Menyambung
kembali diskusi hangat yang sempat berlangsung dalam sebuah milis
tentang apakah bumi mengitari matahari ataukah sebaliknya? Atau mungkin
dikatakan secara umum, bagaimana sekiranya terdapat teori/fakta ilmiah
yang bertentangan dengan pendapat ulama Salaf dalam memahami zahir nash
al-Qur`ān dan hadits?
Terkait dengan masalah apakah bumi mengitari matahari ataukah sebaliknya, maka saya mendapat informasi dari seorang teman yang dapat dipercaya, bahwa Syaikh ‘Ali Hasan pernah ditanya tentang hal ini, namun beliau tidak memberikan jawaban. Padahal, tentu tidak samar bagi beliau nukilan dan ucapan ulama dalam hal ini. Karena itu, tentu dikarenakan sebab tertentu sehingga beliau tidak menjawab pertanyaan tersebut. WaLlāhu a’lam.
Syaikh al-Albāni, seorang ulama ahli hadits terkemuka gerakan Salafiyyah zaman ini, secara jelas menyatakan keberpihakannya kepada teori Heliosentris yang menyatakan bahwa bumi berotasi dan mengelilingi matahari. Dalam kaset Silsilah al-Hudā wa an-Nūr, no. 497, terekam dialog sebagai berikut:
السائل يقول: ما قولكم في مسألة دوران الأرض؟
فأجاب الشيخ الألباني: نحن في الحقيقة لا نشك في أن قضية دوران الأرض حقيقة علمية لا تقبل جدلا….
Penanya berkata: “Apa pendapat Anda terhadap masalah perputaran bumi?”
Syaikh al-Albāni menjawab: “Kami pada hakikatnya tidak ragu bahwa perkara perputaran bumi merupakan realitas (hakikat) ilmiah yang tidak menerima perdebatan….”
Selanjutnya
beliau menegaskan bahwa masalah perputaran bumi—baik dalam hal berotasi
maupun mengelilingi matahari—termasuk dalam keumuman hadits: “Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian”, dan beliau paparkan hujjah yang
menunjukkan apa yang beliau kemukakan di atas.
Syaikh al-Albāni juga men-takhrīj kitab Mā Dalla `alaihi al-Qur’ān Mimmā Ya`dhidu al-Hai’ah al-Jadīdah al-Qawīmah al-Burhān, karya Imam al-Alūsi, yang juga menguatkan pendapat bahwa bumi mengitari matahari.
Pada kesempatan ini saya tidak akan merinci pendapat pribadi saya tentang mana yang benar antara bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya, mengingat sampai saat ini data yang sampai kepada saya dan yang telah saya baca belum memadai, sehingga saya belum berkompeten untuk membahas hal tersebut. Meskipun sampai saat ini saya cenderung meyakini bahwa bumi berotasi dan mengitari matahari.
Namun pada kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa untuk membahas permasalahan semisal ini, yaitu apabila tampaknya terjadi kontradiksi antara fakta ilmiah dan ucapan ulama Salaf, penting kiranya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama: Kita harus meyakini bahwa pada hakekatnya tidak akan pernah terjadi kontradiksi antara ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyyah (fakta ilmiah/hukum alam) dan ayat-ayat Allah yang bersifat wahyu/qauliyyah, sebab keduanya sama-sama berasal dari Allah.
Pemahaman
yang benar terhadap nash-nash wahyu (al-Qur`ān dan Sunnah) pasti akan
sejalan dengan teori ilmiah yang benar. Kontradiksi hanyalah terjadi
apabila terjadi kesalahan dalam memahami/menafsirkan nash-nash wahyu
atau teori/fakta ilmiah atau keduanya sekaligus.
Kedua: Ucapan Salaf secara personal/individual/perorangan bukanlah hujjah. Ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan ucapan Sahabat (hujjiyyah qaul ash-shahābi), namun mereka sepakat bahwa ucapan Tabi’īn dan generasi setelah mereka secara personal bukanlah hujjah. Hujjah hanya terdapat pada ijmā’ (konsensus) mereka.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua klaim atau nukilan ijmā’ itu benar adanya. Berapa banyak klaim ijma’ yang setelah diteliti ternyata tidak benar. Karena itu, klaim ijmā’ perlu diteliti kembali tingkat kekuratan dan kebenarannya. Hal ini selaras dengan ucapan Imam Ahmad yang masyhur:
من ادعى الإجماع فقد كذب وما يدريه لعل الناس قد اختلفوا
“Siapa yg mengklaim ijmā’ maka sungguh ia telah berdusta. Darimana ia mengetahui bahwa telah terjadi ijmā’, sementara bisa jadi manusia telah berselisih pendapat).” [Lihat misalnya: ash-Shawā'iq al-Mursalah, vol. II, hal. 579]
Ketiga: Dua perkara yg sudah sampai tingkatan qath’i (pasti) tidak mungkin akan saling bertentangan. Apabila terjadi kontradiksi antara qath’i dan zhanni (mengandung kemungkinan) maka perkara yang zhanni dibawa kepada yg qath’i (di-ta`wīl-kan), baik berupa dalil akal (fakta ilmiah) maupun dalil nash.
Ibn Taimiyyah berkata:
ويمتنع
ان يكون فى اخبار الرسول ما يناقض صريح العقول ويمتنع ان يتعارض دليلان
قطعيان سواء كانا عقليين أو سمعيين أو كان أحدهما عقليا والآخر سمعيا
“Tidak mungkin pada kabar yg dibawa Rasul shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam terdapat hal yg bertentangan dengan akal sehat (sharīh al-’uqūl). Serta tidak mungkin terdapat dua dalil qath’i yg bertentangan, baik keduanya adalah dalil ‘aqli (termasuk fakta ilmiah, pent), atau keduanya adalah dalil sam’i (al-Qur`ān dan Sunnah), atau salah satunya dalil ‘aqli dan yang lain adalah dalil sam’i.” [Majmū' al-Fatāwā, vol. XI, hal. 244.]
Dalam kesempatan lain beliau berkata,
ان
ما ثبت بالأدلة القطعية لا يتعارض ولا يتناقض أصلا، فلا يتعارض دليلان
يقينيان أصلا سواء كانا عقليين أو سمعيين أو كان أحدهما عقليا والآخر سمعيا
ومن ظن أنهما يتعارضان كان ذلك خطأ منه لاعتقاده فى أحدهما أنه يقينيا ولا
يكون كذلك ولا سيما إذا كانا جميعا غير يقينيين
“Sesungguhnya apa yang telah tetap dengan dalil-dalil yang pasti tidak mungkin saling bertentangan dan saling menegasikan. Tidak mungkin sama sekali dua dalil yang bersifat pasti itu bertentangan, baik kedua dalil tersebut adalah dalil `aqli (akal), atau keduanya merupakan dalil sam`i (al-Qur’ān dan Sunnah), atau salah satunya dalil ‘aqli dan yang lain adalah dalil sam’i. Barangsiapa yang menyangka bahwa keduanya bertabrakan, tentulah hal itu merupakan kesalahan dari dirinya, karena ia menyangka salah satu dari kedua dalil tersebut bersifat pasti padahal tidak demikian kenyataannya, terlebih lagi apabila kedua dalil tersebut (ternyata) tidak bersifat pasti.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XII, hal. 212-213.]
Hanya saja, penting untuk diingat bahwa hal-hal yang ditangkap oleh indera pun tidak selalu mencapai derajat qath’i (pasti benar). Misalnya, apabila kita celupkan pensil ke dalam gelas berisi air, terlihat oleh kita bahwa pensil tersebut patah. Namun, tentu saja sebenarnya pensil itu tidak patah. Begitu pula dengan peristiwa fatamorgana di padang pasir atau permukaan aspal yang tampak berair ketika panas terik di siang hari. Artinya, apa yang terlihat oleh kita pun belum tentu pasti benar (qath’i). Begitu pula dengan apa yang kita dengar. Jika kita tengah mendaki gunung dan meneriakkan satu kata ke lembah, maka terdengar oleh kita seolah ada orang lain yang membalas dengan meneriakkan kata yang sama. Padahal itu hanyalah efek gema (echo) dari suara kita dan bukan suara orang lain. Intinya, jika sesuatu yang ditangkap oleh indera saja belum tentu mencapai derajat qath’i maka apatah lagi dengan sebatas hipotesa, teori atau asumsi? Tentu lebih utama lagi untuk diragukan kebenarannya.
Keempat: Banyak dari teori ilmiah hanyalah sampai kepada tingkatan zhanni, begitu pula dengan penafsiran terhadap nash-nash wahyu. Meskipun tidak dipungkiri bahwa terdapat sebagian teori ilmiah dan penafsiran terhadap nash-nash wahyu yang bersifat qath’i.
Tentu tidak samar bagi kita bahwa banyak dari teori ilmiah yang bersifat dinamis, senantiasa berubah dari waktu ke waktu, sesuai tingkat perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Misalnya, teori big bang terkait asal mula penciptaan alam semesta hanyalah populer baru-baru ini. Terkait dengan asal muasal kehidupan, dahulu terdapat teori bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk tak hidup, yang dikenal dengan teori abiogenesis, sebagaimana dianut oleh Aristoteles (300 SM) dan diikuti Needham (1745-1750), pendeta Irlandia. Kemudian hal ini disanggah oleh percobaan Schultze pada 1836, dan Schroeder dan Dusch pada 1854 serta Louis Pasteurtahun 1865 yang membuktikan bahwa tidak ada kehidupan baru dari benda mati. Pendapat ini dikenal dengan semboyan omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo (kehidupan itu berasal dari telur, dan telur itu berasal dari sesuatu yang hidup). Kemudian muncul lagi teori abiogenesis modern, bahwa makhluk hidup berasal dari senyawa asam amino. Demikianlah perkembangan dan perdebatan sains yang terus berkembang. Bahkan, untuk sekian lama ilmuan kita dahulu menganggap bahwa Pluto adalah salah satu planet dalam tata surya kita, namun sekarang tersanggahkan, bahwa Pluto hanyalah satelit dan bukan planet. Ini hanyalah contoh yang sangat kecil, dan contoh semisal ini sangatlah banyak. Dan, sampai saat ini saya belum mengetahui apakah teori bumi mengelilingi matahari merupakan suatu kepastian ilmiah (qath`i) ataukah hanya sekedar teori dan hipotesa.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga ada manfaatnya.
Salam,
Adni Abū Fāris an-Nūri
NB:
Terkait pembahasan mengenai apakah bumi yang mengitari matahari ataukah sebaliknya secara science, maka dapat dilihat di blog saudara kita:
Tulisan di atas juga dimuat dalam:
Tes...
ReplyDelete