Salah
 satu momen terpenting yang terjadi di bulan Ramadhan nan mulia adalah 
peristiwa diturunkannya al-Qur`ān. Mengingat pentingnya peristiwa 
tersebut, banyak masyarakat sampai-sampai membuat peringatan ritual 
terkait peristiwa itu, yang mereka yakini jatuh pada tanggal 17 Ramadhan
 dan mereka namakan dengan peringatan Nuzūlul Qur`ān. Namun pada 
kesempatan kali ini saya tidak akan membahas kebid’ahan dan 
ketidaksesuaian acara dimaksud dalam tinjauan syariat—menurut pendapat 
yang benar in syā-aLlāh. Hal ini mengingat sudah terdapat cukup
 banyak tulisan dari ulama dan para ustadz yang membahasnya. Tulisan 
singkat saya kali ini adalah seputar sebagian hikmah dari ayat al-Qur`ān
 yang pertama kali diturunkan dan korelasinya dengan peradaban manusia. 
Kita ketahui bersama bahwa ayat al-Qur`an yang pertama kali diterima oleh Nabi ` adalah ayat 1-5 dari surat al-’Alaq: 
اقْرَأْ
 بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} 
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ {4} 
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ {5}
[1] Bacalah dengan nama Rabbmu yang menciptakan. [2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. [3]Bacalah,
 dan Rabbmulah yang maha mulia. [4] Yang mengajar (manusia) dengan 
perantaraan kalam. [5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak 
diketahuinya. 
Surat yang pertama turun tersebut dimulai dengan kata: iqra`;
 perintah untuk membaca. Dapat dipahami dari hal ini bahwa Allah 
mengisyaratkan kepada hamba-Nya bahwa membaca adalah awal atau kunci 
pembuka segala sesuatu bentuk kebaikan. 
Kata imperatif iqra` (bacalah!) berasal dari kata qara-a, yang makna dasarnya adalah mengumpulkan atau menghimpun (jama’a).
 Kata al-Qur`an juga berasal dari akar kata yang sama. Filosofinya, 
ketika seseorang membaca berarti ia tengah menghimpun huruf-huruf yang 
tertera atau tengah mengumpulkan informasi dari objek yang dibaca. 
Terkait
 dengan perintah membaca pada ayat yang pertama turun, maka tidak 
disebutkan objek bacaan, namun hanya menyebut pengedepanan motivasi 
sekaligus tujuan membaca, yaitu bismi Rabbikal ladzī khalaq 
(dengan nama Rabbmu yang menciptakan). Dengan demikian, ayat tersebut 
mengisyaratkan bahwa objek bacaan tersebut bersifat umum, apapun itu, 
asalkan dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. 
Bagaimana
 dengan objek bacaan yang memuat keburukan? Penting kiranya untuk 
dibedakan antara objek bacaan yang menginformasikan hal-hal buruk untuk 
diketahui oleh si pembaca, dan objek bacaan yang pada dasarnya buruk, 
semisal majalah porno, dan sebagainya. Adapun kondisi yang pertama, maka
 tidak mengapa. Sebab dengan mengetahui keburukan maka seseorang dapat 
menjaga diri darinya. Karena itulah Hudzaifah Ibn al-Yaman pernah 
berkata, 
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي.
“Dahulu orang-orang (para Sahabat) bertanya kepada Rasulullah ` tentang kebaikan. Sementara aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” [Riwayat al-Bukhāri (III/1319) no. 3411; Muslim (III/1475) no. 1847; dan lain-lain] 
‘Umar
 Ibn al-Khaththāb berkata, “Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai 
satu per satu apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan 
ia tidak mengetahui jahiliyyah.” [Al-Fawā`id, hal. 109 dan al-Jawāb al-Kāfī, hal. 152]
Hal ini juga selaras dengan ucapan penyair, 
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
        وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan,
        namun untuk menjaga diri darinya.
Karena barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan,
        niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya.
[Lihat Miftāh Dār as-Sa'ādah (I/296) dan Ihyā` 'Ulūm ad-Dīn (I/77)]
Perhatikan
 kembali susunan ayat di atas. Awalnya, hanya disebutkan Rabb yang 
menciptakan, tanpa menciptakan objek ciptaan, dimana hal ini memberikan 
faidah keumuman, yaitu mencakup segala macam makhluk ciptaan. Namun ayat
 selanjutnya menyebutkan bahwa Rabb tersebut menciptakan manusia. Ini 
merupakan bentuk pemuliaan manusia di atas makhluk ciptaan yang lain. 
Ayat berikutnya menegaskan kembali perintah untuk membaca diikuti oleh penyebutan Rabb yang maha mulia (akram).
 Hal ini menegaskan agungnya perbuatan membaca sekaligus secara implisit
 mengisyaratkan bahwa apabila manusia ingin mulia maka ia harus membaca,
 serta bahwa sebab pemuliaan manusia di atas makhluk ciptaan lainnya 
diantaranya adalah karena membaca, disamping menulis—sebagaimana disebut
 pada ayat sesudahnya. 
Membaca
 merupakan gerbang segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu merupakan 
sumber perkembangan peradaban di dunia sekaligus sumber kebahagiaan dan 
kejayaan di dunia dan akhirat. Imam asy-Syāfi’i
 telah mensinyalir hal tersebut melalui ucapan beliau, “Barangsiapa yang
 menginginkan dunia maka hendaklah ia mencari ilmu dan barangsiapa yang 
menginginkan akhirat maka hendaklah ia mencari ilmu.” [Nasyr Thayyit Ta'rīf fī Fadhl Hamalah al-'Ilm asy-Syarīf hal. 162] 
Merupakan
 fakta yang diterima oleh semua orang bahwa tingkat peradaban suatu 
bangsa berbanding lurus dengan tingkat ilmu pengetahuannya, sedangkan 
pintu gerbang pertama dan utama ilmu pengetahuan adalah dengan membaca. 
Karena ilmu pengetahuan maka umat Islam mencapai masa kejayaan dan menjadi pusat peradaban pada masa Dinasti ‘Abbasiyyah (abbasid caliphates), yaitu sekitar 750-1250 M; ketika Barat justru sedang mengalami zaman kegelapan (dark ages). 
Zaman
 kegelapan di Barat bermula dari kejatuhan raja Romulus Augustulus pada 
tahun 476 M. Barulah sekitar 1000 tahun kemudian timbul era modernisasi 
di Barat, yang dikenal dengan istilah renaissance. Mengikut pendapat yang lain era modern dimulai pada tahun 1453 yaitu ketika kota Konstantinopel jatuh ke tangan kaum muslimin. 
Dalam The Story of Medicine,
 Victor Robinson mengisahkan tentang Zaman Kegelapan bahwa Eropa gelap 
pada waktu malam sementara Cordova, yang dikuasai kaum muslimin, 
bermandikan cahaya. Eropa dalam kondisi kotor sedangkan Cordova 
membangun seribu tempat mandi. Eropa dipenuhi serangga sedangkan 
penduduk Cordova menukar pakaian dalam mereka setiap hari. Tokoh-tokoh 
Eropa tidak mengetahui cara menandatangani nama sendiri sedangkan 
anak-anak di Cordova sudah ke sekolah. Tokoh-tokoh agama di Eropa tidak 
cara tahu membaca risalah Kristiani sementara ulama Islam di Cordova 
menuliskan literatur-literatur ilmiah dalam format besar. 
Banyak peneliti Barat tidak menyukai penggunaan istilah dark ages (zaman kegelapan). Mereka lebih menyukai istilah middle ages (zaman/abad pertengahan). Dalam The History of The Arabs,
 Philip K. Hitti berkata, “Orang Islam Spanyol berjaya mencatat sejarah 
intelektualitas yang agung di zaman pertengahan dahulu. Merekalah 
sebenarnya pembawa obor budaya dan tamadun bagi seluruh dunia 
terutamanya antara abad kelapan dan tiga belas Masehi.” 
Selepas sekian lama berada di zaman kegelapan, akhirnya Barat mengalami era modernisasi yang dikenal dengan renaissance. Kata renaissance berasal dari bahasa Perancis yang berarti rebirth
 atau kelahiran kembali. Ia merupakan zaman kebangkitan budaya dan ilmu 
di Eropa yang berlaku pada kurun waktu sekitar tahun 1300 dan 1600 
Masehi. Zaman kebangkitan ini bermula di Italia, sebelum berkembang ke 
Jerman, Perancis dan Inggris. Pada awalnya, kebangkitan ini bertumpu 
pada bidang seni dan sastra. 
Pada
 abad XVII Masehi lahirlah para saintis besar di Barat seperti Galileo, 
William Harvey, Isaac Newton dan Robert Boyle. Mereka melahirkan 
metodologi sains yang dianggap baru dan dengan demikian meledaklah ilmu 
sains di Barat, meskipun di awal perkembangannya harus berkonfrontasi 
dengan gereja. Selepas itu Barat tidak pernah menoleh ke belakang lagi 
dan terus mengembangkan modernisasi sampai hari ini. 
Marquis of Dufferin and Ava dalam Speeches
 berkata, “Eropa berhutang budi kepada sains, seni dan sastera Islam. 
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan Eropa akhirnya keluar dari 
kegelapan zaman pertengahan.” 
Perkara yang sarna dinyatakan oleh Dr. Roben Briffault dalam The Making of Humanity pada bab Dar Al-Hikmet.
 Dia berkata, “Roger Bacon bukanlah tokoh yang memperkenalkan konsep 
eksperimen dalam ilmu. Beliau hanyalah merupakan anak murid kepada sains
 dan metodologi Islam, dan ilmu yang beliau peroleh ini kemudian dia 
kembangkan ke Barat. Dia tidak pernah jemu untuk mengatakan bahawa 
bahasa Arab dan sains Arab adalah satu-satunya pintu bagi mereka di 
zamannya untuk mengenali ilmu yang hakiki…. Sumbangan dari tamadun Arab 
kepada dunia moden yang paling bermakna ialah sains.” 
Memang
 benar, tanpa Islam Barat tidak akan mengenal sains dan teknologi. Mari 
kita simak apa yang dikatakan oleh Robert Briffault dalam The Making of Humanity pada bab Dar Al-Hikmet.
 Dia berkata, “Di bawah naungan konsep toleransi agama, golongan 
Kristian hidup penuh kebebasan di bawah pemerintahan khalifah Islam di 
Spanyol…. Pelajar-pelajar Kristian dari pelbagai pelosok Eropa datang ke
 negara Arab ini untuk belajar. Alvaro, seorang paderi kanan di Cordova,
 menulis pada abad ke-9 Masehi, ‘Kesemua pelajar Kristian yang berbakat 
ini mengetahui bahasa dan kesusasteraan Arab. Mereka membaca dengan 
penuh minat buku-buku karangan orang Arab dan berasa amat kagum dengan 
kesusasteraannya’. Gerbert of Aurillac membawa beberapa bahan tentang 
astronomi dan matematik dari Spanyol untuk mengajar anak-anak muridnya 
tentang alam serta sistem cakrawala.” 
Selanjutnya dalam buku yang sama, pada bab Rebirth of Europe,
 dia berkata, “Orang-orang Arab memperkenalkan tiga ciptaan untuk Eropa.
 Setiap ciptaan ini kemudian melahirkan revolusi teknologi yang 
tersendiri di peringkat global. Pertama adalah kompas (mariners compass). Dengannya Eropa berkembang ke seluruh pelosok dunia. Kedua adalah bubuk bedil (gun powder). Dengannya berakhirlah era pahlawan berkuda dengan baju perisainya. Ketiga adalah kertas (paper), yang membuka jalan kepada ciptaan alat-alat penerbitan yang canggih.” 
Demikianlah Islam memberi andil dalam peradaban dan ilmu pengetahuan dunia. Pencapaian (achievement)
 yang sedemikian tentu tidak lepas dari semangat membaca yang telah 
ditanamkan oleh Islam sejak permulaan risalah melalui wahyu yang pertama
 kali diturunkan. 
Kejayaan
 Islam kemudian mengalami penurunan sangat drastis terutama sejak 
keruntuhan Dinasti ‘Abbasiyyah akibat serangan Hulagu Khan ke Baghdad 
pada tahun 1258 M (Muharram 656 H)—dibantu oleh pengkhianatan menteri bernama Ibn al-‘Alqami,
 dari sekte Syī’ah Rāfidhah, semoga Allah membalas segala kejahatan, 
keburukan dan bencana yang ia telah timpakan terhadap kaum muslimin. 
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah mengenai korban 
yang tewas. Paling sedikit delapan ratus ribu jiwa, dan ada pula yang 
mengatakan mencapai sejuta jiwa, bahkan jauh lebih banyak dari itu. 
Sungai
 di Baghdad berubah menjadi warna merah kehitaman. Merah karena darah 
dan hitam karena tinta. Perpustakaan Baghdad luluh lantak. Para peneliti
 menyebutkan bahwa literatur Islam yang hancur ketika itu jauh lebih 
banyak dibandingkan seluruh literatur Islam yang selamat sampai saat 
ini. Dan dari literatur yang selamat tersebut, jauh lebih banyak yang 
masih berupa manuskrip dibandingkan dengan yang sudah dicetak. 
Akhirnya, keunggulan kejayaan peradaban Islam hanyalah menjadi romantisme sejarah….
Saat ini, dapat dikatakan bahwa ketertinggalan negeri-negeri kaum muslimin dibandingkan Barat adalah disebabkan ketertinggalan human resources
 (sumber daya manusia) karena kurangnya ilmu pengetahuan, di mana salah 
satu faktor terpenting yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah 
rendahnya minat baca. 
Sekali
 lagi, sejarah peradaban manusia dikemudikan oleh kegiatan membaca. 
Minat baca yang rendah akan berimplikasikan pada rendahnya sumber daya 
manusia. Rendahnya sumber daya manusia akan mempengaruhi tingkat 
kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain, sebuah peradaban manusia 
ditentukan oleh sumber daya manusianya, sedangkan di sisi lain sumber 
daya manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuan membacanya. 
Terkait dengan minat baca di Indonesia, negeri kita, maka dapat dilihat dari posisi Indonesia pada aspek penilaian Human Development Index (IPM: Indeks Pembangunan Manusia) pada tahun 2003 menempati posisi nomor 112 dari 175 negara. Begitu juga dari kategori The Politic Economic Risk Constitution
 (PERC) 2003. Indonesia menempati posisi ke 12 dari 12 negara. Budaya 
membaca kita masih rendah juga tercermin dari, misalnya, realitas 
penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika 
Serikat atau Inggris. Pada pertengahan 1990-an saja masing-masing negara
 ini dalam sebulan mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan
 negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul 
setiap tahun. 
Sastrawan
 kondang, Taufik Ismail, melalui observasinya terhadap beberapa siswa SD
 di kawasan ASEAN, mengatakan bahwa anak-anak Indonesia rabun membaca 
dan lumpuh menulis. Kenyaatan ini sungguh mengerikan di tengah adanya 
kekhawatiran para ahli pendidikan tentang terjadinya generasi yang 
hilang (the loss generation) di negeri kita. 
Fakta
 tersebut didukung dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan di 
Indonesia. Di samping hasil penelitian yang telah disebutkan sebelumnya,
 International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 negara peserta studi. Menurut Third International Mathematics and Science Study
 (TIMMS), kemampuan matematika para siswa SLTP kita berada pada urutan 
34 dari 38 negara dan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 
negara. Berdasarkan Education for All Global Monitoring Report 
tahun 2005, Indonesia merupakan negara ke-8 dengan populasi buta huruf 
terbesar didunia, yakni sekitar 18,4 juta orang (Kompas, 20 juni 2006). 
Terkait dengan masalah membaca, fakta lain adalah laporan tingkat 
keterbacaan halaman buku di Indonesia yang tidak mencapai satu halaman 
per hari perorang. 
Akhirnya,
 penting untuk kita tanamkan bahwa membaca adalah simbol kemajuan sebuah
 peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitif, antara negara 
maju dan negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun 
dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering 
dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah negara. Dengan 
demikian, tampaklah salah satu hikmah mengapa Allah Ta’āla menurunkan 
wahyu pertama dengan perintah membaca. Semoga hal ini dapat menjadi concern kita bersama. 
Demikian, semoga ada faidahnya, waLlāhu a’lam bish shawāb….
Salam,
Adni Kurniawan Abu Faris An-Nuri
NB:
Perintah
 untuk membaca yang dimaksud dalam ayat di atas adalah bersifat umum, 
tidak hanya terbatas dalam bentuk membaca buku atau memahami tulisan, 
meskipun hal itu adalah yang pemaknaan yang sangat utama untuk 
diberlakukan. Membaca yang dimaksud adalah mencakup mengamati situasi 
dan kondisi serta meneliti semesta raya nan indah. Sekiranya perintah 
tersebut hanya terbatas untuk membaca sebagaimana yang lazim dikenal, 
tentulah Nabi ` akan senantiasa berusaha membebaskan diri dari kondisi ummi (buta huruf) dalam rangka memenuhi perintah tersebut. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Sebagian informasi yang terdapat pada tulisan di atas berasal dari sejumlah situs yang dapat dilacak dengan sarana search engine semisal “mbah” google, dengan memasukkan key word yang sesuai. 
*Sumber gambar dari hasil pencarian Google di sini.

Post a Comment