‘Ali
Ibn Abī Thālib berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi berpaling
sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari keduanya memiliki
anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi
anak-anak dunia. Ketahuilah, sesungguhnya mereka yang zuhud di dunia
menjadikan bumi sebagai permadani, tanah sebagai kasur dan air sebagai
minyak wangi. Ingatlah, siapa saja yang merindui surga niscaya terhibur
dan terlupakan dari syahwat; barangsiapa yang takut dengan neraka
niscaya mundur dari hal-hal yang diharamkan; dan barangsiapa yang zuhud
di dunia maka terasa ringan baginya segala musibah.” [Ar-Riqqah wal Bukā` fī Akhbār ash-Shālīhīn wa Shifātihim, Imam Ibn Qudāmah, hal. 31; Az-Zuhd, hal. 130; dan Al-Bayhaqi dalam Syu'ab Al-Īmān no. 9670]
‘Aun
Ibn ‘Abdillah berkata, “Kedudukan dunia dan akhirat dalam hati
seseorang adalah bagaikan dua sisi timbangan. Jika salah satunya sisinya
menurun maka sisi lainnya terangkat.”
Beliau
juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menjadikan untuk
dunia adalah sisa dari akhirat mereka. Namun sekarang kalian justru
menjadikan untuk akhirat kalian adalah sisa dari dunia kalian.” [Shifah Ash-Shafwah, vol. III, hal. 101]
Beliau
juga berkata, “Wahai anak Adam, kau meminta dunia dengan tuntutan
orang-orang yang benar-benar butuh kepadanya. Namun kau meminta akhirat
dengan tuntutan orang-orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, apa yang
kau dapatkan dari dunia sudah cukup meskipun kau tidak memintanya,
sementara akhirat akan kau dapatkan dengan menuntut dan memintanya.
Karena itu, sadarilah kondisimu.” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 93]
Fudhayl
Ibn ‘Iyādh berkata, “Rasa takut seorang hamba kepada Allah adalah
sebesar tingkat keilmuannya terhadap Allah; dan tingkatan zuhudnya
terhadap dunia adalah sebesar hasratnya terhadap akhirat.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 28]
Suatu
ketika beliau ditanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Fudhayl menjawab,
“Keadaan mana yang engkau maksud? Keadaan dunia atau keadaan akhirat?
Jika engkau bertanya tentang keadaan dunia, maka dunia telah condong
bersama kami dan membawa kami kemana pun ia pergi. Dan jika engkau
bertanya tentang keadaan akhirat, maka bagaimanakah engkau melihat
keadaan orang yang telah banyak dosanya, lemah amalannya, fana umurnya,
belum memiliki bekal untuk hari kembali, belum siap menghadapi kematian,
serta belum tunduk, belum berusaha dengan sungguh-sungguh dan berhias
untuk kematian, namun justru berhias untuk dunia.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 37]
Abū
Muslim al-Khaulāni berkata, “Sekiranya aku melihat surga dengan mata
kepala, maka aku tidak mempunyai bekal (untuk ke sana); dan sekiranya
aku melihat neraka dengan mata kepala, aku juga tidak mempunyai bekal
(untuk selamat darinya).” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 213; dan Siyar A'lām an-Nubalā`, vol. IV, hal. 9]
Yahya Ibn Mu’ādz berkata, “Sungguh
kasihan anak Adam, sekiranya saja ia takut neraka sebagaimana ia takut
kemiskinan niscaya ia akan masuk surga.” [Ihyā` 'Ulūm ad-Dīn, vol. IV, hal. 162. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 25]
Dari Muhammad Ibn Abī ‘Imrān,
ia mendengar Hātim al-Ashamm ditanya oleh seseorang, “Di atas apa engkau
membangun segala urusanmu dalam hal tawakkal kepada Allah?” Hātim
menjawab, “Di atas empat perkara. (1) Aku tahu rizkiku tidak akan
dimakan oleh selainku, karena itu jiwaku pun tentram. (2) Aku tahu
amalanku tidak akan dilakukan oleh selainku, karena itu aku pun
tersibukkan dengannya. (3) Aku tahu kematian akan mendatangiku secara
tiba-tiba, karena itu aku pun bersegera untuk itu. (4) Aku tahu bahwa
aku tidak akan pernah terlepas dari penglihatan Allah di mana pun aku
berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” [Shifah ash-Shafwah, IV/161. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 21]
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.
Post a Comment