Ketika membaca tulisan berjudul Cinta dalam Diam di bawah ini, yang paling menarik perhatian saya adalah quote berikut: “Semua pecinta punya cara yang berbeda untuk menikmati indah dan sakitnya rasa.”
Itu mengingatkan saya terhadap kisah cinta ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnul-Qayyim dalam bukunya, al-Da` wad-Dawa` (uraian menarik beliau seputar hal ini ada di hlm. 324-355, tahqiq Syaikh ‘Ali al-Halabi).*
Sebelum saya kutipkan kisah cinta ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz tersebut, maka saya akan kutipkan terlebih dahulu beberapa bagian relevan yang saya anggap menarik, sebelum maupun sesudah penyebutan kisah ‘Umar dimaksud, secara tidak berurutan.
Ibnul-Qayyim berkata:
فَمَا فِي الْأَرْضِ أَشْقَى مِنْ مُحِبٍّ ... وَإِنْ وَجَدَ الْهَوَى حُلْوَ الْمَذَاقِ
تَرَاهُ بَاكِيًا فِي كُلٍّ حِينٍ ... مَخَافَةَ فُرْقَةٍ أَوْ لِاشْتِيَاقِ
فَيَبْكِي إِنْ نَأَوْا شَوْقًا إِلَيْهِمْ ... وَيَبْكِي إِنْ دَنَوْا خَوْفَ الْفِرَاقِ
فَتَسْخَنُ عَيْنُهُ عِنْدَ الْفِرَاقِ ... وَتَسْخَنُ عَيْنُهُ عِنْدَ التَّلَاقِي
Tiada di dunia lebih sengsara dibanding pecinta
meskipun ia dapatkan cinta itu manis rasanya
Kau melihatnya menangis setiap waktu
entah karena takut berpisah atau karena rindu
Jika kekasihnya jauh maka ia menangis karena kerinduan
jika kekasihnya dekat ia menangis karena takut perpisahan
Matanya hangat oleh air mata saat perpisahan
juga hangat oleh air mata ketika pertemuan
Seseorang berkata kepada Yahya bin Mu’adz al-Razi, “Anakmu sedang jatuh cinta kepada Fulanah.” Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah yang membuatnya memiliki tabiat manusia normal.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Jatuh cinta itu melatih jiwa dan mengatur akhlak. Menampakkannya itu sejalan dengan tabiat dan menyembunyikannya adalah sikap yang dibuat-buat.”
Ishaq bin Ibrahim berkata, “Roh orang-orang kasmaran itu lembut dan wangi. Badan-badan mereka ringkih. Wisata mereka adalah kedekatan. Perkataan mereka menghidupkan hati yang mati serta menajamkan logika. Sekiranya bukan karena cinta dan hasrat, tentulah sirna kenikmatan dunia.”
Ada juga yang berkata, “Kedudukan cinta bagi roh seperti halnya kedudukan nutrisi bagi badan. Jika kau meninggalkannya maka memudaratkanmu. Namun jika kau mengalami overdosis maka itu membunuhmu.”
Terkait hal ini terdapat syair:
خَلِيلَيَّ إِنَّ الْحُبَّ فِيهِ لَذَاذَةٌ ... وَفِيهِ شَقَاءٌ دَائِمٌ وَكُرُوبُ
عَلَى ذَاكَ مَا عَيْشٌ يَطِيبُ بِغَيْرِهِ ... وَلَا عَيْشَ إِلَّا بِالْحَبِيبِ يَطِيبُ
Kekasihku, sesungguhnya dalam cinta terdapat kelezatan
juga kesengsaraan yang senantiasa sekaligus kesusahan
Tiadalah hidup akan nikmat dengan selain cinta
serta tiada kehidupan yang baik tanpa yang dicinta
Kami tidak mengingkari adanya kerusakan cinta berupa zina dengan yang dicintai. Namun pembicaraan kali berkisar tentang cinta yang disertai dengan terjaganya kehormatan, dari seorang pria cendikia, yang agama, kewibawaan, dan kehormatannya mencegah dirinya merusak hubungannya dengan Allah, sekaligus juga merusak hubungannya dengan orang yang dicintainya dengan melakukan perbuatan yang haram. Itulah cinta kaum Salaf yang mulia dan para Imam terkemuka.
Lihat kisah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud, salah satu dari tujuh ahli fikih terkemuka. Kisahnya masyhur dan tidak seorang pun yang mengingkarinya. Bahkan yang mencelanya dianggap sebagai orang yang zalim.
Lihat kisah Abu Bakr Muhammad bin Dawud al-Zhahiri, seorang ulama yang masyhur dengan berbagai disiplin ilmu, baik fikih, hadis, tafsir, maupun sastra. Beliau punya pandangan mandiri dalam bidang fikih. Beliau seorang ulama besar yang kisah kasmarannya masyhur dikenal.
Lihat pula kisah ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz. Kisah cinta beliau terhadap budak wanita milik Fathimah binti ‘Abdul-Malik, istrinya, begitu populer. Budak wanita tersebut sangat cantik sehingga ‘Umar pun terkagum dengannya. Wanita itu menjadi buah bibir dari sisi kecantikannya.
‘Umar berusaha membujuk istrinya agar memberikan budak wanita itu kepadanya, namun sang istri terus menolak.
Budak wanita itu masih bersemayam di hati ‘Umar bahkan sampai ketika beliau menjabat sebagai khalifah.
Sampai pada suatu ketika, dalam rangka meringankan beban pikiran ‘Umar sebagai khalifah, akhirnya sang istri pun luluh. Ia memerintahkan agar budak wanita itu didandani, untuk kemudian diberikan kepada beliau. Sang istri menemui ‘Umar, seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Dahulu engkau kagum dengan budak wanitaku, Fulanah. Engkau memintanya dariku, tapi aku menolaknya. Sekarang aku rela untuk memberikannya kepadamu.”
Mendengar itu, wajah ‘Umar pun menjadi sumringah. Ia pun meminta, “Tolong bawa ia segera kepadaku.”
Ketika budak wanita itu dihadapkan kepada ‘Umar, bertambahlah kekagumannya. Dengan segera ia berkata, “Tanggalkanlah pakaianmu.”
Wanita itu melakukan apa yang diminta.
Namun ‘Umar selanjutnya berkata, “Tunggu dulu. Tolong ceritakan kepadaku, kau dahulu milik siapa? Bagaimana kau bisa menjadi budak Fathimah?”
Wanita itu berkisah, “Dahulu al-Hajjaj (gubernur yang terkenal kezalimannya) mengenakan denda sejumlah harta kepada salah satu pegawainya. Saat itu aku adalah budak dari pegawai tersebut. Maka al-Hajjaj mengambilku dan menyerahkanku kepada ‘Abdul-Malik (khalifah pada saat itu). Selanjutnya ‘Abdul-Malik menjadikan aku sebagai hadiah kepada Fathimah (puterinya).”
“Apa yang terjadi dengan pegawai tadi?” tanya ‘Umar lebih lanjut.
“Telah wafat.”
“Apakah ia mempunyai anak?”
“Iya, benar.”
“Bagaimana kondisinya?”
“Buruk.”
“Kalau begitu, sekarang pakailah pakaianmu, dan pergilah kembali ke tempatmu.”
Setelah itu ‘Umar menulis surat kepada bawahannya di Irak: “Panggil Fulan bin Fulan untuk menghadapku.”
Tatkala yang bersangkutan datang. ‘Umar berkata kepadanya, “Laporkanlah semua denda yang dikenakan al-Hajjaj kepada ayahmu.”
Semua yang ia laporkan segera diganti oleh ‘Umar. Kemudian budak wanita itu pun diserahkan kepadanya. Lalu ‘Umar berkata, “Berhati-hatilah dan bersikap baiklah kepada wanita ini. Sesungguhnya ayahmu telah menyakitinya.”
“Dia untukmu saja, wahai Amirul Mukminin,” kata sang pemuda.
“Aku tidak memerlukannya,” jawab ‘Umar.
“Kalau begitu, belilah ia dariku.”
“Jika demikian, berarti aku bukan termasuk orang yang menahan dirinya dari hawa nafsu,” tegas ‘Umar.
Tatkala sang wanita dan pemuda itu hendak berpamitan pulang, berkatalah sang wanita, “Di manakah rasa cintamu kepadaku, wahai Amirul Mukminin?”
“Masih seperti sedia kala, bahkan bertambah,” jawab ‘Umar.
Demikianlah sang wanita itu senantiasa bersemayam dalam relung hati ‘Umar hingga beliau wafat. Semoga Allah merahmati beliau.
