنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَىٰ
 يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ، رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ. فَأُتِيَ بِهِ 
فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: 
قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّىٰ اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ: كَذَبْتَ. وَلٰكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ حَتَّىٰ
 أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ 
وَقَرَأَ الْقُرْآنَ. فَأُتِيَ بِهِ. فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. 
قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ
 وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَـٰكِنَّكَ
 تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ 
لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ حَتَّىٰ
 أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ 
مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ. فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ 
فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ 
سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. 
قَالَ: كَذَبْتَ. وَلَـٰكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ. ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili pada hari Kiamat (ada tiga); (1) Orang yang mati syahid.
 Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun 
mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
 nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga 
terbunuh.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya disebut
 pemberani, dan itu sudah terealisir. Lalu diperintahkan agar ia diseret
 atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (2) Orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al-Qur’ān.
 Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun 
mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
 nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu di jalan-Mu dan
 akupun mengajarkannya, serta aku membaca al-Qur’ān di jalan-Mu.’ Allah 
berkata, ‘Engkau dusta! Engkau belajar supaya disebut `alim, dan itu 
sudah terealisir. Engkau juga membaca al-Qur’ān supaya disebut dia qāri’
 dan hal itu sudah terealisir.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret atas 
wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (3) Orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan diberikan segala jenis harta.
 Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun 
mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan
 nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Tidaklah ada suatu sarana yang 
Engkau suka agar diinfakkan di dalamnya melainkan aku berinfak di 
dalamnya untuk-Mu.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau melakukannya 
supaya disebut dermawan, dan hal itu sudah terealisir.’ Lalu 
diperintahkan agar ia diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke 
neraka.” [Riwayat Muslim III/1304/1678.]
Dalam lafazh lain disebutkan bahwa Nabi ` kemudian berkata kepada Abū Hurairah, 
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أُولِئَكَ الثَّلاَثَةُ أَوَّلُ خَلْقِ الله تُسَعَّرُ بِهِمْ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Ya
 Abū Hurairah, tiga orang itulah adalah makhluk Allah yang pertama kali 
dinyalakan neraka dengan mereka.” [Riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain, 
serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]
Imam
 Ibnu’l Qayyim berkata, “Saya mendengar Syaikhu’l Islām Ibn Taimiyyah 
mengatakan, apabila sebaik-baik manusia adalah para Nabi, maka 
sejelek-jelek manusia adalah orang yang berusaha menyerupai mereka dari 
kalangan pendusta. Ia mengaku termasuk kalangan mereka, padahal ia bukan
 dari kalangan mereka. Sebaik-baik manusia setelah para Nabi adalah para
 ulama, syuhadā’, dan para penderma yang ikhlas, dan sejelek-jelek 
manusia adalah orang yang berusaha menyerupai mereka dengan menimbulkan 
persepsi yang salah bahwa ia termasuk kalangan mereka, padahal bukan 
dari kalangan mereka.” [Lihat ad-Dā' wa'd Dawā' hal. 20.] 
Artinya,
 semakin besar peluang Anda untuk mendapat predikat sebaik-baik manusia 
maka semakin besar pula peluang Anda untuk menjadi sejelek-jelek 
manusia. Seperti halnya dalam bisnis, semakin besar keuntungan yang Anda
 targetkan, maka semakin besar pula potensi kerugian yang harus Anda 
tanggung. 
Ibadah
 yang dilakukan oleh ulama atas dasar ilmu dan pengetahuan tentu lebih 
tinggi nilainya dibandingkan ibadah yang dilakukan oleh orang awam tanpa
 dasar ilmu. 
Pada intinya, kaidah ‘high gain, high risk‘
 juga berlaku dalam perkara agama. Jika Anda menjadi seorang ulama yang 
benar maka Anda memperoleh kedudukan keberagamaan yang tinggi sekaligus 
pahala yang besar—tentu Anda masih ingat hadits yang menyatakan bahwa 
ulama adalah pewaris Nabi. Begitu pula halnya dengan mujahid dan 
penderma yang benar. Namun jika tidak benar (tidak ikhlas) maka 
risikonya adalah Anda akan termasuk kelompok orang yg pertama kali masuk
 neraka. So, jangan hanya sekedar mencari ‘untungnya’ tanpa pernah mengingat dan memikirkan ‘risikonya’…! 
Semoga share singkat dari saya kali ini ada manfaatnya…. 
Salam,
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri 
Jakarta, 22 November 2007
NB: Tulisan ini ‘lahir’ karena ‘todongan’ Ustadz Abu Umair dalam milis salayitb 
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google. 

Assalamualaykum
ReplyDeletemungkin masih terkait dengan tulisan di atas, yaitu bahwa Allah ta’ala berfirman mengenai para istri nabi di dalam surat al ahzab:
Ya nisaa an nabiiyi man ya’ti minkunna bi fahisyatin mubayyinatin yudho’af lahal ‘adzabu dhi’faini wa kaana dzaalika ‘alallahi yasiira
Wa man yaqnut minkunna lillahi wa rasulihi wa ta’mal sholihan nu’tihaa ajrahaa maratayn, wa a’tadna laha rizqan kariima
Al ahzab:30-31
seorang istri nabi jika melakukan fahisyah, diberi dosa dua kali lipat, namun jika melakukan amal sholeh maka ganjarannya dua kali lipat juga.
Mohon pencerahan mengenai hal ini
jazakallah khair
wassalam