* * * * *
"FLATTARD"
Sekiranya kalangan "Flattard" tidak mengaitkan pandangan FE-nya itu dengan atribut, identitas dan wacana keislaman, maka saya sebenarnya tidak terlalu peduli. Toh kalangan "Flattard" itu bersifat lintas agama, yang para pengikutnya terdiri dari lebih dari satu agama, bahkan dari kalangan yang tidak beragama pun ada.
Namun kalau itu dikaitkan dengan hal keislaman, maka wajar bila sebagai muslim, saya pun terusik.
Kalangan "Flattard jaman now" yang demikian itu, bagi saya, merupakan contoh kalangan yang tidak tahu diri dengan kapasitasnya. Mereka tidak sadar kalau mereka itu bukanlah saintis di bidang terkait, dan juga bukan ulama yang otoritatif dalam ilmu-ilmu syariat. Mereka korban Y*utub* yang nekat bicara di luar kompetensinya.
Adapun dari perspektif ulama syarak, maka Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah bahkan mengutip dan mengafirmasi ijmak tentang GE dari Abul-Husain bin al-Munadi. Padahal Ibn Taimiyyah wafat di abad ke-14, atau sekitar 7 abad lalu, sedangkan Abul-Husain bin al-Munadi bahkan wafat di abad ke-10, atau sekitar 11 abad lalu, maka bagaimana lagi kalau keduanya hidup di era satelit abad ke-21 ini?
Ibn Taimiyyah berkata,
"Telah berkata Imam Abul-Husain Ahmad bin Ja'far bin al-Munadi, seorang tokoh ulama yang masyhur dengan pengetahuannya terhadap atsar-atsar dan korpus-korpus besar dalam berbagai disiplin ilmu agama, yang beliau termasuk tingkatan kedua dari pengikut Imam Ahmad: '... begitu pula para ulama telah bersepakat bahwa bumi dengan seluruh pergerakannya, dari daratan dan perairannya, itu seperti bola.'" [Ref.: Majmu' al-Fatawa, vol. XXV, hlm. 195.]
Lebih konyol lagi kalau ada dari kalangan "Flattard" itu yang bahkan sampai taraf "kofar-kafir" kepada kalangan GE, sementara ulama yang ia jadikan acuan dalam masalah keagamaan itu adalah semisal Ibn Taimiyyah, al-Albani, dan lain-lain, yang justru berpandangan GE. Mumet, khann!
Semoga sadar ya, Bro...!
😅😂
22/02/2021
AdniKu
* * * * *
"FLATTARD" (LAGI)
Ikut ulama syarak, semisal Ibn Taimiyyah (bahkan beliau menukil dan mengafirmasi ijmak dalam hal ini), al-Albani, Ibn Baz, Ibn 'Utsaimin, dan banyak lagi seterusnya: GE.
Ikut saintis (di bidang tersebut) yang menghasilkan penemuan-penemuan bermanfaat bagi manusia: GE.
Ikut halu korban yutup yang nggak tahu diri kalau dia bukanlah ulama syarak maupun saintis di bidang tersebut: FE.
Wis, ngono wae...
#ngeyel_anpren
😅😂
(11/03/2021)
* * * * *
Dalam rangka "rekonsiliasi", saya tegaskan bahwa saya akan mendukung para "Flattard" sekiranya mereka mendirikan universitas-universitas atas dasar kredo dan teori mereka, agar selanjutnya bisa menghasilkan sumbangsih penemuan-penemuan hebat yang bermanfaat bagi manusia, sains dan peradaban. Khususnya
dalam bidang-bidang yang berkorelasi dengan teori mereka tersebut
(astronomi, geografi, kartografi, navigasi, aviasi dan seterusnya).
Apakah Anda setuju?
😆😁
(25/03/2021)
* * * * *
“FLATTARD” (Seri Terakhir?)
Bagian 1: Penggagas "Flattard Modern" Bukan dari Kalangan Muslim.
Bagian 2: Penyikapan terhadap Sains dan Penafsiran Wahyu.
* * * * *
Ini mungkin akan menjadi status terakhir saya tentang Flattard, setelah status saya kemarin diributkan secara gagal paham oleh para Flattard (lihat SS). Sebagian mereka juga bergaya memakai diksi “fallacy” ketika berkomentar di status saya kemarin, padahal komentarnya itu nggak nyambung. Sungguh ironis.
