Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan dalam Tiap Perkara dan Korelasinya dengan Amr Ma’rūf Nahy Munkar 
Sesungguhnya
 nash-nash yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan 
oleh Allah itu sifatnya umum, mencakup seluruh perkara. 
Nabi ` bersabda: 
مَنْ
 رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ 
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلِك 
أَضْعَفُ الْإِيْمَان
“Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya 
dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak
 mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat 
Muslim] 
Berdasarkan
 hadits di atas, seorang muslim wajib mengubah setiap kemungkaran yang 
dilihatnya, sesuai urutan yang sebutkan. Baik kemungkaran tersebut 
berupa pengharaman yang halal, penghalalan yang haram, tindakan yang 
salah, maupun bid’ah dalam agama. Dan, tidak ada satu dalil pun yang 
menggugurkan atau mengecualikan pihak yang menyerukan tegaknya hukum 
Allah sebagai undang-undang dan manhaj hidup dari kewajiban mengubah 
kemungkaran-kemungkaran yang baru saja disebutkan. 
Selanjutnya,
 sesungguhnya umat yang mendidik dirinya sendiri di atas ketaatan dan 
melaksanakan perintah Allah adalah umat yang akan mendapatkan 
keberuntungan berupa kebahagiaan di dua tempat; kebahagiaan khilafah di 
muka bumi dan kebahagiaan surga di akhirat. 
Allah berfirman: 
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
 Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah 
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)  
Disebutkan dalam hadits: 
إذَا
 تَبَايَعْتُمْ بالْعِينَةِ وَأخَذْتُمْ أذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ 
بالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ، سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ 
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إلَى دِينِكُم
“Apabila kalian melakukan transaksi dengan sistem`īnah, mengambil buntut-buntut sapi [yakni, kināyah (perumpaan) tentang kesibukan bercocok tanam yang melalaikan dari jihad, sebagaimana dalam Faidhul Qadīr],
 meridhai pertanian, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan 
kehinaan kepada kalian, Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut 
hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [Riwayat Abū Dāwūd, 
al-Baihaqi dan lain-lain, dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Nabi
 telah menyebutkan sebab-sebab kehinaan dan kekalahan; lantas 
bagaimanakah solusinya? Apakah kita tetap sibuk dengan pertanian dengan 
meninggalkan jihad di jalan Allah? Apakah kita senantiasa bodoh dalam 
agama? 
Solusi dari masalah jelas dan terang: “Hingga kalian kembali kepada agama kalian!” 
(Pertanyaannya,
 dapatkah kita kembali kepada agama jika tanpa diiringi ilmu yang benar?
 Kembali ke agama yang bagaimana? Apakah berdasarkan hawa nafsu atau 
madzhab atau pendapat individu tertentu? Ataukah dengan ilmu yang benar 
yang diambil dari nash al-Qur’ān dan Sunnah yang valid, dengan metode 
pengambilan dalil (istinbāth) yang benar?) 
Ibn ‘Abbās—radhiyaLlāhu ‘anhumā—berkata, “Jadilah rabbāniyyūn,” yaitu orang-orang yang santun, faqīh dan alim. Dikatakan pula bahwa rabbāni adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. 
Maka, menjadi keharusan bagi pihak yang mengajarkan aqidah, tauhid, serta asmā’ wa shifāt (Nama dan Sifat Allah) untuk menjadikan tujuan dari pengajarannya tersebut adalah memberi faedah dan meluruskan ‘aqidah audiences, disertai keyakinan bahwa ini merupakan asas awal dari pondasi bangunan hukum Islam. 
Menjadi
 keharusan bagi orang yang melakukan shalat untuk ikhlas dalam 
shalatnya. Janganlah berkeyakinan bahwa amalan tersebut merupakan fase 
yang terputus dari usaha menegakkan hukum Allah, bahkan ini merupakan 
salah satu pondasi dari proses tegaknya hukum Allah. 
Menjadi keharusan bagi pihak yang meluruskan manhaj ittibā` Nabi e (peneladanan kepada Nabi `) untuk menyadari bahwa efek amalnya tersebut sangat besar bagi usaha menegakkan hukum Allah. 
Tidaklah
 jauh dari ingatan kita bagaimana ayat-ayat al-Qur’ān yang turun sebelum
 tegaknya daulah Islam. Ayat-ayat tersebut memerintahkan Rasulullah ` 
untuk memberi peringatan, melaksanakan shalat malam, dan lain-lain yang 
semisalnya. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Allah mampu menjadikan 
Islam memiliki daulah/negara dan kekuatan meski tidak dibarengi
 semua proses tersebut. Namun, adanya perkara-perkara itu adalah agar 
kita sadar bahwa ada Sunnatullah yang berlaku dalam menegakkan hukum dan
 syariat Allah di bumi, di mana kita tidak mungkin bisa lari darinya. 
Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan Adalah dengan Taat dan Memenuhi Seruan-Nya 
Sunggguh, orang yang mencermati kisah Ibrāhīm u,
 ketika beliau meninggalkan isteri dan anaknya yang masih menyusui di 
suatu tempat yang demikian sepi, tanpa kawan—bahkan tanpa air—dalam 
rangka melaksanakan perintah Allah; niscaya dia akan mendapatkan 
berbagai `ibrah dan pelajaran yang sangat berharga. Ibrāhīm 
melaksanakan perintah Rabbnya dengan meletakkan isteri dan anaknya yang 
masih menyusui di tanah yang sunyi, sepi, dan gersang, tanpa sedikit pun
 memprotes, “Apa hikmah di balik ini? Apa faedahnya perintah ini?” 
Bahkan, beliau segera mentaati dan melaksanakan perintah-Nya. 
Dahulu, Hajar bertanya, “Wahai Ibrāhīm, kepada siapa engkau meninggalkan kami?” Dalam sebagian riwayat al-Bukhāri disebutkan bahwa ia bertanya berulang kali. Namun, Ibrāhīm tidak menoleh kepadanya. 
Akhirnya ia bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melaksanakan hal ini?”
“Ya,” jawab Ibrahim. 
“Jika demikian, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” kata Hajar. 
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku ridha kepada Allah.” 
Isterinya
 tidak berkata, “Masih ada prioritas lain yang lebih penting…. Jika kami
 menemanimu, maka kami akan bermanfaat dalam dakwah kepada Allah. Hal 
ini lebih baik daripada engkau meninggalkan kami di padang pasir yang 
gersang.” 
Demikianlah
 yang seharusnya. Jika kita telah mengetahui adanya perintah dari Allah,
 maka yang bisa kita lakukan adalah taat dan menjawab seruan-Nya. 
Sebagaimana yang terjadi pada Ummu Ismā`īl. Hal ini sampai menyebabkan 
ia berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, antara harapan untuk 
mendapat air dan cemas akan keselamatan puteranya yang sedang 
terengah-engah menghadapi kematian. 
Inilah
 sebenar-benar jihad, kesungguhan dan kesabaran. Lalu, mengapa masih 
menggunakan sudut pandang materialistis? Demi Allah, yang menyebabkan 
umat kita binasa tidak lain adalah sudut pandang dan parameter yang 
rusak ini. 
Hendaklah kita berkata, “Sungguh, inilah ketaatan kepada Allah!”
Lalu manakah buah dari ketaatan dan ketundukan tersebut?
Buah
 dari ketaatan tersebut bukan hanya untuk Ibrahim beserta isteri dan 
anaknya, bahkan untuk seluruh orang yang bertauhid hingga terjadinya 
hari kiamat. Kaum muslimin datang berduyun-duyun dari timur dan barat, 
dalam keadaan gembira dan suka cita. Mereka melakukan sā`i antara Shafā dan Marwah—tempat di mana Ibunda Isma’il melakukan hal yang serupa—untuk melatih diri memenuhi perintah Allah.
 Mereka mencoba merasakan bagaimana dahulu Ibunda Isma’il dahulu 
berlari-lari kecil dalam keadaan susah dan sedih, dalam rangka 
mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya di atas segala sesuatu.
Memancarlah
 air Zam-Zam yang mengandung kesembuhan, berkah, dan keutamaan dengan 
izin Allah, dimana kaum muslimin bersemangat untuk terus-menerus 
memakainya serta membawanya ke tempat tinggal mereka, meskipun jauh 
jaraknya.
Ibrāhīm dan Ismā’īl—‘alaihimas salaam—membangun
 Baitul Haram yang di dalamnya terdapat keutamaan dilipatgandakannya 
pahala shalat, thawaf, terkabulnya doa, dan lain-lain.
Demikianlah (sebagian) buah dari ketaatan dan memenuhi seruan Allah.
Maka
 hendaklah kita menghukumi diri kita dengan memenuhi seruan Allah dan 
menahan diri dari kemaksiatan serta kezhaliman, meskipun zhahir dari 
menjawab seruan Allah tersebut adalah kesukaran, kepayahan, bahkan 
kematian.
