Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan dalam Tiap Perkara dan Korelasinya dengan Amr Ma’rūf Nahy Munkar
Sesungguhnya
nash-nash yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan
oleh Allah itu sifatnya umum, mencakup seluruh perkara.
Nabi ` bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلِك
أَضْعَفُ الْإِيْمَان
“Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak
mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat
Muslim]
Berdasarkan
hadits di atas, seorang muslim wajib mengubah setiap kemungkaran yang
dilihatnya, sesuai urutan yang sebutkan. Baik kemungkaran tersebut
berupa pengharaman yang halal, penghalalan yang haram, tindakan yang
salah, maupun bid’ah dalam agama. Dan, tidak ada satu dalil pun yang
menggugurkan atau mengecualikan pihak yang menyerukan tegaknya hukum
Allah sebagai undang-undang dan manhaj hidup dari kewajiban mengubah
kemungkaran-kemungkaran yang baru saja disebutkan.
Selanjutnya,
sesungguhnya umat yang mendidik dirinya sendiri di atas ketaatan dan
melaksanakan perintah Allah adalah umat yang akan mendapatkan
keberuntungan berupa kebahagiaan di dua tempat; kebahagiaan khilafah di
muka bumi dan kebahagiaan surga di akhirat.
Allah berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Disebutkan dalam hadits:
إذَا
تَبَايَعْتُمْ بالْعِينَةِ وَأخَذْتُمْ أذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ، سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إلَى دِينِكُم
“Apabila kalian melakukan transaksi dengan sistem`īnah, mengambil buntut-buntut sapi [yakni, kināyah (perumpaan) tentang kesibukan bercocok tanam yang melalaikan dari jihad, sebagaimana dalam Faidhul Qadīr],
meridhai pertanian, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan
kehinaan kepada kalian, Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut
hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [Riwayat Abū Dāwūd,
al-Baihaqi dan lain-lain, dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Nabi
telah menyebutkan sebab-sebab kehinaan dan kekalahan; lantas
bagaimanakah solusinya? Apakah kita tetap sibuk dengan pertanian dengan
meninggalkan jihad di jalan Allah? Apakah kita senantiasa bodoh dalam
agama?
Solusi dari masalah jelas dan terang: “Hingga kalian kembali kepada agama kalian!”
(Pertanyaannya,
dapatkah kita kembali kepada agama jika tanpa diiringi ilmu yang benar?
Kembali ke agama yang bagaimana? Apakah berdasarkan hawa nafsu atau
madzhab atau pendapat individu tertentu? Ataukah dengan ilmu yang benar
yang diambil dari nash al-Qur’ān dan Sunnah yang valid, dengan metode
pengambilan dalil (istinbāth) yang benar?)
Ibn ‘Abbās—radhiyaLlāhu ‘anhumā—berkata, “Jadilah rabbāniyyūn,” yaitu orang-orang yang santun, faqīh dan alim. Dikatakan pula bahwa rabbāni adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar.
Maka, menjadi keharusan bagi pihak yang mengajarkan aqidah, tauhid, serta asmā’ wa shifāt (Nama dan Sifat Allah) untuk menjadikan tujuan dari pengajarannya tersebut adalah memberi faedah dan meluruskan ‘aqidah audiences, disertai keyakinan bahwa ini merupakan asas awal dari pondasi bangunan hukum Islam.
Menjadi
keharusan bagi orang yang melakukan shalat untuk ikhlas dalam
shalatnya. Janganlah berkeyakinan bahwa amalan tersebut merupakan fase
yang terputus dari usaha menegakkan hukum Allah, bahkan ini merupakan
salah satu pondasi dari proses tegaknya hukum Allah.
Menjadi keharusan bagi pihak yang meluruskan manhaj ittibā` Nabi e (peneladanan kepada Nabi `) untuk menyadari bahwa efek amalnya tersebut sangat besar bagi usaha menegakkan hukum Allah.
Tidaklah
jauh dari ingatan kita bagaimana ayat-ayat al-Qur’ān yang turun sebelum
tegaknya daulah Islam. Ayat-ayat tersebut memerintahkan Rasulullah `
untuk memberi peringatan, melaksanakan shalat malam, dan lain-lain yang
semisalnya. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Allah mampu menjadikan
Islam memiliki daulah/negara dan kekuatan meski tidak dibarengi
semua proses tersebut. Namun, adanya perkara-perkara itu adalah agar
kita sadar bahwa ada Sunnatullah yang berlaku dalam menegakkan hukum dan
syariat Allah di bumi, di mana kita tidak mungkin bisa lari darinya.
Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan Adalah dengan Taat dan Memenuhi Seruan-Nya
Sunggguh, orang yang mencermati kisah Ibrāhīm u,
ketika beliau meninggalkan isteri dan anaknya yang masih menyusui di
suatu tempat yang demikian sepi, tanpa kawan—bahkan tanpa air—dalam
rangka melaksanakan perintah Allah; niscaya dia akan mendapatkan
berbagai `ibrah dan pelajaran yang sangat berharga. Ibrāhīm
melaksanakan perintah Rabbnya dengan meletakkan isteri dan anaknya yang
masih menyusui di tanah yang sunyi, sepi, dan gersang, tanpa sedikit pun
memprotes, “Apa hikmah di balik ini? Apa faedahnya perintah ini?”
Bahkan, beliau segera mentaati dan melaksanakan perintah-Nya.
Dahulu, Hajar bertanya, “Wahai Ibrāhīm, kepada siapa engkau meninggalkan kami?” Dalam sebagian riwayat al-Bukhāri disebutkan bahwa ia bertanya berulang kali. Namun, Ibrāhīm tidak menoleh kepadanya.
Akhirnya ia bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melaksanakan hal ini?”
“Ya,” jawab Ibrahim.
“Jika demikian, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” kata Hajar.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku ridha kepada Allah.”
Isterinya
tidak berkata, “Masih ada prioritas lain yang lebih penting…. Jika kami
menemanimu, maka kami akan bermanfaat dalam dakwah kepada Allah. Hal
ini lebih baik daripada engkau meninggalkan kami di padang pasir yang
gersang.”
Demikianlah
yang seharusnya. Jika kita telah mengetahui adanya perintah dari Allah,
maka yang bisa kita lakukan adalah taat dan menjawab seruan-Nya.
Sebagaimana yang terjadi pada Ummu Ismā`īl. Hal ini sampai menyebabkan
ia berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, antara harapan untuk
mendapat air dan cemas akan keselamatan puteranya yang sedang
terengah-engah menghadapi kematian.
Inilah
sebenar-benar jihad, kesungguhan dan kesabaran. Lalu, mengapa masih
menggunakan sudut pandang materialistis? Demi Allah, yang menyebabkan
umat kita binasa tidak lain adalah sudut pandang dan parameter yang
rusak ini.
Hendaklah kita berkata, “Sungguh, inilah ketaatan kepada Allah!”
Lalu manakah buah dari ketaatan dan ketundukan tersebut?
Buah
dari ketaatan tersebut bukan hanya untuk Ibrahim beserta isteri dan
anaknya, bahkan untuk seluruh orang yang bertauhid hingga terjadinya
hari kiamat. Kaum muslimin datang berduyun-duyun dari timur dan barat,
dalam keadaan gembira dan suka cita. Mereka melakukan sā`i antara Shafā dan Marwah—tempat di mana Ibunda Isma’il melakukan hal yang serupa—untuk melatih diri memenuhi perintah Allah.
Mereka mencoba merasakan bagaimana dahulu Ibunda Isma’il dahulu
berlari-lari kecil dalam keadaan susah dan sedih, dalam rangka
mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya di atas segala sesuatu.
Memancarlah
air Zam-Zam yang mengandung kesembuhan, berkah, dan keutamaan dengan
izin Allah, dimana kaum muslimin bersemangat untuk terus-menerus
memakainya serta membawanya ke tempat tinggal mereka, meskipun jauh
jaraknya.
Ibrāhīm dan Ismā’īl—‘alaihimas salaam—membangun
Baitul Haram yang di dalamnya terdapat keutamaan dilipatgandakannya
pahala shalat, thawaf, terkabulnya doa, dan lain-lain.
Demikianlah (sebagian) buah dari ketaatan dan memenuhi seruan Allah.
Maka
hendaklah kita menghukumi diri kita dengan memenuhi seruan Allah dan
menahan diri dari kemaksiatan serta kezhaliman, meskipun zhahir dari
menjawab seruan Allah tersebut adalah kesukaran, kepayahan, bahkan
kematian.
