Beberapa hari lalu paman istri menelepon saya untuk mendiskusikan rencana mencarikan pasangan bagi anaknya. Di antara hal yang diobrolkan adalah tentang opini saya terhadap berbagai syarat dan kriteria tambahan di samping agama dan akhlak calon pasangan, seperti: penampilan fisik, strata pendidikan, dan seterusnya.

Saya menyampaikan bahwa tambahan berbagai syarat dan kriteria semacam itu pada prinsipnya boleh dan tidak masalah secara syariat. Faktanya, selera dan kriteria yang mendorong seseorang untuk menyukai calon pasangannya itu berbeda-beda antara masing-masing individu.

Misalnya terkait kriteria fisik. Jangankan dalam proses menuju pernikahan, bahkan bagi yang sudah menikah pun syariat memperkenankan seorang istri untuk mengajukan pisah dengan suaminya, apabila ia tidak bisa mencintai suaminya karena alasan fisik yang belum sesuai dengan selera kriterianya, sekalipun agama dan akhlak sang suami tidak bermasalah.

Begitu kira-kira ringkasnya yang saya sampaikan. Lebih detailnya adalah sebagaimana uraian di bawah ini.

Dari Ibn ‘Abbas, beliau berkisah,

جاءت امرأة ثابت بن قيس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله إني لا أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني لا أطيقه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (فتردين عليه حديقته). قالت نعم


“Istri Tsabit bin Qais mendatangi Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mencela Tsabit perihal agama maupun akhlaknya. Namun saya tidak mampu (hidup bersama) dengannya.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu kembalikanlah kebunnya (yang sebelumnya dijadikan mahar pernikahan).’ Ia menjawab, ‘Baiklah.’” [HR al-Bukhary no. 4972.]

Dalam redaksi riwayat lainnya, istri Tsabit berkata,

ما أعتب عليه في خلق ولا دين ولكني أكره الكفر في الإسلام


“Saya tidak mencela perihal agama maupun akhlak Tsabit, namun saya membenci kekufuran dalam Islam.” [HR al-Bukhary no. 4971.]

Istri Tsabit tersebut bernama Jamilah binti Ubay bin Salul. Sementara Tsabit bin Qais bin Syammas adalah orator (khatib) Nabi dari kalangan Anshar dan bahkan termasuk orang yang dijamin masuk surga. [Ref.: ‘Umdatul-Qari, vol. XX, hlm. 262-263 dan Faidhul-Qadir, vol. IV, hlm. 400.]

Ketika menjelaskan hadis di atas, al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan riwayat bahwa Tsabit bin Qais itu wajahnya jelek, kulitnya hitam dan posturnya pendek. Adapun terkait ucapan istrinya: “Saya membenci kekufuran dalam Islam”, maka maksudnya adalah isyarat tentang ketidaksukaannya yang sangat kepada Tsabit, sehingga ia khawatir mendurhakai suami dan tidak mampu menunaikan haknya. Karena itulah ia ingin berpisah. [Ref.: Fathul-Bari, vol. IX, hlm. 401.]

Pada kisah tersebut, Nabi tidak mengkritik istri Tsabit, misalnya dengan mengatakan: Kenapa ingin pisah, padahal Tsabit adalah calon penghuni surga? Bahkan Nabi mengakomodasi keinginan istri Tsabit.

Dengan demikian, pada prinsipnya syariat mengakomodasi perbedaan selera individu dalam memilih kriteria pasangannya, selama itu bukan hal yang memang diharamkan.

Selera, persyaratan dan kriteria ketika seseorang memilih pasangan itu mirip dengan saat ia memilih makanan. Jika ia suka makan gado-gado dan tidak suka makan bakso, misalnya, maka janganlah ia dipaksa untuk makan bakso, bukankah semestinya demikian?

Sebagian orang prioritas seleranya adalah dalam hal fisik atau kecantikan. Sebagian lainnya memprioritaskan kriteria kecerdasan, atau keturunan, atau kemapanan, dan seterusnya. Hal ini berlaku untuk pria dan wanita.

Terkait kriteria untuk memilih pasangan wanita, Nabi bersabda:  

تُنْكَحُ المَرْأةُ لأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ الدين تَرِبَتْ يَدَاك


Wanita dinikahi karena empat perkara: karena (1) hartanya, (2) martabatnya, (3) kecantikannya, dan (4) agamanya. Maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya, niscaya engkau beruntung dan tidak merugi.” [HR al-Bukhary no. 4802 dan Muslim no. 1466.]

Setidaknya ada dua pendapat di kalangan ulama dalam memahami hadits tersebut:

Pendapat Pertama: Hadits itu sekadar memaparkan realita yang terjadi di masyarakat, bahwa faktanya wanita dinikahi karena empat kriteria tersebut. Adapun kriteria yang dianjurkan dalam menikahi wanita hanyalah karena kebaikan agamanya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Nawawy. [Lihat: Syarh Shahih Muslim, vol. X, hlm. 51-52. Pendapat ini juga diisyaratkan oleh al-Syaukany dalam Nailul-Authar, vol. IX, hlm. 234.]

Pendapat Kedua: Hadits ini menunjukan bahwa seorang pria dianjurkan untuk mencari istri dengan memperhatikan empat kriteria tersebut (harta, martabat, kecantikan dan agama). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Hafizh Ibn Hajar. Beliau berkata, “Sabda Nabi: ‘karena kecantikannya’ merupakan dalil bahwa dianjurkan untuk menikahi wanita yang jelita. Kecuali jika terjadi kontradiksi pilihan antara wanita yang cantik tapi tidak salehah dan wanita yang salehah namun tidak cantik (maka diutamakan yang salehah meskipun kurang cantik). Jika keduanya sama dalam hal kasalehan maka yang cantik lebih utama (untuk dinikahi).” [Ref.: Fathul-Bari, vol. IX, hlm. 135].

Ibn Qudamah juga berkata,

ويختار الجميلة لأنها أسكن لنفسه وأغض لبصره وأكمل لمودته ولذلك شرع النظر قبل النكاح


“Hendaklah seorang pria itu memilih wanita yang cantik agar dirinya lebih tenteram, ia lebih bisa menundukkan pandangannya, dan kecintaannya (mawaddah) lebih sempurna. Karena itulah disyariatkan nazhar (melihat calon istri) sebelum dinikahi.” [Ref.: al-Mughni, vol. VII, hal. 468.]

Namun sejumlah ulama tidak suka dan tidak merekomendasikan untuk menikahi wanita yang terlalu cantik. Karena dikhawatirkan terjadinya kesewenangan pada diri sang istri serta perendahan terhadap sang suami. [Ref.: Faidhul-Qadir, vol. III, hlm. 271.]

Terkait kriteria kecantikan tersebut, Imam Ahmad menganjurkan agar seorang pria bertanya terlebih dahulu tentang kecantikan wanita yang hendak dilamarnya. Ketika kecantikan tersebut sesuai dengan kriteria yang diinginkan barulah setelahnya ia bertanya tentang kondisi keagamaannya. Jadi kalaupun sang pria menolak, maka ia menolak karena alasan kecantikan, dan ia terhindar dari menolak wanita yang keagamaannya baik namun kecantikannya kurang memenuhi kriteria, sehingga ia justru terkesan mendahulukan kecantikan dibandingkan agama. [Ref.: Syarh Muntahal-Iradat, vol. II, hlm. 623.]

Penetapan kriteria, syarat dan selera tentunya tidak hanya berkaitan dengan pihak pria. Hal tersebut juga berlaku untuk pihak wanita, sebagaimana kisah istri Tsabit bin Qais di atas.

Dalam hal kriteria pasangan, terdapat semacam aforisme yang berbunyi, “Wanita itu umumnya menyukai kemapanan, sebagaimana halnya pria itu umumnya menyukai kecantikan.”

Kriteria dan syarat dari pihak wanita antara lain dalam bentuk penetapan nilai mahar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا


Sedangkan kamu telah memberikan (mahar) kepada seseorang di antara istri-istrimu dengan harta yang banyak.” [QS al-Nisa`/4: 20]

Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir membawakan kisah pembatasan mahar oleh ‘Umar bin al-Khatthab di era kekhilafahannya: “’Umar menaiki mimbar Rasulullah (di masjid Nabawi), lalu berkhotbah: ‘Wahai manusia, betapa banyak kalian memberi mahar bagi wanita. Padahal dahulu mahar Rasulullah dan para Sahabatnya sebesar 400 dirham atau kurang dari itu. Sekiranya memperbanyak mahar itu merupakan bentuk takwa kepada Allah, NISCAYA MEREKA AKAN MENDAHULUI KALIAN. Karena itu, aku melarang pemberian mahar lebih dari 400 dirham.’ Ketika ‘Umar turun mimbar, seorang wanita Quraisy menyanggahnya, ‘Wahai Amirul-Mukminin, apakah engkau melarang manusia dari memberi mahar lebih dari 400 dirham?’ ‘Umar menjawab, ‘Benar.’ Wanita itu melanjutkan, ‘Tidakkah engkau menyimak apa yang Allah turunkan dalam Quran?’ ‘Umar menjawab, ‘Yang mana?’ Wanita itu berkata, ‘Tidakkah engkau menyimak bahwa Allah berfirman (yang artinya): Sedangkan kamu telah memberikan (mahar) kepada seseorang di antara istri-istrimu dengan harta yang banyak.’ [QS al-Nisa`/4: 20] ‘Umar menjawab, ‘Ya Allah, ampunilah aku. Tiap orang lebih faqih dibandingkan ‘Umar.’ Kemudian ‘Umar pun kembali naik mimbar dan berkata, ‘Sesungguhnya aku tadi melarang kalian memberi mahar lebih dari 400 dirham. Adapun saat ini maka terserah masing-masing individu untuk memberi dari hartanya sesuai yang ia sukai.’”

Setelah menukilkan kisah di atas, al-Hafizh Ibn Katsir memberikan penilaian bahwa sanad kisah tersebut bagus (jayyid). Dengan asumsi harga dirham saat ini setara Rp70 ribu, maka maka mahar senilai 400 dirham kira-kira setara dengan Rp28 juta. Kisah pembatasan mahar oleh ‘Umar itu juga disahihkan oleh al-Albani, namun untuk bagian sanggahan terhadap ‘Umar oleh seorang wanita, maka beliau menilai tambahan kisah tersebut sanadnya lemah. [Ref.: artikel beliau berjudul Haulal-Mahr dipublikasikan oleh majalah al-Tamaddun al-Islamy, vol. XXVIII, hlm. 514-519.]

Besarnya mahar adalah hak pihak wanita dan syariat pada prinsipnya tidak menetapkan batasannya. Namun demikian, syariat menganjurkan untuk tidak memberatkan mahar. Berlebihan dalam meninggikan mahar dalam pernikahan itu hukumnya makruh, sebagaimana disimpulkan oleh Ibnul-Qayyim dalam Zadul-Ma’ad, setelah beliau membawakan hadis-hadis seputar meringankan mahar.

Nabi bersabda,

خير الصداق أيسره


Sebaik-baik mahar adalah yang paling memudahkan.” [HR al-Hakim no. 2742 dan al-Baihaqy no. 14110, serta dinilai valid oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3279.]  

Bahkan Nabi menikahkan puteri beliau, Fathimah dengan ‘Ali bin Abi Thalib, dengan mahar baju besi milik ‘Ali. [HR al-Nasaiy no. 3175 dan Abu Dawud no. 2125, serta dinilai valid oleh al-Albani.]

Selanjutnya, kisah lainnya yang berkaitan dengan selera dan kriteria pasangan dari pihak wanita adalah kisah Barirah dan Mughits.


Dari Ibn ‘Abbas, beliau bertutur, “Dahulu Barirah memiliki suami bernama Mughits, yang ia adalah seorang budak hitam. Saya ingat Mughits pernah mengekor Barirah sambil menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Maka Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata kepada ‘Abbas (ayahku), ‘Wahai ‘Abbas, tidakkah engkau takjub dengan KECINTAAN MUGHITS KEPADA BARIRAH dan (sebaliknya) KETIDAKSUKAAN BARIRAH KEPADA MUGHITS?’ Selanjutnya Nabi berkata kepada Barirah, ‘Kalau saja engkau rujuk kembali kepada Mughits.’ Barirah menanggapi, ‘Ya Rasulullah, apakah ini perintah?’ Nabi menjawab, ‘Aku (sekadar) melakukan mediasi.’ Barirah menjawab, ‘Aku tidak berhajat kepadanya.’” [HR al-Bukhary no. 4979.]

Pada saat itu Mughits masih berstatus budak, sementara Barirah telah merdeka. Barirah lalu diberi pilihan untuk tetap bersuamikan Mughits, ataukah memfasakh pernikahannya. Barirah memilih untuk memfasakh pernikahannya dan berpisah dengan Mughits, sekalipun Mughits masih sangat mencintainya dan Nabi memediasi agar keduanya dapat kembali bersama. Namun ternyata akhirnya cinta Mughits kepada Barirah itu hanyalah bertepuk sebelah tangan.

Ibn Hajar menjelaskan, “Di antara pelajaran hadis ini, apabila seseorang memilih salah satu dari dua perkara yang mubah, yang dianggap lebih bermanfaat untuknya, maka ia tidak tercela. Sekalipun hal tersebut mengecewakan pasangannya.” [Ref.: Fathul-Bari, vol. IX, hlm. 413.]

Di antara syarat dan kriteria lainnya yang bisa diberlakukan oleh pihak wanita kepada calon suaminya, menurut pendapat sejumlah ulama, adalah syarat untuk tidak dipoligini. Apabila pihak pria menerima syarat tersebut maka ia harus memenuhinya. Begitu juga ketika sang wanita mensyaratkan untuk tidak pindah domisili dan semisalnya. Demikianlah pendapat pilihan Imam Ahmad, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyyah, Ibn Baz, Ibn ‘Utsaimin, dan lain-lain. Jika pihak pria melanggar, maka sang wanita berhak untuk memutus (mem-faskh) pernikahan. [Adapun pendapat lainnya menyatakan bahwa syarat untuk tidak dipoligini adalah persyaratan yang batil dengan sendirinya, karena poligini merupakan perkara yang diperkenankan oleh syariat, sedangkan pernikahan tersebut tetap sah. Ini adalah pendapat dalam mazhab Hanafy dan Syafi’iy, sebagaimana disebutkan antara lain oleh al-Sarakhsy dalam al-Mabsuth dan al-Nawawy dalam al-Raudhah.]

Intinya, pernikahan itu dibangun di atas kerelaan oleh kedua belah pasangan. Karena itu, masing-masing pihak, baik pihak wanita maupun pria, dapat menetapkan kriteria dan syarat sesuai dengan selera dan kemaslahatannya. Hal itu pada prinsipnya diakomodasi oleh syariat, selama tidak memuat perkara yang haram. Jika calon pasangan ditolak karena ia belum memenuhi kriteria yang diinginkan, maka hendaklah ia berbesar hati dan mencari kandidat lainnya yang sesuai pemenuhan kriterianya.

Misalnya, seorang gadis memublikasikan foto mobil dan produk-produk yang branded, maka bisa jadi itu merupakan sinyal bahwa seperti itulah kriteria kemapanan yang ia persyaratkan bagi calon pasangan untuk standar hidupnya kelak. Bolehkah persyaratan semacam itu? Ya, boleh-boleh saja secara syariat. Ayah gadis itu mungkin telah menjaganya dari berbagai kesusahan serta memanjakannya dengan berbagai fasilitas. Lalu tiba-tiba muncul pria asing yang mengajaknya untuk bersama-sama hidup susah? Sangatlah wajar kalau pria itu ditolak. Itu merupakan hak pihak wanita untuk menolak. Pihak pria hendaklah berbesar hati. Begitu pula halnya kalau pihak wanita akhirnya memilih untuk menerima, dengan menurunkan kriteria persyaratannya, maka itu pun merupakan haknya.

Sebagai penutup, kiranya perlu ditegaskan kembali bahwa bagaimana pun kriteria yang terpenting sebelum kriteria-kriteria tambahan lainnya adalah kualitas agama dan akhlak yang baik. Sebab itulah sumber utama ketentraman dan kelanggengan dalam rumah tangga. Suatu ketika al-Hasan pernah ditanya, “Kepada siapa aku akan menikahkan anakku?” Beliau menjawab,

زوجها من يخاف الله فإن أحبها أكرمها وإن أبغضها لم يظلمها


“Nikahkanlah anakmu kepada seseorang yang bertakwa kepada Allah. Sehingga apabila ia dalam kondisi mencintai anakmu, maka ia akan memuliakannya. Kalaupun ia dalam kondisi tidak suka terhadap anakmu, maka ia tidak akan berbuat zalim kepadanya.” [Ref.: al-‘Iyal, karya Ibn Abid-Dunya, vol. I, hlm. 273.]

Allahu a’lam.

24/03/2021
AdniKu

══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══

📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas
📋 Telegram: t.me/faidahringkas
🌐 Blog: adniku.blogspot.com
📷 IG: instagram.com/adniku
🎙 Twitter: twitter.com/adniku
📱 FB: facebook.com/adni.ku 


Foto: Pixabay




Post a Comment

 
Top