Tulisan ini sebenarnya masih berkorelasi dengan tulisan sebelumnya tentang doa orang saleh. Timbul pertanyaan: Kenapa terjadi bencana atau kenapa bencana tak kunjung sirna, sementara ada orang-orang saleh yang berdoa? Sebagian jawabannya bisa ditemukan melalui tulisan ini. Allahu a'lam.

Dari Hudzayfah bin al-Yaman (radhiyallahu ‘anhu), Nabi (shallallahu ‘alayhi wa sallam) bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Yang jiwaku dalam Tangan-Nya, sungguh, kalian melaksanakan amar makruf nahi mungkar, atau Allah benar-benar akan menurunkan hukuman dari-Nya, lalu kalian berdoa kepada-Nya, akan tetapi tidak dikabulkan.” [HR al-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2169, dan beliau berkata, “Ini adalah hadis hasan.” Syaikh al-Albani juga menyatakan validitasnya dalam Shahih Sunan al-Tirmidzi, vol. II, hlm. 460.]

Dalam atsar mawquf dengan redaksi lainnya dari Hudzayfah, beliau berkata,

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلَتَحَاضُّنَّ عَلَى الْخَيْرِ، أَوْ لَيُسْحِتَنَّكُمُ اللهُ جَمِيعًا بِعَذَابٍ، أَوْ لَيُؤَمِّرَنَّ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ، ثُمَّ يَدْعُو خِيَارُكُمْ، فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Sungguh, kalian menunaikan amar makruf nahi mungkar dan saling menganjurkan kebaikan, atau Allah benar-benar membinasakan kalian semua dengan azab, atau dengan menjadikan orang-orang jahat sebagai penguasa kalian, kemudian orang-orang terbaik dari kalian berdoa namun tidak dikabulkan.” [Riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, no. 23312. Para penyunting dan peneliti Musnad Ahmad edisi cetakan al-Risalah, Syaikh Syu’ayb al-Arnauth, dkk, memberikan penilaian pada anotasinya sebagai atsar yang hasan, namun sanadnya lemah.]

Secara makna, riwayat di atas masih sejalan dengan riwayat sebelumnya, yang juga berasal dari Hudzayfah. Allahu a’lam.

Al-Munawi menyampaikan syarah yang cukup unik terhadap atsar tersebut. Beliau berkata, “Wajib untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, bahkan meskipun untuk sesama pelaku kemungkaran itu sendiri. Sampai-sampai sebagian orang berlebihan (dalam memberikan permisalan) dengan berkata, ‘Wajib bagi pria yang berzina untuk memerintahkan wanita pasangan zinanya agar menutup wajah, supaya ia tidak memandangnya. Jadi, meskipun ia durhaka dengan zina, tapi (setidaknya) ia (masih) melakukan ketaatan dengan menahan pandangannya.’” [Lihat: Faydh al-Qadir, vol. V, hlm. 260.]

Tentu saja maksud al-Munawi bukan untuk meremehkan perbuatan zina, melainkan penegasan bahwa amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban semua pihak, bahkan termasuk oleh pelaku dosa besar itu sendiri.

Dengan hilangnya amar makruf nahi mungkar, kemaksiatan akan tersebar luas dan tampak terang-terangan. Pada akhirnya, keburukan mendominasi masyarakat, sehingga Allah pun menurunkan bencana di dunia sebagai hukumannya. Ketika bencana itu datang, maka ia menimpa seluruh masyarakat dan bukan hanya orang-orang jahat saja yang terkena dampaknya. Bahkan, doa dari orang-orang terbaik dalam masyarakat untuk menghindarkan mereka dari bencana pun tidak dikabulkan, sebagaimana keterangan hadis di atas. Mungkin itu sebabnya dalam kondisi bencana, banyak doa yang dipanjatkan, namun bencana tidak kunjung sirna. Allahu a'lam.

Dari Ibnu ‘Umar (radhiyallahu ‘anhuma), Nabi bersabda,

إِذَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا، أَصَابَ العَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ، ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ

Jika Allah menurunkan azab (dunia) terhadap suatu kaum, maka azab (dunia) itu menimpa siapa saja di kalangan mereka (termasuk orang saleh). Namun kemudian, mereka akan dibangkitkan (di akhirat) sesuai dengan amalnya masing-masing (di dunia).” [HR al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 6691 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2879.]

Imam al-Nawawi berkata,

وفى هذا الحديث من الفقه التباعد من أهل الظلم والتحذير من مجالستهم ومجالسة البغاة ونحوهم من المبطلين لئلا يناله ما يعاقبون به وفيه أن من كثر سواد قوم جرى عليه حكمهم فى ظاهر عقوبات الدنيا

“Di antara pemahaman terhadap (semisal) hadis ini, yaitu menjauhi kalangan yang zalim serta memperingatkan untuk tidak bermajelis dengan mereka, dengan para kriminal dan pelaku kebatilan lainnya, agar tidak terkena hukuman yang menimpa mereka. Di dalam hadis tersebut juga terdapat faidah bahwa siapa yang ikut menambah populasi suatu kaum maka ia pun juga terkena zahir hukuman yang menimpa mereka di dunia.” [Lihat: Syarh Shahih Muslim, vol. XVIII, hlm. 7.]

Dari al-Nu’man bin Basyir (radhiyallahu ‘anhuma), Nabi bersabda,

مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا

Permisalan orang yang melaksanakan perintah Allah dan yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang naik kapal bersama-sama. Setelah diundi, sebagian mereka mendapat posisi di bagian atas kapal, sementara sisanya di bagian bawah. Mereka yang di bagian bawah, untuk mengambil air harus melewati bagian atas terlebih dahulu. Lalu mereka pun berkata, ‘Mari kita buat lubang saja pada dinding kapal di bagian kita ini, supaya kita tidak repot dengan bagian atas.’ Kalau mereka dibiarkan melakukan itu, niscaya seluruh penghuni kapal itu akan tenggelam. Tapi kalau dicegah, niscaya mereka semua selamat.” [HR al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2361.]

Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari fitnah (siksaan) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” [QS al-Anfal/8: 25.]

Kalau ada yang bertanya: Kenapa hukuman tidak hanya menimpa pelaku kemungkaran, tapi juga menimpa kepada selain pelakunya?

Imam al-Qurthubi memberikan uraian jawaban ketika menafsirkan ayat tersebut: “Jawabannya, jika masyarakat menampakkan kemungkaran, maka merupakan kewajiban bagi setiap yang melihatnya untuk mengubah kemungkaran tersebut. Jika didiamkan, maka seluruhnya ikut berdosa: pelaku dengan perbuatannya, sementara yang diam dengan keridaannya. Allah menjadikan orang yang rida sebagaimana halnya pelaku di dalam hukum dan hikmah-Nya, sehingga ia pun menerima hukuman.” [Lihat: Tafsir al-Qurthubi, vol. VII, hlm. 393.]

Dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, Ibnu ‘Asyur berkata, “Dengan demikian diketahui bahwa fitnah bisa jadi berbentuk hukuman dari Allah Ta’ala di dunia, dan ia sebagaimana hukuman duniawi yang menimpa umat-umat manusia, yang tidak hanya menimpa kalangan pendurhaka saja ketika kondisi mayoritas masyarakatnya rusak. Sebab, hukuman tersebut terjadi dalam bentuk peristiwa alam yang secara sunnatullah tidak hanya menimpa persona-persona tertentu (melainkan menimpa umat secara umum).” [Lihat: al-Tahrir wa al-Tanwir, vol. IX, hlm. 317.]

Adapun secara realitas historis, salah satu contohnya adalah peristiwa pada tahun 478 H. Para serajawan, di antaranya Ibnu Katsir, mengisahkan bahwa pada tahun tersebut banyak terjadi bencana yang melanda berbagai negeri, berupa: gempa, wabah penyakit, kematian binatang ternak, sambaran petir, pepohonan tumbang dan lain-lain. Jumlah korban jiwa sangat banyak. Penguasa tertinggi saat itu, Khalifah al-Muqtadi Biamrillah, kemudian memerintahkan pembaruan pelaksanaan amar makruf nahi mungkar ke seluruh pelosok negeri. Kemungkaran-kemungkaran diberangus. Setelah itu, bencana pun sirna. [Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah, vol. XII, hlm. 127.]

Demikian yang bisa dituliskan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat. Allahu a'lam.

06/05/2020
Adni Abu Faris

*Gambar dari pencarian Google






Post a Comment

 
Top