Mungkin termasuk perkara yang masyhur di kalangan kita, bahwa banyak ulama kontemporer membolehkan tanzhīm an-nasl (pengaturan atau penjarangan kelahiran), namun melarang dan mengharamkan tahdīd an-nasl (pembatasan kelahiran atau yang umum dikenal dengan KB). Kali ini saya akan coba mengkritisi, sesingkat mungkin—sebagaimana kebiasaan saya—sejauh mana akurasi dan ketepatan pendapat yang mengharamkan tahdīd an-nasl tersebut. 

Jika pembatasan kelahiran itu dilatarbelakangi oleh sikap takut miskin, takut anak tidak kebagian rizki, dan yang semisalnya, maka yang demikian ini hukumnya haram. Namun, keharaman tersebut lebih disebabkan keharaman faktor eksternal. Saya pun tidak memungkiri bahwa memperbanyak keturunan merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh syariat. Namun, apakah usaha untuk memperbanyak keturunan itu hukumnya wajib? Dan bagaimana dengan hukum asal dari pembatasan kelahiran itu sendiri?

Konsekuensi logis dari pendapat yang mengatakan bahwa pembatasan kelahiran itu hukumnya haram adalah kewajiban untuk berusaha memperbanyak anak/keturunan. Bukankah demikian? Pendapat ini biasanya berdalil dengan hadits: 

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ [يَوْمَ الْقِيَامَةِ]

“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian [di hari Kiamat].” [Riwayat Abū Dāwūd dalam as-Sunan I/625/2050, al-Hākim II/176/2685, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrā VII/81/13253, Abū Nu'aim dalam al-Hilyah IV/219, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni

Hadits tersebut secara eksplisit menganjurkan kaum muslimin untuk memperbanyak keturunan. Hanya saja, pertanyaannya, apakah usaha memperbanyak keturunan tersebut sifatnya wajib? Menurut pendapat yang mengharamkan pembatasan kelahiran, maka seharusnya menjawab: iya. 

Sekiranya kita berpendapat bahwa usaha memperbanyak keturunan itu wajib, maka sebagai konsekuensinya, apabila seorang suami mendapatkan isteri yang mandul, maka ia wajib berusaha untuk menikah lagi, dalam rangka untuk memperbanyak keturunan. Demikian pula halnya apabila isteri mendapati suami yang mandul. Bukankah demikian? Sependek yang saya ketahui, tidak ada seorang pun ulama, atau fuqahā` yang berpendapat demikian. Artinya, seorang suami boleh saja bermonogami dengan seorang isteri yang mandul, dan ber-istimtā’ (bersenang-senang) dengannya tanpa merasa ‘terganggu’ oleh kehadiran anak. Begitu pula halnya dengan isteri. 

Jika demikian, maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa usaha memperbanyak keturunan itu hukumnya wajib? Jika usaha memperbanyak keturunan itu tidak wajib, maka bagaimana mungkin tahdīd an-nasl itu hukumnya haram? Padahal, suatu perkara itu dapat dikatakan haram atau berdosa apabila mengandung salah satu dari dua hal: Meninggalkan kewajiban (tark wājib) atau mengerjakan perbuatan terlarang (fi’l mahzhūr) yang sampai pada tingkatan haram. Dan, dalam hal ini, sependek pengetahuan saya, belum didapati nash yang secara tegas melarang perbuatan tahdīd an-nasl

Mungkin ada yang menyanggah: bahwa berbeda hukumnya antara yang mampu melahirkan dan yang mandul. Yang diwajibkan untuk memperbanyak keturunan adalah yang mampu melahirkan, sementara yang tidak mampu melahirkan tidak terkena kewajiban tersebut. 

Saya jawab: konsekuensi dari pendapat yang mengharamkan pembatasan kelahiran adalah kewajiban memperbanyak keturunan. Jika memperbanyak keturunan itu wajib, maka kewajiban itu harus dipenuhi dengan berbagai cara, sesuai kemampuan yang ada. Artinya, jika seseorang mempunyai isteri yang mandul, sementara ia mampu menikah lagi, maka ia wajib untuk menikah lagi dalam rangka memperbanyak keturunan. Namun, apakah benar demikian? Jawabnya tentu saja tidak. Jika demikian, maka sebagai konsekuensinya, berdasarkan prinsip fasād al-lāzim yadullu ‘alā fasād al-malzūm, usaha memperbanyak keturunan tentu bukanlah hal yang wajib. Konsekuensi selanjutnya, mengingat usaha memperbanyak keturunan bukanlah hal yang wajib maka pembatasan keturunan bukanlah hal yang haram. 

