Keberkahan dan Teori Relativitas terkait Dilasi Waktu
* * * * *
Banyak nukilan kisah dari Salaf dan orang-orang salih tentang betapa menakjubkan pemanfaatan waktu mereka untuk ibadah. Termasuk bahwa betapa mereka sangat intens berinteraksi dengan Quran, terutama di bulan Ramadan. Contohnya sebagaimana dituturkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali:
وكان للشافعي في رمضان ستون ختمة يقرؤها في غير الصلاة وعن أبي حنيفة نحوه
“Dahulu Imam al-Syafi’i pada bulan Ramadan mengkhatamkan Quran sebanyak 60 kali di luar salat. Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah semisal itu pula.” [Lihat: Lathaif al-Ma’arif, Dar Ibn Hazm, cet. I, hlm. 171.]
Pertanyaannya, mungkinkah yang demikian itu? Jawabnya, sangat mungkin.
وكان للشافعي في رمضان ستون ختمة يقرؤها في غير الصلاة وعن أبي حنيفة نحوه
“Dahulu Imam al-Syafi’i pada bulan Ramadan mengkhatamkan Quran sebanyak 60 kali di luar salat. Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah semisal itu pula.” [Lihat: Lathaif al-Ma’arif, Dar Ibn Hazm, cet. I, hlm. 171.]
Pertanyaannya, mungkinkah yang demikian itu? Jawabnya, sangat mungkin.
Di antara buktinya adalah video pada link berikut:
https://m.youtube.com/watch?v=37fxY3GUf1E&feature=youtu.be
Pada video itu, pembacaan Quran secara utuh 30 juz memungkinkan untuk dilakukan dengan pembacaan cepat (hadr) dalam durasi sekitar 7 jam 30 menit, atau sekitar 15 menit per juz, atau sekitar 45 detik (kurang dari 1 menit) per halaman.
Note: Kalaupun diasumsikan video itu kemudian diperlambat 1.5x-nya agar lebih natural, maka durasinya menjadi sekitar 11 jam 15 menit, atau diperlukan kurang dari setengah hari untuk mengkhatamkan Quran secara utuh. Allahu a'lam.
Di samping itu, juga terdapat aspek keberkahan waktu yang Allah karuniakan kepada generasi Salaf dan juga kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata,
أَنَّ الْبَرَكَةَ قَدْ تَقَعُ فِي الزَّمَنِ الْيَسِيرِ حَتَّى يَقَعَ فِيهِ الْعَمَلُ الْكَثِيرُ
“Sesungguhnya keberkahan itu kadang terletak pada waktu yang pendek namun bisa memuat amal yang banyak.” (Lihat: Fath al-Bari, vol. VI, hlm. 455.]
Terdapat pula pernyataan menarik dari al-‘Ayni ketika mensyarah Shahih al-Bukhari. Beliau berkata:
أن الله تعالى يطوي الزمان لمن شاء من عباده كما يطوي المكان
“Sesungguhnya Allah melipat waktu bagi siapapun yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, sebagaimana Dia melipat ruang.” [Lihat: ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. VII, hlm. 16.]
أَنَّ الْبَرَكَةَ قَدْ تَقَعُ فِي الزَّمَنِ الْيَسِيرِ حَتَّى يَقَعَ فِيهِ الْعَمَلُ الْكَثِيرُ
“Sesungguhnya keberkahan itu kadang terletak pada waktu yang pendek namun bisa memuat amal yang banyak.” (Lihat: Fath al-Bari, vol. VI, hlm. 455.]
Terdapat pula pernyataan menarik dari al-‘Ayni ketika mensyarah Shahih al-Bukhari. Beliau berkata:
أن الله تعالى يطوي الزمان لمن شاء من عباده كما يطوي المكان
“Sesungguhnya Allah melipat waktu bagi siapapun yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, sebagaimana Dia melipat ruang.” [Lihat: ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. VII, hlm. 16.]
Frasa “melipat waktu” ini cukup menarik.
Dalam fisika modern terdapat teori yang disebut dilasi waktu (sebagian menulis: dilatasi waktu, English: time dilation) yang merupakan bagian dari Teori Relativitas yang digagas oleh fisikawan teoretis sohor Albert Einstein.
Menurut teori tersebut, kecepatan cahaya adalah konstan untuk tiap pengamat berapa pun kecepatannya, dan bahwa cahaya tidak mengalami usia. Konsep waktu kita, tidak berlaku untuk cahaya.