Mungkinkah kita termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran dan `ibrah?!
Hal yang sama juga terjadi dalam kisah dihanyutkannya Mūsā ke sungai!
وَأَوْحَيْنَا
إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ
فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ
وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami
akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari
para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)
Allah
memerintahkan Ibunda Mūsā untuk menghanyutkan puteranya ke sungai, maka
tidak ada pilihan baginya selain menjawab seruan-Nya.
Perbuatan
ini zhahirnya merupakan sikap pengecut—apabila hanya ditinjau dari segi
rasionalitas. Tidak mendatangkan manfaat bagi Mūsā dan juga Ibunya.
Namun, ternyata hasil akhirnya adalah hikmah yang tidak pernah terlintas
dalam benak siapapun.
Buah
dari menjawab seruan-Nya ini adalah dikembalikannya Musa kepada ibunya,
agar jiwa ibunya menjadi tenteram, tidak bersedih, dan agar dia yakin
bahwa janji Allah adalah benar. Buah lainnya adalah diangkatnya Musa
menjadi salah seorang Rasul yang ūlū’l `azmi.
Oleh
karena itu, janganlah engkau tanyakan, “Apa faedahnya perintah ini?”
Namun tanyakanlah, “Apakah Allah memerintahkan aku untuk melakukan hal
ini? Apakah Rasul-Nya memerintahkan hal tersebut? Adakah nash yang shahih dalam masalah ini?”
Sungguh,
segala faedah dan kebahagiaan benar-benar terletak pada menjawab
perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah kepayahan dan kesukaran.
Sebaliknya, semua kemudharatan dan kesengsaraan terletak dalam
penyelisihan terhadap perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah
kesenangan dan kebahagiaan.
Mengapa kisah-kisah tersebut tercantum dalam al-Qur’ān dan Sunnah?
Apakah untuk hiburan dan permainan?
Tentu tidak, namun untuk peringatan, diambil `ibrah-nya, dan untuk mengokohkan hati serta jiwa.
وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاء الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah
yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Huud: 120)
Kritik atas Slogan ‘Skala Priortias’ dalam Penegakan Hukum Allah
Berikut
ini adalah sanggahan bagi mereka yang mengatakan bahwa hal ini hanyalah
perkara-perkara parsial yang mematikan dakwah kepada tegaknya hukum
Allah, di mana masih ada perkara-perkara lain yang perlu diprioritaskan.
[Prinsip
‘mendahulukan perkara yang terpenting atas perkara yang penting’ dan
‘skala prioritas’ adalah hal yang tidak dapat diingkari. Namun, kita
tidak ingin menjadikan kaidah ini sebagai senjata untuk menentang mereka
yang mengamalkan Sunnah, sehingga pada akhirnya kita mematikan perkara
yang dianggap terpenting sekaligus perkara yang penting; mematikan
perkara-perkara yang pokok (ushūl) dan perkara-perkara yang parsial (furū`).
Akhirnya, tidak ada yang tersisa melainkan sekedar ucapan, simbolisme
dan nyanyian di atas kehormatan orang-orang mulia yang mengamalkan
Sunnah. Kemudian, jika memang terdapat sejumlah rintangan yang
menghalangi kita dari merealisasikan perkara yang dianggap terpenting,
maka apakah kita juga lantas meninggalkan perkara yang penting?! Bahkan,
pelaksanaan perkara yang penting akan mengokohkan dan turut andil
merealisasikan perkara yang dianggap terpenting.
Hendaklah
yang menjadi fokus kita adalah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuan.
Seandainya kita memang berada dalam kondisi yang sempit, hanya
memungkinkan kita melaksanakan satu perkara saja yang kita ketahui, maka
pada saat itu kita mendahulukan perkara yang dianggap terpenting atas
perkara yang penting, perkara yang wajib atas perkara yang sunnah, dan
seterusnya.]
Tidak
ada suatu perkara—sebesar apapun itu—melainkan adalah bagian dari suatu
keseluruhan dan cabang dari suatu pokok. Setiap yang universal pasti
memiliki parsial, dan setiap pokok pasti memiliki cabang. Sampai-sampai
kalimat syahadat ‘lā Ilāha illaLlāh’ pun hanya merupakan bagian dari dua kalimat syahadat.
Lebih jelasnya, sebagai berikut:
Sesungguhnya
keberadaan masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah
muslim merupakan angan-angan setiap muslim yang berakal. Hal ini
sebagaimana seseorang yang bercita-cita untuk tinggal dalam suatu istana
yang megah. Maka bagaimana mungkin dia akan mendapatkan keinginannya,
jika dia belum memulai membangun istana tersebut?!
Awal
mula yang harus ia lakukan adalah menggali yang dalam untuk menciptakan
pondasi bangunan yang kokoh dan kuat. Orang yang mengotak-ngotakkan
masalah menjadi perkara parsial dan universal; atau masalah pokok (ushūl) dan cabang (furū`),
adalah seperti orang yang menyanggah pihak lain yang turun untuk
menggali dan membuat pondasi. Dia berkata, “Mengapa kalian malah turun,
bukannya naik?! Kalian benar-benar telah memperlambat selesainya
bangunan ini!”
Atau
seperti halnya seseorang yang melihat sejumlah besi tergeletak di suatu
tempat, sejumlah pasir tergeletak di tempat yang lain, sejumlah bata di
tempat yang lain lagi, dan sejumlah kayu di tempat yang lain lagi,
kemudian ia mengomel dan menggerutu, “Besi ini tidak akan dapat
membentuk istana! Pasir ini juga tidak akan membentuk bangunan yang
diinginkan! Apa yang bisa diperbuat dengan batu bata ini! Ia tidak akan
menyampaikan kita kepada tujuan dan tidak akan merealisasikan hal-hal
yang diinginkan! Sungguh jauh pekerjaan mereka dari tujuan yang hendak
dicapai!”
Padahal,
jika kita mau mengumpulkan berbagai bagian yang terpisah-pisah tadi
dengan menambahkan beberapa unsur lainnya, tentulah akan terbentuk suatu
istana yang megah, sehingga tercapailah cita-cita dan terealisasikanlah
harapan.
Begitulah
yang terjadi dengan perkara-perkara yang dinamakan parsial dan cabang.
Apabila engkau melihat tiap amalan secara terpisah, engkau akan
meremehkannya, seraya berkata, “Apa andil amalan ini dalam pembangunan
masyarakat Islam dan tegaknya hukum Allah di muka bumi?!”
Seseorang yang memperhatikan pelajaran tauhid, sedekah yang ringan, shalat dua raka’at, amr ma’rūf nahy munkar,
berbuat baik, mencegah bid’ah, dan lain-lain; niscaya ia mengatakan
bahwa ini adalah bagian-bagian yang terpisah-pisah, tidak akan
menghancurkan masyarakat jahiliyyah dan tidak akan merealisasikan
bangunan masyarakat Islam. Namun, jika engkau menggabungkan
bagian-bagian tersebut, engkau jadi yakin bahwa semua itu akan membentuk
keseluruhan. Totalitas itu dibentuk dari hal-hal tadi. Bagian-bagian
tersebut—dan bagian-bagian lain yang semisalnya—merupakan bagian dari
bangunan masyarakat Islami. Semua itu merupakan bagian dari hukum Allah
dan syariat-Nya.
Sekedar
bicara tentang komprehensivitas dan kesempurnaan Islam adalah hal yang
mudah. Namun, sekedar bicara tentang pembangunan istana yang megah tidak
akan menyebabkan istana tersebut berdiri. Sebagaimana halnya sekedar
bicara tentang komprehensivitas Islam tidak akan menyebabkan tegaknya
daulah Islam. Maka dari itu, marilah kita berilmu, beramal, ikhlas,
sabar, bersungguh-sungguh dan konsekuen.
Alhasil, adanya totalitas itu tidak lain disebabkan adanya bagian-bagiannya. Adanya pokok (ushūl) itu karena adanya cabang-cabang (furū`).
Bagian-bagian tersebut tidaklah berdiri sendiri, tapi ia bergantung
dengan sesuatu yang universal. Cabang-cabang tersebut tidaklah
terpisah-pisah satu dengan lainnya, melainkan ia tersambung dengan
perkara yang pokok.