Mungkin ada yang menyanggah: anak adalah anugerah dari Allah yang tidak selayaknya seorang hamba berusaha menolaknya, dan penolakan semacam ini hukumnya haram. Di samping itu, tahdīd an-nasl (KB) termasuk dalam upaya pembunuhan anak, sedangkan pembunuhan anak itu hukumnya haram. 

Saya jawab: sekiranya pernyataan di atas itu benar dan dapat diterima maka tentulah ‘azl (mengeluarkan sperma di luar kemaluan wanita ketika berhubungan intim) itu haram hukumnya. Padahal, menurut pendapat yang rajih, ‘azl itu hukumnya makrūh atau dapat juga dikatakan jā`iz ma’al karāhah (boleh tapi dibenci/tidak disukai untuk dilakukan). Hal ini merupakan kompromisasi dari dalil-dalil yang ada. Seperti kompromisasi antara hadits Jābir: 

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرآنُ يَنْزِلُ

“Kami (para Sahabat) melakukan ‘azl padahal al-Qur`ān masih sedang diturunkan.” [Riwayat al-Bukhāri V/1998/4911 dan Muslim II/1065/1440. Maksudnya, sekiranya perbuatan 'azl itu diharamkan, tentulah hal itu akan disebutkan, baik oleh al-Qur`ān maupun oleh Nabi `, mengingat masa itu adalah masa turunnya syariat]

Serta hadits: “Para Sahabat bertanya kepada Nabi ` tentang ‘azl, maka beliau menjawab, 

ذلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيّ

‘Azl adalah perbuatan wa`d (pembunuhan anak dengan cara mengubur hidup-hidup) yang tersembunyi (al-wa`d al-khafi).” [Riwayat Muslim II/1066/1442, Ibn Mājah I/648/2011, Ahmad VI/361/27081, dan lain-lain] 

Konsekuensi pendapat yang menyatakan bahwa ‘azl itu hukumnya makruh adalah, bahwa usaha mencegah kehamilan itu hukumnya makrūh. Sebab, kaidah fiqh menyebutkan: al-wasā`il lahā ahkāmul maqāshid (sarana dan tujuan itu memiliki hukum yang sama). ‘Azl merupakan sarana dengan tujuan untuk mencegah kehamilan. Karena itu, hukum keduanya sama. Jika mencegah kehamilan itu masih dibolehkan (meskipun makrūh) maka upaya pembatasan kehamilan yang merupakan implikasi atau hasil dari perbuatan mencegah kehamilan itu pun dibolehkan (meskipun makrūh). 

Mungkin ada yang menyanggah: bahwa terdapat perbedaan antara penggunaan alat-alat kontrasepsi (KB) dan ‘azl. Sehinga penyamaan antara ‘azl dan penggunaan alat-alat kontrasepsi adalah qiyās ma’al fāriq (analogi terhadap dua hal yang tidak dapat disamakan), Pada ‘azl terdapat probabilitas untuk tetap hamil, berbeda dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi. 

Saya jawab: pernyataan di atas tidak benar secara fakta ilmiah. Pada penggunaan alat-alat kontrasepsi pun masih terdapat kemungkinan hamil. Kondom, misalnya, kemungkinan keberhasilannya mencegah kehamilan adalah sekitar 80% (kalau tidak salah). Di samping itu, seharusnya yang menjadi patokan bukanlah berhasil atau tidaknya suatu perbuatan, tapi dari perbuatan itu sendiri. Sekiranya mencegah kehamilan itu haram, maka tentulah segala macam perbuatan yang bertujuan dan mengarah kepada pencegahan kehamilan itu hukumnya haram, terlepas dari probabilitas tingkat keberhasilan dari perbuatan tersebut. 

Intinya, pencegahan kehamilan dengan ‘azl dapat dianalogikan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi, dan kedua hal tersebut sama sekali tidak akan dapat mencegah jiwa yang telah Allah takdirkan untuk hidup di dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat berikut: 

Sebagian Sahabat pernah menyatakan keinginan untuk melakukan ‘azl terhadap tawanan perang wanita agar tidak hamil, lalu menanyakan hal itu kepada Nabi `. Maka Nabi ` menjawab: 

لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تَفْعَلُوْا مَا كَتَبَ اللهُ خَلْقَ نَسْمَةٍ هِيَ كَائِنَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ سَتَكُوْنُ

“Tidak ada mudharat bagi kalian untuk meninggalkan ‘azl. Sebab, tidaklah Allah menakdirkan penciptaan satu jiwa sampai hari Kiamat melainkan pasti akan tercipta.”[Riwayat Muslim II/1061/1438]


Dari Jābir, ia berkata: 

إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا، وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ. فَقَالَ: اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ. فَإِنَّهُ سَيأْتِيَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا. فَلَبِثَ الرَّجُلُ. ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَبِلَتْ. فَقَالَ: قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا.

“Seorang mendatangi Rasulullah ` dan berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki budak wanita yang bertindak sebagai pelayan sekaligus yang mengairi kebun kami. Aku menggaulinya, namun aku tidak suka apabila ia hamil.” Nabi ` berkata, “Lakukanlah ‘azl dengannya, jika kau mau. Namun, tetap ia akan mengalami apa yang telah ditakdirkan untuknya.” Beberapa lama kemudian lelaki tadi kembali menghadap Nabi `, dan berkata, “Budak wanita tersebut hamil!” Nabi ` berkata, “Telah kukabarkan kepadamu bahwa ia akan mengalami apa yang telah ditakdirkan untuknya.” [Riwayat Muslim II/1064/1439] 

Terdapat beberapa faidah dan kesimpulan yang dapat dipetik dari hadits di atas: 

Pertama: Nabi ` tidak melarang untuk melakukan ‘azl.
Kedua: Nabi ` tidak melarang upaya untuk mencegah kehamilan.
Ketiga: Tidak ada yang sanggup mencegah takdir Allah untuk menjadikan dan menghidupkan satu jiwa. 

Mungkin ada yang menyanggah: bukankah mencegah kehamilan tersebut berlaku untuk budak atau tawanan perang wanita?! 

Saya jawab: hal tersebut tidak khusus berlaku untuk budak dan tawanan perang wanita, sebab tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya. Dalilnya adalah keumuman hadits Jābir yang terdahulu. Di samping itu, jika kita mengacu kepada hadits yang menyebutkan anjuran untuk memperbanyak keturunan agar Nabi ` membanggakan banyaknya jumlah umatnya, maka tidak ada bedanya antara anak yang dilahirkan dari istri atau budak, sebab anak tersebut terlahir sebagai orang yang merdeka (hurr) dan bukan budak (mengikuti status ayahnya). 

Mungkin ada yang menyanggah: apabila zina yang salah implikasinya adalah ketidakjelasan dan pencampuran nasab itu hukumnya haram, maka apatah lagi dengan upaya pemutusan dan nasab itu sendiri, tentu lebih haram lagi. 

Saya jawab: Penggunaan argumen di atas untuk pembatasan keturunan perlu dikritisi lagi, sebab pencampuran dan ketidakjelasan nasab bukanlah ‘illah keharaman zina, namun hanya merupakan salah satu hikmahnya. Hukum tidak dibangun di atas hikmah, melainkan di atas ‘illah. Karena itu, berzina dengan wanita yang mandul, misalnya, pun haram hukumnya. Di samping itu, katakanlah kita terima argumen dan pernyataan di atas, maka yang diharamkan adalah upaya pemutusan nasab secara total, atau usaha untuk tidak memiliki keturunan sama sekali, dan hal ini berbeda dengan pembatasan keturunan. 

Mungkin ada yang menyanggah: anjuran untuk memperbanyak anak itu sesuai dengan fithrah manusia, sehingga tahdīd an-nasl itu diharamkan karena bertentangan dengan fithrah. 

Saya jawab: pernyataan bahwa punya banyak merupakan fithrah patut dikritisi lebih lanjut. Mana dalil atau data empiris yang menyatakan demikian? Secara umum kita meyakini bahwa ajaran Islam adalah fithrah. Artinya, ajaran Islam sejalan dan tidak bertentangan dengan fithrah. Hanya saja, untuk anjuran agama Islam dalam hal tertentu dikatakan sebagai fithrah, maka rasanya hal ini membutuhkan dalil lebih lanjut. Dapatkah kita katakan bahwa shalat Tahajjud adalah fithrah? Zakat adalah fithrah? Puasa Senin Kamis adalah fithrah? Haji adalah fithrah? Di samping itu, tentu kita semua mengetahui bahwa tidak semua anjuran agama itu bersifat wajib, dan inilah yang tengah kita bicarakan. 

Mungkin ada yang menyanggah: tahdīd an-nasl merupakan perbuatan menentang dan menghalangi Sunnah, sehingga hukumnya haram! 

Saya jawab: adalah Sunnah dan dianjurkan untuk shalat Tahajjud, puasa Senin Kamis, dan lain-lain yang semisal. Ketika kita tidak memenuhi dan melaksanakan Sunnah tersebut serta justru berbuat sebaliknya (bukannya shalat malam namun malah tidur, bukannya puasa malah berbuka, misalnya), dapatkah dikatakan bahwa kita menghalangi/menentang Sunnah? Jawabnya tentu saja tidak. Hal yang sama juga berlaku dalam perkara tahdīd an-nasl kali ini. Upaya untuk memiliki banyak anak bukan berarti menentang Sunnah untuk memiliki anak banyak. Hal yang berbeda ketika kita sebagai pemegang otoritas atau kekuasaan, lalu kemudian mengeluarkan peraturan yang melarang masyarakat untuk melakukan sunnah tersebut. Dalam kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kita menentang/menghalangi Sunnah. 

Selanjutnya, pendapat yang menyebutkan rincian, bahwa tanzhīm an-nasl (penjarangan atau pengaturan kehamilan) itu dibolehkan sementara tahdīd an-nasl (pembatasan keturunan) itu diharamkan, sebagaimana difatwakan oleh banyak ulama kontemporer, merupakan pendapat yang sedikit kontradiktif. Sebab, sekiranya yang dibolehkan adalah tanzhīm an-nasl secara mutlak, maka pada tanzhīm an-nasl tersebut pun terdapat unsur tahdīd an-nasl

Bagaimana maksudnya? ^_^

Misalkan saja masa produktif melahirkan wanita A adalah 25 tahun sejak pernikahannya. Pada masa produktif tersebut, katakanlah ia memiliki kemungkinan untuk memiliki 13 anak. Namun dikarenakan melakukan tanzhīm an-nasl (penjarangan kehamilan), katakanlah per 4 tahun sekali, maka ia hanya memiliki kemungkinan memiliki 6 anak. Dari sini dapat kita lihat, bahwa tanzhīm an-nasl pun sebenarnya mengandung makna tahdīd an-nasl. Karena itu, rasanya kurang tepat apabila hukum kedua permasalahan tersebut dibedakan. 

Kesimpulannya: saya kurang setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tahdīd an-nasl itu haram hukumnya. Pendapat saya, hukumnya adalah makruh, dan tidak sampai derajat haram, sebagaimana halnya hukum ‘azl—menurut pendapat yang rājih. Namun, saya mengingatkan sekali lagi, bahwa yang sangat dianjurkan oleh syariat kita adalah memperbanyak keturunan—tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas dari keturunan tersebut. 

Wallāhu a’lam bish shawāb. 

Salam,
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri

NB:
Tulisan ini merupakan revisi dari yang dimuat dalam blog: www.salafyitb.wordpress.com
Adanya penambahan-penambahan adalah berasal dari masukan teman-teman dalam blog di atas maupun dari luar blog. 

Adapun pemutusan keturunan dengan cara kebiri atau operasi pengangkatan rahim, maka hukum asalnya adalah haram, kecuali untuk sebab darurat yang membahayakan jiwa. Karena hal tersebut termasuk mengubah ciptaan Allah (taghyīr khalqiLlāh) yang menjadi ciri utama pembedaan lelaki/wanita. 

*Sumber gambar dari hasil pencarian Google.

Post a Comment

 
Top