Pemahaman Terhadap Tauhid Asmā’ wa Shifāt dan Korelasinya dengan Penegakan Hukum Allah 
Sungguh,
 orang yang meyakini bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha 
Mengetahui, Maha Kuasa, tidak ada yang serupa dengan-Nya… dan 
seterusnya, merupakan seutama-utama orang yang mengetahui bahwa hukum 
Dzat Yang Maha Mendengar tidaklah sama dengan hukum siapa saja yang 
tingkatan pendengarannya masih di bawah pendengaran-Nya, yang tingkatan 
penglihatannya masih di bawah penglihatan-Nya. Hukum Dzat yang Maha 
Mengetahui tentu tidak sama dengan hukum siapa saja yang ilmunya masih 
di bawah ilmu-Nya. Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan 
Dzat, Nama dan Sifat-Nya, maka tidak ada suatu hukum dan syariat pun 
yang menyamai hukum dan syariat-Nya. 
Termasuk
 kesalahan jika kita memisah-misahkan antara jenis tauhid yang satu 
dengan yang lain, atau kita saling mempertentangkan sebagian nash dengan
 nash yang lain. 
Dari Ibn ‘Umar, ia mengatakan bahwa Rasulullah ` bersabda: 
أَمَا
 إِنَّهُ لَمْ تَهْلِكِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ حَتَّى وَقَعُوْا فِي مِثْلِ 
هذَا يَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، مَا كَانَ مِنْ حَلاَلٍ 
فَأَحِلُّوْهُ وَمَا كَانَ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوْهُ وَمَا كَانَ مِنْ 
مُتَشَابِهٍ فَآمِنُوْا بِهِ
“Ingatlah,
 sesungguhnya orang-orang sebelum kalian tidaklah binasa hingga mereka 
terjatuh dalam perkara yang seperti ini, yaitu mempertentangkan sebagian
 al-Qur’ān dengan sebagian yang lain. (Karena itu), apa saja yang 
(dinyatakan) halal (dalam al-Qur’ān) maka halalkanlah, apa saja yang 
(dinyatakan) haram maka haramkanlah; dan imanilah perkara-perkara yang mutasyābih.” [Riwayat ath-Thabrāni dan lain-lain. Dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Kemaksiatan Merupakan Sumber Timbulnya Penguasa Zhalim dan Fenomena Sikap Berhukum Selain dengan Hukum Allah 
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan bahwa Rasulullah ` bersabda: 
يَا
 مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ 
بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ 
قَطُّ، حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ 
وَالأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ 
مَضَوْا. وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلاَّ أُخِذُوا 
بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ. 
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ 
السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. وَلَمْ يَنْقُضُوا 
عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ، إِلاَّ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ 
عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ. وَمَا 
لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا 
أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Wahai
 orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang jika menimpa kalian (maka 
akan terjadi berbagai bencana, penj), dan aku berlindung kepada Allah 
agar kalian tidak mendapati lima perkara tersebut. (1) Tidaklah tampak 
suatu kebejatan (zina) pada suatu kaum, sampai-sampai mereka 
mengumumkannya (melakukannya secara terang-terangan), melainkan akan 
tersebar thā`ūn dan berbagai penyakit yang sama sekali belum 
pernah terjadi pada orang-orang yang ada sebelum mereka.(2) Tidaklah 
suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan 
ditimpa sinīn (kemarau dan kekeringan), paceklik, dan penguasa 
yang menzhalimi mereka. (3) Tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat 
harta mereka, melainkan hujan dari langit akan tertahan, sekiranya bukan
 karena binatang ternak, tentulah tidak akan turun hujan kepada mereka. 
(4) Tidaklah mereka membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian 
Rasul-Nya, melainkan Allah akan menjadikan musuh-musuh yang bukan dari 
golongan mereka menguasai mereka, lalu musuh-musuh tersebut mengambil 
sebagian dari apa yang ada di tangan mereka. (5) Dan tidaklah para 
pemimpin mereka berhukum dengan selain Kitabullah dan memilih-milih 
sebagian dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah, melainkan Allah akan 
menjadikan permusuhan di antara mereka.” [Riwayat Ibn Mājah, Abū Nu'aim 
dan lain-lain, dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Di
 antara yang disebutkan oleh Rasul ` adalah, “…tidaklah suatu kaum 
mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa kemarau,
 kekeringan, paceklik, dan penguasa yang menzhalimi mereka.” 
Maka dari itu, kemaksiatan adalah penyebab munculnya penguasa yang zhalim dan fenomena berhukum dengan selain hukum Allah. 
Tentang Hukum dan Konfrontasi Pemikiran Tanpa Ilmu
Bagaimana
 mungkin kita menegakkan hukum Allah tanpa ilmu?! Hukum tersebut akan 
berdiri di atas madzhab yang mana? Bukankah hal ini membutuhkan para 
ulama dan penuntut ilmu?! Bukankah hal ini membutuhkan penelitian dan 
selektifitas—sebagaimana yang telah disebutkan?! Bukankah hal ini 
membutuhkan kesungguhan dan kesabaran?! Bukankah hal ini membutuhkan 
implementasi, amalan dan pembinaan?!
Kepada segenap saudara yang menginginkan kebaikan dan keutamaan serta memerangi kerusakan dan penyimpangan: 
Semoga Allah memberkahi Anda atas segala usaha Anda, namun jangan lupa untuk membawa senjata berupa ilmu. 
Dengan
 apa Anda akan menghancurkan keyakinan-keyakinan yang menyimpang? 
Sungguh, demi Allah, Anda tidak akan sanggup melakukannya tanpa ilmu. 
Berapa banyak orang yang mendebat tokoh-tokoh aliran sesat, namun 
akhirnya ia sendiri yang terdesak dan terkalahkan karena kebodohan dan 
sedikitnya ilmu yang ia miliki.
Katakanlah
 Anda dapat menghancurkan aqidah yang menyimpang tersebut, namun 
sudahkah Anda sendiri memiliki aqidah dan manhaj yang benar?
Fenomena Kesombongan dan Pelecehan
Ada
 yang berkata, “Kami menginginkan hukum Allah sebagai manhaj dan pedoman
 hidup,” tapi ia sendiri tidak mengetahui hukum Allah tersebut dalam 
masalah-masalah yang paling ringan. Dia tidak mengetahui hukum Allah 
dalam masalah shalat, puasa, pakaian, pernikahan, jenazah, dan 
seterusnya.
Namun
 anehnya, orang tadi meremehkan ulama berikut karya ilmiah mereka. Dia 
berkata, “Masalah-masalah ini akan melalaikan dari jihad dan usaha 
menegakkan hukum Allah!”
Ada
 juga yang berkata—tatkala mendengar seseorang yang tengah mendakwahkan 
akhlak mulia, “Itu hanyalah perkara-perkara parsial.” Ia juga mengatakan
 hal serupa tatkala mendengar orang lain memperingatkan bahaya bid’ah, 
bahaya hadits yang tidak valid, bahaya meniru orang musyrik, atau saat 
dia mendengar orang lain sedang bicara tentang keutamaan dzikir.
Padahal,
 sebenarnya ia sendiri tidak mampu memilah antara masalah yang sifatnya 
parsial dari yang sifatnya universal, atau masalah cabang dari pokoknya!
Ada
 juga yang berkata saat mendengar sejumlah hukum syar’i, “Hal ini 
melalaikan masyarakat dari memerangi pemikiran-pemikiran materialisme 
yang menyimpang dan konsep-konsep yang rusak.” Namun ternyata, jika 
engkau memintanya untuk menghancurkan sebagian dari pemikiran yang rusak
 tersebut, ia sama sekali tidak mengetahui caranya.
Ada
 lagi yang berkata, “Ini adalah dakwah-dakwah sempalan, sama sekali 
tidak komprehensif. Adapun dakwah kita, maka bersifat komprehensif dan 
sempurna.” Dengan kesimpulan tersebut ia bermaksud mencela dakwah, 
jama’ah, dan ulama yang ada.
Apa
 sebenarnya hakikat dari komprehensivitas itu sendiri? Apa yang 
dihasilkannya dalam ‘aqidah? Apa yang dihasilkannya dalam fiqh? Apa yang
 dihasilkannya dalam politik—yang saat ini marak dibicarakan? Apa yang 
dihasilkannya dalam ekonomi? Apa yang dihasilkannya dalam ilmu perilaku?
 Engkau hampir menjawab bahwa perkara-perkara itu hanyalah dicakup oleh 
kata ‘komprehensif’.
Ada
 pula yang berkata, “Solusi satu-satunya hanyalah dengan adanya khalifah
 yang bijaksana. Semua topik selain topik ini adalah pola pikir yang 
pendek dan cara pandang yang sempit.”
Ada lagi yang berkata, “Jalan kita adalah ittibā` (mengikuti Rasulullah `) dan tidak taqlīd (ikut-ikutan).”
 Tapi setelah engkau perhatikan, ternyata ia hanyalah orang yang fanatik
 dan ikut-ikutan. Ia tidak mengenal ilmu, dan juga tidak dikenal oleh 
ilmu. Ia tidak memiliki pekerjaan lain kecuali membodoh-bodohkan, 
membid’ahkan, dan mengatakan bahwa orang lain sesat, tanpa ilmu dan 
pengetahuan.
Ada
 juga orang yang tindak-tanduknya seolah-olah mengatakan bahwa urusan 
penampilan, seperti pakaian, jenggot, dan lain-lain itu dihukumi 
berdasarkan niat baik dan kesesuaian dengan masyarakat. Adapun hukum 
Allah, maka terdapat dalam perkara-perkara di luar itu.
Ada
 lagi yang berkata tentang sebagian masalah syariat, “Itu hanyalah 
kulit!” Namun ternyata engkau juga tidak melihatnya melakukan perkara 
yang ia anggap sebagai ‘inti’. Ucapan tadi hanyalah sebagai dalih untuk 
terlepas dari sebagian perkara syar’i.
[Demi
 Allah, sungguh mengherankan penyebutan semacam ini, yang menyebabkan 
terjadinya pelecehan terhadap sebagian perkara agama. Betapa indahnya 
ucapan berikut: “Taruhlah kita anggap bahwa penyebutan itu benar, maka 
bukankah isi (inti) itu tidak akan terjaga melainkan dengan adanya 
kulit?”]
Bagi
 mereka yang kerjanya hanya mengkritik, hendaklah ia bertanya kepada 
dirinya sendiri, “Apa yang telah saya berikan bagi diri saya, keluarga 
saya, dan kaum muslimin? Apa amal shalih yang telah saya kerjakan? Apa 
amal buruk yang telah saya tinggalkan?”
Dari Ibn Mas’ūd, dari Nabi `, beliau bersabda: 
لاَ
 يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ 
كِبْرٍ، قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ 
حَسَناً، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ الله جَمِيلٌ يُحِبُّ 
الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidaklah
 masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar atom dari 
kesombongan.” Ada yang berkata, “Sesungguhnya seseorang itu suka jika 
baju dan sendalnya indah.” Rasulullah ` menjawab, “Sesungguhnya Allah 
itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran 
dan meremehkan manusia.” [Riwayat Muslim.] 
Nabi ` juga bersabda: 
ثَلاَثٌ
 مُهْلِكَاتٌ، وَثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ؛ ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ،
 وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ؛ وَثَلاَثٌ 
مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلاَنِيةِ، وَالْقَصْدُ 
فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى، وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
“Ada
 tiga hal yang membinasakan dan ada tiga hal yang menyelamatkan. Tiga 
hal yang membinasakan: (1) Kekikiran yang ditaati. (2) Hawa nafsu yang 
diikuti. (3) Kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Dan tiga hal 
yang menyelamatkan: (1) Takut kepada Allah dalam keadaan 
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. (2) Bersikap qashd (pertengahan, lihat Faidhu’l Qadīr) dalam kondisi fakir maupun kaya. (3) Bersikap adil dalam kondisi marah maupun ridha.” [Lihat ash-Shahīhah no. 1802] 
Renungkan
 bagaimana kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri itu termasuk 
perkara yang membinasakan dan bersikap adil dalam kondisi marah maupun 
ridha itu termasuk perkara yang menyelamatkan. Kita meminta kepada Allah
 untuk menganugerahkan sikap adil kepada kita dalam segala hal, termasuk
 menghukumi berbagai dakwah dan jama’ah, baik dalam dalam keadaan ridha 
maupun marah, serta semoga Allah menolong kita dari hawa nafsu kita. 
Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. 
Akhirnya, mari kita semua merenungkan nash yang mulia berikut ini: 
Dari Mush’ab Ibn Sa’d, dari ayahnya: Tampak bahwa Sa’d mendapat suatu kelebihan dibandingkan sebagian sahabat Rasulullah ` yang lain, maka Nabi ` berkata: 
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا، بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلاَتِهِمْ وَإِخْلاَصِهِمْ
“Sesungguhnya
 Allah menolong umat ini dengan adanya orang-orang lemah dari kalangan 
mereka, (yaitu) dengan doa, shalat dan keikhlasan orang-orang lemah 
tersebut.” [Riwayat an-Nasā'ī dan lain-lain, dinyatakan valid oleh 
Syaikh al-Albāni.]
Disebutkan dalam hadits lain: 
اِبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Sungguh,
 carikanlah untukku orang-orang yang lemah. Sebab sesungguhnya kalian 
mendapat rizki dan pertolongan dengan adanya orang-orang lemah dari 
kalangan kalian.” [Riwayat Abū Dāwūd, an-Nasā'ī, at-Tirmidzi dan 
lain-lain, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.] 
Demikianlah,
 Allah menolong umat ini dengan eksistensi orang-orang lemah. Maka tidak
 layak bagi kita untuk meremehkan dan menyombongkan diri atas mereka. 
Sebab, dengan doa, shalat dan keikhlasan mereka kita mendapatkan 
pertolongan dan rizki—dengan izin Allah. Kita sama sekali tidak layak 
untuk merendahkan suatu amal shalih. Kita juga tidak dibolehkan untuk 
meremehkan suatu kebaikan yang diberikan oleh salah seorang dari kaum 
muslimin, baik sedikit maupun banyak. 
Demikian, semoga ada manfaatnya.

Post a Comment