Tulisan berikut ini bersumber dari risalah Syaikh Husain al-’Awāyisyah, yang berjudul: Kaifa Tuhakkim Nafsaka wa Ahlaka wa Man Talī Umurāhum bi Hukmi’Llah
 (cet. pertama, Dār Ibn Hazm, 1423 H), yang saya terjemahkan secara 
bebas pada kesempatan kali ini, dengan mengambil hal-hal yang penting, 
disertai perubahan. 
Risalah
 tersebut sebenarnya sudah lama saya terjemahkan untuk Pustaka Imam 
Asy-Syafi’i dan baru diterbitkan pada tahun 1427 H/Maret 2006 M dengan 
judul: Menerapkan Syari’at Islam dalam Diri, Keluarga dan 
Orang-Orang yang Ada di Dawah Tanggung Jawab Anda, Menurut al-Qur’an dan
 as-Sunnah. 
Pembahasan
 mengenai hukum ‘berhukum dengan selain yang Allah turunkan’—juga 
beberapa pembahasan yang lain—dalam risalah dimaksud sengaja tidak saya 
tampilkan kali ini. In syā-aLlah jika memungkinkan hal tersebut akan saya bahas secara lebih komprehensif pada kesempatan lain secara terpisah. 
Semoga bermanfaat.
Abū Fāris an-Nūri
Isi Risalah:
Dalam
 risalah ini, dijelaskan bahwa berhukum dengan apa yang Allah turunkan 
itu mencakup seluruh individu. Setiap anak Adam adalah penguasa dan 
pemimpin. Sebagaimana halnya setiap penguasa akan dimintai 
pertanggungjawaban tentang rakyat di negaranya, maka masing-masing kita 
juga akan dimintai pertanggungjawaban tentang ‘rakyat’ yang kita pimpin,
 baik di dalam rumah maupun keluarga. Bahkan, sebelum itu semua, 
masing-masing kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang diri kita 
sendiri.
Di
 sisi lain, sungguh, musuh-musuh sedang menyerbu kita, seperti 
orang-orang kelaparan menyerbu piring besar yang berisi makanan. Mereka 
menyerbu kita dengan harta, kemajuan, kekuatan, rencana, makar, 
kekufuran dan kejelekan yang ada dalam diri mereka. Melihat perkara ini,
 sungguh jauh dari bayangan bahwa satu kelompok tertentu dari berbagai 
macam kelompok yang ada akan mampu membendung dan menolak tipu daya 
mereka.
Karena itu, menjadi keharusan bagi kita untuk saling menyatukan hati, sinergi, tolong-menolong, take and give, ilmu yang benar, kerja keras yang bermanfaat, sabar, memerangi hawa nafsu, pengorbanan, keikhlasan dan lain-lain.
Sikap Yahudi dan Nasrani Terkait Hukum Allah
Allah Ta’ālā berfirman tentang kondisi Yahudi dan Nasrani: 
اتَّخَذُواْ
 أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ
 ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً 
لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka
 menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan 
selain Allah, (dan mereka juga mempertuhankan) al-Masīh
 putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang Maha 
Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Maha Suci 
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31) 
Hal ini disebabkan mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Adi Ibn Hātim. Ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi,
 sementara di leherku terdapat sebuah salib dari emas. Maka Beliau 
berkata, ‘Wahai ‘Adi, buanglah berhala tersebut darimu!’ Lalu aku 
mendengar beliau membaca surah Bara-ah (at-Taubah):  
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ 
‘Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah’.” 
Nabi `
 melanjutkan, ‘Ingatlah, sesungguhnya mereka tidak menyembah orang-orang
 alim dan rahib-rahib mereka. Namun, jika orang-orang alim dan 
rahib-rahib tadi menghalalkan sesuatu untuk mereka, mereka pun 
menghalalkannya, dan jika orang-orang alim dan rahib-rahib tadi 
mengharamkan sesuatu untuk mereka, mereka pun mengharamkannya.’” 
[Riwayat at-Tirmidzi. Lihat Shahīh Sunan at-Tirmidzi no. 2471.] 
Disebutkan dalam riwayat yang lain: 
جَاءَ
 عَدِيّ بْنُ حَاتِمٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكاَنَ قَدْ 
دَانَ النَّصْرَانِيَّةَ قَبْلَ الْإِسْلاَمِ، فَلَمَّا سَمِع النَّبِيَّ 
صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ هذِهِ الآيَةَ، قاَلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، 
إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوْهُمْ، فَقَالَ: بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا 
عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ فَاتَّبَعُوْهُمْ، 
فَبِذلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ
“Suatu ketika ‘Adi Ibn Hātim mendatangi Nabi—yang mana ia beragama Nasrani sebelum memeluk Islam. Saat mendengar Nabi ` membaca ayat tersebut, ‘Adi
 menyanggah, ‘Ya Rasulullah, mereka tidak menyembah orang-orang alim dan
 rahib-rahib mereka.’ Nabi ` menjawab, ‘Mereka melakukannya! 
Sesungguhnya orang-orang alim dan para rahib tadi mengharamkan apa yang 
halal untuk mereka, dan menghalalkan apa yang haram untuk mereka, lalu 
mereka pun mengikutinya. Demikianlah ibadah mereka kepada orang-orang 
alim dan rahib-rahib tersebut.’”[Hadits hasan, sebagaimana takhrīj dan pernyataan Syaikh al-Albāni dalam al-Mushthalahāt al-Arba`ah fil Qur-ān, hal. 18-20.] 
Dahulu,
 orang-orang alim dan para rahib mengharamkan yang halal serta 
menghalalkan yang haram, kemudian para pengikut mereka mengambil serta 
menerima hal tersebut, dan Allah Ta’ālā menamakan hal ini sebagai 
ibadah. Perkaranya bukan karena mereka beribadah kepada orang-orang alim
 dan para rahib tadi dengan melakukan shalat, thawaf, dan ibadah-ibadah 
ritual semisalnya. Gambaran seperti itu sungguh jauh dari pikiran. 
Hadits
 yang agung ini memberi kejelasan kepada kita, bahwa berhukum dengan 
selain apa yang Allah turunkan merupakan salah satu bentuk dari ibadah. 
Terkadang, dalam kondisi-kondisi tertentu, seseorang dapat menjadi 
beribadah kepada selain Allah dengan berhukum kepada selain syariat-Nya. 
Bagaimana Menjadikan Hukum Sebagai Milik Allah? 
Jawabnya adalah dengan mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal.
Karena
 itu, menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui perkara-perkara yang 
halal dan yang haram di atas ilmu. Semoga Allah merahmati orang yang 
berkata: 
الْعِلْمُ قَالَ اللهُ قـــــــَالَ رَسُــوْلُهُ
          قَالَ الصَّحَابَةُ لَيْسَ بِاالتَّمْوِيْهِ
مَا الْعِلْمُ نَصْبَكَ لِلْخِلاَفِ سَفَاهَةً
          بَيْنَ الرَّسُوْلِ وَبَيْنَ قَوْلِ فَقِيْهِ
Ilmu adalah perkataan Allah dan perkataan Rasul-Nya
         perkataan shahabat bukanlah sesuatu yang bias
Ilmu itu bukanlah engkau menggeluti masalah yang diperselisihkan
          dengan bersikap bodoh, membandingkan perkataan Rasul  dan faqīh
[Penting untuk dipahami, bahwa pendapat ulama yang merupakan hasil ijtihād
 tidak dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut mengharamkan apa yang 
Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. Bahkan, 
pemilik pendapat tersebut akan mendapatkan ganjaran berdasarkan benar 
atau salahnya pendapat itu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih: 
إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim ber-ijtihād lalu dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika dia salah, maka mendapatkan satu pahala.”] 
Hendaklah
 kita berhukum kepada Allah dalam masalah shalat. Hendaklah kita 
berhukum kepada Allah dalam masalah puasa. Hendaklah kita berhukum 
kepada Allah dalam masalah zakat, haji, perkawinan, jenazah, pakaian, 
makan, minum, urusan pribadi, keluarga, masyarakat, dan umat. Hendaklah 
kita berhukum kepada Allah dalam masalah ekonomi, damai dan perang. 
Hendaklah kita berhukum kepada Allah dalam segenap permasalahan hidup 
kita. 
Dan marilah kita nyatakan secara tegas dan dengan segenap kepercayaan: 
Belumlah berhukum kepada Allah…
Belumlah
 berhukum kepada Allah, orang yang menyerukan tegaknya hukum Islam 
sebagai manhaj dan aturan hidup, namun dia sendiri meninggikan mahar 
puterinya serta berlebih-lebihan dalam persyaratan materi, sehingga dia 
merasa aman dengan masa depan puterinya—menurut pandangannya! 
Belumlah
 berhukum kepada Allah, orang yang menyerukan tegaknya hukum Islam 
sebagai manhaj dan aturan hidup, namun dia sendiri tunduk kepada 
adat-istiadat yang bertentangan dengan agama dalam perkara-perkara yang 
menyenangkan. 
Belumlah
 berhukum kepada Allah, orang yang menyerukan tegaknya hukum Islam 
sebagai manhaj dan aturan hidup, namun dia sendiri mengikuti adat 
masyarakatnya dalam masalah jenazah, karena bodoh atau bersikap masa 
bodoh dengan petunjuk Nabi ` dalam masalah tersebut. 
Belumlah
 berhukum kepada Allah, orang yang menyerukan tegaknya hukum Islam 
sebagai manhaj dan aturan hidup, namun ia sendiri menyelisihi bimbingan 
Nabi ` dalam mayoritas masalah ibadah, mu’amalat, dan perilaku. 
Allah Ta’ālā berfirman: 
إِنِ
 الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ 
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Hukum
 (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
 tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan 
manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40) 
Al-Baghawi dalam Tafsīr-nya mengatakan bahwa makna “ini’l hukm” adalah: “Tidaklah keputusan, perintah dan larangan (melainkan hanya milik Allah semata).” 
Ini’l hukm illā liLlāh (hukum
 itu hanyalah milik Allah semata), baik dalam perkara yang besar maupun 
kecil, sedikit atau banyak, maka keputusan, perintah dan larangan dalam 
perkara tersebut adalah milik Allah semata. Terkadang seseorang 
menyelisihi hukum Allah disebabkan fanatisme keluarga atau kerabat, atau
 disebabkan rasa cinta kepada harta, perniagaan, golongan, jama’ah, atau
 syaikh tertentu, dan bisa juga disebabkan oleh perkara-perkara lain 
yang semisalnya. 
Oleh
 karena itu, maka menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui nash-nash
 yang mengharamkan dan menghalalkan, serta yang memerintahkan dan 
melarang, kemudian kita mengharamkan apa-apa yang telah Allah haramkan, 
kita halalkan apa-apa yang telah Allah halalkan, kita kerjakan apa-apa 
yang telah Allah perintahkan, dan kita larang apa-apa yang telah Allah 
larang. Konsekuensi dari perkara ini adalah bersungguh-sungguh dalam 
bidang ilmu, duduk di samping ahli ilmu, mendalami berbagai macam 
literatur, serta mengambil manfaat dari ulama umat yang terdahulu. Semua
 ini dilakukan sesuai kemampuan dan kesanggupan. Di antara orang-orang 
yang melakukan hal ini ada yang menjadi seorang alim sekaligus pengajar 
dan ada juga yang menjadi penuntut ilmu yang belajar. Barangsiapa yang 
belum menjadi ahli ilmu, maka hendaklah dia sama sekali tidak memberikan
 fatwa atau pelajaran. Namun, hendaklah dia belajar. Dan 
berhati-hatilah, agar engkau tidak termasuk orang-orang yang binasa dan 
justru bertindak sebagai penghalang. 
Signifikansi Selektifitas dan Penelitian Ilmiah dalam Penegakan Hukum Allah
Sungguh,
 realisasi dari ‘berhukum dengan apa yang Allah turunkan’ tidak akan 
pernah sempurna tanpa adanya seleksitifitas, pemilahan, pembahasan, dan 
penelitian ilmiah. Sebab, isi dan pondasi dari agama ini adalah 
perkataan Allah Ta’ālā, Rasulullah `, dan para Sahabat. 
[Hal ini tidak berarti bahwa semua orang dituntut untuk menjadi ulama. Terdapat satu ucapan hikmah yang masyhur: 
إذا أردتَ أن تُطَاعَ فَاطْلُبْ مَا يُسْتَطَاعُ
“Jika engkau ingin ditaati, maka mintalah sebatas kemampuan orang lain.”
Tidaklah
 semua perkara yang disepakati sebagai kebutuhan yang sangat urgen 
lantas diminta kepada setiap orang untuk melaksanakannya. Perkara yang 
tengah kita bicarakan kali ini termasuk fardh kifāyah (harus 
ada yang mengerjakan, tapi tidak harus ditanggung oleh semua orang), 
cukup diwakili oleh orang yang mampu melaksanakannya. Namun, selayaknya 
orang yang tidak mempu melaksanakan mengambil manfaat dari orang yang 
mampu melaksanakan.] 
Memang tidak terdapat kedustaan dalam Kitabullah—al-hamdu liLlāh.
 Namun, kita masih tetap membutuhkan seleksi dan penelitian ilmiah 
seputar tafsir dan takwil yang menerangkan maksud dari firman Allah 
Ta’ālā. Sebab, tidak adanya pelaksanaan hal ini akan menyebabkan 
terjadinya penyimpangan dalam realisasi ‘berhukum kepada Allah’. 
Demikian
 pula dengan Sunnah, seleksi dan penelitian ilmiah terhadapnya merupakan
 suatu keharusan. Sebab, pernyataan kita bahwa Rasulullah ` mengatakan 
begini atau begitu merupakan agama. Jika terdapat kedustaan atas Nabi `,
 maka itu juga merupakan kedustaan atas Allah,
 di mana kedustaan tersebut melahirkan syariat dalam agama yang tidak 
diizinkan oleh Allah. Tidak adanya penelitian ilmiah dalam bidang ini 
akan menyebabkan terjadinya berhukum dengan selain apa yang telah 
diturunkan oleh Allah. 
Sunggguh,
 kita membenci orang-orang atheis dan komunis, tapi setidaknya mereka 
mengakui bahwa mereka sedang memerangi Islam dan menjauh dari Allah I.
 Lalu bagaimana dengan orang yang jauh dari manhaj Allah dan menyelisihi
 jalan-Nya, tetapi ia merasa bahwa ia sedang mendekatkan diri kepada 
Allah Ta’ālā, bahkan berkhidmat untuk Islam?! 
Sungguh Mengherankan Sikap Mereka yang Merendahkan Selektifitas dan Penelitian Ilmiah 
Mengherankan, sungguh sangat mengherankan, perbuatan suatu kaum yang merendahkan orang-orang yang concern dan mengajak kepada manhāj pemurnian, selektifitas, pemilahan dan penelitian ilmiah. 
Menurut mereka hal tersebut merupakan penghalang amal! Namun, amal apa yang mereka maksud? Amal shalih atau amal thālih (buruk)? 
Jika
 yang dimaksud adalah amal shalih maka apa itu amal shalih? Bagaimanakah
 suatu amal menjadi amal shalih? Apakah dengan akal dan hawa nafsu, 
ataukah dengan nash dan riwayat? 
Abū Sulaimān ad-Dārāni
 berkata, “Tidak selayaknya bagi orang yang mendapat ilham dalam suatu 
perkara yang (dianggap) baik untuk langsung mengamalkannya, sehingga dia
 mendengar atsar tentang amalan tersebut. Jika mendengar amalan tersebut
 terdapat dalam atsar maka dia boleh mengamalkannya. Lalu hendaknya dia 
memuji Allah, yang telah menjadikan apa yang ada dalam hatinya sesuai 
dengan atsar.” [Lihat Tafsīr Ibn Katsīr, surah al-`Ankabūt, ayat ke-69.] 
Kitabullah telah menyebutkan tentang amal shalih pada banyak tempat. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ālā: 
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدا
“Maka
 barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia 
mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatupun 
dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahf: 110). 
Imam Ibn Katsīr berkata dalam Tafsīr-nya, “Falya’mal ‘amalan shālihan (maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih), yaitu yang sesuai dengan syariat Allah. Wa lā yusyrik bi ‘ibādati rabbihi ahadan (dan
 janganlah dia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada 
Rabbnya), yaitu perkara-perkara yang dimaksudkan dengannya Wajah Allah 
semata, tiada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun amal yang diterima; 
harus ikhlas untuk Allah semata, dan benar, sesuai dengan syariat 
Rasulullah `.” 
Jika demikian, maka amal shalih adalah yang sejalan dengan syariat Allah.
 Hal ini tidak mungkin terealisir kecuali jika amal itu berada di atas 
syariat (Sunnah) Rasulullah `. Dan Perkara ini tidak mungkin akan 
terlaksana kecuali setelah adanya seleksi dan penelitian ilmiah. 
Karena
 itu, jangan pernah engkau jadikan keinginanmu hanyalah sekedar 
memperbanyak amalan dengan mengabaikan kondisi dan tingkat kesesuaian 
amal tersebut. Sebab, bisa jadi amalan tersebut menyelisihi petunjuk 
Nabi `. Hendaklah engkau jadikan keinginanmu adalah amal shalih yang sesuai dengan syariat Allah. 
(Bersambung… in syā-aLlāh)
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google

Post a Comment