Pada
umumnya orang Indonesia rutin pulang ke kampung halaman menjelang ‘Idul
Fithri atau Lebaran. Tak peduli betapapun kesulitan dan kesukaran yang
dihadapi untuk itu. Berdesak-desakan di kereta, berjubel di bis,
kemacetan panjang di perjalanan, sampai menempuh ratusan kilo berbekal
sepeda motor dengan risiko kehujanan dan kepanasan, dan hal-hal lain
yang tak kalah hebatnya. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan
Lebaran di kampung halaman sekaligus untuk ajangsilaturrahim terdahsyat
dalam setahun bersama sanak keluarga. Seluruh jerih payah itu dilakukan
demi terealisirnya satu kata: “pulang”.
Pulang,
adalah hal yang dinanti sekaligus merupakan salah satu obat
kebahagiaan. Pulang adalah tujuan. Lama tidak pulang dan berada di luar
tempat tinggal menimbulkan keresahan dan kegundahan. Contoh sederhana,
jika kita berada di kantor beberapa jam lebih lama dibanding biasanya
maka kita akan resah dan keinginan untuk pulang menjadi sangat kuat.
Betapapun indahnya perjalanan wisata yang kita lakukan, ujung-ujungnya
pun kita ingin pulang.
Ada
satu temuan menarik yang cukup relevan dengan pembahasan kali ini.
Ternyata bayi lebih merasa nyaman jika digendong oleh ibunya pada sisi
kiri. Mengapa? Karena detak jantung ibu lebih tertangkap oleh bayi.
Detak jantung yang sama yang dulu bayi itu dengarkan sewaktu berada
dalam kandungan ibu. Bayi tersebut seakan-akan merasa pulang ke tempat
awalnya.
Prinsip singkatnya, kita senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal
kita. Karena itulah kita sering kangen kepada orang tua, kita rindu
kepada kampung halaman, dan lain sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim bersyair,
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى
مَا الْحـُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
كَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَـتَى
وَحَــنِيْنُهُ أَبَدًا لِأَوَّلِ مَـنـْـزِلِ
Pindahkanlah hatimu sesuai selera
tapi tiadalah cinta melainkan kekasih pertama
Berapa banyak tempat di bumi yang disinggahi pemuda
tapi kerinduannya senantiasa pada persinggahan pertama
Kenyataan
yang sebenarnya, kampung halaman dan tempat tinggal kita di dunia ini
hanyalah merupakan asal muasal yang bersifat relatif. Tempat tinggal
kita yang hakiki akan kita jumpai setelah kematian. Ke negeri akhirat
kita akan pulang, dan di sana adalah rumah kita yang sejati. Dari-Nya
kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali. Innā liLlāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Mungkin,
penyebab kegundahan yang terkadang tiba-tiba melanda diri kita, yang
kita bingung dari mana asalnya, adalah karena desakan sekeping kerinduan
yang terbungkus terhadap kampung halaman kita yang sejati. Kerinduan
dalam fithrah manusia yang tertutupi oleh kecohan keindahan dunia yang
semu dan fana….
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى
شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ
“Dan
(ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?!’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau
Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Allah).’” (QS. Al-A’rāf [7]: 172)
Terkait
dengan penafsiran ayat di atas, kitab-kitab tafsir mencantumkan
berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu Allah mengeluarkan
seluruh jiwa manusia dari sulbi Adam untuk diambil persaksiannya,
sebagaimana dalam ayat (lihat misalnya: Tafsīr Ibn Katsīr). Secara zhahir riwayat, pengambilan persaksian tersebut dilakukan langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Peristiwa tersebut jelas jauh terjadi sebelum kelahiran manusia itu sendiri.
Para psikolog dapat dikatakan bersepakat bahwa apa yang dialami sebelum kelahiran dapat berpengaruh terhadap alam bawah sadar (subconscious)
seseorang, meskipun yang bersangkutan tidak mampu mengingat hal-hal
tersebut. Sebab, jangankan untuk mengingat peristiwa yang terjadi jauh
sebelum kelahiran, peristiwa yang terjadi pada usia kurang lima tahun
saja sangat sulit untuk diingat.
Alam
bawah sadar memegang peranan krusial dalam diri seseorang. Citra diri,
emosi bawaan, dan dasar tingkah laku seseorang mayoritasnya ditentukan
oleh alam bawah sadar dibandingkan alam sadar (conscious). Alam
bawah sadar juga lebih dominan penggunaannya dalam kehidupan
sehari-hari. Gaya berjalan, berbicara, berpikir, dan lain-lain, lebih
ditentukan oleh alam bawah sadar. Karena itulah ahli psikologi
menyatakan bahwa pembinaan anak seyogyanya dimulai jauh sebelum anak
tersebut lahir, yakni terkait dengan upaya membangun alam bawah sadar
sang anak secara baik. Hal ini pun selaras dengan tuntunan syariat
Islam.
Lalu apa kaitannya dengan ayat yang disebutkan sebelumnya?
Peristiwa
pengambilan persaksian yang dikisahkan dalam ayat di atas merupakan
peristiwa maha dahsyat yang pernah dialami oleh manusia. Bagaimana
tidak?! Ketika itu jiwa manusia tengah diambil persaksian secara
langsung oleh Dzat yang maha kuasa, maha perkasa, maha besar dan maha
indah, dimana keindahan semesta raya tidak berarti apa-apa dibanding
keindahan-Nya.
Peristiwa
pengambilan persaksian maha dahsyat tersebut pada hakekatnya menghujam
kuat dalam diri manusia, tidak hanya mempengaruhi alam bawah sadar,
bahkan masuk ke dalam fithrah, sehingga termasuk fithrah manusia untuk
senantiasa ingin pulang, rindu dan kembali kepada-Nya. Dari-Nya kita
berasal dan kepada-Nya kita kembali. Innā liLlāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Namun,
kita sering kali terkecoh. Fithrah dan kerinduan sejati kita untuk
kembali kepada-Nya tersebut sering kali tertutup oleh keindahan dunia
yang semu dan imitasi. Dunia yang seharusnya hanya kita jadikan sebagai
sarana untuk membuktikan sejauh mana kerinduan dan kecintaan kita
kepada-Nya justru berbalik menjadi tujuan yang melalaikan kita dari-Nya.
WaLlāhu musta’ān.
Akan
tetapi, meskipun dengan segala dosa dan kesalahan kita yang menggunung,
namun semoga kita senantiasa dapat menjadi orang-orang yang selalu
berusaha kembali meniti rindang jalan Ilahi dan pulang kepada-Nya….
Demikian, semoga ada manfaatnya. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
So, apakah Anda juga termasuk orang-orang yang ber-mudik ria untuk lebaran? ^_^
Salam,
Abū Fāris an-Nuri
NB:
Ide
dan inti dari tulisan ini pada asalnya merupakan ceramah Direktur Utama
dari salah satu LKS (dengan perubahan dan penambahan), semoga Allah
senantiasa menunjuki kita semua dan beliau kepada hal-hal yang
dicintai-Nya.
Tulisan ini juga dimuat dalam:
Post a Comment