Mungkinkah kita termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran dan `ibrah?!
Hal yang sama juga terjadi dalam kisah dihanyutkannya Mūsā ke sungai! 
وَأَوْحَيْنَا
 إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ
 فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ 
وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan
 Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
 terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu 
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami 
akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari 
para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)
Allah
 memerintahkan Ibunda Mūsā untuk menghanyutkan puteranya ke sungai, maka
 tidak ada pilihan baginya selain menjawab seruan-Nya.
Perbuatan
 ini zhahirnya merupakan sikap pengecut—apabila hanya ditinjau dari segi
 rasionalitas. Tidak mendatangkan manfaat bagi Mūsā dan juga Ibunya. 
Namun, ternyata hasil akhirnya adalah hikmah yang tidak pernah terlintas
 dalam benak siapapun.
Buah
 dari menjawab seruan-Nya ini adalah dikembalikannya Musa kepada ibunya,
 agar jiwa ibunya menjadi tenteram, tidak bersedih, dan agar dia yakin 
bahwa janji Allah adalah benar. Buah lainnya adalah diangkatnya Musa 
menjadi salah seorang Rasul yang ūlū’l `azmi.
Oleh
 karena itu, janganlah engkau tanyakan, “Apa faedahnya perintah ini?” 
Namun tanyakanlah, “Apakah Allah memerintahkan aku untuk melakukan hal 
ini? Apakah Rasul-Nya memerintahkan hal tersebut? Adakah nash yang shahih dalam masalah ini?”
Sungguh,
 segala faedah dan kebahagiaan benar-benar terletak pada menjawab 
perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah kepayahan dan kesukaran. 
Sebaliknya, semua kemudharatan dan kesengsaraan terletak dalam 
penyelisihan terhadap perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah 
kesenangan dan kebahagiaan.
Mengapa kisah-kisah tersebut tercantum dalam al-Qur’ān dan Sunnah?
Apakah untuk hiburan dan permainan?
Tentu tidak, namun untuk peringatan, diambil `ibrah-nya, dan untuk mengokohkan hati serta jiwa. 
وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاء الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ 
“Dan
 semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah
 yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Huud: 120) 
Kritik atas Slogan ‘Skala Priortias’ dalam Penegakan Hukum Allah
Berikut
 ini adalah sanggahan bagi mereka yang mengatakan bahwa hal ini hanyalah
 perkara-perkara parsial yang mematikan dakwah kepada tegaknya hukum 
Allah, di mana masih ada perkara-perkara lain yang perlu diprioritaskan.
[Prinsip
 ‘mendahulukan perkara yang terpenting atas perkara yang penting’ dan 
‘skala prioritas’ adalah hal yang tidak dapat diingkari. Namun, kita 
tidak ingin menjadikan kaidah ini sebagai senjata untuk menentang mereka
 yang mengamalkan Sunnah, sehingga pada akhirnya kita mematikan perkara 
yang dianggap terpenting sekaligus perkara yang penting; mematikan 
perkara-perkara yang pokok (ushūl) dan perkara-perkara yang parsial (furū`).
 Akhirnya, tidak ada yang tersisa melainkan sekedar ucapan, simbolisme 
dan nyanyian di atas kehormatan orang-orang mulia yang mengamalkan 
Sunnah. Kemudian, jika memang terdapat sejumlah rintangan yang 
menghalangi kita dari merealisasikan perkara yang dianggap terpenting, 
maka apakah kita juga lantas meninggalkan perkara yang penting?! Bahkan,
 pelaksanaan perkara yang penting akan mengokohkan dan turut andil 
merealisasikan perkara yang dianggap terpenting.
Hendaklah
 yang menjadi fokus kita adalah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuan. 
Seandainya kita memang berada dalam kondisi yang sempit, hanya 
memungkinkan kita melaksanakan satu perkara saja yang kita ketahui, maka
 pada saat itu kita mendahulukan perkara yang dianggap terpenting atas 
perkara yang penting, perkara yang wajib atas perkara yang sunnah, dan 
seterusnya.]
Tidak
 ada suatu perkara—sebesar apapun itu—melainkan adalah bagian dari suatu
 keseluruhan dan cabang dari suatu pokok. Setiap yang universal pasti 
memiliki parsial, dan setiap pokok pasti memiliki cabang. Sampai-sampai 
kalimat syahadat ‘lā Ilāha illaLlāh’ pun hanya merupakan bagian dari dua kalimat syahadat. 
Lebih jelasnya, sebagai berikut:
Sesungguhnya
 keberadaan masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah 
muslim merupakan angan-angan setiap muslim yang berakal. Hal ini 
sebagaimana seseorang yang bercita-cita untuk tinggal dalam suatu istana
 yang megah. Maka bagaimana mungkin dia akan mendapatkan keinginannya, 
jika dia belum memulai membangun istana tersebut?!
Awal
 mula yang harus ia lakukan adalah menggali yang dalam untuk menciptakan
 pondasi bangunan yang kokoh dan kuat. Orang yang mengotak-ngotakkan 
masalah menjadi perkara parsial dan universal; atau masalah pokok (ushūl) dan cabang (furū`),
 adalah seperti orang yang menyanggah pihak lain yang turun untuk 
menggali dan membuat pondasi. Dia berkata, “Mengapa kalian malah turun, 
bukannya naik?! Kalian benar-benar telah memperlambat selesainya 
bangunan ini!”
Atau
 seperti halnya seseorang yang melihat sejumlah besi tergeletak di suatu
 tempat, sejumlah pasir tergeletak di tempat yang lain, sejumlah bata di
 tempat yang lain lagi, dan sejumlah kayu di tempat yang lain lagi, 
kemudian ia mengomel dan menggerutu, “Besi ini tidak akan dapat 
membentuk istana! Pasir ini juga tidak akan membentuk bangunan yang 
diinginkan! Apa yang bisa diperbuat dengan batu bata ini! Ia tidak akan 
menyampaikan kita kepada tujuan dan tidak akan merealisasikan hal-hal 
yang diinginkan! Sungguh jauh pekerjaan mereka dari tujuan yang hendak 
dicapai!”
Padahal,
 jika kita mau mengumpulkan berbagai bagian yang terpisah-pisah tadi 
dengan menambahkan beberapa unsur lainnya, tentulah akan terbentuk suatu
 istana yang megah, sehingga tercapailah cita-cita dan terealisasikanlah
 harapan.
Begitulah
 yang terjadi dengan perkara-perkara yang dinamakan parsial dan cabang. 
Apabila engkau melihat tiap amalan secara terpisah, engkau akan 
meremehkannya, seraya berkata, “Apa andil amalan ini dalam pembangunan 
masyarakat Islam dan tegaknya hukum Allah di muka bumi?!”
Seseorang yang memperhatikan pelajaran tauhid, sedekah yang ringan, shalat dua raka’at, amr ma’rūf nahy munkar,
 berbuat baik, mencegah bid’ah, dan lain-lain; niscaya ia mengatakan 
bahwa ini adalah bagian-bagian yang terpisah-pisah, tidak akan 
menghancurkan masyarakat jahiliyyah dan tidak akan merealisasikan 
bangunan masyarakat Islam. Namun, jika engkau menggabungkan 
bagian-bagian tersebut, engkau jadi yakin bahwa semua itu akan membentuk
 keseluruhan. Totalitas itu dibentuk dari hal-hal tadi. Bagian-bagian 
tersebut—dan bagian-bagian lain yang semisalnya—merupakan bagian dari 
bangunan masyarakat Islami. Semua itu merupakan bagian dari hukum Allah 
dan syariat-Nya.
Sekedar
 bicara tentang komprehensivitas dan kesempurnaan Islam adalah hal yang 
mudah. Namun, sekedar bicara tentang pembangunan istana yang megah tidak 
akan menyebabkan istana tersebut berdiri. Sebagaimana halnya sekedar 
bicara tentang komprehensivitas Islam tidak akan menyebabkan tegaknya 
daulah Islam. Maka dari itu, marilah kita berilmu, beramal, ikhlas, 
sabar, bersungguh-sungguh dan konsekuen.
Alhasil, adanya totalitas itu tidak lain disebabkan adanya bagian-bagiannya. Adanya pokok (ushūl) itu karena adanya cabang-cabang (furū`).
 Bagian-bagian tersebut tidaklah berdiri sendiri, tapi ia bergantung 
dengan sesuatu yang universal. Cabang-cabang tersebut tidaklah 
terpisah-pisah satu dengan lainnya, melainkan ia tersambung dengan 
perkara yang pokok.
Sekiranya
 ada masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah mulia 
dengan menerapkan hukum Allah, maka bagaimanakah gambaran kita tentang 
ciri-ciri keluarga muslim yang ada dalam masyarakat tersebut?
Dalam
 benak kita mungkin terbayang munculnya kesadaran syariah secara ilmiah;
 baik dalam bidang tauhid, fiqh, maupun perilaku; adanya ucapan-ucapan 
yang baik, akhlak yang mulia, mu’amalah yang terpuji; terjaganya 
ketaatan, ibadah dan syi’ar-syi’ar Islam; dikenakannya pakaian yang 
Islami oleh pria dan wanita; adanya pengawasan mutu bagi makanan dan 
minuman yang beredar; dan lain sebagainya, dari perkara-perkara yang 
diperintahkan oleh Allah.
Namun,
 apa yang harus dilakukan jika belum ada khalifah muslim? Apakah semua 
perkara yang tadi disebutkan, atau bagian-bagian yang mudah darinya, 
masih mungkin untuk direalisasikan?
Ternyata,
 semua itu adalah kewajiban dari tiap pemimpin, atau jika engkau mau 
katakanlah ‘penguasa kecil’, yaitu untuk mendidik dirinya, anak-anaknya,
 dan orang-orang yang di bawah kekuasaannya untuk melaksanakan 
perkara-perkara tadi.
Pembicaraan
 ini bukan bermaksud untuk meremehkan masalah khalifah muslim. Tidak 
diragukan bahwa keberadaan khalifah muslim memiliki efek yang sangat 
dahsyat dalam perubahan masyarakat. Namun, pembicaraan kali ini berkisar
 tentang orang yang lisānu’l hāl-nya
 (tindak-tanduknya) seolah-olah memberi perintah untuk mengabaikan amal,
 hanya disebabkan tidak adanya khalifah muslim, sebab menurutnya amal 
tersebut akan melalaikan manusia dari penegakan hukum Allah!
Memang
 benar, terdapat perkara-perkara yang tidak bisa direalisasikan kecuali 
dengan adanya khalifah muslim, di mana tidak seharusnya perkara tersebut
 diabaikan. Namun, ada juga banyak perkara yang dapat direalisasikan 
oleh seluruh rakyat dan masyarakat dengan perjuangan yang keras. Sebab: 
Setiap Orang Adalah Penguasa dan Pemimpin
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah ` bersabda: 
كُلُّ نَفْسٍ مِنْ بَنِيْ آدَمَ سَيِّدٌ فَالرَّجُلُ سَيِّدُ أَهْلِهِ وَالْمَرْأَةُ سَيِّدَةُ بَيْتِهَا
“Setiap
 anak Adam adalah pemimpin. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi 
keluarganya, dan seorang wanita adalah pemimpin dalam rumahnya.”[Hadits 
ini di-takhrīj dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni dalam ash-Shahīhah no. 2401.] 
Disebutkan pula didalam hadits: 
كلُّكُمْ
 رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ: الْإِمَامُ رَاعٍ 
وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتهِ، والرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ 
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوجِهَا 
وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سيِّدِهِ 
وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ …
“Masing-masing
 kalian adalah pemimpin, dan masing kalian-kalian akan dimintai 
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa akan 
dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Seorang pria adalah 
pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban 
terhadap terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah adalah 
pemimpin (pengatur) rumah suaminya, dan ia akan dimintai 
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu 
adalah pemimpin (pengatur) harta majikannya, dan ia akan dimintai 
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.” [Riwayat al-Bukhāri: 893, dan Muslim: 1829.]
Demikianlah,
 setiap orang adalah pemimpin, penguasa, tuan dan wali di dalam 
rumahnya. Dia terkena tanggung jawab besar yang harus dia pikul; baik 
terdapat khalifah muslim ataupun tidak. 
Islam itu terdiri dari simpul-simpul, sebagaimana disebutkan dalam hadits: 
لَتُنْقَضَنَّ
 عُرَى الْإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ 
تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ 
وآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Simpul-simpul
 atau ikatan-ikatan Islam benar-benar akan terurai satu demi satu. 
Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang akan berpegangan dengan 
simpul yang berikutnya. Simpul yang pertama kali terurai adalah hukum, 
dan yang terakhir adalah shalat.” [Riwayat Ahmad, Ibn Hibbān dan al-Hākim, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Jika
 demikian, maka Islam terdiri dari berbagai bagian yang saling 
berkaitan. Hukum termasuk bagian yang terpenting, dan tercakup di 
dalamnya shalat, zakat, haji, dan seterusnya. Maka marilah kita 
benar-benar beramal, bersabar dan konsekuen. 