Sekian kutipan dari al-Da` wad-Dawa`, karya Imam Ibnul-Qayyim, rahimahullah.
Karya tersebut telah saya terjemahkan secara utuh dan telah dicetak pada tahun 2009 oleh Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Buku terjemahan itu selanjutnya telah dicetak ulang berkali-kali. Alhamdulillah.
* Catatan: Pada bagian anotasi, Syaikh ‘Ali al-Halabi menyampaikan ketidaksetujuannya tentang penisbatan kisah-kisah tersebut kepada para Salaf. Namun beliau pun tidak menyebutkan argumentasi kritik secara detail terkait validitas sanadnya. Bahkan, relevan dengan hal ini, ketika Syaikh al-Barrak mengkritik kalangan yang melemahkan kisah penyembelihan Khalid al-Qasri terhadap Ja’d bin Dirham, beliau menegaskan:
ومسائلُ التاريخِ لا يُعوَّلُ فيها على الأسانيدِ، يُعوَّلُ فيها على الشُّهرةِ ونقلِ جمهورِ الناس
“Kisah-kisah sejarah acuannya bukanlah sanad, melainkan tingkat kemasyhuran dan penukilannya oleh mayoritas masyarakat.” [Sumber: sh-albarrak.com/article/13921.]
Allahu a’lam.
05/03/2021
AdniKu
══ •◇ ✿ ❀ ✿ ◇• ══
📞 WA Group: bit.ly/faidahringkas
📋 Telegram: t.me/faidahringkas
🌐 Blog: adniku.blogspot.com
📷 IG: instagram.com/adniku
🎙 Twitter: twitter.com/adniku
📱 FB: facebook.com/adni.ku
* * * * *
CINTA DALAM DIAM
Tidak semua yang kau rasakan, mampu diungkapkan.
Tidak semua yang kau inginkan, bisa diwujudkan.
Dan tidak semua yang kau impikan, bisa kesampaian.
Ada kalanya kau mencintai seseorang, begitu murninya hingga membuatmu tak mampu berterus terang tentang apa yang kau rasakan.
Orang bilang, ini cinta dalam diam. Cinta yang hanya dimiliki oleh orang-orang berhati lapang.
“Cintanya mereka yang ikhlas,” katamu.
Namun kemudian kau sendiri ragu. Bisakah kau miliki ikhlas itu, jika ternyata pilihannya bukanlah kamu.
Kau mencinta dalam sepi, karena dia sahabatmu sendiri. Mengungkap cinta sama saja merusak persahabatan, menjauhkan kedekatan.
Akhirnya rasa itu sengaja kau telan. Kau tutupi dengan kepura-puraan pertemanan.
Atau mungkin kau tak miliki kepercayaan diri.
Dia yang menunggang pelangi, manalah mungkin menekuk leher demi melihatmu yang merayap di bumi.
Kau lelah, ingin menyudahi.
Rasa cinta itu lalu kau bungkam sendiri.
Hari demi hari, minuman yang kau reguk hanya serupa tanya tanpa jawab pasti.
“Mungkinkah dirinya…”
“Bagaimana bila dia ternyata…”
“Akankah dia juga...”
Kau bertanya sendiri, untuk kemudian kau remukkan hatimu melalui jawaban yang kau buat-buat sendiri.
Lantas apakah pilihanmu ini salah?
Tidak salah. Semua pecinta punya cara yang berbeda untuk menikmati indah dan sakitnya rasa.
Tapi pernahkah kau bayangkan keadaan di mana: Kau cinta, dia pun cinta, tapi kalian tidak bergerak ke titik mana pun juga, hingga akhirnya sama-sama menyerah dalam diam belaka?
Maka berjuanglah, Kawan.
Selama dia bukan milik orang, dan kau pun tidak berada dalam sebuah ikatan, mencintai dalam diam bukan sebuah pilihan untuk mereka yang menginginkan kemenangan.
Katakanlah, ungkapkanlah.
Kalau pun ternyata dia memang hanya mewujud mimpi, setidaknya kelak tak perlu ada yang kau sesali.
Menyesal, mengapa dulu tak pernah kau beranikan diri.
* Sebuah catatan untuk para pejuang jodoh, dari Wulan Darmanto (dengan sedikit penyuntingan dalam penukilannya).
Post a Comment