Persahabatan
 sejati merupakan sesuatu yang sangat langka di era materialisme ini. 
Mencari seorang sahabat sejati yang setia dan dapat dipercaya mungkin 
jauh lebih sulit dibandingkan mencari jarum dalam tumpukan jerami. 
“Tidak ada persahabatan dan permusuhan abadi, yang ada hanyalah 
kepentingan abadi”, demikianlah slogan yang pada awalnya dikumandangkan 
oleh para politikus opurtunis namun kemudian merembet kepada berbagai 
macam lapisan masyarakat dalam setiap lini kehidupan. 
Mengingat demikian langkanya persahabatan sejati, maka seorang penyair berkata, 
سَمِعْنَا بِالصَّدِيْقِ وَلاَ نَرَاهُ        عَلَى التَّحْقِيْقِ يُوْجَدُ فِيْ الأَنَامِ
وَأَحْسَــبُهُ مـــُحَالاً نَـمَقُوْهُ         عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ مِنَ الْكَلاَمِ
Kami dengar tentang sahabat sejati tapi kami tidak melihatnya 
terwujudkan secara nyata di antara manusia.
Kusangka itu adalah suatu kemustahilan yang mereka tuliskan
hanya sekedar dalam bentuk ucapan kiasan
[Al-Mustathraf fī Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hal. 272]
Ibn ‘Aun berkata: Dari ‘Umair Ibn Ishāq, beliau berkata: “Kami menganggap bahwa yang pertama kali diangkat dari manusia adalah persahabatan.” [Tafsīr Ibn Katsīr, QS. Al-Anfāl [8]: 63. Lihat pula muqaddimah Ustadz Abū ‘Abdil Muhsin Firanda dalam risalah yang berjudul: Hak-Hak Persaudaraan Islam]
Wahb
 Ibn Munabbih berkata, “Aku bersahabat dengan manusia selama lima puluh 
tahun. Tidak aku dapati seseorang yang mengampuni ketergelinciranku, 
memaafkan kesalahanku dan menutup aibku.” [Al-Mustathraf fī Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hal. 272]
‘Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Jika pengkhianatan merupakan tabiat, maka kepercayaan terhadap setiap orang merupakan kelemahan.”
Seorang
 bijak ditanya, “Apa itu sahabat sejati?” Ia menjawab, “Itu adalah nama 
yang diletakkan bukan pada tempatnya, serta hewan yang tidak ada 
wujudnya.”
Ja’far
 ash-Shādiq berkata, “Persedikitlah mengenal manusia, dan ingkarilah 
siapapun yang kau kenali dari mereka. Jika kau memiliki seratus sahabat,
 maka buanglah sembilan puluh sembilan, dan berhati-hatilah terhadap 
satu yang tersisa!”
Sebagian
 mantan penguasa ditanya, “Berapa sahabat yang kau miliki?” Ia menjawab,
 “Adapun saat memegang tampuk kekuasaan, maka sangat banyak!” Lalu ia 
bersyair, 
النَّاسُ إِخْوَانٌ مَنْ دَامَتْ لَهُ نِعَمُ 
وَالْوَيْلُ لِلْمَرْءِ إِنْ زَلَّتْ بِهِ الْقَدَمُ
Manusia jadi saudara kepada siapa yang dalam kenikmatan
        maka celakalah ia apabila terjadi ketergelinciran
[Al-Mustathraf fī Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hal. 272]
Fenomena
 hilangnya sahabat sejati yang menjaga hak dan kehormatan temannya serta
 setia dan menepati janji, mendorong seorang ulama bernama Abū Bakr Muhammad Ibn Khalaf Ibn al-Marzabān [Beliau adalah seorang ulama yang jujur (shāduq) dan terpercaya (tsiqah). Wafat pada tahun 309 H pada usia sekitar 80 tahun. Biografi beliau dapat dilihat di antara pada: Siyar A’lām an-Nubalā`, vol. XIV, hal. 264; al-Wāfī bil Wafayāt, vol. III, hal. 37; dan lain-lain] untuk menulis risalah dengan judul Fadhl al-Kilāb ‘alā Katsīr Min Man Labisats Tsiyāb (Keutamaan Anjing atas Banyak Orang yang Memakai Pakaian). Risalah tersebut sudah dicetak dengan tahqīq Ibrāhīm Yūsuf dan diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-Mishriyah, yang terdiri dari 39 halaman.
Berikut ini kami sampaikan terjemahan bebas dari sebagian isi risalah tersebut (dengan penambahan dan perubahan dari kami):
Kusebutkan
 kepadamu—semoga Allah memuliakanmu—tentang zaman kita dan rusaknya 
hubungan kasih sayang penghuni masa ini. Akhlak mereka buruk dan 
perangai mereka tercela. Manusia yang paling jauh perjalanannya adalah 
yang mencari seorang saudara yang shalih. Barangsiapa berusaha mencari 
seorang sahabat yang setia dan dapat dipercaya maka ia seperti orang 
tersesat. Semakin letih ia berusaha maka semakin jauh ia dari tujuan. 
Demikianlah realitas yang ada.
Diriwayatkan dari Abū Dzarr al-Ghiffāri, bahwa beliau berkata, 
كَانَ النَّاسُ وَرَقاً لاَ شَوْكَ فِيْهِ، فَصَارُوْا شَوْكاً لاَ وَرَقَ فِيْهِ
“Dahulu, manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, namun kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.”
Abū ‘Abdillāh as-Sadūsi berkata, 
ذَهَبَ الَّذِيْنَ هُمُ الْغِيَاثُ الْمُسْبَلُ
وَبَقِيَ الَّذِيْنَ هُمُ الْعَذَابُ الْمُنـْزَلُ
وَتَقَطَّعَتْ أَرْحَامُ أَهْلِ زَمَــانِنَا 
فَكَــأنَّمَا خُـلِقـَتْ لِئَلاَّ تُـوْصــــَلُ
النَّاسُ مُشــْتَبِهُوْنَ مَنْ كَشَفْتَهُ 
مِنْهُمْ كَشَفْتَ عَنِ الَّذِيْ لاَ يـُحْمَلُ
أَمَّا الْفَقِيْرُ فَحَاسِـــدٌ مُتــَفَـطِّرٌ 
حَسَداً وَأَمَّا ذُو الثـَّرَاءِ فَــيــَبْخَلُ
Telah pergi mereka yang merupakan pertolongan menjelang
tinggallah mereka yang seolah adzab yang datang
Terputus tali kasih sayang penduduk zaman
seolah ia memang tercipta untuk diputuskan
Manusia menjadi serupa, siapapun yang kau buka
kau dapati yang keburukannya tak terkira
Si fakir adalah pendengki yang membuncah
sementara si kaya menderita kikir yang parah
Sebagian penyair berkata, 
وَمَا النَّاسُ بِالنَّاسِ الذِيْنَ عَهدْتُهم 
وَلاَ الدَّارُ بِالدَّارِ الَّتي كُنتَ تَعرِفُ
وَمَا كُلُّ مَنْ تَهْوَى يـُحِبَّكَ قَلْبــُهُ 
وَلاَ كُلُّ مَنْ صَاحَبْتَه لَكَ مـُنْصِفُ
Tidaklah manusia ini adalah manusia yang pernah kutahu
Tidaklah negeri ini adalah negeri yang kau kenal dulu
Tidaklah setiap yang kau suka juga mencintaimu
Tidaklah setiap yang kau sahabati bertindak adil kepadamu
Penyair lainnya berkata, 
ذَهَبَ النَّاسُ وَانْقَضَتْ دَوْلَةُ الْمَجْـ
دِ فَـــكــــُلٌّ إِلاَّ الْقـَلـِيْل كِـــــلاَبُ
إنَّ مَنْ لَمْ يَكُـنْ عَلَى النَّاسِ ذِئْبـاً
أَكَلَتْهُ فِي ذَا الزَّمــَانِ الذِّئــــــَابُ
غَيْرَ أنَّ الْوُجُـوْهَ فِي صُـوَرِ النَّـا 
سِ وَأَبـْدَانُهُمْ عَلَـيْهَا الثّـــــــِيَابُ
Manusia telah pergi dan negeri keagungan telah sirna
seluruhnya adalah anjing kecuali sedikit saja
Mereka yang tidak menjadi serigala menerkam manusia
pada zaman ini akan dimakan para serigala
Hanya saja rupa serigala berbentuk manusia
dan disematkan pakaian di atas raga mereka
Konon, Iblis pernah kedatangan tamu dari kalangan manusia yang memintanya untuk melakukan suatu hal.
“Apa keperluanmu?” tanya Iblis.
“Aku
 memiliki tetangga sekaligus teman yang dermawan dan sangat 
mengasihaniku serta anak-anakku,” jawab sang tamu. “Jika aku dalam 
kondisi membutuhkan maka ia selalu membantu; ia sering memberi hutang 
lalu tidak menagih dan mensedekahkannya; jika aku pergi, ia menyantuni 
keluargaku. Ia senantiasa berusaha berbuat baik kepadaku dengan berbagai
 cara dan upaya.” 
“Sangat bagus, lalu apa yang kau inginkan?”
“Kuingin
 agar kau hancurkan seluruh nikmat yang ada padanya dan menjadikannya 
jatuh miskin! Sebab, kekayaan, kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraannya
 telah menyebabkan aku murka!”
Iblis
 pun tersentak dan berteriak sekerasnya, sehingga para pasukannya segera
 berkumpul menghampirinya dan bertanya, “Wahai Tuan, apakah gerangan 
yang terjadi?”
“Tidakkah kalian tahu bahwa Allah ternyata menciptakan satu makhluk yang lebih buruk dariku?!” jawab Iblis.
Meskipun
 kisah ini secara realitas tertolak dan tidak masuk akal, namun 
merupakan perumpaan yang baik untuk direnungkan dan diambil pelajaran.
Ada pula kisah Abū Simā’ah al-Muaīthi
 yang sering mencela orang-orang yang berbuat baik kepadanya, 
sampai-sampai Khalifah ar-Rasyīd memerintahkan untuk mencukur kepala dan
 jenggotnya sebagai hukuman.
Betapa
 banyak tipe manusia semacam tadi dalam kehidupan kita. Jika kau bertemu
 dengannya maka bermanis wajah kepadamu. Namun, di belakangmu ia 
menggunjingmu habis-habisan. Ia menatapmu dengan penuh cinta, sembari 
menyimpan dengki dan permusuhan yang menyala-nyala, untuk dihembuskan 
begitu kau tidak berada di sisinya.
Demikianlah kenyataan yang harus dihadapi. Padahal, telah datang peringatan Nabi ` tentang ghībah (perbuatan menggunjing) dan bermuka dua.
Dari Jābir Ibn ‘Abdillāh dan Abū Sa’īd, Nabi ` bersabda, 
إِياَّكُمْ
 وَالْغِيْبَة فَإِنَّ الْغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّناَ فَإِنَّ 
الرَّجُلَ يَزْنِيْ وَيَتُوْبُ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ صَاحِبَ 
الْغِيْبَةِ لاَ يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرُ لَهُ صَاحِبُهُ
“Berhati-hatilah kalian dari ghībah,
 karena ia lebih buruk dibandingkan zina. Seseorang berzina dan 
bertaubat kepada Allah maka Allah menerima taubatnya; sementara pelaku 
ghibah tidak diampuni oleh Allah sehingga objek ghībah mengampuninya (memaafkannya).” [Riwayat Ibn Abid Dun-yā dalam ash-Shamt no. 164 dan Hannād as-Sari dari Jābir dalam az-Zuhd: II/565/1178. Hadits ini dinyatakan tidak valid dalam adh-Dha'īfah: IV/325/1846 dan Dha'īf al-Jāmi' no. 2204] 
Dari ‘Ammār Ibn Yāsir, Nabi ` bersabda, 
مَنْ كَانَ لَهُ وَجْهَانِ فِي الدُّنْيَا كَانَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِسَانَانِ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa yang memiliki dua muka di dunia niscaya pada hari Kiamat nanti memiliki dua lidah dari api.” [Riwayat Abū Dāwud: II/684/4873; Ibn Abī Syaibah dalam al-Mushannaf: V/223/25463; Ibn Abid Dun-yā dalam ash-Shamt no. 162, dan Ibn Abī 'Āshim dalam az-Zuhd no. 213. Dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni dalam Shahīh al-Jāmi' no. 6496, Shahīh at-Targhīb III/75/2949, dan ash-Shahīhah: II/554/892]
Disebutkan dalam riwayat lain: 
ذُوْ الْوَجْهَيْنِ فِي الدُّنْيَا يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَهُ وَجْهَانِ مِنْ نَارٍ
“Pemilik dua muka di dunia akan datang pada hari Kiamat dengan memiliki dua wajah dari api.” [Riwayat ath-Thabrāni dalam al-Ausath: VI/234/6278. Hadits dengan lafazh tersebut dinyatakan maudhū' (palsu) oleh Syaikh al-Albāni dalam Dha'īf al-Jāmi' no. 3056 dan Dha'īf at-Targhīb: II/139/1760. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khālid Ibn Yazīd al-'Umari, seorang pendusta, sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami dalam Majma' az-Zawā`id: VIII/179/13151] 
Sebagian
 orang bijak berkata, “Telah hilang zaman persahabatan, maka jagalah 
temanmu sebagaimana kau menjaga musuhmu. Berhati-hatilah ketika 
menyebutkan rahasiamu kepadanya, sehingga ia dapat menyebarkannya dalam 
waktu permusuhan.” 
Ditanyakan
 kepada seorang yang bijak, “Siapakah yang paling patut diwaspadai?” Ia 
menjawab, “Musuh yang kuat, penguasa lalim yang suka merampas, dan 
sahabat yang menipu.” 
Ibn Abī Thāhir berkata, 
حَالَ عمَّا عَهِدْتُ رِيْبَ الزَّمَــانِ 
وَاسْـتَحَالَتْ مـَوَدَّةُ الْإِخْــوَانِ
اِسْتَوَى النَّاسُ فِي الْخَدِيْعَةِ وَالْمَكْـ
رِ فــَـكُلٌّ لِـسَــانـُهُ اثْنَــــــانِ
Aku terhalang dari masa lalu akibat pergantian zaman
dan cinta sesama saudara menjadi kemustahilan
Manusia setara dalam tipu daya
seluruhnya memiliki lisan berjumlah dua
Ketahuilah,
 semoga Allah memuliakanmu, ternyata anjing lebih sayang kepada 
pemiliknya, dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan 
seorang sahabat kepada sahabatnya. Anjing senantiasa menjaga tuannya 
sekaligus apa-apa yang dimiliki tuannya, baik tuannya ada maupun tidak, 
tidur maupun terjaga. Anjing tetap setia dan menjalankan tugasnya dengan
 baik, meskipun tuannya bersikap kasar dan merendahkannya.
Dikatakan kepada sebagian orang bijak, “Berilah wasiat kepadaku.” Ia menjawab, “Bersikaplah zuhd
 di dunia dan janganlah engkau memperebutkannya dengan penduduk dunia. 
Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing berbuat baik kepada 
tuannya. Pemilik anjing membuat anjing kelaparan dan memukulnya, namun 
anjing tetap menjaga tuannya dan menjalankan tugasnya.”
Diriwayatkan
 bahwa Nabi ` melihat seseorang tewas terbunuh. Lalu beliau bertanya, 
“Mengapa orang ini terbunuh?” Para Sahabat menjawab, “Ya Rasulullāh, ia 
mengambil kambing Abū Zahrah, kemudian anjing penjaga menerkam dan 
membunuhnya.” Nabi ` berkata, “Ia telah membunuh dirinya, menyia-nyiakan
 agamanya, mendurhakai Rabbnya, dan mengkhianati saudaranya. Anjing 
tersebut lebih baik dibandingkan pengkhianat ini.” Beliau melanjutkan, 
“Apakah kalian tidak mampu untuk menjaga saudaranya sesama muslim, dalam
 hal jiwa dan keluarga, sebagaimana anjing itu menjaga hewan-hewan 
ternak tuannya?” 
[Kami
 belum menemukan sumber hadits tersebut dalam literatur-literatur hadits
 yang ada—sepanjang pencarian kami. Kuat dugaan bahwa hadits tersebut 
tidak valid—dan tidak menutup kemungkinan hadits palsu—wallāhu a'lam. Namun kami bawakan hadits tersebut karena di dalamnya terdapatnya perumpaan yang bagus] 
‘Umar
 Ibn al-Khaththāb pernah melihat arab badui menggiring seekor anjing. 
Beliau bertanya, “Apa yang bersamamu?” Badui menjawab, “Wahai Amīrul 
Mu`minīn, inilah sebaik-baik sahabat. Jika kau beri maka ia bersyukur, 
dan jika tidak kau beri maka ia bersabar.” ‘Umar berkata, “Itulah 
sebaik-baik sahabat, maka jagalah ia.” 
Dalam
 kesempatan lain, Ibn ‘Umar mendapati arab badui bersama seekor anjing. 
“Apa yang bersamamu?” tanya Ibn ‘Umar. “Yang bersyukur kepadaku dan 
menyembunyikan rahasiaku,” jawab badui. 
Al-Ahnaf
 Ibn Qais berkata, “Jika anjing menggerak-gerakan ekornya maka 
percayalah akan cinta darinya. Namun, jangan percaya dengan gerakan dan 
rayuan manusia. Sebab, betapa banyak dari mereka yang ternyata 
pengkhianat.” 
Asy-Sya’bi berkata, “Sebaik-baik perangai pada anjing adalah ia tidak pernah menipu perihal cintanya.” 
Ibn ‘Abbās berkata, 
كَلْبٌ أَمِيْنٌ خَيْرٌ مِنْ إِنْسَانٍ خَؤُوْنٍ
“Anjing yang amanah lebih baik dari manusia pengkhianat.”
Diriwayatkan
 dari Ja’far Ibn Sulaimān, bahwa ia melihat Mālik Ibn Dīnār bersama 
seekor anjing. Ja’far bertanya, “Apa itu?” Mālik Ibn Dīnār menjawab, 
“Inilah yang lebih baik dibandingkan teman duduk yang buruk.” 
Diriwayatkan
 bahwa ar-Rabī’ Ibn Badr memiliki anjing yang ia didik dan pelihara 
sejak lama. Tatkala ar-Rabī’ wafat dan dikuburkan, anjing tersebut 
menumbuk kuburannya sampai meninggal. 
‘Āmir
 Ibn ‘Antazah memiliki sejumlah anjing yang menjaga binatang ternaknya. 
Tatkala beliau wafat, anjing-anjing tersebut setia menunggui kuburnya 
hingga mereka meninggal. 
Diriwayatkan
 dari seorang bijak, ia berkata, “Manusia pada zaman ini adalah babi, 
maka jika kalian melihat seekor anjing peliharalah ia, sebab ia lebih 
baik dari manusia zaman ini.” 
Seorang penyair berkata, 
اشْدُدْ يَدَيْكَ بِكَلْبٍ إِنْ ظَفِرْتَ بِهِ 
فَـأَكْثَرُ النَّاسِ قَدْ صَارُوْا خَنَازِيْرَا
Ikatlah anjing dengan tanganmu bila kau dapati
sebab mayoritas manusia berubah jadi babi
Abul ‘Abbās al-Azdi berkata, 
لَكَلْبُ النَّاسِ إِنْ فَكَّرْتَ فِيْهِمْ 
        أَضَرُّ عَلَيْكَ مِنْ كَلْبِ الْكِلاَبِ
لِأَنَّ الكلبَ تَخْسَؤُهْ فَيَـــخْسَا 
        وَكَلْبُ النَّاسِ يَرْبِضُ لِلْعِتـَابِ
Anjing manusia jauh lebih memudharatkan
dibanding anjing yang anjing, jika kau renungkan
Anjing tetap menurut meski kau rendahkan
dan anjing manusia mengintai saat melepas celaan
Seseorang bersyair, 
يعرِّج عَنْهُ جَارَهُ وَشَقـــــِيــْقَهُ         وَيَرْغَبُ فِيْهِ كَلْبُهُ وَهُوَ ضَارِبُه
Ia ditinggalkan oleh tetangga dan saudaranya
        tapi dicintai anjingnya padahal ia memukulnya
Abū
 ‘Ubaidah menyebutkan bahwa syair di atas memiliki kisah menarik. 
Seorang pria dari kota al-Bashrah, Irak, hendak berpergian menuju daerah
 bernama al-Jabbānah, untuk menunggu kafilah dagangnya. Ia memiliki 
anjing yang selalu mengikutinya. Karena tidak menginginkan anjingnya 
turut serta dalam perjalanan, ia memukul, mengusir, bahkan melempar 
anjing tersebut dengan batu hingga terluka. Namun, anjing itu tetap 
mengikuti. 
Sesampainya
 di suatu tempat, pria tersebut diserang oleh sekelompok orang yang 
dahulu pernah berseteru dengannya. Tetangga dan saudara sang pria, yang 
menyertainya dalam perjalanan, justru lari dan membiarkannya begitu 
saja. Sekelompok orang tadi hendak mengubur sang pria hidup-hidup, 
setelah membuatnya terluka parah. 
Pada
 saat yang genting tersebut, anjingnya datang untuk berusaha membela dan
 menolongnya, meskipun ia dilempari dengan batu. Setelah sang pria 
terkubur hidup-hidup dan para penyerang telah pergi, si anjing kembali 
dan mulai menggali kuburan tersebut dengan cakar-cakarnya, sehingga 
kemudian tampaklah kepala sang pria dalam keadaan sekarat dan nafas 
terputus-putus. 
Ketika
 itu, lewatlah sekelompok orang di sekitar tempat kejadian. Tampak oleh 
mereka anjing yang tengah menggali kubur dan mereka pun mengingkari hal 
tersebut. Ketika mereka menghampiri, menjadi jelaslah bagi mereka bahwa 
ternyata si anjing berusaha untuk menolong seorang korban. Mereka lantas
 mengeluarkan korban dan mengantarkannya kembali kepada keluarganya. 
Abū ‘Ubaidah menduga bahwa tempat kejadian itu kemudian dinamakan dengan Bi`r al-Kalb (Sumur Anjing). 
Dikisahkan oleh Abū Bakr ‘Abdullāh Ibn Muhammad Ibn Abid Dun-yā dengan sanadnya, bahwa pernah wabah penyakit thā’ūn
 melanda suatu tempat kediaman. Para penduduk setempat menduga bahwa 
tidak ada yang selamat di tempat tersebut. Salah seorang dari mereka 
lantas mengunci pintu tempat itu. Padahal, dalam tempat tersebut masih 
bertahan hidup seorang bayi yang masih merangkak dan belum dapat 
berdiri. 
Beberapa
 bulan kemudian, sebagian ahli waris dari pemilik tempat tersebut datang
 untuk melihat keadaan. Begitu pintu dibuka, tampak ada bayi yang tengah
 bermain bersama anak anjing. Ketika melihat induk anjing—yang dahulu 
merupakan piaraan si pemilik tempat—bayi itu lalu menyusu kepadanya. 
Ternyata, bayi itu pernah melihat anak anjing menyusu pada induknya. 
Karena lapar dan dahaga, ia pun turut menyusu. Hal itu kemudian terjadi 
berulang-ulang, dan dengan itulah bayi tersebut bertahan hidup. 
Diriwayatkan dari al-Ashma’i,
 ia bertutur, “Ada seorang badui dalam kondisi menjelang kematian, 
sementara anjingnya berada di sisinya, dalam kemah. Lalu ia berkata 
kepada anaknya yang sulung, ‘Aku berwasiat kepadamu untuk berbuat baik 
kepada anjing ini. Sesungguhnya ia telah melakukan berbagai hal yang 
senantiasa kupuji. Ia mengantarkan tamuku kepadaku saat malam gulita dan
 pelita telah padam’.”  
Ibrāhīm Ibn Harmah pernah memuji anjing-anjingnya, 
وَيَدُلّ ضَيْفِي فِي الظَّلاَمِ إِذَا سَرَى 
إِيْقَـادُ نَارِيْ أَوْ نُبَـاحُ كِـلابِ
حَتىّ إِذَا واجـهته وَعَــــــــــرَفْنَه 
فَدَّينَهُ بِبَصـَابِصِ الأذْنــــَابِ
وَجَعَلْنَ ممّا قَدْ عـــــــَرَفْنَ يَقُـدنَهُ 
ويَكِدْنَ أَنْ يَنْطِقْن بِالتّرحـابِ
Dalam gulita tertuntun perjalanan tamuku
        oleh nyala apiku atau gonggongan anjingku
Jika anjingku berjumpa dan mengenalnya
        anjingku menolong dengan mengibaskan ekornya
Ia menuntun setiap yang dikenalnya
        hampir saja ‘selamat datang’ terucap olehnya
Abū
 Bakr ash-Shiddīq berkata, “Sesungguhnya penduduk pedalaman, apabila 
tersesat jalan dan diterpa malam gulita, maka ia menggonggong 
sebagaimana gonggongan anjing dengan tujuan agar anjing-anjing di 
perkampungan juga menggonggong, sehingga ia dapat mengikuti suara 
gonggongan tersebut untuk sampai ke perkampungan.”
Begitulah,
 perihal anjing banyak beredar dan dibicarakan, baik dalam bentuk 
kebaikan maupun sebaliknya. Anjing juga disebutkan dalam al-Qur`ān, 
Sunnah, syair dan perumpamaan. Bahkan sampai-sampai digunakan untuk 
penamaan, seperti Kilāb Ibn Rabī’ah, Kulaib Ibn Yarū’, dan lain-lain. 
Demikian sebagian isi risalah Fadhl al-Kilāb yang dapat kami sampaikan. Semoga Allah memberi anugerah sahabat dan saudara sejati kepada kita semua.
Salam,
Adni Kurniawan Abu Fāris an-Nūri
NB:
Terkait dengan 
hukum memelihara anjing, maka membutuhkan rincian dan pembahasan 
tersendiri, dan tulisan di atas memang tidak bertujuan untuk membahas 
hal tersebut. 

Post a Comment