Kekeliruan Umum (Khatha’ Syā’i“) dalam Penerjemahan Zakātul Fithr
Di Indonesia, pada umumnya Zakātul Fithr
diterjemahkan dengan “Zakat Fithrah”. Hal ini sebenarnya kurang tepat,
namun inilah yang terlanjur tersebar di Indonesia. Mungkin hal tersebut
dibangun atas anggapan masyarakat bahwa makna `Īdul Fithri adalah
kembali kepada kesucian (fithrah). Padahal, anggapan ini kurang tepat.
Makna `Īdul Fithri yang lebih tepat adalah kembali berbuka, setelah
sebulan lamanya diwajibkan berpuasa. Sehingga terjemahan yang lebih
tepat untuk Zakātul Fithr adalah Zakat Fithri, seperti halnya `Īdul Fithri, mengikuti bahasa aslinya. WaLlāhu a’lam.
Pengertian dan Kewajiban Zakat Fithri
Zakātul fithr
adalah zakat yang diwajibkan karena berbuka dari bulan Ramadhān. Zakat
ini wajib atas tiap-tiap individu muslim: kecil, besar, laki-laki,
wanita, merdeka, maupun budak.
Dari Ibn `Umar, beliau berkata:
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah
` mewajibkan zakat fithri dengan satu shā’ kurma atau satu shā’ gandum,
baik atas budak, merdeka, laki laki, perempuan, anak kecil, maupun
dewasa, dari kalangan kaum Muslimin.” [Riwayat al-Bukhāri: II/161; Muslim: II/677- 678; dan lain-lain]
Hikmah Zakat Fithri
Zakat
Fithri diwajibkan pada Sya’ban 2 H. Tujuannya untuk menyucikan orang
yang berpuasa dari segala pelanggaran yang mungkin terjadi saat puasa,
baik berupa melakukan perbuatan yang sia-sia, atau perkataan yang keji;
sekaligus untuk membantu orang-orang yang fakir.
Dari Ibn ‘Abbās, beliau berkata:
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ
مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ
الصَّدَقَاتِ
“Rasulullah
` mewajibkan Zakat Fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari
perkara yang sia-sia dan perkataan yang keji; sekaligus sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat
`Īd, maka ia merupakan zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang
menunaikannya setelah shalat `Īd, maka ia termasuk salah satu shadaqah
(yang sunnah).” [Riwayat Abū Dāwūd: II/262; Ibn Mājah I/585; ad-Dāruquthni II/138. Dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]
Kepada siapakah Zakat Fithri Diwajibkan?
Zakat Fithri diwajibkan atas seorang muslim yang merdeka, serta memiliki satu shā’ bahan makanan pokok yang lebih dari kebutuhan diri dan tanggungannya untuk sehari semalam. Ini adalah madzhab Mālik, asy-Syāfi’i, dan Ahmad. Imam as-Syaukāni berkata, “Inilah pendapat yang benar. Sedangkan menurut madzhab Hanafi disyaratkan bahwa yang bersangkutan harus telah mencapai nishab.”
Zakat Fithri wajib dikeluarkan atas dirinya dan atas orang-orang yang wajib dinafkahi olehnya, seperti istri, anak dan pembantu.
Besar dan Bentuk Zakat Fithri:
Zakat Fithri adalah satu shā` gandum, kurma, anggur, keju, beras, jagung, atau makanan pokok lainnya.
Satu shā` setara dengan empat mudd. Satu mudd adalah setangkup dua telapak tangan orang yang berukuran sedang. Satu mudd nabawi diperkirakan setara dengan 0,688 liter. Sehingga satu shā` diperkirakan setara dengan 2,752 liter. Menurut Syaikh Ibn ‘Utsaimin, satu sha’
diperkirakan setara dengan 2,04 kg jika dengan gandum berkualitas baik.
Untuk beras, maka dikonversi terlebih dahulu sesuai massa jenisnya. [Lihat: al-Fiqhu'l Islāmi wa Adillatuh, vol. I, hal. 142-143, dan Majālis Syahr Ramadhān, hal. 143]
Abū Hanīfah membolehkan mengeluarkan Zakat Fithri dengan harga (uang). Beliau juga berkata: “Jika seorang muzakki mengeluarkan zakat dengan gandum, maka mengeluarkan setengah shā` itu sudah mencukupi.”
Namun,
ini adalah pendapat yang kurang kuat, dan membayar Zakat Fithri dengan
bahan makanan pokok adalah lebih tepat dan lebih utama. Sebab, pada
zaman Nabi ` pun uang telah dikenal. Namun common practice pembayaran Zakat Fithri pada zaman Nabi pun dengan bahan makanan pokok. WaLlāhu a’lam.
Namun, tentu saja seseorang dapat memberikan sedekah tambahan berupa
uang atas Zakat Fithr yang dikeluarkannya, bahkan jelas ini merupakan
kebaikan di atas kebaikan.
Abū Sa’īd al-Khudri berkata:
كُنَّا
نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ حُرٍّ أَوْ
مَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ فَلَمْ نَزَلْ
نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا
فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ
النَّاسَ أَنْ قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ
تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو
سَعِيدٍ فَأَمَّا أَنَا فَلاَ أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ
أَبَدًا مَا عِشْتُ
“Ketika
Rasulullah ` masih bersama kami, kami mengeluarkan Zakat Fithri atas
setiap anak kecil, dewasa, orang merdeka, dan hamba sahaya, sebanyak
satu shā` makanan, satu shā` keju, satu shā` gandum,satu shā` kurma,
satu shā` kismis. Kami tetap melakukan hal itu sampai datanglah
Mu’āwiyah untuk melakukan haji atau ‘umrah. Lalu iaberkata di atas
mimbar. Diantara yang ia ucapkan di hadapan orang-orang adalah: “Aku
memandang bahwa dua mudd (setengah shā`) dari samrā’ (gandum) Syam
setara dengan satu shā’ kurma.’ Maka orang-orang pun mengambil
perkataannya tersebut.” Abu Sa’īd melanjutkan: “Tetapi aku tetap
mengeluarkan zakat seperti yang kulakukan sebelumnya selama aku hidup.” [Riwayat al-Bukhāri: II/161-162; Muslim: II/ 678-679; Abū Dāwūd: II/ 267; dan lain-lain]
Imam at-Tirmidzi
berkata, “Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits di atas. Mereka
berpendapat bahwa ukuran Zakat Fithri untuk segala sesuatu adalah satu shā`.”
Sebagian ulama berpendapat, untuk segala sesuatu wajib dikeluarkan satu shā`, kecuali burr (gandum), cukup hanya dengan setengah shā`. Ini adalah pendapat Sufyān, Ibnu’l Mubārak, dan penduduk Kufah.
Kapan Zakat Fithri Diwajibkan?
Para
ulama fiqh sepakat bahwa Zakat Fithri diwajibkan pada akhir bulan
Ramadhan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan waktunya.
Sufyān ats-Tsauri, Ahmad, asy-Syāfi’i
dalam pendapatnya yang lama, dan salah satu riwayat Mālik menyatakan
bahwa waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari di malam hari
raya. Alasannya, itulah waktu berbuka dari bulan Ramadhan.
Abū Hanīfah, al-Laits, asy-Syāfi’i
dalam pendapatnya yang lama, dan riwayat kedua dari Mālik menyatakan
bahwa waktu wajibnya adalah ketika terbitnya fajar di hari raya.
Faidah
dari perbedaan pendapat dalam masalah ini, jika seorang bayi dilahirkan
sebelum fajar hari raya dan setelah matahari terbenam, apakah ia
terkena Zakat Fithri atau tidak?
Menurut
pendapat pertama, ia tidak terkena Zakat Fithri, karena dia lahir
setelah lewatnya waktu wajib Zakat Fithri, berdasarkan pendapat mereka.
Sedangkan menurut pendapat kedua, ia terkena Zakat Fithri, karena ia
dilahirkan sebelum waktu wajib Zakat Fithri, menurut mereka.
Mendahulukan Pembayaran Zakat Fithri Sebelum TibaWaktu Kewajibannya
Mayoritas
ulama fiqh berpendapat bahwa boleh hukumnya menyegerakan pembayaran
Zakat Fithri ketika satu atau dua hari sebelum hari raya.
Ibnu ‘Umar berkata:
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah ` memerintahkan kami agar Zakat Fithri itu dibayarkan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.” [Riwayat al-Bukhāri: II/161; Muslim: II/ 679; dan lain-lain]
Para ulama berbeda pendapat jika Zakat Fithri dibayarkan sebelum tersebut. Menurut Abū Hanīfah, boleh membayar Zakat Fithri sebelum bulan Ramadhān. Imam asy-Syāfi’i berkata: “Boleh membayarnya di awal bulan Ramadhān.”
Malik
berpendapat—sekaligus merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab
Imam—bahwa membayarnya satu atau dua hari sebelum hari raya.”
Pendapat yang terakhir disebutkan adalah pendapat yang benar in sya-aLlāh.
Zakat Fithri boleh dibayarkan pada satu atau dua hari sebelum hari
raya. Dalilnya adalah riwayat Ibn ‘Umar yang baru saja disebutkan.
Alasan selanjutnya, tujuan dari Zakat Fithri adalah memberi kecukupan
kepada orang fakir di hari raya, sehingga mereka bisa turut bergembira
dan tidak perlu minta-minta. Inilah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits
seputar masalah ini. Jika Zakat Fithri dibayarkan di awal bulan
Ramadhān, dikhawatirkan tujuan ini tidak tercapai. Karena bisa jadi
Zakat Fithri yang mereka dapatkan sudah habis di pertengahan bulan. Ini
jika Zakat Fithri tersebut dibagikan secara individu. Jika Zakat Fithri
tersebut diberikan kepada panitia zakat yang terpercaya jauh sebelum dua
hari dari hari raya, dimana panitia tersebut membagi-bagikan Zakat
Fithri tadi kepada orang-orang yang fakir ketika satu atau dua hari
menjelang hari raya, maka hal ini juga tidak mengapa—in sya-aLlāh. Sebab, yang menjadi tolak ukur (`ibrah) adalah sampainya Zakat Fithri di tangan orang-orang fakir menjelang hari raya. WaLlāhu a’lam.
Para
ulama sepakat bahwa kewajiban Zakat Fithri tidak gugur meskipun sudah
lewat dari waktunya. Ia tetap merupakan hutang yang menjadi tanggungan
orang yang bersangkutan sehingga dia membayarnya, meskipun di akhir
umurnya.
Mereka
juga sepakat bahwa tidak boleh mengakhirkan Zakat Fithri melebihi hari
raya. Kecuali apa yang dinukil dari Ibn Sīrīn dan an-Nakha’i. Keduanya berkata, “Boleh mengakhirkannya setelah hari raya.” Imam Ahmad juga berkata, “Saya harap hal itu tidak mengapa.”
Ibn
Ruslān menyanggah hal tersebut. Beliau berkata, “Perkara tersebut haram
menurut kesepakatan ulama. Karena ia adalah zakat. Maka mengakhirkannya
merupakan perbuatan dosa, seperti halnya melakukan shalat di luar
waktunya.”
Telah disebutkan dalam hadits sebelumnya:
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Siapa yang menunaikan Zakat Fithri sebelum shalat `Īd, maka ia merupakan
zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat
`Īd, maka ia termasuk salah satu shadaqah (yang sunnah).” [Riwayat Abū Dāwūd: II/262; Ibn Mājah I/585; ad-Dāruquthni II/138. Dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]
Golongan yang Berhak Menerima Zakat Fithri
Orang-orang
yang berhak mendapatkan zakat fitrah adalah orang-orang yang berhak
mendapatkan zakat secara umum. Maksudnya, Zakat Fithri dibagikan kepada
delapan golongan yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin….” (QS. At-Taubah [9]: 60)
Hanya
saja orang-orang fakir adalah golongan yang paling berhak dan sangat
lebih diutamakan untuk mendapatkan Zakat Fithri. Sebagaimana ditegaskan
dalam hadits terdahulu:
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah
` mewajibkan Zakat Fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari
perkara yang sia-sia dan perkataan yang keji; sekaligus sebagai makanan
bagi orang-orang miskin.”
WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Referensi Utama: Fiqhu’s Sunnah, vol. I, hal. 517-521, dengan tambahan dari beberapa referensi lainnya.
Post a Comment