Kadang kita dapati ustadz atau penulis yang senantiasa membuka khuthbah, ta’līm dan tulisan ilmiah mereka dengan Khuthbatul Hājah yang tercantum dalam hadits Ibn Mas’ūd: innal hamda liLlāh nahmaduhu wa nasta’īnuhu wa nastaghfiruh… (sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya…).

Hal ini populer setelah Syaikh al-AlbānirahimahuLlāh—menulis risalah yang berjudul Khuthbatul Hājah. Pada risalah tersebut Syaikh menegaskan signifikansi untuk memulai khuthbah, tulisan dan yang semisalnya dengan Khuthbatul Hājah. Beliau juga menyebutkan bahwa hal ini termasuk sunnah yang telah ditinggalkan oleh banyak orang (sunan mahjūrah). 

Saya pribadi sudah lama menerjemahkan risalah dimaksud atas permintaan salah satu penerbit, namun qaddaruLlāh sampai saat ini belum diterbitkan. 

Hanya saja, pada kalangan sebagian (kecil) orang seolah-olah kemudian timbul pandangan yang sedikit “miring” terhadap orang yang berbicara atau menulis yang melakukan pembukaan dengan selain Khuthbatul Hājah dimaksud, bahwa mereka tidak “nyunnah” dan semisalnya. Bahkan, terkadang bisa jadi hal tersebut dijadikan sebagai salah satu parameter atau penanda untuk menilai manhaj yang bersangkutan dalam beragama. Apa yang saya sebutkan ini bukan mengada-ada, tapi realitas, meskipun bisa jadi dalam jumlah yang relatif sangat kecil. Menurut saya, hal ini adalah bukanlah sikap yang tepat. 


Selanjutnya, apakah benar bahwa yang disunnahkan adalah senantiasa (ber-iltizām) membuka khuthbah, tulisan, ta’līm, dan yang semisalnya dengan Khuthbatul Hājah tersebut? Sebagaimana yang mungkin dipraktekkan oleh sebagian orang. Pada kali ini saya akan membawakan pendapat dari Syaikh Bakr Abū Zaid terkait permasalahan ini, untuk dijadikan bahan wacana dan studi komparatif dalam permasalahan ini. 


Syaikh Bakr Abū Zaid berkata dalam Tash-hīh ad-Du’ā`: [Hal. 454-455; Dār al-‘Āshimah, Riyādh, cet. pertama, 1419 H/1999 M] 

“Di antara perkara-perkara yang diada-adakan (muhdatsāt; bid’ah) dalam khuthbah Jum’at adalah senantiasa melazimkan diri (ber-iltizām) untuk membuka khuthbah Jum’at dengan Khuthbatul Hājah yang tercantum dalam hadits Ibn Mas’ūd: innal hamda liLlāh nahmaduhu wa nasta’īnuhu… (sesungguhnya segala puji adalah milik Allah; kami memuji-Nya, meminta kepada-Nya…). 

Herannya, hadits Ibn Mas’ūd—radhiyaLlāhu ‘anhu—tersebut diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan, dimana mereka memasukkan tarjamah-nya ke dalam kitab Nikah. Kecuali an-Nasā`i, beliau juga memasukkannya ke dalam kitab Shalat. [Penerjemah (Abū Fāris) berkata: Yaitu pada kitab al-Jumu’ah, bab Kaifiyyah al-Khuthbah, III/104/1404]

Dan barangsiapa yang meneliti petunjuk Nabi shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam niscaya ia tidak melihat kelaziman pembukaan khuthbah Nabi shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam dengan Khuthbatul Hājah dimaksud. 

Khuthbatul Hājah tersebut mengandung dan merupakan pujian yang agung, dimana Nabi shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada para sahabat beliau. Namun kita tidak melihat pada perbuatan beliau, juga pada petunjuk rutin para sahabat beliau, hal yang mengindikasikan kelaziman Khuthbatul Hājah dimaksud pada khuthbah-khuthbah mereka, juga pada permulaan urusan-urusan mereka. Demikian pula yang dapat Anda saksikan pada ulama Islam yang terpercaya. Termasuk Syaikhul Islām Ibn Taimiyyah. Beliau terkadang membuka buku-buku dan fatwa-fatwa beliau dengan Khuthbatul Hājah tersebut dan terkadang dengan selainnya. 

Oleh sebab itu, apa yang Anda dengar dan saksikan pada zaman ini, bahwa sebagian penulis melazimkan diri (iltizām) untuk membuka risalah-risalah dan khuthbah-khuthbah mereka dengan Khuthbatul Hājah tersebut, maka semua itu merupakan kelaziman yang tidak saya ketahui dalam kehidupan ilmiah pada petunjuk Nabi shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, serta tidak pula pada generasi setelah mereka dari kalangan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. 

Barangsiapa yang mengklaim kelaziman dimaksud maka hendaklah ia mendatangkan bukti (dalil). 

Dengan penjelasan dan penegasan ini, Anda mengetahui fiqh para penyusun kitab Sunan—semoga Allah merahmati mereka—ketika memasukkan tarjamah Khuthbatul Hājah ke dalam kitab Nikah, serta penegasan ulama tentang disyari’atkannya (dianjurkannya untuk mengucapkan) Khuthbatul Hājah di depan akad Nikah. WaLlāhu a’lam.” 

Demikian pernyataan Syaikh Bakr Abū Zaid.

WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Salam,
Abū Fāris an-Nūri

Post a Comment

 
Top