Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah musyawarah lintas ormas Islam yang bertujuan untuk mengayomi kaum muslimin. MUI diisi tidak hanya dari NU, melainkan juga dari Muhammadiyah dan lain-lain. Namun, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU tentunya mendapatkan porsi yang sangat signifikan di MUI. Tapi MUI jelas bukan NU ataupun Muhammadiyah ataupun ormas lain yang semisalnya itu sendiri. 


MUI eksis sebagai bagian tatanan kehidupan bangsa yang beragam, serta mendukung jalinan kerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Jadi, MUI pada prinsipnya terbuka dan toleran dengan adanya keragaman. 


Secara kelembagaan, MUI tidak maksum, apalagi secara individual anggotanya. Fatwa MUI pada prinsipnya juga tidak mengikat (kecuali yang dijadikan regulasi oleh negara), apalagi pandangan individual anggotanya, apalagi pandangan individual tersebut juga belum tentu merepresentasikan MUI seutuhnya. 


Oleh karenanya, mungkin saja sebagian orang tidak setuju terhadap fatwa MUI, (khususnya dalam perkara-perkara yang memang diperselisihkan oleh para ulama,) apalagi terhadap pandangan individual anggotanya. Ketidaksetujuan dan kritik merupakan perkara yang wajar dalam konteks tersebut. 


Namun demikian, sekali lagi MUI adalah wadah umat Islam yang bersifat lintas afiliasi. Kalau ada yang sampai pada level mempersekusi MUI, maka patut dipertanyakan apa motifnya? Anti dengan MUI dan keragaman? Ingin melenyapkan sesama afiliasi keislaman? Kalau dengan sesama afiliasi keislaman saja demikian penyikapannya, maka bagaimana lagi dengan eksistensi agama lain? 


Begitu pula kalau sampai ada ujaran yang konotasinya mempersamakan standardisasi MUI dengan standardisasi (sikap) kaum musyrikin kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka dari sisi mana MUI dipersamakan dengan kaum musyrikin? Bukankah itu jelas-jelas cacat nalar radikal yang kebangetan? 


So, please mind your words carefully.  


Allahu a’lam


4Ku 09.03.2024 






Post a Comment

 
Top