Setiap
 muslim berkewajiban untuk merealisasikan hukum dengan apa yang Allah 
turunkan terhadap dirinya, keluarganya dan orang-orang yang ia mampu. 
Tidak gugur kewajiban tersebut darinya dengan alasan bahwa ia sedang 
disibukkan oleh dakwah untuk tegaknya hukum Islam sebagai manhaj, aturan
 hidup dan undang-undang negara! 
Terdapat
 beberapa perkara yang pelakunya—atau orang-orang yang berdakwah 
kepadanya—dituduh sebagai orang yang mematikan tegaknya hukum Allah 
sebagai manhaj dan aturan hidup. Contohnya adalah dakwah kepada 
pelurusan aqidah, pemurnian Islam, pembinaan masyarakat di atas Islam 
yang murni tersebut, dan yang semisalnya. 
Sebagai
 misal, mungkin akan Anda dapati perkataan sebagian orang tentang upaya 
meluruskan shaf (dalam shalat jama’ah), “Sekarang ini bukan saatnya 
untuk mengangkat masalah-masalah ini.” Namun, orang-orang yang 
mencermati secara saksama masalah ini niscaya akan mendapatkan realitas 
yang bertolak belakang dengan pernyataan tadi. Sebab Rasulullah ` 
bersabda: 
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskanlah
 shaf kalian dan janganlah kalian berselisih (tidak lurus dalam shaf), 
sehingga hati-hati kalian jadi berselisih.” [Riwayat Muslim: 432.] 
Dari an-Nu’mān Ibn Basyīr, beliau berkata: 
أَقْبَلَ رَسُوْلُ الله `
 عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فقال: أَقِيْمُوْا صُفُوفَكُمْ – ثَلاَثاً – 
وَالله لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيَخَالِفَنَّ الله بَيْنَ 
قُلوبِكُمْ
“Rasulullah menghadap
 orang-orang dengan wajah beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Luruskanlah
 shaf-shaf kalian,’ beliau mengulanginya tiga kali,‘demi Allah, kalian 
benar-benar meluruskan shaf-shaf kalian, atau Allah benar-benar akan 
memperselisihkan antara hati-hati kalian.’” [Riwayat Abū Dāwūd dan Ibn Hibbān, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Nabi
 ` menjelaskan bahwa tidak lurusnya shaf akan menyebabkan perselisihan 
hati. Bukan sebaliknya! Tidak sebagaimana asumsi sebagian orang bahwa 
berbicara tentang meluruskan shaf akan mencerai-beraikan hati kaum 
muslimin dan menyibukkan mereka dari masalah-masalah yang universal. 
Selanjutnya, perselisihan hati tersebut akan menggiring umat ini kepada kegagalan, kebinasaan dan hilangnya kekuatan. 
Allah berfirman: 
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ 
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfaal: 46)
Rasulullah ` bersabda: 
لاَ تَخْتَلِفُوْا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اِخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا
“Janganlah kalian berselisih! Sungguh, orang-orang sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa.” [Riwayat al-Bukhāri: 2410]
Dengan
 menggabungkan nash-nash yang ada, maka maknanya menjadi, “Luruskanlah 
(shaf-shaf kalian) dan janganlah kalian berselisih; sehingga kalian 
mengalami kebinasaan, kegagalan, kehilangan kekuatan, dan kalian akan 
dikalahkan oleh musuh kalian.” 
Adapun
 asumsi sebagian orang bahwa solusi yang tepat dan tegaknya hukum Allah 
tidak akan tercapai melainkan dengan mengabaikan masalah meluruskan shaf
 dan masalah lain yang semisalnya; lalu ia berbicara tentang tata cara 
memerangi musuh dan menanggulangi invasi pemikiran yang rusak; maka hal 
ini dapat diumpakan seperti orang yang memandang bahwa shalat itu lebih 
penting dari puasa dan berbagai perkara lainnya, lantas ia mengingkari 
orang lain yang sedang berbicara tentang urgensi puasa, haramnya 
mu’amalah dengan riba, dan seterusnya, dengan dalil bahwa saat ini 
orang-orang telah menyia-nyiakan shalat dan tidak melaksanakannya 
sebagaimana mestinya. Tentu saja hal ini merupakan kekeliruan. Kewajiban
 yang ada jumlahnya sangat banyak dan beraneka ragam, di mana setiap 
muslim diperintahkan untuk mengerjakan apa yang ia sanggup dari 
kewajiban-kewajiban tersebut.
Tidak
 ada faktor pendorong yang mengharuskan pertentangan suatu kewajiban 
dengan kewajiban lainnya. Jihad di jalan Allah merupakan suatu 
kewajiban, dakwah kepada-Nya merupakan kewajiban, memerangi aqidah yang 
rusak merupakan kewajiban, memerangi ghībah (gunjingan) dan namimah
 (adu domba) merupakan kewajiban, berbakti kepada kedua orang tua 
merupakan kewajiban, dan meluruskan shaf juga merupakan suatu kewajiban.
 Seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban terhadap semua itu, 
sesuai dengan kesanggupannya. 
Adapun
 pernyataan mereka tentang adanya skala prioritas, bahwa ada perkara 
yang sifatnya urgen dan sangat urgen, maka merupakan pernyataan yang 
benar dan baik, jika bertujuan untuk memadukan berbagai ketaatan yang 
ada dan berlomba-lomba dalam kebaikan, dan bukan untuk mematikan amal 
shalih!
Jika pintu keinginan mereka yang sebenarnya itu dibuka, niscaya tidak akan ada lagi amr ma’ruf nahy munkar, melainkan hanya sekedar perkataan, “Hukum Allah! Hukum Allah! Hukum Allah!” 
Hal
 lain yang patut diperhatikan, tidak ada suatu perkara yang urgen 
melainkan akan ada perkara lain yang lebih urgen darinya. Kaidah ini 
tetap berlaku—bahkan dalam masalah dua kalimat syahadat! Sebab bisa jadi
 akan dikatakan bahwa syahadat lā ilāha illaLlāh lebih urgen dibandingkan syahadat muhammadu’rrasulullah. 
Karena
 itu, adanya perkara yang dianggap paling urgen tidaklah mengabaikan 
perkara yang urgen. Namun, dalam kondisi sempit, di mana hanya 
dimungkinkan pelaksanaan satu perkara saja, pada saat itulah kita 
mendahulukan perkara yang dianggap paling urgen atas perkara yang urgen,
 sebagaimana halnya kita mendahulukan perkara yang wajib di atas perkara
 yang sunnah. 
Jika
 kondisinya masih lapang—di mana kondisi ini merupakan hukum asal dari 
permasalahan yang tengah dibahas—maka kita berusaha untuk melaksanakan 
perkara yang paling urgen sekaligus perkara yang urgen sesuai 
kesanggupan kita. Dalilnya adalah firman Allah: 
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 276) 
Juga
 sabda Nabi `: “Siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, 
maka hendaklah ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya; bila 
tidak mampu, maka dengan lisannya; bila tidak mampu juga, maka dengan 
hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat Muslim] 
Dan seharusnya kita pun tidak melupakan kaidah yang berbunyi: 
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِِ
“Tidak boleh mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan.”
Karena
 itu, jika engkau mendengar seseorang tengah menyebutkan sebuah hadits 
palsu, apakah engkau akan menunggu tegaknya hukum Allah sebagai 
peraturan dan undang-undang terlebih dahulu?! Setelah itu barulah engkau
 katakan kepada orang tadi, “Dahulu, beberapa tahun yang lalu, engkau 
pernah menyebutkan sebuah hadits palsu!” 
Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau atau orang tadi tetap hidup sampai saat Islam memiliki daulah/negara?
 Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau dapat mengingat setiap 
kemungkaran yang wajib untuk dicegah, atau setiap perkara yang engkau 
dikenai kewajiban untuk memerintahkan dan menyampaikannya? 
Demikian pula jika engkau melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran; apakah engkau akan menunggu tegaknya daulah/negara
 Islam, setelah itu barulah engkau menghubungi kembali orang tadi dan 
mencegahnya; ataukah engkau segera menerapkan hadits mulia yang baru 
saja disebutkan? 
Kata ‘kemungkaran’ dalam hadits di atas disebutkan secara nakirah (indefinit, bermakna universal). Sebab, kemungkaran tersebut terkadang bentuknya kecil dan terkadang juga besar. 
Demikianlah manhaj para sahabat y
 dalam berdakwah kepada Allah. Sebagai contoh, renungkanlah kisah 
terbunuhnya salah satu khalifah yang bijaksana, ‘Umar bin al-Khaththab. 
Dalam
 riwayat disebutkan: “`Umar dibawa ke rumahnya (setelah peristiwa 
penikaman beliau), maka kami pun pergi bersamanya. Seolah-olah 
masyarakat belum pernah ditimpa satu musibah pun sebelum hari itu. Ada 
yang mengatakan, ‘Tidak mengapa’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Aku 
mengkhawatirkannya’.
Ketika itu, ada yang membawakan nabīdz
 untuk `Umar, maka beliau meminumnya. Namun ternyata minuman tersebut 
keluar lagi dari perutnya. Ada pula yang membawakan susu untuknya. 
Beliau pun meminumnya. Tapi ternyata susu itu pun keluar kembali melalui
 luka tusukannya. Akhirnya mereka menyadari bahwa `Umar tidak lama lagi 
akan wafat.
Kami segera masuk menemuinya. Orang-orang pun berdatangan, kemudian mereka mulai menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Selanjutnya
 datanglah seorang pemuda. Ia berkata, “Bergembiralah wahai Amirul 
Mukminin dengan berita gembira dari Allah untukmu. Engkau telah 
bersahabat dengan Rasulullah `. Engkau termasuk orang-orang yang 
terlebih dahulu masuk Islam—sebagaimana yang kau ketahui. Lalu engkau 
memimpin dan berbuat adil. Dan akhirnya engkau mendapatkan mati syahid.”
`Umar berkata, “Aku harap semua itu cukup untukku, meski tidak kurang dan tidak lebih.”
Saat pemuda tadi berpaling, tampak bahwa sarungnya menyentuh tanah, maka `Umar berkata, “Panggil kembali pemuda tadi.”
Kemudian beliau berkata kepada si pemuda 
يَا ابْنَ أَخِي، اِرْفَعْ إِزَارَكَ؛ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
“Wahai
 anak saudaraku, angkatlah pakaianmu (sampai di atas mata kaki). Sebab 
yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan lebih taqwa untuk 
Rabbmu.” [Riwayat al-Bukhāri] 
Renungkan
 kembali ucapan ‘Umar di atas, “Wahai anak saudaraku, angkatlah 
pakaianmu. Sebab yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan 
lebih takwa untuk Rabbmu.”
Beliau
 menganjurkan untuk mengangkat pakaian sarung! Apakah anjuran ini 
dilontarkan ketika beliau sedang memakan makanan, buah-buahan dan 
manisan?! Tidak, sama sekali tidak. Beliau kemukakan anjuran ini pada 
saat beliau sedang berada dalam kondisi yang sangat kritis. 
`Umar
 yang sedang sekarat mengemukakan hal tersebut pada saat kaum muslimin 
tengah merasa ditimpa musibah dan kepedihan yang dahsyat (karena musibah
 yang menimpa beliau). Saat kaum muslimin tengah disibukkan dengan 
urusan khilafah. Ketika mereka tengah disibukkan dengan kondisi `Umar. 
`Umar mengatakan yang demikian pada saat tiga belas orang sahabat 
ditikam, tujuh diantaranya meninggal dunia.
Ambillah
 pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal dan penglihatan. 
Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan Allah Ta’ala. 
Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan perintah-perintah 
Allah Ta’ala. Jika engkau termasuk orang yang membanggakan `Umar, maka 
inilah jalan dan metode beliau. 
Beliau
 tidak mengotak-ngotakkan agama menjadi kulit dan inti! Demikianlah 
wujud ketaatan kepada Allah dalam setiap perintah yang telah sampai 
kepada beliau, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah `.
Lihatlah, berapa banyak perintah yang kita tinggalkan dengan dalih tersibukkan oleh jihad!
Betapa
 seringnya kita menyanggah orang yang mencegah bid’ah dan kesesatan. 
Kita merasa bahwa itu hanyalah sekedar permasalahan-permasalahan parsial
 yang menyibukkan kita dari menegakkan hukum Allah di bumi!
Namun, mana jihad yang telah kita realisasikan?! Mana hukum yang telah kita tegakkan?!
Tidak
 ada kontradiksi dari perkara-perkara di atas. Karena itu, marilah kita 
mempersiapkan diri dengan persiapan yang benar untuk berjihad di jalan 
Allah; marilah kita berusaha untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di 
bumi; marilah kita mencegah berbagai bid’ah, kesesatan dan kemungkaran; 
marilah kita menganjurkan kebaikan serta hal-hal yang ma’rūf, demikian seterusnya. Di manakah letak kontradiksi?!
(Bersambung… in syā-aLlāh) 
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment