وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat (kasih) bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyā`: 107)
Cobat perhatikan siyāq ayat tersebut, eksistensi Nabi shallallahu `alayhi wa sallam
 bukan hanya sebagai rahmat bagi kaum muslimin saja, namun juga sebagai 
rahmat bagi seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta, termasuk musuh
 beliau sekalipun. Karena itu, ajaran beliau adalah ajaran kasih. Din al-Islam adalah rahmat. Tidak ada seorang muslim pun yang mengingkari hal ini.
Ahlus Sunnah sebagai pembawa dan penerus terbaik ajaran Nabi shallallahu `alayhi wa sallam sudah seharusnya memiliki sifat tersebut, sifat merahmati (mengasihi) dan menyebarkan rahmat (kasih). Ahlus Sunnah, adalah sebagaimana disifati oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam ucapan emasnya: a’lamu bil haqq wa arhamu bil khalq (paling mengetahui al-haqq dan paling kasih terhadap makhluk). [Minhāj as-Sunnah, vol. V, hal. 158]
Lantas,
 bagaimana dengan wajah Dakwah Salafiyyah, yang (disebutkan sebagai) 
sinonim dari Dakwah Ahlus Sunnah, saat ini? Ternyata, tidak dapat 
dipungkiri telah terbentuk stigma dan opini publik yang negatif pada 
banyak kaum muslimin bahwa dakwah tersebut tidak humanis, kaku, 
berperangai keras, mudah menghujat, dan seterusnya. 
Pembentukan bad image tersebut tidak lepas oleh dua faktor:
Pertama:
 Faktor Eksternal; yaitu isu dan propaganda yang dihembuskan oleh 
pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan Dakwah Salafiyyah, semisal 
JIL, Syi’ah, dan lain-lain.
Kedua:
 Faktor Internal; yaitu kesalahan implementasi Dakwah Salafiyyah yang 
dilakukan oleh orang-orang yang berafiliasi kepadanya. Hal ini merupakan
 realitas, ada dan nyata, yang tidak akan dipungkiri oleh orang-orang 
yang memiliki pemikiran objektif.
Mungkin dapat dikatakan bahwa penyebab utama dari terciptanya bad image
 dari faktor internal adalah terbentuknya paradigma bahwa seorang Ahlus 
Sunnah dituntut untuk bersikap keras kepada Ahl al-Bid’ah. Memang
 benar, terdapat banyak sekali atsar dan riwayat dari Salaf mengenai 
sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah. Namun, pertanyaannya, siapakah yang 
pantas disebut Ahl al-Bid’ah? Bagaimana kriterianya? Apakah spirit yang 
melatarbelakangi sikap keras Salaf tersebut? Apakah sikap keras tersebut
 bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan harus diimplementasikan
 dalam kondisi apapun, ataukah membutuhkan rincian, persyaratan dan 
penjelasan? Yang membuat keadaan menjadi runyam adalah 
munculnya mereka yang ‘sok meniru’ sikap keras Salaf, tanpa merenungkan 
hal-hal di atas. 
Jika
 kita mengacu pada ayat al-Qur`an di atas, dan sangat banyak sekali 
dalil-dalil lain yang senada dengannya, kemudian ucapan Syaikhul Islam 
Ibn Taimiyyah, maka dapat dikatakan bahwa sikap keras Salaf tersebut 
tidak keluar dari koridor semangat untuk menyebarkan kasih dan rahmat. Kasih
 sayang tidak selalu harus melahirkan sikap lemah lembut, dan dapat 
melahirkan sikap keras apabila memang kondisinya menuntut hal itu.
 Sebagaimana halnya seorang ayah yang terkadang memarahi, menjewer, 
bahkan memukul anaknya, justru karena rasa kasihnya terhadap sang anak. 
Sebab sang ayah mengharap kebaikan bagi sang anak. Demikian pula
 dengan sikap keras Salaf terhadap Ahl al-Bid’ah. Itu terlahir dari 
kasih dan rahmat kepada kaum muslimin pada umumnya, agar tidak terkontaminasi oleh bid’ah dan tetap di atas kebenaran; sekaligus juga merupakan kasih dan rahmat kepada Ahl al-Bida’, agar mereka sadar dan berhenti melakukan bid’ah. 