Sekiranya
ada masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah mulia
dengan menerapkan hukum Allah, maka bagaimanakah gambaran kita tentang
ciri-ciri keluarga muslim yang ada dalam masyarakat tersebut?
Dalam
benak kita mungkin terbayang munculnya kesadaran syariah secara ilmiah;
baik dalam bidang tauhid, fiqh, maupun perilaku; adanya ucapan-ucapan
yang baik, akhlak yang mulia, mu’amalah yang terpuji; terjaganya
ketaatan, ibadah dan syi’ar-syi’ar Islam; dikenakannya pakaian yang
Islami oleh pria dan wanita; adanya pengawasan mutu bagi makanan dan
minuman yang beredar; dan lain sebagainya, dari perkara-perkara yang
diperintahkan oleh Allah.
Namun,
apa yang harus dilakukan jika belum ada khalifah muslim? Apakah semua
perkara yang tadi disebutkan, atau bagian-bagian yang mudah darinya,
masih mungkin untuk direalisasikan?
Ternyata,
semua itu adalah kewajiban dari tiap pemimpin, atau jika engkau mau
katakanlah ‘penguasa kecil’, yaitu untuk mendidik dirinya, anak-anaknya,
dan orang-orang yang di bawah kekuasaannya untuk melaksanakan
perkara-perkara tadi.
Pembicaraan
ini bukan bermaksud untuk meremehkan masalah khalifah muslim. Tidak
diragukan bahwa keberadaan khalifah muslim memiliki efek yang sangat
dahsyat dalam perubahan masyarakat. Namun, pembicaraan kali ini berkisar
tentang orang yang lisānu’l hāl-nya
(tindak-tanduknya) seolah-olah memberi perintah untuk mengabaikan amal,
hanya disebabkan tidak adanya khalifah muslim, sebab menurutnya amal
tersebut akan melalaikan manusia dari penegakan hukum Allah!
Memang
benar, terdapat perkara-perkara yang tidak bisa direalisasikan kecuali
dengan adanya khalifah muslim, di mana tidak seharusnya perkara tersebut
diabaikan. Namun, ada juga banyak perkara yang dapat direalisasikan
oleh seluruh rakyat dan masyarakat dengan perjuangan yang keras. Sebab:
Setiap Orang Adalah Penguasa dan Pemimpin
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah ` bersabda:
كُلُّ نَفْسٍ مِنْ بَنِيْ آدَمَ سَيِّدٌ فَالرَّجُلُ سَيِّدُ أَهْلِهِ وَالْمَرْأَةُ سَيِّدَةُ بَيْتِهَا
“Setiap
anak Adam adalah pemimpin. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi
keluarganya, dan seorang wanita adalah pemimpin dalam rumahnya.”[Hadits
ini di-takhrīj dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni dalam ash-Shahīhah no. 2401.]
Disebutkan pula didalam hadits:
كلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ: الْإِمَامُ رَاعٍ
وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتهِ، والرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوجِهَا
وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سيِّدِهِ
وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ …
“Masing-masing
kalian adalah pemimpin, dan masing kalian-kalian akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa akan
dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Seorang pria adalah
pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah adalah
pemimpin (pengatur) rumah suaminya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu
adalah pemimpin (pengatur) harta majikannya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.” [Riwayat al-Bukhāri: 893, dan Muslim: 1829.]
Demikianlah,
setiap orang adalah pemimpin, penguasa, tuan dan wali di dalam
rumahnya. Dia terkena tanggung jawab besar yang harus dia pikul; baik
terdapat khalifah muslim ataupun tidak.
Islam itu terdiri dari simpul-simpul, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَتُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ
تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ
وآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Simpul-simpul
atau ikatan-ikatan Islam benar-benar akan terurai satu demi satu.
Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang akan berpegangan dengan
simpul yang berikutnya. Simpul yang pertama kali terurai adalah hukum,
dan yang terakhir adalah shalat.” [Riwayat Ahmad, Ibn Hibbān dan al-Hākim, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Jika
demikian, maka Islam terdiri dari berbagai bagian yang saling
berkaitan. Hukum termasuk bagian yang terpenting, dan tercakup di
dalamnya shalat, zakat, haji, dan seterusnya. Maka marilah kita
benar-benar beramal, bersabar dan konsekuen.
Setiap
muslim berkewajiban untuk merealisasikan hukum dengan apa yang Allah
turunkan terhadap dirinya, keluarganya dan orang-orang yang ia mampu.
Tidak gugur kewajiban tersebut darinya dengan alasan bahwa ia sedang
disibukkan oleh dakwah untuk tegaknya hukum Islam sebagai manhaj, aturan
hidup dan undang-undang negara!
Terdapat
beberapa perkara yang pelakunya—atau orang-orang yang berdakwah
kepadanya—dituduh sebagai orang yang mematikan tegaknya hukum Allah
sebagai manhaj dan aturan hidup. Contohnya adalah dakwah kepada
pelurusan aqidah, pemurnian Islam, pembinaan masyarakat di atas Islam
yang murni tersebut, dan yang semisalnya.
Sebagai
misal, mungkin akan Anda dapati perkataan sebagian orang tentang upaya
meluruskan shaf (dalam shalat jama’ah), “Sekarang ini bukan saatnya
untuk mengangkat masalah-masalah ini.” Namun, orang-orang yang
mencermati secara saksama masalah ini niscaya akan mendapatkan realitas
yang bertolak belakang dengan pernyataan tadi. Sebab Rasulullah `
bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskanlah
shaf kalian dan janganlah kalian berselisih (tidak lurus dalam shaf),
sehingga hati-hati kalian jadi berselisih.” [Riwayat Muslim: 432.]
Dari an-Nu’mān Ibn Basyīr, beliau berkata:
أَقْبَلَ رَسُوْلُ الله `
عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فقال: أَقِيْمُوْا صُفُوفَكُمْ – ثَلاَثاً –
وَالله لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيَخَالِفَنَّ الله بَيْنَ
قُلوبِكُمْ
“Rasulullah menghadap
orang-orang dengan wajah beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Luruskanlah
shaf-shaf kalian,’ beliau mengulanginya tiga kali,‘demi Allah, kalian
benar-benar meluruskan shaf-shaf kalian, atau Allah benar-benar akan
memperselisihkan antara hati-hati kalian.’” [Riwayat Abū Dāwūd dan Ibn Hibbān, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Nabi
` menjelaskan bahwa tidak lurusnya shaf akan menyebabkan perselisihan
hati. Bukan sebaliknya! Tidak sebagaimana asumsi sebagian orang bahwa
berbicara tentang meluruskan shaf akan mencerai-beraikan hati kaum
muslimin dan menyibukkan mereka dari masalah-masalah yang universal.
Selanjutnya, perselisihan hati tersebut akan menggiring umat ini kepada kegagalan, kebinasaan dan hilangnya kekuatan.
Allah berfirman:
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfaal: 46)
Rasulullah ` bersabda:
لاَ تَخْتَلِفُوْا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اِخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا
“Janganlah kalian berselisih! Sungguh, orang-orang sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa.” [Riwayat al-Bukhāri: 2410]
Dengan
menggabungkan nash-nash yang ada, maka maknanya menjadi, “Luruskanlah
(shaf-shaf kalian) dan janganlah kalian berselisih; sehingga kalian
mengalami kebinasaan, kegagalan, kehilangan kekuatan, dan kalian akan
dikalahkan oleh musuh kalian.”
Adapun
asumsi sebagian orang bahwa solusi yang tepat dan tegaknya hukum Allah
tidak akan tercapai melainkan dengan mengabaikan masalah meluruskan shaf
dan masalah lain yang semisalnya; lalu ia berbicara tentang tata cara
memerangi musuh dan menanggulangi invasi pemikiran yang rusak; maka hal
ini dapat diumpakan seperti orang yang memandang bahwa shalat itu lebih
penting dari puasa dan berbagai perkara lainnya, lantas ia mengingkari
orang lain yang sedang berbicara tentang urgensi puasa, haramnya
mu’amalah dengan riba, dan seterusnya, dengan dalil bahwa saat ini
orang-orang telah menyia-nyiakan shalat dan tidak melaksanakannya
sebagaimana mestinya. Tentu saja hal ini merupakan kekeliruan. Kewajiban
yang ada jumlahnya sangat banyak dan beraneka ragam, di mana setiap
muslim diperintahkan untuk mengerjakan apa yang ia sanggup dari
kewajiban-kewajiban tersebut.
Tidak
ada faktor pendorong yang mengharuskan pertentangan suatu kewajiban
dengan kewajiban lainnya. Jihad di jalan Allah merupakan suatu
kewajiban, dakwah kepada-Nya merupakan kewajiban, memerangi aqidah yang
rusak merupakan kewajiban, memerangi ghībah (gunjingan) dan namimah
(adu domba) merupakan kewajiban, berbakti kepada kedua orang tua
merupakan kewajiban, dan meluruskan shaf juga merupakan suatu kewajiban.
Seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban terhadap semua itu,
sesuai dengan kesanggupannya.
Adapun
pernyataan mereka tentang adanya skala prioritas, bahwa ada perkara
yang sifatnya urgen dan sangat urgen, maka merupakan pernyataan yang
benar dan baik, jika bertujuan untuk memadukan berbagai ketaatan yang
ada dan berlomba-lomba dalam kebaikan, dan bukan untuk mematikan amal
shalih!
Jika pintu keinginan mereka yang sebenarnya itu dibuka, niscaya tidak akan ada lagi amr ma’ruf nahy munkar, melainkan hanya sekedar perkataan, “Hukum Allah! Hukum Allah! Hukum Allah!”
Hal
lain yang patut diperhatikan, tidak ada suatu perkara yang urgen
melainkan akan ada perkara lain yang lebih urgen darinya. Kaidah ini
tetap berlaku—bahkan dalam masalah dua kalimat syahadat! Sebab bisa jadi
akan dikatakan bahwa syahadat lā ilāha illaLlāh lebih urgen dibandingkan syahadat muhammadu’rrasulullah.
Karena
itu, adanya perkara yang dianggap paling urgen tidaklah mengabaikan
perkara yang urgen. Namun, dalam kondisi sempit, di mana hanya
dimungkinkan pelaksanaan satu perkara saja, pada saat itulah kita
mendahulukan perkara yang dianggap paling urgen atas perkara yang urgen,
sebagaimana halnya kita mendahulukan perkara yang wajib di atas perkara
yang sunnah.
Jika
kondisinya masih lapang—di mana kondisi ini merupakan hukum asal dari
permasalahan yang tengah dibahas—maka kita berusaha untuk melaksanakan
perkara yang paling urgen sekaligus perkara yang urgen sesuai
kesanggupan kita. Dalilnya adalah firman Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Juga
sabda Nabi `: “Siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran,
maka hendaklah ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya; bila
tidak mampu, maka dengan lisannya; bila tidak mampu juga, maka dengan
hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat Muslim]
Dan seharusnya kita pun tidak melupakan kaidah yang berbunyi:
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِِ
“Tidak boleh mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan.”
Karena
itu, jika engkau mendengar seseorang tengah menyebutkan sebuah hadits
palsu, apakah engkau akan menunggu tegaknya hukum Allah sebagai
peraturan dan undang-undang terlebih dahulu?! Setelah itu barulah engkau
katakan kepada orang tadi, “Dahulu, beberapa tahun yang lalu, engkau
pernah menyebutkan sebuah hadits palsu!”
Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau atau orang tadi tetap hidup sampai saat Islam memiliki daulah/negara?
Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau dapat mengingat setiap
kemungkaran yang wajib untuk dicegah, atau setiap perkara yang engkau
dikenai kewajiban untuk memerintahkan dan menyampaikannya?
Demikian pula jika engkau melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran; apakah engkau akan menunggu tegaknya daulah/negara
Islam, setelah itu barulah engkau menghubungi kembali orang tadi dan
mencegahnya; ataukah engkau segera menerapkan hadits mulia yang baru
saja disebutkan?
Kata ‘kemungkaran’ dalam hadits di atas disebutkan secara nakirah (indefinit, bermakna universal). Sebab, kemungkaran tersebut terkadang bentuknya kecil dan terkadang juga besar.
Demikianlah manhaj para sahabat y
dalam berdakwah kepada Allah. Sebagai contoh, renungkanlah kisah
terbunuhnya salah satu khalifah yang bijaksana, ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam
riwayat disebutkan: “`Umar dibawa ke rumahnya (setelah peristiwa
penikaman beliau), maka kami pun pergi bersamanya. Seolah-olah
masyarakat belum pernah ditimpa satu musibah pun sebelum hari itu. Ada
yang mengatakan, ‘Tidak mengapa’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Aku
mengkhawatirkannya’.
Ketika itu, ada yang membawakan nabīdz
untuk `Umar, maka beliau meminumnya. Namun ternyata minuman tersebut
keluar lagi dari perutnya. Ada pula yang membawakan susu untuknya.
Beliau pun meminumnya. Tapi ternyata susu itu pun keluar kembali melalui
luka tusukannya. Akhirnya mereka menyadari bahwa `Umar tidak lama lagi
akan wafat.
Kami segera masuk menemuinya. Orang-orang pun berdatangan, kemudian mereka mulai menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Selanjutnya
datanglah seorang pemuda. Ia berkata, “Bergembiralah wahai Amirul
Mukminin dengan berita gembira dari Allah untukmu. Engkau telah
bersahabat dengan Rasulullah `. Engkau termasuk orang-orang yang
terlebih dahulu masuk Islam—sebagaimana yang kau ketahui. Lalu engkau
memimpin dan berbuat adil. Dan akhirnya engkau mendapatkan mati syahid.”
`Umar berkata, “Aku harap semua itu cukup untukku, meski tidak kurang dan tidak lebih.”
Saat pemuda tadi berpaling, tampak bahwa sarungnya menyentuh tanah, maka `Umar berkata, “Panggil kembali pemuda tadi.”
Kemudian beliau berkata kepada si pemuda
يَا ابْنَ أَخِي، اِرْفَعْ إِزَارَكَ؛ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
“Wahai
anak saudaraku, angkatlah pakaianmu (sampai di atas mata kaki). Sebab
yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan lebih taqwa untuk
Rabbmu.” [Riwayat al-Bukhāri]
Renungkan
kembali ucapan ‘Umar di atas, “Wahai anak saudaraku, angkatlah
pakaianmu. Sebab yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan
lebih takwa untuk Rabbmu.”
Beliau
menganjurkan untuk mengangkat pakaian sarung! Apakah anjuran ini
dilontarkan ketika beliau sedang memakan makanan, buah-buahan dan
manisan?! Tidak, sama sekali tidak. Beliau kemukakan anjuran ini pada
saat beliau sedang berada dalam kondisi yang sangat kritis.
`Umar
yang sedang sekarat mengemukakan hal tersebut pada saat kaum muslimin
tengah merasa ditimpa musibah dan kepedihan yang dahsyat (karena musibah
yang menimpa beliau). Saat kaum muslimin tengah disibukkan dengan
urusan khilafah. Ketika mereka tengah disibukkan dengan kondisi `Umar.
`Umar mengatakan yang demikian pada saat tiga belas orang sahabat
ditikam, tujuh diantaranya meninggal dunia.
Ambillah
pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal dan penglihatan.
Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan Allah Ta’ala.
Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan perintah-perintah
Allah Ta’ala. Jika engkau termasuk orang yang membanggakan `Umar, maka
inilah jalan dan metode beliau.
Beliau
tidak mengotak-ngotakkan agama menjadi kulit dan inti! Demikianlah
wujud ketaatan kepada Allah dalam setiap perintah yang telah sampai
kepada beliau, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah `.
Lihatlah, berapa banyak perintah yang kita tinggalkan dengan dalih tersibukkan oleh jihad!
Betapa
seringnya kita menyanggah orang yang mencegah bid’ah dan kesesatan.
Kita merasa bahwa itu hanyalah sekedar permasalahan-permasalahan parsial
yang menyibukkan kita dari menegakkan hukum Allah di bumi!
Namun, mana jihad yang telah kita realisasikan?! Mana hukum yang telah kita tegakkan?!
Tidak
ada kontradiksi dari perkara-perkara di atas. Karena itu, marilah kita
mempersiapkan diri dengan persiapan yang benar untuk berjihad di jalan
Allah; marilah kita berusaha untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di
bumi; marilah kita mencegah berbagai bid’ah, kesesatan dan kemungkaran;
marilah kita menganjurkan kebaikan serta hal-hal yang ma’rūf, demikian seterusnya. Di manakah letak kontradiksi?!
(Bersambung… in syā-aLlāh)
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment