Belakangan
ini jumlah yang terpapar dan wafat oleh pandemi Covid-19 kembali
meningkat drastis. Nasalullah al-salamah wal-‘afiyah.
Terkait
hal tersebut, maka pembahasan hukum menghadiri salat jamaah di masjid
bagi pengidap positif Covid-19 menjadi relevan dan penting untuk diulas
kembali agar diketahui oleh publik.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab Ahli Sunnah terkait hukum menghadiri salat jamaah di masjid. Pendapat pertama menyatakan hukumnya adalah fardu ain (kewajiban individual) bagi setiap yang mampu. Inilah mazhab Hanbali, ‘Atha`, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah dan kalangan Zhahiri. Selanjutnya terdapat percanggahan dalam pendapat ini mengenai apakah jamaah tersebut merupakan syarat sahnya salat atau tidak. Pendapat kedua menyatakan hukumnya adalah fardu kifayah (kewajiban komunal). Inilah mazhab Syafi’i dalam salah satu pendapatnya yang dipegang oleh mayoritas pengikutnya yang terdahulu, serta dipegang pula oleh banyak ulama mazhab Maliki dan Hanafi. Adapun pendapat ketiga maka menyatakan hukumnya sunah muakadah (sangat dianjurkan, tapi sifatnya tidak wajib). Inilah pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan banyak ulama kalangan mazhab Syafi’i.
Paparan di atas diringkas dari salah satu fatwa Dar al-Ifta` al-Mishriyyah, yang dapat dilihat di sini: islamport.com/w/ftw/Web/953/3976.htm
Rincian diskursus dan pendalilan dari masing-masing pendapat tidak akan diuraikan di sini, karena tentunya akan sangat panjang.
Selanjutnya terkait dengan apakah upaya seseorang untuk menghindari penyakit itu termasuk uzur untuk tidak ikut salat jamaah? Bagi mazhab yang sejak hukum asalnya menyatakan tidak wajib maka kondisi tersebut tentunya memperkuat ketidakwajiban tersebut. Namun bagi mazhab yang asalnya berpandangan wajib pun ternyata itu merupakan uzur untuk tidak ikut salat jamaah.
Disebutkan dalam al-Inshaf, karya al-‘Allamah al-Mardawi al-Hanbali:
وَيُعْذَرُ
فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ،
وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Orang
yang sakit diberi uzur untuk meninggalkan salat Jumat dan salat jamaah.
Tanpa ada khilaf tentangnya. Begitu pula halnya diberikan uzur bagi
yang meninggalkan salat Jumat dan jamaah karena khawatir dengan adanya
penyakit.”
Nah, adapun terkait topik utama yang hendak
disampaikan, yaitu tentang bagaimana hukumnya kalau ada pengidap positif
Covid-19, yang merupakan penyakit menular, tapi ia masih mampu dan
tetap ingin mengikuti salat jamaah di masjid?
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan
Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, menyebutkan pada Ketentuan
Hukum poin 2: “Orang yang telah terpapar virus Corona, WAJIB menjaga dan
mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.
Baginya salat Jumat dapat diganti dengan salat Zuhur... Baginya HARAM
melakukan aktivitas ibadah sunah yang membuka peluang terjadinya
penularan, seperti jamaah salat lima waktu/rawatib, salat Tarawih dan Id
di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
tabligh akbar.”
Di antara konsiderans yang disebutkan dalam fatwa tersebut adalah kaidah fikih:
الضرر يدفع بقدر الإمكان
“Kemudaratan harus dicegah dalam batas-batas yang memungkinkan.”
Hal
senada juga dilakukan oleh lembaga fatwa negara lainnya. Misalnya dari
Yordania, Dairah al-Ifta` al-‘Amm juga secara tegas memfatwakan HARAM
bagi pengidap penyakit menular seperti Corona untuk aktivitas berkumpul
bersama orang lain, yang menjadi sebab penularan penyakit. Link:
aliftaa.jo/Article.aspx?ArticleId=2479
Al-‘Allamah Zakariyya al-Anshari al-Syafi’i menyebutkan dalam Asna al-Mathalib:
وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ
“Al-Qadhi ‘Iyadh telah
menukilkan dari ulama bahwa penderita kusta dan lepra dilarang ke
masjid, juga dari salat Jumat, serta dari aktivitas berkumpul bersama
masyarakat.”
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:
سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ
“Sebab
larangan tersebut untuk semisal penderita kusta adalah karena
dikhawatirkan mudaratnya. Jadi, pelarangan dalam hal ini sifatnya
wajib.”
Hal-hal di atas berlaku bagi pengidap positif Covid-19
yang bersifat OTG (Orang Tanpa Gejala) maupun non OTG. Adapun orang yang
belum terbukti mengidap Covid-19 karena belum dilakukan pemeriksaan,
namun ia telah melakukan kontak dekat dengan pengidap positif Covid-19
serta memiliki gejala sebagaimana halnya penderita Covid-19, maka
hukumnya disamakan dengan pengidap positif Covid-19 tersebut. Karena
ilatnya adalah untuk mencegah timbulnya mudarat pada pihak lain. Allahu
a’lam.
04/01/01
Cak AdniKu
══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══
📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas
📋 Telegram: t.me/faidahringkas
🌐 Blog: adniku.blogspot.com
📷 IG: instagram.com/adniku
🎙 Twitter: twitter.com/adniku
📱 FB: facebook.com/adni.ku
Post a Comment