😅
Keributan tersebut selanjutnya diketahui oleh istri saya. Lalu ia pun protes: "Lebih baik meributkan bubur diaduk versus tidak diaduk, ketimbang ribut dengan penganut bumi datar."
😅
Maka saya memang tidak merespon lebih lanjut terhadap ocehan para Flattard itu, juga karena mengingat sebuah syair populer yang dinisbatkan kepada Imam al-Syafi'iy:
إِذا نَطَقَ السَفيهُ فَلا تَجِبهُ
فَخَيرٌ مِن إِجابَتِهِ السُكوتُ
“Jika si dungu mengoceh maka jangan diberi tanggapan;
karena respon terbaik untuk itu adalah dengan didiamkan.”
Namun demikian, saya ingin menutup serial status saya tentang Flattard, dengan menguraikan dua topik relevan yang saya anggap perlu diketahui dan/atau diingat, sebagaimana judul di atas.
* * * * *
BAGIAN PERTAMA: Penggagas Flattard Modern bukan dari kalangan muslim.
Penting untuk diketahui dan diingat bahwa penggagas Flattard Modern bukanlah dari kalangan muslim. Hipotesis modern yang mendukung teori bumi datar dicetuskan oleh Samuel Rowbotham (1816–1884), yang berasal dari Inggris, berdasarkan penafsirannya mengenai ayat-ayat tertentu di Alkitab (sekali lagi: bukan Quran). Rowbotham mendirikan Zetetic Society di Inggris dan New York, serta mengedarkan lebih dari seribu eksemplar Zetetic Astronomy.
Setelah Rowbotham meninggal, Lady Elizabeth Blount, istri Sir Walter de Sodington Blount, mendirikan Universal Zetetic Society, menerbitkan majalah The Earth Not a Globe Review, dan terlibat aktif sampai awal abad dua puluh. Namun setelah Perang Dunia II, organisasi ini secara pelan-pelan mengalami kemunduran.
Selanjutnya pada tahun 1956, Samuel Shenton, yang juga seorang non muslim, mendirikan International Flat Earth Society sebagai organisasi penerus dari Universal Zetetic Society. Dia menjalankan organisasi ini dari kediamannya di Dover, Britania. Shenton lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan teknologi alternatif sehingga pada organisasi ini, penekanan pada argumen keagamaan jauh berkurang dibandingkan pendahulunya. Tentu saja yang dimaksud dengan keagamaan di sini bukanlah agama Islam.
Shenton meninggal pada tahun 1971, dan kemudian Charles K. Johnson mewarisi sebagian koleksi perpustakaan Shenton dari istri Shenton. Johnson lalu mendirikan dan menjadi presiden International Flat Earth Research Society of America and Covenant People's Church di California (sekali lagi, perhatikan kata: Church).
Flat Earth Society merekrut anggota dengan cara menentang pemerintah Amerika Serikat dan lembaga-lembaganya, terutama NASA. Sebagian besar literatur organisasi pada masa-masa awalnya lebih berfokus dalam penafsiran Alkitab secara harfiah (sekali lagi: bukan Quran), meskipun mereka juga berupaya memberikan bukti lainnya.
Flat Earth Society mulai mengalami kemunduran setelah terjadinya insiden kebakaran di kediaman Charles K. Johnson pada tahun 1997 yang memusnahkan seluruh catatan dan data kontak anggota Flat Earth Society. Istri Johnson, yang ikut membantu mengelola database, meninggal tidak lama setelah itu. Charles K. Johnson sendiri meninggal pada tahun 2001.
Selanjutnya pada tahun 2004, Daniel Shenton (tidak terkait dengan Samuel Shenton) menghidupkan kembali Flat Earth Society, berdasarkan forum diskusi di internet. Pada bulan Oktober 2009, Flat Earth Society secara resmi didirikan ulang.
Lebih detailnya, silakan baca link berikut: https://en.wikipedia.org/wiki/Modern_flat_Earth_beliefs
Intinya, berdasarkan kronologis sejarah di atas, Flattard Modern bukanlah diinisiasi oleh kalangan muslim, yang juga tentu tidak mendasarkan pandangannya dengan Quran dan Sunnah.
Lantas bagaimana pandangan kaum muslimin, yang direpresentasikan oleh ulama mereka, dalam hal ini? Untuk tidak memperpanjang tulisan, kali ini saya cukupkan dengan pengutipan kembali klaim ijmak dari Imam Abul-Husain bin al-Munadi (w. 336 H), yang diafirmasi oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah (w. 728 H).
Ibn Taimiyyah berkata,
وقال الامام ابو الحسين أحمد بن جعفر بن المنادي من اعيان العلماء المشهورين بمعرفة الآثار والتصانيف الكبار فى فنون العلوم الدينية من الطبقة الثانية من اصحاب احمد ... وكذلك أجمعوا على ان الارض بجميع حركاتها من البر والبحر مثل الكرة
"Telah berkata Imam Abul-Husain Ahmad bin Ja'far bin al-Munadi, seorang tokoh ulama yang masyhur dengan pengetahuannya terhadap atsar-atsar dan korpus-korpus besar dalam berbagai disiplin ilmu agama, yang beliau termasuk tingkatan kedua dari pengikut Imam Ahmad: '... begitu pula PARA ULAMA TELAH BERSEPAKAT bahwa BUMI dengan seluruh pergerakannya, dari daratan dan perairannya, itu SEPERTI BOLA.'" [Ref.: Majmu' al-Fatawa, vol. XXV, hlm. 195.]
Ibn Taimiyyah wafat di abad ke-14, atau sekitar 7 abad lalu, sedangkan Abul-Husain bin al-Munadi bahkan wafat di abad ke-10, atau sekitar 11 abad lalu!
Klaim ijmak di sini memang perlu dikaji lagi tingkat akurasinya. Sebab faktanya memang masih terdapat pandangan, khususnya dari sebagian ulama klasik, yang menyatakan bumi datar. Namun setidaknya klaim ijmak itu merepresentasikan pandangan mayoritas ulama, terutama yang bermetodekan Atsariyyah.
Selanjutnya demikianlah pandangan bumi bola tersebut terwariskan lintas generasi sampai ke ulama kontemporer semisal al-Albani, Ibn Baz, Ibn ‘Utsaimin, dan seterusnya.
Karena itu, saya pribadi dulu tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya muncul sebagian Flattard dari kalangan muslim yang menjadikan ulama-ulama tersebut sebagai rujukan otoritatif dalam beragama.
Well, simpelnya sebagai muslim di era modern ini, kita tinggal memilih untuk mengikuti pandangan ulama Atsariyyah semisal Ibn Taimiyyah, al-Albani, Ibn Baz, Ibn ‘Utsaimin dan seterusnya, atau tercekoki propaganda kalangan Flattard Modern, yang notabene diinisiasi oleh non muslim. Kalau saya pribadi tentu memilih opsi pertama.
Di samping itu, kekonyolan dari para Flattard jenis ini adalah, mereka merasa lebih membela sifat ketinggian (sifat ‘uluww) bagi Allah, dengan menjadi Flattard. Padahal ulama Atsariyyah di atas berpandangan bahwa bumi itu seperti bola sekaligus juga menetapkan dan membela sifat ketinggian Allah dengan argumentasi yang kuat, dan menyanggah kalangan yang menafikan atau menakwilkannya. Apa sebab para Flattard itu menempuh pendekatan yang berbeda? Menurut saya, itu karena para Flattard itu minim literasi, sekaligus tidak tahu diri dengan kapasitasnya.
Saya kira untuk bagian pertama ini saya cukupkan demikian. Adapun uraian kritik secara lebih detail per kasus dari klaim-klaim para Flattard tersebut secara perspektif sains, maka banyak yang telah mengulasnya, silakan dicari via Google atau Youtube.
Selanjutnya saya akan berpindah ke bagian berikutnya, yang saya anggap perlu untuk diketahui, dalam relevansinya untuk memandang isu semisal ini.
* * * * *
BAGIAN KEDUA: Penyikapan terhadap Sains dan Penafsiran Wahyu.
Saya ingin memulai bagian ini dengan kutipan dari Freeman Dyson, seorang fisikawan dan matematikawan teoretikal, yang belum lama ini saya dapatkan dari sebuah grup WA (lihat SS):
“The public has a distorted view of science because children are taught in school that science is a collection of firmly established truths. In fact, science is not a collection of truths. It is a continuing exploration of mysteries.”
Terjemah bebasnya: Masyarakat memiliki pandangan yang keliru tentang sains. Sebab di sekolah anak-anak diajari bahwa sains adalah kumpulan kebenaran yang mapan. Faktanya, sains tidak mesti merupakan kumpulan kebenaran, namun ia merupakan eksplorasi misteri yang berkelanjutan.
Selanjutnya posisi sains terhadap wahyu ditimbang dengan memperhatikan konsiderans di bawah ini. (Sebenarnya bagian ini asalnya adalah tulisan saya lebih dari 10 tahun lalu, yang telah dipublikasikan di blog saya.)
Pertama: Sebagai muslim kita harus meyakini bahwa pada hakikatnya tidak akan pernah terjadi kontradiksi antara ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyyah (hukum alam, yang dikaji oleh sains) dan ayat-ayat Allah yang bersifat wahyu/qauliyyah, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Ta'ala.
Pemahaman yang benar terhadap nas wahyu (Quran dan Sunnah) pasti akan sejalan dengan kesimpulan sains yang benar. Kontradiksi hanyalah terjadi apabila terjadi kesalahan dalam menafsirkan nas wahyu, atau dalam penyimpulan sains, atau pada keduanya sekaligus.
Kedua: Penafsiran individual dari Salaf pada prinsipnya bukanlah hujah. Dalam pembahasan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh, terdapat perbedaan pendapat tentang kehujahan pandangan Sahabat (hujjiyyah qaul al-shahaby), namun mereka sepakat bahwa pandangan individual dari Tabi’in dan generasi setelah mereka bukanlah hujah. Hujah hanya terdapat pada ijmak (konsensus) mereka.
Kemudian penting untuk diingat bahwa tidak semua klaim atau nukilan ijmak itu benar adanya. Banyak klaim ijmak yang setelah diteliti kembali ternyata tidak benar. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Ahmad yang populer:
من ادعى الإجماع فقد كذب وما يدريه لعل الناس قد اختلفوا
“Siapa yg mengklaim ijmak maka sungguh ia telah berdusta. Bagaimana ia mengetahui ijmak, sementara bisa jadi manusia telah berselisih pendapat.” [Lihat misalnya: al-Shawa’iq al-Mursalah, vol. II, hlm. 579]
Ketiga: Dua perkara yang kebenarannya sudah sampai tingkatan qath’iy (pasti benar) tidak mungkin akan saling berkontradiksi. Jika terjadi kontradiksi antara qath’iy dan zhanny (masih relatif, mengandung probabilitas keliru) maka perkara yang zhanny dialihkan kepada yang qath’iy, baik berupa dalil akal atau sains, maupun dalil nas.
Ibn Taimiyyah berkata:
ويمتنع ان يكون فى اخبار الرسول ما يناقض صريح العقول ويمتنع ان يتعارض دليلان قطعيان سواء كانا عقليين أو سمعيين أو كان أحدهما عقليا والآخر سمعيا
“Tidak mungkin pada kabar yg dibawa Rasul (shallallahu ‘alaihi wa sallam) terdapat hal yang bertentangan dengan akal sehat (sharih al-‘uqul). Serta tidak mungkin terdapat dua dalil qath’iy yang kontradiktif, baik keduanya adalah dalil ‘aqly (akal, termasuk sains), atau keduanya adalah dalil sam’iy (Quran dan Sunnah), atau salah satunya merupakan dalil ‘aqly dan yang lainnya adalah dalil sam’iy.” [Ref.: Majmu’ al-Fatawa, vol. XI, hlm. 244.]