Sikap
 keras terhadap Ahl al-Bid’ah juga bukanlah hal yang dapat dilakukan 
secara serampangan, namun harus memperhitungkan aspek maslahat dan 
mudharat, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili dalam Mauqif Ahl as-Sunnah wal Jama’ah min Ahl al-Ahwa` wal Bida’. Hukum asal dalam sikap antar sesama muslim adalah kasih sayang dan lemah lembut, sehingga sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah, yang mayoritasnya masih muslim, merupakan pengecualian (istitsnā`) dari hukum asal, karena diharapkan adanya maslahat yang lebih besar dari sikap keras tersebut. Begitu pula dengan hukum asal kehormatan seorang muslim atas muslim lainnya, haram untuk dilanggar. Terlalu banyak dalil yang menegaskan universalitas hukum asal di atas. Karena itu, sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah (setelah terbukti bahwa yang bersangkutan memang adalah Ahl al-Bid’ah) dan melanggar kehormatannya tidak dibenarkan kecuali apabila dengan hal tersebut terealisir kemaslahatan yang lebih besar. 
Mungkin,
 dalam tataran teoritis, kita semua sepakat dengan penjelasan di atas. 
Namun, bagaimana dengan tataran implementatif dan aplikatif? 
Dalam
 menyikapi banyaknya jama’ah yang ada saat ini, apabila semangat 
menyebarkan rahmat dan kasih sayang yang kita kedepankan, maka kita akan
 berusaha sebaik mungkin untuk mengajak manusia kepada kebenaran, dengan
 mempertimbangkan maslahat dan mudharat yang ada. Namun, apabila yang 
menjadi semangat dan latar belakang adalah bagaimana cara menghancurkan 
jama’ah tertentu, maka yang keluar dari kita adalah vonis dan celaan, 
tanpa memperhatikan komparasi antara maslahat dan mudharat di balik hal 
itu. 
Saudara-saudara kita yang bersikap keras terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka biasanya berdalil dengan sikap keras Nabi shallallahu `alayhi wa sallam dalam sebagian kasus terhadap orang-orang tertentu. Namun mereka tidak menyadari bahwa yang sikap yang dominan dalam diri beliau adalah kasih dan lemah lembut. Mereka seharusnya mengintrospeksi diri, jika mereka mengaku meneladani Nabi shallallahu `alayhi wa sallam, maka sudahkah sifat kasih dan lemah lembut menjadi sikap serta karakter yang dominan dalam diri dan dakwah mereka? Kalaupun
 beliau bersikap keras maka hal itu bersifat kasuistik, bukan hal yang 
dominan, dan itu pun karena dalam sikap keras beliau terdapat maslahat 
yang lebih besar. 
Intinya,
 semoga kita bisa menjadikan semangat menyebarkan kasih (rahmat) sebagai
 landasan dalam dakwah sebagaimana tujuan dari diutusnya Nabi shallallahu `alayhi wa sallam. 
Saya
 juga melihat, bahwa orang-orang yang menyebut dirinya Salafi lebih 
didominasi dengan menasehati dan meluruskan orang-orang ‘di luar’ 
mereka, dibandingkan menasehati dan meluruskan ‘sesama’ mereka dalam 
sebagian permasalahan yang merupakan cerminan dari kesalahan manhaj, 
seperti penggunaan sikap keras dalam dakwah bukan pada tempat dan 
kondisi yang semestinya, pemberian vonis atas individu tertentu dari 
orang-orang yang bukan ahlinya, fenonema fanatisme terhadap Ustadz 
tertentu, dan lain-lain. 
Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-ladzina yastami’unal qaula fa yattabi’una ahsanah (mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya) (QS. Az-Zumar: 18) 
WaLlāhu a’lam bish shawab.
~adni kurniawan
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment