Di antara hal yang terdapat dalam diri umumnya manusia dan juga sesuai dengan tuntutan akal sehat adalah, kecenderungan dan keberpihakan seseorang kepada kalangan yang kondisinya lebih sesuai dengannya. Semakin besar kesesuaian itu maka semakin besar keberpihakannya. Hal ini juga sejalan dengan syarak, namun kesesuaian dimaksud adalah yang berkaitan dan mengacu aspek keimanan serta syariat.  

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat (yaitu: Syria dan Palestina). Mereka setelah dikalahkan itu akan menang, dalam masa kurang dari sepuluh tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang beriman.” [QS Rum/30: 2-4]

Ketika itu dua imperium sedang berperang: Romawi yang merupakan Nasrani Ahli Kitab, berhadapan dengan Persia yang menganut paganisme Majusi. Saat tersiar kabar kekalahan Romawi, kaum musyrik Mekah bergembira karena memihak pada Persia. Sementara kaum muslim bersedih karena berpihak pada Romawi. Keberpihakan kaum muslim tersebut dikarenakan Romawi sebagai Nasrani Ahli Kitab dinilai lebih dekat kondisinya dibandingkan Persia yang Majusi. Ayat-ayat di atas kemudian turun untuk sebagai kabar gembira bagi kaum muslim, sekaligus sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kekalahan Romawi sekitar tahun 614-615 M, sedangkan kemenangannya sekitar tahun 622 M.

Nabi dahulu juga sempat berpihak pada tradisi Ahli Kitab dibandingkan tradisi kaum musyrik Arab, sebelum Nabi pada akhirnya menyelisihi mereka. Ibn ‘Abbas menuturkan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسدل شعره وكان المشركون يفرقون رؤوسهم وكان أهل الكتاب يسدلون رؤوسهم وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر فيه بشيء ثم فرق رسول الله صلى الله عليه وسلم رأسه

Dahulu Nabi membiarkan rambutnya (menutupi dahinya), sementara kaum musyrik membelah (tengah) rambut mereka (sehingga tidak menutupi dahi). Ketika itu Ahli Kitab membiarkan rambutnya sementara Nabi senang bersesuaian dengan Ahli Kitab dalam hal yang tidak ada perintah spesifik dari Allah. Meskipun pada akhirnya Nabi membelah rambutnya (menyelisihi Ahli Kitab).” [HR al-Bukhari no. 3365, Muslim no. 2336, dan lain-lain.]

Keberpihakan tersebut dikarenakan Ahli Kitab saat itu lebih dekat dengan kaum muslim secara keimanan dan syariat. Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan,

وكأن السر في ذلك أن أهل الأوثان أبعد عن الإيمان من أهل الكتاب ولأن أهل الكتاب يتمسكون بشريعة في الجملة فكان يحب موافقتهم ليتألفهم ولو أدت موافقتهم إلى مخالفة أهل الأوثان فلما أسلم أهل الأوثان الذين معه والذين حوله واستمر أهل الكتاب على كفرهم تمحضت المخالفة لأهل الكتاب

“Sepertinya rahasia dalam hal ini adalah, kaum musyrik lebih jauh dari keimanan dibandingkan Ahli Kitab. Sebab Ahli Kitab masih berpegang dengan syariat secara umum. Karena itulah Nabi senang menyepakati mereka, juga dalam rangka mengambil hati mereka, sekalipun itu berdampak pada penyelisihan terhadap kaum musyrik (di sekitar beliau). Namun ketika orang-orang musyrik tersebut kemudian beriman, sementara Ahli Kitab tetap pada kekufurannya, maka penyelisihan pun secara spesifik teralihkan kepada Ahli Kitab.” [Fathul-Bari, vol. X, hlm. 361-362.]
 
Demikianlah keberpihakan ditentukan oleh aspek keimanan dan syariat. Bahkan terhadap orang-orang kafir yang sedang berselisih, seperti Romawi dan Persia, pun Nabi dan Sahabat berpihak kepada orang-orang kafir Romawi yang lebih dekat dengan kaum mukmin
secara keimanan dan syariat.

Dengan pertimbangan keimanan itu pula Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa orang kafir yang berkonversi menjadi muslim namun ahli bidah itu masih lebih baik baginya dibandingkan ia tetap dalam kekufuran. Keberpihakan semacam ini tentu saja maksudnya bukan berarti beliau mendukung adanya paham dan praktik bidah dalam syariat Islam.

Perhatikan bagaimana uraian I
bn Taimiyyah yang proporsional berikut:   


وقد ذهب كثير من مبتدعة المسلمين من الرافضة والجهمية وغيرهم الى بلاد الكفار فأسلم على يديه خلق كثير وانتفعوا بذلك وصاروا مسلمين مبتدعين وهو خير من أن يكونوا كفارا وكذلك بعض الملوك قد يغزو غزوا يظلم فيه المسلمين والكفار ويكون آثما بذلك ومع هذا فيحصل به نفع خلق كثير كانوا كفارا فصاروا مسلمين وذاك كان شرا بالنسبة الى القائم بالواجب واما بالنسبة الى الكفار فهو خير وكذلك كثير من الأحاديث الضعيفة فى الترغيب والترهيب والفضائل والاحكام والقصص قد يسمعها أقوام فينتقلون بها الى خير مما كانوا عليه وان كانت كذبا

“Banyak dari kalangan muslim ahli bidah, termasuk sekte Jahmiyyah,  Rafidhah dan selainnya, yang pergi berdakwah ke negeri kafir, kemudian banyak dari orang-orang kafir itu yang akhirnya masuk Islam dengan manfaat dakwah tersebut. Maka, mereka menjadi muslim yang ahli bidah itu lebih baik dibandingkan mereka tetap kafir. Begitu pula halnya kadang sebagian penguasa muslim melakukan peperangan yang di dalamnya terdapat kezaliman terhadap kaum muslim dan juga terhadap orang-orang kafir. Penguasa tersebut berdosa dalam hal kezaliman itu. Namun di sisi lain ia juga mendatangkan manfaat dengan menyebabkan banyaknya orang kafir yang menjadi muslim. Penguasa itu tentu lebih buruk apabila dibandingkan dengan penguasa lain yang menunaikan tugas kewajibannya secara baik. Namun ia lebih baik apabila dibandingkan orang-orang kafir tersebut. Begitu pula banyak hadis daif dan palsu dalam berbagai konteks: anjuran, ancaman, keutamaan, hukum dan kisah, yang kadang didengar oleh sebagian kalangan lalu mereka berubah menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya, meskipun hadis acuannya tadi merupakan kedustaan.”

Selanjutnya, beliau menyimpulkan,

والله تعالى بعث الرسل بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها

“Allah mengutus para Rasul untuk merealisasikan dan menyempurnakan kemaslahatan, serta melenyapkan dan meminimalisasi kerusakan.”

Setelah itu, Ibn Taimiyyah kembali menyebutkan contohnya,

وأكثر المتكلمين يردون باطلا بباطل وبدعة ببدعة لكن قد يردون باطل الكفار من المشركين وأهل الكتاب بباطل المسلمين فيصير الكافر مسلما مبتدعا واخص من هؤلاء من يرد البدع الظاهرة كبدعة الرافضة ببدعة أخف منها وهى بدعة أهل السنة وقد ذكرنا فيما تقدم أصناف البدع. ولا ريب أن المعتزلة خير من الرافضة

“Banyak dari kalangan ahli Kalam yang membantah kebatilan dengan kebatilan, serta bidah dengan bidah. Namun, kadang mereka menyanggah kebatilan versi orang-orang kafir dari kaum musyrik dan Ahli Kitab, dengan kebatilan versi kalangan muslim. Sehingga dengan hal tersebut, orang kafir tadi berkonversi menjadi muslim ahli bidah (dan itu tentunya lebih baik baginya dibandingkan ia berada dalam kekufuran sebelumnya, sebagaimana penjelasan di atas). Yang lebih spesifik, sebagian ahli Kalam tadi menyanggah bidah yang gamblang seperti bidah Rafidhah dengan bidah yang lebih ringan dari itu, yaitu dengan bidah di kalangan Ahli Sunnah (dalam pengertian umum/luas, yaitu sebagai oposit dari sekte Rafidhah), sebagaimana telah diuraikan dalam bahasan jenis-jenis bidah. Tentu tidak diragukan lagi bahwa sekte Mu’tazilah lebih baik dibandingkan sekte Rafidhah.” [Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. XIII, hlm. 96-97.]  

Kembali ke bahasan inti, terkait pertimbangan keimanan yang tadi disebutkan, maka apabila terjadi pertarungan antara kalangan pro syariat dan anti syariat, misalnya, maka tidak ada pilihan lain dalam keberpihakan kita kecuali kepada kalangan pro syariat.  

Syaikh al-Albani menjelaskan bahwa ketika kalangan islamis dan sekuleris sedang bertarung, maka saat itu bukanlah momentum yang tepat bagi seorang muslim untuk justru mengkritik kekurangan yang ada pada sebagian kalangan islamis (sedangkan kubu sekuleris justru selamat darinya). Beliau berkata,

الآن الحرب بين الإسلام وبين العلمانيين، في هذا الوضع ما ينبغي للرجل المسلم الغيور على الإسلام أن يجي في سبيل بيان موقفه من بعض الجماعات الإسلامية التي عندها انحراف قليل أو كثير عن الإسلام، ما ينبغي الدخول في هذه التفاصيل ما دام الجماعة الإسلامية كلها ضد هذه الهجمة الشرسة العلمانية، فهنا ما فيه مجال أن يجي ــ يعني ــ يشفي غيظ صدور المؤمنين بأن يقول هؤلاء من الإسلاميين، هؤلاء على الحق، وهؤلاء منحرفين قليل عن الحق، وهؤلاء منحرفين كثير عن الحق، هذا ليس مجاله ــ بارك الله فيك ــ الآن جبهتان: إسلامية فيها كذا وفيها كذا وفيها كذا، وجبهة أخرى ما فيها كذا وكذا. كلهم جبهة الكفر والضلال، كلهم يجتمعون على محاربة الإسلام، فهنا ما ينبغي نحن أن نتطلب مثل هذا المحاضر أن يرينا موقفه المحدد الدقيق عن كل هذه الجماعات الإسلامية، هذا لكل مقام مقال كما يقال. تمام

“Saat ini, terjadi pertarungan antara Islam dan sekulerisme. Dalam kondisi demikian, tidak seharusnya seorang muslim yang memiliki girah terhadap Islam lalu datang dan menjelaskan posisinya terhadap sebagian jamaah keislaman yang memiliki penyimpangan dari Islam, sedikit maupun banyak. Tidak layaknya baginya untuk masuk pada rincian tersebut, selama jamaah-jamaah keislaman itu sedang melawan serbuan sekulerisme. Di sini bukan momentumnya bagi yang bersangkutan untuk meluapkan kemarahan di kalangan kaum mukmin dengan mengatakan: kalangan A di atas kebenaran, kalangan B sedikit menyimpang dan kalangan C banyak menyimpang. Bukan ini momentumnya, semoga Allah memberkahimu. Saat ini ada dua kubu: (1) golongan islamis, di dalamnya ada begini dan begitu; dan (2) golongan lainnya (sekuler), yang tidak ada begini dan begitu, tapi seluruhnya merupakan kubu kekufuran serta kesesatan, yang mereka sepakat untuk memerangi Islam. Di sini, tidak selayaknya kita menuntut semisal orang tadi untuk memperlihatkan posisinya yang spesifik dan terperinci terhadap jamaah-jamaah keislaman. Begitulah. Namun sebagaimana disebutkan dalam sebuah aforisme: ‘Untuk tiap kondisi terdapat pernyataan yang sesuai.’ Demikianlah tepatnya.” [Silsilah al-Huda wan-Nur, kaset no. 684.]

Adapun sikap keberpihakan kepada kubu kebatilan yang gamblang dibandingkan kubu kebenaran yang terang-benderang, maka itu tentu saja sangat tercela dan terlarang. Jangankan dilakukan oleh manusia yang berakal dan memiliki nurani, bahkan jika hal tersebut dilakukan oleh hewan pun bisa dinilai sangat buruk yang bahkan tercatat oleh sejarah.

Ketika menganjurkan untuk membunuh hewan Wazagh (sejenis cicak di Arab, secara taksonomi termasuk famili Gekkonidae, Inggris: Gecko), hadis menyebutkan:

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَمَرَ بِقَتْلِ الوَزَغِ، وَقَالَ: كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ

“Dari Ummu Syarik, bahwa Nabi memerintahkan untuk membunuh hewan Wazagh. Beliau mengatakan bahwa ia dahulu meniupkan api terhadap Nabi Ibrahim (‘alaihis-salam).” [HR al-Bukhari no. 3180, dan lain-lain]

Literatur tafsir yang menjelaskan ayat tentang kisah pembakaran Nabi Ibrahim (QS al-Anbiya`/21: 69), seperti “Tafsir al-Thabari”, menyebutkan ucapan Qatadah tentang kelakuan Wazagh tersebut.

قال قتادة: لم تأت يومئذ دابة إلا أطفأت عنه النار، إلا الوزغ

Qatadah berkata, “Pada hari pembakaran Nabi Ibrahim, semua hewan yang datang berusaha untuk memadamkan api, kecuali Wazagh (yang justru meniup api itu agar semakin berkobar).”  

Kembali ke topik, sebagaimana telah disinyalir sebelumnya di atas, keberpihakan dan penolakan itu sendiri tidak bersifat satu dimensi dan statis, melainkan multi dimensi dan dinamis. Terkadang pada suatu waktu seseorang bisa jadi ditolak dan dimusuhi dari satu sisi, tapi didukung dengan keberpihakan dari sisi yang lain. Ini adalah prinsip umum yang dipegang oleh Ahli Sunnah.  

Ibn Taimiyyah berkata,

واذا اجتمع فى الرجل الواحد خير وشر وفجور وطاعة ومعصية وسنة وبدعة استحق من الموالاة والثواب بقدر ما فيه من الخير واستحق من المعادات والعقاب بحسب ما فيه من الشر فيجتمع فى الشخص الواحد موجبات الأكرام والأهانة فيجتمع له من هذا وهذا كاللص الفقير تقطع يده لسرقته ويعطى من بيت المال ما يكفيه لحاجته هذا هو الأصل الذى اتفق عليه أهل السنة والجماعة وخالفهم الخوارج والمعتزلة ومن وافقهم عليه

“Jika dalam diri seseorang terkumpul: kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bidah, maka ia berhak mendapatkan loyalitas dan ganjaran sesuai kadar kebaikannya tersebut. Tapi ia juga berhak mendapatkan permusuhan dan hukuman sesuai dengan kadar keburukannya tersebut. Bisa jadi terkumpul dalam diri seseorang itu faktor-faktor yang menyebabkan ia mendapat kemuliaan sekaligus kehinaan. Misalnya seperti pencuri fakir yang dipotong tangannya karena kejahatan pencuriannya, tapi ia juga diberi harta dari Baitul-Mal untuk mencukupi kebutuhannya. Ini adalah prinsip yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang diselisihi oleh sekte Khawarij dan Mu’tazilah serta yang sejalan dengan mereka dalam hal tersebut.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. XXVIII, hlm. 209.]

Timbangan kebaikan dan keburukan adalah syariat dan keimanan. Karena itulah untuk keberpihakan terhadap individu, maka loyalitas tetap ditujukan kepada sosok mukmin, meskipun berbuat zalim, dibandingkan kepada orang kafir, meskipun berbuat baik.

Ibn Taimiyyah juga berkata,

وليعلم أن المؤمن تجب موالاته وان ظلمك واعتدى عليك والكافر تجب معاداته وان أعطاك وأحسن اليك

“Hendaklah seorang itu mengetahui bahwa loyalitas terhadap tiap mukmin itu merupakan keharusan, sekalipun ia berbuat zalim kepadamu. Hal sebaliknya terhadap orang kafir, meskipun ia berbuat baik kepadamu.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. XXVIII, hlm. 209.]

Loyalitas dan keberpihakan terhadap sosok individu mukmin bukan berarti maksudnya lantas menyokong serta membenarkan tindakannya yang zalim atau keliru, melainkan justru dengan mencegah tindakannya, namun tanpa mencabut loyalitas secara totalitas
terhadap individu yang bersangkutan.

Nabi bersabda dalam hadisnya yang sangat populer,

انصر أخاك ظالما أو مظلوما فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره؟ قال تحجزه أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره

Tolonglah saudaramu, baik ketika dizalimi maupun menzalimi.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, saya menolongnya ketika dizalimi. Tapi bagaimana saya menolongnya ketika ia justru menzalimi?” Nabi menjawab, “Cegahlah ia dari perbuatan zalimnya tersebut. Itu merupakan bentuk pertolongan terhadapnya.” [HR al-Bukhari no. 6552, dan lain-lain]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang, maka hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau sebagiannya membangkang, maka hendaklah yang membangkang itu kamu perangi sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya menurut keadilan.” [QS al-Hujurat/49: 9]

Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika terjadi peperangan di antara dua kubu kaum mukmin, maka yang pertama kali diupayakan adalah mendamaikan dan rekonsiliasi. Jika hal tersebut tidak tercapai, maka kita diperintahkan untuk berpihak kepada kubu yang benar dan memerangi kubu yang zalim untuk menghentikan kezalimannya. Meskipun demikian, setiap mukmin tetap berhak mendapatkan loyalitas sesuai dengan kadar keimanan dan kebaikannya, namun juga sekaligus mendapat permusuhan dan penolakan (disloyalitas) sesuai dengan kadar pelanggaran serta kezalimannya.

Allahu a’lam.

15/12/2020
AdniKu 


*Gambar dari pencarian Google



Post a Comment

 
Top