Teori Relativitas Khusus yang digagas Einstein sebenarnya mencakup empat hal: (1) Pemendekan Panjang (Length Contraction), (2) Pemelaran Waktu/Dilasi Waktu (Time Dilation), (3) Penambahan Massa (Mass Increase), dan juga (4) korelasi antara energi dan massa dengan rumusnya yang terkenal itu.
Fokus pembicaraan di sini hanyalah terkait dengan dilasi waktu. Secara teori tersebut, jika seorang astronot melakukan perjalanan ke luar angkasa dengan kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya maka ia akan mengalami waktu yang lebih lambat dibandingkan manusia di Bumi. Apabila diasumsikan pesawat luar angkasa itu (mampu) bergerak dengan kecepatan 0.999c (c: kecepatan cahaya), maka dari perhitungan rumusnya didapatkan waktu 100 tahun di Bumi sama dengan waktu 4.48 tahun waktu di pesawat tersebut.
Tampak seperti fantasi belaka? Konsep itu memang tidak sederhana. Saat Einstein mempostulatkannya pada tahun 1905, perlu puluhan tahun bagi para fisikawan untuk bisa memahaminya dengan baik.
Ada juga pendekatan yang jauh lebih sederhana tentang bagaimana waktu itu (dirasakan) relatif. Dalam durasi yang sama, seseorang yang sedang dalam penantian dan penderitaan merasakan waktu itu berlangsung jauh lebih lama, berbanding terbalik dengan seseorang yang sedang dalam kegembiraan yang merasakan waktu berlangsung cepat.
Intinya, waktu itu tidak absolut, bisa relatif. Dan, jika secara teori fisika, pesawat yang bergerak sangat cepat dapat melipat waktu, maka tentunya Allah Ta'ala pun lebih berkuasa untuk melipat waktu dan mengaruniakannya kepada para hamba pilihan-Nya, agar mereka banyak mengerjakan amal salih, di antaranya membaca Quran, dalam waktu yang relatif singkat. Inilah termasuk anugerah keberkahan waktu. Allahu a’lam.
Dalam fisika modern terdapat teori yang disebut dilasi waktu (sebagian menulis: dilatasi waktu, English: time dilation) yang merupakan bagian dari Teori Relativitas yang digagas oleh fisikawan teoretis sohor Albert Einstein.
Menurut teori tersebut, kecepatan cahaya adalah konstan untuk tiap pengamat berapa pun kecepatannya, dan bahwa cahaya tidak mengalami usia. Konsep waktu kita, tidak berlaku untuk cahaya.
Teori Relativitas Khusus yang digagas Einstein sebenarnya mencakup empat hal: (1) Pemendekan Panjang (Length Contraction), (2) Pemelaran Waktu/Dilasi Waktu (Time Dilation), (3) Penambahan Massa (Mass Increase), dan juga (4) korelasi antara energi dan massa dengan rumusnya yang terkenal itu.
Fokus pembicaraan di sini hanyalah terkait dengan dilasi waktu. Secara teori tersebut, jika seorang astronot melakukan perjalanan ke luar angkasa dengan kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya maka ia akan mengalami waktu yang lebih lambat dibandingkan manusia di Bumi. Apabila diasumsikan pesawat luar angkasa itu (mampu) bergerak dengan kecepatan 0.999c (c: kecepatan cahaya), maka dari perhitungan rumusnya didapatkan waktu 100 tahun di Bumi sama dengan waktu 4.48 tahun waktu di pesawat tersebut.
Tampak seperti fantasi belaka? Konsep itu memang tidak sederhana. Saat Einstein mempostulatkannya pada tahun 1905, perlu puluhan tahun bagi para fisikawan untuk bisa memahaminya dengan baik.
Ada juga pendekatan yang jauh lebih sederhana tentang bagaimana waktu itu (dirasakan) relatif. Dalam durasi yang sama, seseorang yang sedang dalam penantian dan penderitaan merasakan waktu itu berlangsung jauh lebih lama, berbanding terbalik dengan seseorang yang sedang dalam kegembiraan yang merasakan waktu berlangsung cepat.
Intinya, waktu itu tidak absolut, bisa relatif. Dan, jika secara teori fisika, pesawat yang bergerak sangat cepat dapat melipat waktu, maka tentunya Allah Ta'ala pun lebih berkuasa untuk melipat waktu dan mengaruniakannya kepada para hamba pilihan-Nya, agar mereka banyak mengerjakan amal salih, di antaranya membaca Quran, dalam waktu yang relatif singkat. Inilah termasuk anugerah keberkahan waktu. Allahu a’lam.
12/05/2020
Adni Abu Faris
*Gambar dari pencarian Google
Post a Comment