Dalam kesempatan lainnya beliau juga berkata,
ان ما ثبت بالأدلة القطعية لا يتعارض ولا يتناقض أصلا، فلا يتعارض دليلان يقينيان أصلا سواء كانا عقليين أو سمعيين أو كان أحدهما عقليا والآخر سمعيا ومن ظن أنهما يتعارضان كان ذلك خطأ منه لاعتقاده فى أحدهما أنه يقينيا ولا يكون كذلك ولا سيما إذا كانا جميعا غير يقينيين
“Sesungguhnya apa yang telah valid dengan dalil-dalil yang pasti benar maka tidak mungkin akan saling berkontradiksi dan saling menegasikan. Tidak mungkin dua dalil yang bersifat pasti benar tapi kemudian bertentangan, baik kedua dalil itu bentuknya dalil ‘aqly (akal), atau keduanya merupakan dalil sam’iy (Quran dan Sunnah), atau salah satunya dalil ‘aqly sedangkan yang lain adalah dalil sam’iy. Siapa yang menyangka bahwa keduanya bertabrakan, maka berarti ia keliru, karena ia menyangka salah satu dari kedua dalil tersebut bersifat pasti, padahal tidak demikian faktanya. Terlebih apabila faktanya kedua dalil itu ternyata sama-sama belum mencapai level kebenaran yang pasti.” [Ref.: Majmu’ al-Fatawa, vol. XII, hlm. 212-213.]
Penting untuk diingat bahwa hal-hal yang ditangkap oleh indera pun belum tentu mencapai derajat qath’iy (pasti benar). Contoh mudahnya, apabila kita celupkan pensil ke dalam gelas berisi air, terlihat oleh kita bahwa pensil itu patah. Faktanya tentu saja tidak demikian halnya. Begitu pula dengan peristiwa fatamorgana di padang pasir atau permukaan aspal yang tampak berair ketika panas terik di siang hari. Intinya, sebagaimana sesuatu yang ditangkap oleh indera itu belum tentu benar, maka demikian pula halnya dengan teori, hipotesa, atau asumsi.
Keempat: Banyak dari kesimpulan sains yang sifatnya masih relatif (zhanny), begitu pula halnya dengan penafsiran terhadap nas-nas wahyu. Meskipun tidak dipungkiri bahwa ada sebagian kesimpulan sains dan penafsiran terhadap nas-nas wahyu yang tingkat kebenarannya telah bersifat qath’iy.
Contoh dari teori sains yang bersifat relatif dan berubah seiring waktu adalah tentang asal muasal kehidupan. Dahulu terdapat teori bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk tak hidup, atau yang dikenal dengan teori abiogenesis, sebagaimana dianut oleh Aristoteles. Hal ini kemudian disanggah oleh percobaan Schultze pada 1836, dan Schroeder dan Dusch pada 1854, serta Louis Pasteur tahun 1865, yang membuktikan bahwa tidak ada kehidupan baru dari benda mati. Maka muncullah sebuah kredo yang populer: omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo (kehidupan itu berasal dari telur, dan telur itu berasal dari sesuatu yang hidup). Setelah itu kemudian muncul lagi teori abiogenesis modern, bahwa makhluk hidup berasal dari senyawa asam amino. Contoh lainnya, untuk sekian lama ilmuwan kita dahulu menganggap bahwa Pluto adalah planet kesembilan dalam tata surya kita, namun hal itu kemudian dibantah, dan pada tahun 2006 Pluto dinyatakan bukanlah planet sebagaimana sebelumnya. Contoh perubahan kesimpulan sains semacam ini sangatlah banyak.
Demikianlah banyak dari kesimpulan sains yang bersifat relatif dan memungkinkan untuk disanggah dari waktu ke waktu, sebagaimana halnya pula dengan penafsiran terhadap nas-nas wahyu. Karena itu diperlukan pemilahan terhadap keduanya, mana yang level kebenarannya telah bersifat pasti dan mana yang masih sebatas dugaan; mana yang masih debatable dan mana yang telah disepakati. Tentunya hal itu dilakukan dengan memperhatikan otoritas dan standar ilmiah yang berlaku pada bidangnya masing-masing.
Allahu a’lam. Semoga bermanfaat.
26/03/2021
AdniKu
══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══
📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas
📋 Telegram: t.me/faidahringkas
🌐 Blog: adniku.blogspot.com
📷 IG: instagram.com/adniku
🎙 Twitter: twitter.com/adniku
📱 FB: facebook.com/adni.ku
Lampiran Status FB 22/02/2021 |
Lampiran Status FB 11/03/2021 |
Lampiran Status FB 11/03/2021 |
Lampiran Status FB 26/03/2021 |
Lampiran Status FB 26/03/2021 |
Post a Comment