Dari `Āisyah, dengan sanad yang valid, beliau berkata,
كاَنَ رَسُولُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْه وَسلّم يُحِبّ التَّيَمُّن فِي شَأْنِه كُلّهِ
“Adalah Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—menyukai memulai dengan (anggota tubuh) yang kanan dalam segala hal (yang baik).” (Riwayat al-Bukhāri: I/165/416 dan Muslim: I/226/268, dan ini adalah lafazh Muslim)
Mendahulukan
anggota tubuh yang kanan tidak terbatas dalam memakai sendal, bersuci
dan yang semisalnya. Dalam perspektif bisnis pun prinsip ‘kanan’
tersebut berlaku. Berdasarkan penjelasan Ary
Ginanjar dalam ESQ-nya, kutipan hadits di atas mengindikasikan untuk
memulai dengan otak 'kanan'. Selanjutnya barulah dijabarkan dengan otak
'kiri'. Itu artinya, intuisi dulu baru analisis. Pada kenyataannya, memang
tidak ada pelaku bisnis yang berani menyepelekan intuisi.
Sebagaimana
dirumuskan oleh seorang ahli bernama Daniel Goleman, hemisfer otak
kanan adalah otak emosional (erat kaitannya dengan EQ) yang bersifat
intuitif, kreatif, dan ekstensif—alias meluas. Sementara itu, hemisfer
otak kiri adalah otak rasional (erat kaitannya dengan IQ) yang lebih
memuat analisis, kalkulasi, dan perincian. Lateral versus linear.
Nah, jika demikian, manakah yang penting, otak kanan atau otak kiri? Ah, pertanyaan yang ndak mutu! Yang jelas, tentu saja keduanya penting dan berguna! Ya, iyalah. Lha,
apa gunanya Allah menciptakan otak kanan dan kiri kalau ternyata salah
satunya tidak bermanfaat? Ini mungkin dapat ditamsil dengan mouse
komputer, baik klik kiri maupun klik kanan sama-sama berguna.
Hanya
saja, adalah penting kiranya himbauan untuk lebih memberdayakan otak
kanan. Kak Seto—ikon pendidikan anak di Indonesia—pernah mengingatkan
betapa kerapnya otak kanan dilalaikan dan diabaikan dalam dunia
pendidikan selama ini. Itu patut disayangkan! Pendidikan
konvensional—mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi—selalu dan
terlalu banyak mencerdaskan otak kiri. Hanya proses pembelajaran di playgroup dan TK yang menaruh perhatian pada otak kanan.
Akibatnya,
tak dapat dielakkan, mayoritas manusia kuat otak kirinya (baca: orang
kiri). Hanya segelintir manusia yang kuat otak kanannya (baca: orang
kanan). Mereka adalah minoritas. Repotnya, alur pikiran golongan
minoritas yang sangat intuitif, kreatif, dan ekstensif ini, jelas-jelas
tidak nyambung dengan alur pikiran golongan mayoritas. Ujung-ujungnya,
golongan minoritas sering dicap ‘gila’ oleh golongan mayoritas.
Padahal,
menjadi intuitif, kreatif, dan ekstensif itu penting! Dengan kata lain,
otak kanan itu penting. Teramat penting, malah! Tentunya Anda sering
membaca rambu lalu lintas yang berbunyi, “Gunakan lajur kanan untuk
mendahului.” Perintah ini juga berlaku dalam bisnis. Tepatnya, “Gunakan
otak kanan untuk mendahului orang lain.” Otak kanan dapat dikatakan
sebagai tiket untuk berada di depan.
Tentu
sulit kiranya untuk menetapkan keputusan jika hanya mengharapkan otak
kiri yang mengharuskan data yang lengkap. Persis seperti seorang
jenderal yang tengah menjajaki kekuatan musuhnya. Petunjuk-petunjuk yang
ada pada umumnya tidak komplit. Walhasil, tidak jarang sang jenderal
mengira-ngira berdasarkan intuisinya.
Selain
intuisi, ada pula kreativitas. Ciputra—seorang raja properti sekaligus
satu dari sepuluh tokoh bisnis paling berhasil di Indonesia—menurut
majalah Forbes—pernah berargumen, “Bangsa yang maju adalah bangsa yang
kreatif.” Seorang Program Director di sebuah radio, pernah
mengungkapkan bahwa kreativitas itu tidak bisa dicangkok dan tidak bisa
dipaksakan. Apa yang mungkin dilakukan hanyalah memancingnya agar
muncul. Maksudnya adalah, di satu sisi, menjadi kreatif itu memang tidak
gampang!
Di
mana letak urgensi kreativitas dalam bisnis praktis? Tengoklah, pasar
kini tengah bergeser menuju zona ketidakpastian. Juga zona
hiperkompetitif. Ironisnya, sebagian pelaku bisnis masih bersenjatakan
strategi yang itu-itu saja. Kalau mentok, buntut-buntutnya anggaran
promosi yang dihambur-hamburkan, bahkan harga yang dibanting!
Untuk itulah, dibutuhkan kreativitas! Mungkin melalui pemasaran gerilya, repositioning, reengineering, marketing intelligence, dan masih banyak lagi. Penting untuk diperhatikan bahwa terobosan itu tidak selalu identik dengan pemborosan.
Termasuk bagian kreativitas sekaligus ‘kegilaan’, sebagian pelaku bisnis tidak segan-segan ‘menjadi buruk agar baik’. Yes, too bad can be good! Terlalu buruk itu bisa berarti baik!
Ada contohnya? Ada, Ryanair, sebuah low-cost carrier di Eropa. Namanya low-cost carrier,
pastilah tiketnya murah. Bahkan uniknya, 25% dari kursinya gratis.
Namun, yang paling istimewa dari itu semua, Ryanair dapat dikatakan
merupakan salah satu maskapai terburuk di dunia. Betapa tidak? Kursi
yang Anda duduki tidak dapat direbahkan. Kantong di belakang kursi pun
tidak ada. Tidak cukup sampai di situ. Anda juga akan dikenai biaya
tambahan jika ingin memilih kursi, memeriksa bagasi, atau memakai kursi
roda. Sungguh, pelayanan yang sangat buruk. Minuman gratis? Jangan
harap! Mereka menjual air, kudapan dan segalanya. Penerbangan jarak
jauh? Mereka hanya meladeni penerbangan jarak dekat! Bandara primer?
Mereka hanya menyediakan bandara sekunder! Konter tiket? Ah, mereka
tidak menggalakkannya. Mereka menjual 98% tiketnya via internet
(sedangkan Southwest hanya 59%). Dampaknya bagi Ryanair, biaya
administrasi dan komisi agen perjalanan dapat ditekan.
Selain itu, Ryanair berusaha making money
dari pemasangan iklan di sekujur pesawat dan penawaran aneka barang
oleh pramugari. Bahkan situs resminya tidak luput dari penawaran produk.
Selanjutnya Ryanair juga coba menjalin kerjasama dan making money sebisanya dari pihak hotel, mobil sewaan, paket ski, dan asuransi perjalanan. Benar-benar cara making money yang buruk.
Hanya
itu? Tidak! Tanpa segan pimpinan Ryanair sempat berceloteh, “Kami
ahlinya publisitas murahan!” Dan ia memang membuktikannya. Umpamanya,
demi promosi penerbangan ke Roma, ia rela mengenakan kostum Paus. Pernah
pula ia mengendarai tank ke kantor pesaing. Ternyata, pelayanan, making money serta promosi yang buruk justru mendongkrak laba Ryanair hampir 40% pada periode tertentu. Ya, terlalu buruk bisa berarti baik!
Dengan
menjadi buruk, seseorang tampil beda. Dan, dengan berbeda, seseorang
dapat bersaing bahkan mengalahkan kompetitornya. Dalam pepatah Arab
disebutkan:
خَالِفْ تُذْكَرْ
“Berbuatlah hal yang berbeda niscaya engkau akan jadi sebutan (populer).” (Lihat misalnya: Majma’ al-Amtsāl, vol. I, hal. 232)
Surat
kabar Kompas yang konon serba linear pun pernah sesekali bertindak
lateral, layaknya lompatan kuda catur. Adalah Ndang Sutisna—Pengarah
Kreatif Eksekutif di Ad Work Euro—yang mengusulkan agar Kompas edisi 28
Juni 2005 memuat tulisan mencolok, “Simpan Kompas hari ini, besok tidak
akan terbit lagi.” Demikianlah, hingga kini Kompas tetap menahkodai
pasar dengan tiras 530.000 hingga 600.000 eksemplar, dengan 2,25 juta
pembaca. Di samping itu, billing iklannya setahun mencapai 900 miliar rupiah lebih!
Kembali ke ‘orang gila’, sesepuh Intel, Andy Groove bertutur, “Only paranoid can survive.”
Hanya mereka yang gila, yang bertahan. Orang gila? Sekali lagi tentu
saja bukan dalam pengertian sakit jiwa. Namun maksudnya adalah mereka
yang tidak segan untuk berpikir dan berkhayal secara tidak rasional,
sehingga lingkungan di sekitar mereka tidak segan berkomentar, “Ah,
dasar gila! Mana mungkin?!” Toh, pada akhirnya itu terjadi
juga. Contoh dalam hal ini sangat banyak. Karena itu, kehadiran ‘orang
kanan’, atau ‘orang kreatif’, atau ‘orang luar biasa’, atau ‘orang gila’
menjadi sangat urgen dan signifikan.
Ada
pertanyaan yang cukup unik dan menggelitik terkait orang gila,
“Pernahkah orang gila jatuh sakit?” Jarang didapati bukan? Ini karena
konsep sakit tidak pernah terlintas dalam benak orang gila. (Yah, memang
pada dasarnya orang gila itu ndak mikir apapun. Namanya juga gila!)
Bandingkan pula dengan anak kecil yang sangat berani dan tanpa takut mencoba hal-hal yang baru. Tidak peduli berapa banyak try and error yang ia alami. Dare to fail!
Berani gagal! Ini karena konsep takut tidak pernah terlintas di
kepalanya. Inilah keberanian yang Allah sandingkan seiring kelahiran
sang anak di dunia. Bayangkan jika anak sejak awal telah mengenal konsep
takut, bisa-bisa ia tidak dapat berjalan sendiri. Begitulah, kesuksesan
membutuhkan keberanian. Namun sayangnya, orang tualah yang acap kali
menyuapi bahkan menjejalkan konsep takut kepada sang anak. “Kalo kamu nakal, ntar digigit kuntilanak lho!” atau, “Kalo ga bobo, ntar ditubruk kebo!” (Eh, bukannya digigit nyamuk?) Akhirnya, si anak jadi merinding beneran. Konsep takut pun masuk dan bersemayam dalam pikirannya.
Mr.
Joger, seorang pengusaha yang terkenal humoris pernah bertutur bahwa
dia tidak pernah sekalipun merasa sedih. Dia selalu gembira, antusias
dan berpikir positif. Konsep duka tidak ia masukkan dalam program pola
pikirnya. Hal senada dengan Purdi Chandra, seorang pengusaha yang hampir
selalu berhasil dalam bisnis-bisnisnya. Rupanya, Purdi tidak memasukkan
konsep gagal dalam pikirannya.
Bicara
tentang ‘orang gila’, maka ada hal penting yang harus dilakoni untuk
dapat menjadi ‘orang gila’ atau ‘orang luar biasa’ atau extraordinary people,
yakni lakukanlah apa yang tidak dilakukan oleh orang biasa. Misalkan
saja, orang biasa di lingkungan perumahan Anda melewatkan Sabtu dan
Minggu untuk bermalas-malasan serta menghabiskan uang, waktu dan kartu
kreditnya di pusat-pusat perbelanjaan. Orang luar biasa tidak melakukan
semua itu. Ketika Anda mencoba meniru orang luar biasa, Anda akan dicap
‘gila’ oleh orang sekitar Anda.
Syaikh Muhammad Nāshiru’ddīn al-Albāni,
seorang ulama ahli hadits terkemuka zaman ini, menghabiskan 12 jam
sehari untuk membaca, menelaah dan meneliti dan menulis di perpustakaan
azh-Zhāhiriyyah. Beliau adalah orang pertama masuk dan terakhir keluar
di perpustakaan tersebut. Semisal dengan itu, Prof, Dr. Wahbah az-Zuhaili,
ulama terkemuka lainnya, pada saat berkunjung ke Indonesia di awal-awal
tahun 2000-an, mengisahkan bahwa beliau memulai aktifitasnya secara
rutin mulai pukul 04.00 pagi sampai malam hari. Aktivitas beliau adalah
membaca dan menulis. Demikian secara kontinu dan tidak berhenti kecuali
untuk shalat dan makan. ‘Gila’ bukan? Hasilnya, puluhan jilid karya
ilmiah yang dihasilkan oleh masing-masing dari kedua ulama tersebut,
yang dijadikan rujukan oleh kaum muslimin di berbagai penjuru bumi—baik
dari kalangan penuntut ilmu maupun ulama.
Jauh di atas semua itu, adalah suri tauladan kita, Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—yang
konsisten mengajarkan dan mendakwahkan kebenaran ketika manusia tengah
terombang-ambing dalam lautan kebodohan, kerusakan dan kezhaliman.
Alhasil, beliau pun dikatai gila oleh kaumnya.
Bagaimana dengan contoh dalam bisnis? Helmi Yahya, biangnya Reality Show di tanah air, pernah mengisahkan betapa ia sangat workaholic
semenjak kecil. Wajar kiranya sekarang ia menikmati hasil sebagaimana
yang kita lihat sebab dia telah membayar harganya jauh-jauh hari.
So,
jadilah ‘orang gila’. Jangan berpuas diri dengan menjadi orang ‘normal‘
alias biasa-biasa saja. Jim Collins dalam buku terlarisnya Good to Great berujar, “Baik (good) adalah musuhnya hebat (great).” Artinya, merasa sudah baik sering kali meninabobokan kita, sehingga kita tidak akan pernah menjadi hebat.
Sejalan
konsep di atas, adalah ucapan hikmah yang berbunyi, “Barangsiapa yang
hari ini lebih baik dibanding hari kemarin maka ia beruntung.
Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari ini sama dengan hari kemarin
maka ia merugi. Dan, barangsiapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan
hari kemarin maka ia celaka!” (Banyak orang menisbatkan ucapan ini
sebagai hadits Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—dan ini sungguh sangat tidak tepat dan ngawur serta ngelantur.)
Ironisnya,
banyak perusahaan yang merasa dirinya baik-baik saja dan ‘malas’ (atau
tepatnya: takut) untuk beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi. Ketika
disarankan program atau strategi baru yang lebih baik, mereka
berkomentar, “Program itu bagus sih, tapi maaf, selama ini kita sudah diakui sebagai market leader kok,” atau, “Ah, kita tidak memerlukan program seperti itu. Kita kan sudah punya nama besar,” atau alasan lain yang semisal.
Argumen
seperti di atas dapat saja dibenarkan, asalkan pasar Anda memenuhi dua
kondisi. Pertama, pelanggan Anda begitu bodoh. Kedua, pesaing Anda
berjalan di tempat. Namun, adakah pasar seperti itu? Sayangnya, di
planet ini tidak ada! Sungguh indah pesan seorang pakar manajemen, “Saat
Anda merasa seperti mangga yang telah masak, maka sebentar lagi Anda
akan membusuk! Jadilah mangga yang masih mentah, sehingga Anda
senantiasa mematangkan diri.”
Pernah mendengar istilah kaizen? Dalam bahasa Jepang, kaizen bermakna penyempurnaan terus-menerus (continuous improvement). Sejarah membuktikan, inilah yang mengantarkan Jepang menjadi negara economic superpower nomor dua di muka bumi ini.
Padahal,
sejarah mencatat bahwa pada tahun 1639, Jepang, di bawah pemerintahan
Shogun Tokugawa, masih disibukkan dengan pengusiran warga asing dan
pengisolasian negara. selama 240 tahun ke depan. Anda tidak dapat
membayangkan betapa terbatasnya sumber daya alam dan jumlah penduduk
mereka. Sementara pada masa yangsarna, masyarakat Amerika Serikat telah
mengenai istilah ‘pelanggan’. Jadi, dari segi pengetahuan tentang pasar,
Jepang sudah tertinggal sangat jauh oleh Amerika.
Dulu
memang demikian. Namun, setelah Restorasi Meiji dicanangkan pada 1868,
Jepang mulai berubah dan berbenah (Kaisar Meiji sendiri masih berusia 15
tahun pada saat pelantikannya). Berkat semangat kaizen-nya,
mulai 1980-an Jepang pun mulai menohok Amerika. Benarlah nasehat kuno
yang menyebutkan bahwa tetesan air yang terus menerus dapat melubangi
batu. Demikianlah, penyempurnaan tiada henti merupakan syarat mutlak
untuk menjadi luar biasa, sehingga bisnis Anda dapat terus bertahta di
pasar.
Balik
lagi ke pembicaraan mengenai otak kanan, salah satu fungsi penting otak
kanan adalah berpikir meluas, termasuklah merekayasa big picture,
impian, dan visi. Sebagai contoh, visi yang jauh ke depanlah yang
membuat Trihatma Haliman—satu dari lima tokoh bisnis paling berpengaruh
sepanjang 2006 menurut majalah Warta Ekonomi—berani membangun
belasan proyek raksasa dalam setahun, dengan masing-masing proyek
menelan biaya tidak kurang dari Rp200 miliar, semisal Senayan City, The
Peak, dan The Pakubuwono Residence. Padahal, pada awalnya banyak pihak
yang meremehkan visinya tersebut.
Ngomong-ngomong, visi itu apa sih?
Kata lain untuk visi yang mungkin cukup pas adalah niat. Masih ingat
dengan pernyataan, “Mulailah dengan yang kanan,” yang menyiratkan makna,
“Mulailah dengan otak kanan.” Nah, apakah Anda dapat mengaitkannya dengan pernyataan, “Mulailah dengan niat.” Silahkan simpulkan sendiri.
Sebagai
tambahan, masyarakat Indonesia sendiri mengenal serentetan istilah
serba kanan yang seluruhnya identik dengan kebaikan, contohnya “tangan
kanan” dan “langkah kanan”. Tidak terkecuali “golongan kanan” dalam
kitab suci. Malah dalam bahasa Inggris, kata “kanan” dan kata “benar”
diterjemahkan dengan “right“. Maka, tidaklah mengada-ada apabila kanan itu diartikan hampir selalu benar. Right?
Begitulah, otak kanan sedemikian krusial. Bahkan untuk beranjak dan bergerak ke sisi kanan dalam Cashflow Quadrant-nya
Robert Kiyosaki, utamakanlah otak kanan! Bukankah penghuni kuadran
kanan seperti pengusaha dan investor itu kuat otak kanannya? Sebaliknya,
bukankah penghuni kuadran kiri seperti pekerja dan profesional itu kuat
otak kirinya?
Terdapat shocking truth lainnya di sebuah international bestseller, bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berbasis otak kanan—selain dibayar lebih mahal—amat sukar untuk diduplikasi, diotomasi, dan di-outsourcing. Lantas, bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan yang berbasis otak kiri? Yah, jelas kebalikannya.
Bayangkan,
negara A dan negara B bekerja sama untuk sebuah produk. Negara A yang
melakukan perakitan, sementara negara B yang membangun merek.
Pertanyaannya, negara manakah yang bergelimang uang? Jelas jawabannya,
negara B—negara yang disibukkan aktivitas-aktivitas yang berbasis otak
kanan. Sebut saja, negara kanan. Disadari atau tidak, untuk sekian lama
bentuk kolaborasi seperti inilah yang terjalin antara negara berkembang
dengan negara maju.
Karena
itu, jadilah ‘orang kanan’. Jangan pernah sekalipun melalaikan dan
mengabaikan otak kanan yang sarat muatan intuisi, kreativitas, dan
pemikiran meluas. Jangan pernah! Akhirnya, be intuitive, be creative, be extensive, be ‘right’ person!
Salam,
adni kurniawan
Disarikan
dari: 10 Jurus Terlarang, Ippho Santosa, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2007, hal. 1-14, dengan perubahan, penambahan dan pengurangan.
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment