Terdapat suatu pertanyaan yang cukup menarik dan menggelitik: “Manakah yang lebih afdhal dan utama: orang miskin yang sabar (faqīr shābir) ataukah orang kaya yang bersyukur (ghani syākir)?”
Imam Ibn Taimiyyah berkata, “Banyak dari kalangan kaum muslimin belakangan (muta’akhkhirūn)
berbeda pendapat mengenai orang kaya yang bersyukur dan orang miskin
yang sabar, manakah yang lebih utama dari keduanya. Sebagian ulama dan
ahli ibadah memilih kelompok pertama dan sebagian lain memilih kelompok
kedua. Dan dihikayatkan pula adanya dua riwayat (yang bertolak belakang)
dari Imam Ahmad dalam
hal ini. Adapun para Sahabat dan Tabi`īn, maka tidak terdapat nukilan
dari mereka mengenai pengutamaan salah satu dari dua kelompok tersebut
atas kelompok lainnya.” (Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 119.)
Imam
Ibn Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Banyak orang yang apabila berbicara
tentang pengutamaan (sesuatu atas yang lain) maka ia tidak memperinci (tafshīl)
sisi-sisi pengutamaan (dari objek-objek yang tengah dibicarakan) dan
tidak mempertimbangkan antara sisi-sisi tersebut, sehingga hasilnya
kurang tepat. Jika hal ini ditambah dengan sejenis fanatisme dan hawa
nafsu terhadap individu yang diutamakan, maka yang bersangkutan
berbicara dengan kebodohan dan kezhaliman dalam banyak masalah terkait
pengutamaan. Syaikhu’l Islam Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang
berbagai masalah terkait pengutamaan (sesuatu atas yang lain) maka
beliau menjawab dengan perincian yang memuaskan.” (Badā’i` al-Fawā’id, vol. III, hal. 683.)
Dua riwayat dari Imam Ahmad yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang miskin yang bersabar lebih utama. Riwayat ini dipilih oleh Abū Ishāq
Ibn Syāqilā dan al-Qādhī Abū Ya`lā. Pendapat ini juga dipilih oleh
mayoritas Shūfiyyah dan banyak ahli fiqh. Termasuk dalam kelompok ini
adalah al-Junaid. Di antara alasan yang digunakan adalah, bahwa cobaan
kemiskinan lebih berat untuk dirasakan dibandingkan cobaan kekayaan.
Imam al-Ghazāli berpendapat bahwa secara umum kefakiran lebih afdhal dibandingkan kekayaan [al-Ihyā',
vol. III, hal. 264]. Meski beliau berkata di tempat lain, “Berapa
banyak orang faqir yang bersabar lebih afdhal dibandingkan orang kaya
yang bersyukur. Dan (begitu pula sebaliknya), berapa banyak orang kaya
yang bersyukur lebih afdhal dibandingkan orang faqir yang sabar. Itulah
orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak
memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan
selebihnya ia berikan untuk hal-hal kebaikan.” [Lihat al-Ihyā', vol. IV, hal. 140.]
Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:
يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang
faqir kaum muslimin mendahului orang-orang kaya mereka dalam hal masuk
surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.” [Lihat
Shahīh al-Jāmi` no. 8076.]
Hadits
di atas termasuk dalil yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa
orang faqir yang sabar lebih utama dibandingkan orang kaya yang
bersyukur. Namun, Imam Ibnu’l Qayyim berkata, “Di sini ada perkara yang
harus diperhatikan, bahwa mendahului masuk surga tidak melazimkan orang
miskin lebih tinggi posisinya dibandingkan orang kaya yang belakangan
masuk surga. Bahkan, bisa jadi orang yang belakangan masuk surga lebih
tinggi posisinya dibandingkan yang mendahului. Dalilnya, ada dari umat
ini sekelompok orang yang masuk surga tanpa hisab, yaitu sejumlah 70
ribu orang, sedangkan bisa jadi sebagian orang yang dihisab lebih afdhal
dari kebanyakan mereka. Jika orang kaya dihisab, lalu didapati bahwa ia
adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas kekayaannya dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kebajikan, kebaikan,
sedekah dan hal-hal yang positif, maka ia lebih tinggi derajatnya
dibandingkan orang faqir yang mendahului masuk surga namun tidak
memiliki amalan-amalan tersebut.” [Hādī'l Arwāh, hal. 80]
Kedua: Orang kaya yang bersyukur lebih utama.
Pendapat ini dipilih oleh sejumlah ulama. Di antara tokoh yang memilih
pendapat ini adalah Ibn Qutaibah, Abū’l `Abbās Ibn `Athā’, Abū ‘Ali ad-Daqqāq (guru Abū’l Qāsim al-Qusyairi) dan banyak ulama madzhab Syāfi’i. Mungkin ada sebagian orang yang mengklaim bahwa ini adalah ijmā`
dan itu merupakan kesalahan fatal. Di antara alasan yang digunakan
kelompok ini adalah, bahwa kekayaan merupakan sifat Allah sedangkan
kefakiran merupakan sifat makhluk, sementara sifat Allah tentu lebih
baik dibandingkan sifat makhluk. Mutharrif Ibn ‘Abdi’Llāh berkata,
“Sungguh, aku diberi afiat sehingga aku bersyukur lebih aku sukai
dibandingkan aku diberi ujian sehingga aku bersabar.”
Dari Abū Dzarr, beliau menyebutkan bahwa sebagian Sahabat mengadu kepada Nabi,
يَا
رَسُولَ اللّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ. يُصَلُّونَ كَمَا
نُصَلِّي. وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ
أَمْوَالِهِمْ …
“Ya
Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala-pahala. Mereka shalat
sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami puasa. Namun
mereka memiliki kelebihan harta yang mereka bersedekah dengannya,
sementara kami tidak memiliki harta untuk disedekahkan….” [Riwayat
Muslim dan lain-lain]
Imam an-Nawawi
berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi mereka yang mengutamakan
orang kaya yang bersyukur atas orang miskin yang sabar. Dan dalam
masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan Salaf
dan Khalaf dari berbagai kelompok.” [Lihat 'Aunu'l Ma'būd, vol. IV, hal. 260]
Dalam masalah ini ada pendapat ketiga, dan inilah pendapat yang benar in syā-a’Llāh,
yaitu: tidak dimutlakkan mana yang lebih utama dari kedua kelompok
tersebut, dan yang lebih utama adalah yang paling bertaqwa dari
keduanya. Jika dalam hal ketaqwaan sama maka derajat dan keutamaan
keduanya adalah sama. Pendapat ini dipilih oleh Ibn Taimiyyah, Ibnu’l Qayyim, al-Munāwi, Abū Hafsh as-Suhrawardi dan lain-lain. [Lihat: Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 119-123, Fathu'l Bārī, vol. XI, hal. 275-276, Badā'i` al-Fawā'id, vol. III, hal. 683, dan Faidhu'l Qadīr, vol. II, hal. 288.]
Ibnu’l Qayyim berkata, “Menurut ahli tahqīq dan ma`rifah,
masalah pengutamaan tidaklah terkait dengan hal kefakiran (kemiskinan)
dan kekayaan (itu sendiri). Namun terkait dengan amal, kondisi dan
realitas. Yang dipermasalahkan pun pada dasarnya tidak tepat. Sebab
pengutamaan di sisi Allah terkait dengan taqwa dan hakikat iman, bukan
dengan kefakiran atau kekayaan.” [Madāriju's-Sālikīn, vol. II, hal. 442]
Allah berfirman:
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 13)
إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا
“Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 135)
`Umar Ibn al-Khaththāb berkata,
الْغِنَى وَالْفَقْرُ مَطِيَّتَانِ لاَ أُبَالِي أَيَّتهُمَا رَكِبْتُ
“Kekayaan dan kefaqiran adalah dua tunggangan, aku tidak peduli yang mana dari keduanya yang aku tunggangi.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 123.]
Diriwayatkan dalam hadits qudsi:
إِنَّ
مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْغِنَى وَلَوْ
أَفْقَرْتُهُ لَكَفَرَ وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُحُ
إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْفَقْرِ وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَكَفَرَ وَإِنَّ مِنْ
عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُح إِيْمَانُه إِلاّ بِالسَّقمِ وَلوْ أَصْحَحْته
لَكَفَر وَإِنّ مِنْ عِبَاديْ مَنْ لا يصْلحُ إيمَانُه إِلاَّ بِالصِّحَّة
وَلَوْ أَسْقَمْتُه لَكَفَرَ
“Sesungguhnya
ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali kekayaan.
Sekiranya aku menjadikannya faqir niscaya ia kafir. Ada dari para
hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali kefakiran. Sekiranya aku
menjadikannya kaya niscaya ia kafir. Ada dari para hamba-Ku yang tidak
memperbaiki imannya kecuali sakit. Sekiranya aku menjadikannya sehat
niscaya ia kafir. Ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya
kecuali sehat. Sekiranya aku menjadikannya sakit niscaya ia kafir.
[Hadits ini dinyatakan tidak valid oleh Syaikh al-Albāni dalam adh-Dha`īfah no. 1774, akan tetapi in syā-a'Llāh maknanya dapat dibenarkan.]
Ibn
Taimiyyah berkata, “Terdapat orang-orang kaya di kalangan para Nabi dan
orang-orang terdahulu yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas
orang miskin. (Begitu juga sebaliknya,) di kalangan mereka terdapat
orang-orang miskin yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas
orang kaya. Dan orang-orang yang sempurna menunaikan dua posisi, (yakni)
mereka melaksanakan syukur dan sabar secara sempurna, seperti halnya
kondisi Nabi beserta Abū Bakr dan `Umar.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 120.]
Imam
Ibnu’l Qayyim berkata, “Masing-masing dari orang faqir dan kaya harus
menunaikan sabar dan syukur. Sebab, iman itu terbagi dua, separuh dalam
sabar dan separuh lagi dalam syukur. Bisa jadi bagian kesabaran orang
kaya itu lebih banyak, karena ia bersabar padahal ia mampu (untuk
melakukan hal yang terlarang), sehingga kesabarannya lebih sempurna
dibandingkan orang yang sabar karena ketidakmampuan (yakni orang faqir).
Dan (demikian pula sebaliknya), bisa jadi kesyukuran orang faqir itu
lebih sempurna.” [Madāriju's Sālikīn, vol. II, 442-443.]
Imam al-Munāwi
berkata, “Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tersebut tidak
menyibukkan dan melalaikannya dari Allah, sementara berapa banyak orang
faqir yang kefakirannya menyibukkan dan melalaikannya dari Allah.” [Faidhu'l Qadīr, vol. II, hal. 288]
Di
samping parameter ketaqwaan yang bersifat individual, penting juga
diingat bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
sesamanya.
Dari Jābir, Nabi ` bersabda,
خَيْرُ النّاسِ أَنْفَعُهمْ للنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” [Lihat ash-Shahīhah no. 426.]
Pada
saat sekarang ini, di mana kemiskinan tengah melanda banyak kaum
muslimin di samping invansi musuh dalam berbagai aspek kehidupan. Ada di
antara kaum muslimin yang sampai melakukan kejahatan, bahkan tidak
segan menggadaikan iman disebabkan kemiskinan. Karena itu, kemunculan
konglomerat-konglomerat muslim yang memberikan hartanya untuk membela
dan menegakkan Islam serta membantu sesama muslim menjadi hal yang
sangat urgen.
Demikian, semoga ada manfaatnya. Wa’Llāhu a’lam bi’sh shawāb.
Salam,
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment